"Kami enggak mau pergi, mau tinggal dimana kalau kami meninggalkan rumah ini!" tangis ibuku pecah. Aku masih berdiri di depan pintu agar bisa menguping pembicaraan mereka.
"Mana kami peduli kalian mau tinggal dimana. Ingat, sertifikat rumah ini sudah ditangan kami. Karena kalian sudah tidak bisa membayar hutang kalian, saat ini juga rumah ini sudah menjadi milik kami!" ucap lantang renternir itu. Tentu saja aku sangat syok mendengar ucapannya."Pah, Mah. Untuk apa kalian berhutang?"Papah dan Mamah berdiri dari tempatnya bersimpuh. Dia terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Terlebih aku datang membawa banyak barang pulang."Itu--" Mamah menggantung ucapannya. Dia menoleh kearah Papah seakan minta persetujuan pada Papah untuk menceritakan hal sebenarnya."Kenapa enggak jawab pertanyaanku, Mah?" tanyaku dengan nada marah. Papah menggelengkan kepala melarang Mamah mengatakan hal sebenarnya."Apa uang yang ku kasih selama ini kurang, Pah, Mah?" tanyaku dengan sorot mata kecewa kepada kedua orang tuaku."Cukup, Nak. Uang yang kamu kasih sangat cukup. Hanya saja ada sesuatu hal yang membuat kami berhutang sama renternir ini!" jawab Mamah."Aku mendesah panjang, jawaban dari Mamah tidak membuatku cukup puas. Harusnya mereka katakan saja apa sebenarnya yang terjadi."Berapa kalian hutang sama mereka?" tanyaku pada kedua orang tuaku. Aku punya sedikit tabungan, siapa tahu cukup untuk membayar hutang mereka. Kedua orang tuaku tak segera menjawab. Mereka menunduk dengan raut wajah takut."Aku tanya berapa hutang kalian?" bentakanku membuat mereka terlonjak kaget."Putri, jangan bentak-bentak kami! Papah enggak suka!""Makanya jawab pertanyaanku, Pah! Sumpah, aku kecewa sekali pada kalain berdua!"Tak ada jawaban lagi dari kedua orangtuaku."Utang mereka 100juta. Belum bunganya. Totalnya jadi 150juta." sahut renternir yang meminjamkan uang pada orang tuaku. Mendengar jawaban lelaki itu tiba-tiba tubuhku menjadi lemah. Kalau uang sebanyak itu aku tak punya. Dalam tabunganku hanya ada 50 juta. Tak cukup untuk membayar semua hutang orangtuaku."Ya ampun, Pah, Mah. Buat apa kalian hutang sebanyak itu!"Sekali lagi aku menatap kecewa kearah orangtuaku. Mereka hanya mengucapkan kata maaf tanpa berani menatapku."Hutang orangtuamu biar aku yang bayar!"Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Mas Indra membuntutiku sampai ke rumah."Enggak perlu, Mas! Udah, enggak usah ikut campur urusanku!" ucapku ketus pada lelaki yang datang bersama ibu tirinya."Put, jangan tolak lebaikan suami kamu sendiri. Kalau bukan dia yang menolong kita siapa lagi. Kamu mau kami tinggal di jalanan kalau rumah ini sampai di sita para renternir ini?" sahut Papah kemudian."Tenang saja aku enggak akan biarin kalian tinggal di jalanan kok meskipun rumah ini nantinya akan disita!""Jangan egois sayang, kenapa sih kamu jadi keras kepala gini!" sahut suamiku.Sayang? Setelah beberapa saat yang lalu dia menamparku, masih berani dia menyebutku dengan sebutan itu!"Aku enggak egois. Aku bakal kasih yang terbaik buat orangtuaku tanpa ngrepotin kamu!" ceplosku. Suamiku terdiam dengan menatap kecewa kearahku."Put. Semua masalah kamu berawal dariku. Aku minta maaf. Mulai sekarang aku janji akan berusaha menyukai kamu. Maaf, kalau selama ini aku kurang bisa nerima kamu sebagai menantu di rumah kami!"Aku terdiam mendengar permintaan maaf dari Tante Sarah. Dia bicara lembut sekali sepertinya dia tulus mengucapkannya."Tante yang salah. Jadi tolong jangan akhiri rumah tangga kamu dengan Indra cuma gara-gara keegoisan Tante!"Aku masih menunduk belum berniat merespon ucapannya."Kamu lihat tangan Indra. Dia melukai tangannya sendiri setelah nampar kamu. Dari situ Tante baru sadar kalau Tante sudah terlalu jahat sama kalian berdua!"Aku menoleh ke arah tangan kanan suamiku yang di balut perban. Mendadak aku merasa kasihan pada lelaki itu."Dia sudah menghukum tangannya sendiri yang sudah nampar kamu. Jadi tolong, maafin dia, ya!"Hatiku mendadak luluh mendengar ucapan Tante Sarah. Aku mendekat kearah Mas Indra lalu meraih tangannya."Ta...tanganmu kenapa, Mas?" tanyaku panik."Udah, enggak apa-apa. Ini enggak sebanding dengan apa yang sudah aku lakuin ke kamu. Maafin aku ya!"Aku akhirnya mengangguk, kemarahanku mereda setelah melihat suamiku sudah melukai tangannya sendiri karena sudah menamparku."Ini uang 150 juta. Rumah ini tetap jadi rumah keluarga Putri. Awas kalau kalian berani usik lagi keluarga ini!" ucap Tante Sarah pada renternir yang masih berdiri di depan orangtuaku."Ok. Dan ini, aku kembalikan sertifikat rumah ini!" balas lelaki berwajah sangar itu. Kemudian dia dan anak buahnya pergi meninggalkan rumah orangtuaku."Putri, Indra! Kalian habis bertengkar?"Aku gelagapan mendapat pertanyaan dari Papah."Ini salah saya, Pah. Maaf, ya. Karena sudah membuat anak Papah kecewa." Mas Indra yang menjawab."Sebenarnya Indra enggak salah apa-apa, yang salah itu saya. Saya masih belum bisa sepenuhnya nerima Putri jadi menantu di rumah kami. Tapi saya janji, mulai sekarang akan mencoba bersikap baik sama Putri. Saya tidak mahu rumah tangga Indra hancur karena keegoisan saya!" Tante Sarah menimpali."Ya sudah kalau kalian sudah menyadari kesalahan kalian. Kami selaku orangtua Putri hanya berharap kalian mau menjaga Putri dengan baik. Dia satu-satunya anak kami. Kami juga enggak akan terima jika sekali lagi kalian melukai satu-satunya anak kami!""Pah, Mah. Saya janji. Ini yang pertama dan terakhirnya saya kasar sama Putri." ucap Mas Indra. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kembali pulang ke rumah Mas Indra. Orangtuaku banyak menasehati agar lain kali aku tidak kabur-kaburan seperti ini. Meski mereka tahu Mas Indra dan Tante Sarah yang salah, mereka juga tidak membenarkan sikap kekanak-kanakanku."Put, aku sudah menyuruh orangku untuk mengurus tiket ke Bali. Minggu depan kita bulan madu kesana. Gimana kamu suka?" tanya Mas Indra. Tentu saja aku sangat suka mendengar hal itu."Suka banget, Mas. Makasih ya!" ucapku kemudisn mencium pipi suamiku yang sedang fokus menyetir itu."Sama-sama, sayang." balas lelaki itu sambil tersenyum. Aku merasa suamiku makin bertambah sayang padaku setelah melakukan kesalahan tadi siang. Aku berharap dia akan terus seperti ini."Sayang, malam ini siap-siap, ya. Mas pastikan malam ini enggak ada yang ganggu kita lagi!" bisik suamiku setelah kami sampai di rumah."Apaan, sih, Mas. Nanti Tante Sarah dengar!" ucapku sambil menatap ke arah Tante Sarah yang baru turun dari mobil."Denger juga enggak apa-apa, Put. Kalian kan suami istri!" sela Tante Sarah sambil terkekeh. Baru kali ini dia begitu bersikap ramah padaku. Semoga ini bukan cuma sekedar berpura-pura saja.Sampai di rumah kami langsung makan siang. Dira sudah menyiapkan semua makanan favoritku. Lagi-lagi aku merasa sangat terharu dengan kejutan-kejutan yang suamiku siapkan untukku."Ndra, tadi Papahmu bilang dia enggak bisa pulang cepet. Masih banyak hal yang harus diurusnya katanya. Boleh ya, Tante ikut ke Bali. Tante janji kok enggak akan ganggu kalian lagi!" ucap Tante Sarah. Meski dia sudah bersikap baik padaku, entah kenapa aku masih kurang merasa nyaman dengan permintaanya sekarang."Tan, maaf enggak bisa. Sementara waktu kami ingin berduaan saja." jawaban suamiku membuat moodku kembali membaik. Aku tersenyum senang kearahnya."Ya udah kalau enggak boleh. Nanti Tante keluar saja sama temen-temen Tante buat ngusir kejenuhan.""Aku sih enggak larang kalau Tante ingin keluar sama mereka. Yang penting Tante tahu waktu saja pulangnya. Jangan sampai pulang kemaleman.""Iya-iya. Tante tahu waktu, kok!""Mas, biar kita tenang bepergian. Kenapa kita enggak cari sopir pribadi saja untuk Tante Sarah. Jadi kejadian seperti tadi siang enggak akan terulang lagi!" selaku di tengah perbincangan mereka."Tante Sarah punya trauma. Jadi dia enggak bakalan mau." jawab suamiku sambil mengunyah makanan."Trauma soal apa, Mas?" tanyaku pada suamiku.Lelaki itu menoleh kearah ibu tirinya. Seolah meminta persetujuan wanita itu untuk menceritakan hal sebenarnya padaku. Tante Sarah mengangguk memberi izin."Tante pernah di lecehkan sopir pribadinya. Untung malam itu aku pulang enggak terlalu malam jadi bisa nyelametin Tante Sarah dari kejahatan lelaki jahat itu!""Jahat sekali lelaki itu." responku dengan nada kesal."Orangnya sudah mendekam di penjara sekarang. Dia padahal orang kepercayaan Papah!""Syukurlah kalau dia sudah di penjara. Orang jahat sepertinya pantas di hukum!" sahutku lagi."Makanya sampai sekarang Tante trauma. Jadi kemana-kemana harus aku yang anterin baru dia merasa aman!"Aku merasa tertampar mendengar ucapan suamiku. Sebelumnya aku melarangnya pergi dengan Tante Sarah karena salah paham saja. Setelah tahu kejadian ini aku janji pada diriku sendiri tidak akan melarang suamiku lagi jika ingin mengantarkan ibu tirinya berbelanja maupun kemanapun wanita itu pergi."Maaf, ya, Mas. Maaf juga ya, Tante. Harusnya tadi aku enggak larang kalian pergi bareng.""Udahlah, Put. Enggak usah bahas ini lagi, kamu enggak salah. Yang salah itu Tante!" Tante Sarah menggenggam tanganku."Tidak seharusnya Tante ganggu kalian yang masih pengantin baru. Tante sadar Tante memang ibu mertua yang egois!" lanjut wanita itu lagi."Kalian berdua enggak ada yang salah. Yang salah itu Papah. Perjalanan bisnis kok lama banget. Enggak kasian apa sama istrinya mau kemana-mana jadi bingung mau diantar sama siapa!"Sontak aku dan Tante Sarah tertawa mendengar ucapan Mas Indra. Sebenarnya jujur aku juga penasaran kenapa Ayah mertuaku selalu saja pergi sendirian tak membawa Tante Sarah saat melakukan perjalanan bisnis. Namun menurutku bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertanya hal ini. Hubungan kami bertiga baru saja membaik, aku tak mau merusak suasana bahagia ini."Mas, aku duluan naik, ya. Tiba-tiba perutku sakit!" ucapku pada Mas Indra."Ok, Put. Nanti Mas nyusul keatas kalau sudah selesai makan!" jawab suamiku."Baik, Mas."Aku sedikit berlari saat menaiki anak tangga. Namun karena tak hati-hati aku terpeleset. Entah kenapa aku merasa tangga sedikit licin."Aaa...!"Aku menjerit saat tubuhku menggelinding ke bawah."Ya, ampun Putri. Kamu kenapa?" ucap suamiku panik sambil mendekat kearahku."Tangganya licin banget, Mas. Untung aku belum terlalu tinggi naiknya!" jawabku dengan menahan sakit di tubuhku."Kamu pasti enggak hati-hati naiknya. Sini Mas tolong angkat kamu keatas!"Mas Indra membopong tubuhku naik ke lantai atas, aku mengalungkan tanganku sambil menatap penuh haru kewajah suamiku."Mas, anterin aku ke toilet dulu. Perutku masih sakit!" bisikku ke telinga suamiku."Ok!"Suamiku membuka pintu kamar, lalu menuju toilet yang ada dalam kamar kami."Nanti kalau sudah, Mas gendong lagi. Badanmu masih terasa sakit?""Iya, Mas. Sakit banget. Maaf ya, sudah merepotkan kamu!""Aku enggak merasa di repotkan, kok!"Mas Indra segera menutup pintu toilet. Dia dengan sabar menungguiku di depan pintu."Mas, sudah selesai!" ucapku. Suamiku kembali membuka pintu toilet lalu kembali menggendongku ke atas ranjang."Mas panggilkan Dokter Hasan, ya. Mas takut kamu kenapa-kenapa!" ucap suamiku dengan raut wajah khawatir."Enggak usah, Mas. Kayaknya aku cuma butuh istirahat nanti juga rasa sakitnya ilang!""Ya, udah. Kamu istirahat dulu. Aku akan selalu jagain kamu disini takut nanti kamu butuh bantuanku!""Makasih banget ya, Mas."Aku pun segera memajamkan mata. Jujur badanku terasa sakit sekali saat ini. Semoga saja rasa sakitku sedikit mereda setelah bangun nanti."Mas...!"Aku meraba ke samping kanan, Mas Indra ternyata sudah tak ada disampingku. Aku bangkit sambil melirik jam di dinding kamar. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore, entah kemana Mas Indra sekarang. Di balkon dan kamar mandi pun dia tak ada.Dengan langkah tertatih aku keluar kamar, ku dengar isak tangis Tante Sarah di kamarnya. Beberapa saat kemudian ku dengar suara Mas Indra menenangkan wanita itu.Perasaanku mulai tak enak. Aku melangkah dan mendorong pintu kamar Tante Sarah yang memang tak tertutup rapat. Alangkah terkejutnya aku saat melihat pemandangan di depanku. Tante Sarah tengah menangis di dada bidang suamiku. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan karena sangat syok melihat apa yang di lakukan kedua orang itu. Mungkinkah kedua orang itu diam-diam menjalin hubungan di belakangku?"Indra, apa yang kamu lakukan?" Semua orang syok melihat Indra tega menusuk Sarah menggunakan pisau. Bahkan Dicky yang sangat marah dan kecewa pada Sarahpun tak sampai hati melakukan hal tersebut."Wanita ular ini pantas mati. Dia sudah menghancurkan hidupku tapi dia tega meninggalkanku saat aku benar-benar terpuruk!" ucap Indra tanpa ada penyesalan sedikitpun. Sarah meneteskan airmata melihat kebencian Indra yang begitu besar padanya."A--aku tak bermaksud meninggalkanmu!" ucap Sarah lemah. Indra tak sudi menatap wanita yang baru saja ditusuknya."Aku sangat mencintaimu, Ndra. Apa yang kukatakan barusan hanya untuk menyelamatkan hidupmu. Aku tak mau kamu jadi gelandangan saat dibuang Ay--"Sarah tak mampu melanjutkan kalimatnya. Tusukan di perutnya benar-benar membuatnya kesakitan. Dia menghembuskan nafas terakhirnya sebelum menyelesaikan kalimatnya.Indra baru saja menyadari kalau dia telah salah paham pada Sarah. Dia buru-buru mendekat ke Sarah untuk minta maaf. Sayangnya apa yang
"Jadi begini kelakuan kalian di belakangku?"Kedua orang yang tengah bercinta itu terkejut bukan main saat kelakuan bej*d mereka diketahui oleh Dicky."Sayang, aku bisa jelasin!"Terbakar amarah, Dicky tak menggubris ucapan istrinya. Dia menarik tubuh anaknya kemudian memukulnya.Sarah cepat-cepat memakai bajunya kemudian mencoba menghentikan Dicky memukuli lelaki yang selama ini digilainya."Sayang, hentikan. Indra bisa mati jika kamu memukulnya terus menerus seperti ini!"Bukan bersimpati mendengar tangis dan permohonan istrinya, Dicky justru makin gelap mata. Di pukulnya wanita yang belasan tahun ini mengkhianatinya tanpa ampun.Indra mencoba bangkit dan melindungi Sarah dengan tubuhnya. Lelaki itu rela menggantikan tubuh Sarah menahan sakit akibat pukulan Dicky. Melihat keduanya yang rela saling berkorban membuat hati Dicky makin hancur."Om, hentikan. Om bisa terkena tindak pidana jika Om terus menyiksa mereka!" tiba-tiba Dewa datang menghentikan Dicky. Awalnya Dicky tak mau meng
"Ndra, kamu tahu temen Putri yang namanya Melly itu tinggal dimana?" tanya Sarah saat dia dan Indra dalam perjalanan mencari Putri.Indra menggeleng."Kenapa memangnya, Tant?" tanya Indra kemudian."Melly kan teman baik Putri. Tante yakin Putri akan menghubungi Melly dan memberitahu keberadaannya kalau dirasanya keadaan sudah aman. Gimana kalau kita sekarang cari Melly dan kita sekap saja dia buat pancing Putri lagi!""Ide bagus, Tant. Tapi gimana caranya kita cari Melly. Aku kenal dia juga enggak!" tanya Indra kemudian."Tanyalah sepupumu, Dewa. Dia pasti tahu. Bod*h banget sih kamu jadi orang." cecar Sarah."Aku bukan bodoh, Tant. Aku cuma enggak mau melibatkan Dewa. Kalau Dewa tau Putri kabur gimana? Dia anak Om Ristian, bahaya banget kalau Om Ristian ngasih tahu Dewa soal hubungan kita!""Ya, jangan sampai dia tahu, dong. Bilang saja sama Dewa, kalau kamu ingin kasih kejutan Putri dengan membawa Melly ke rumah secara diam-diam. Kamu ini enggak mau dibilang bodoh. Tapi, masalah sep
"Ka--kamu yakin mau ikut aku?" tanya Putri seakan tak percaya dengan ucapan Dira barusan."Aku yakin, Mbak. Mbak Putri enggak boleh tinggal sendirian. Bahaya. Kapan saja Tuan Indra dan Nyonya Sarah bisa saja menemukan Mbak Putri." jawab yakin Dira."Tapi, Dir. Aku tak membawa banyak uang. Kapan saja uangku bisa habis kalau aku tak cepat-cepat cari kerja!""Mbak, uang 20juta barusan anggap saja buat bayar gajiku beberapa bulan ke depan. Udah, masalah uang jangan dipikirkan. Aku cuma mau melindungi Mbak Putri. Aku enggak mau Mbak Putri sendirian melawan Nyonya Sarah dan Tuan Indra. Saya memang tak bisa banyak membantu tapi saya akan berusaha melindungi Mbak Putri semampu saya dari kejahatan mereka!"Putri benar-benar merasa terharu dengan kata-kata Dira barusan. Dia berjanji pada Dira akan selalu memperlakukan Dira dengan baik.Jam menunjukan pukul 8 malam. Makan malam telah Dira siapkan. Putri datang awal ke ruang makan untuk melihat keadaan."Mbak, jangan minum air putih disini, ya. I
Pov Author"Kamu sendiri ngapain kesini, Wa. Restoran ini cukup jauh dari perusahaan kamu. Tapi kamu bisa ada disini?" tanya Indra kemudian."Tadi janji ketemuan sama klien di area sini. Pas lewat restoran ini pengin mampir!" jawab santai Dewa."Bisa kebetulan banget, ya. Kamu bukan sengaja ngikutin aku dan Indra kesini, kan?"Sarah mulai berbicara sembarangan. Indra memegang kepalanya, frustasi dengan sikap gegabah Sarah. Pertanyaan Sarah justru bisa membuat Dewa curiga tentang hubungan keduanya."Mengikuti kalian? Apa untungnya?" Dewa terkekeh geli."Ya bisa saja kan Papah kamu yang--""Tant, cukup. Enggak usah mulai lagi nuduh-nuduh orang sembarangan, dech!" kesal Indra. Indra menjadi tak enak dengan Dewa karena tuduhan Sarah. Beberapa saat kemudian seorang pramusaji datang membawa beberapa bungkus makanan pesanan Dewa."Tante Sarah. Aku ke restoran ini karena beli makanan untuk temen-temen aku yang tinggal di area sini. Dulu kami sering nongkrong bareng disini pas SMA. Mumpung dis
Pov Author"Sayang, kepalaku kenapa sakit sekali?" tanya Sarah saat terbangun. Indra semalam memberinya obat tidur dengan dosis agak tinggi jadi ketika dia bangun kepalanya terasa sakit."Kemaren Tante banyak nangis jadi wajar kalau Tante sekarang sakit kepala!"Sarah tersenyum senang saat menyadari Indra tak lagi mendiamkannya."Ka--kamu udah enggak marah sama aku?" tanya Sarah dengan raut wajah sangat senang.Indra menghela nafas panjang mendengar pertanyaan dari Sarah."Jujur aku masih sangat marah dengan perlakuan Tante pada Putri. Tapi aku berpikir enggak ada gunanya lama-lama marah sama Tante!"Sarah yang merasa sangat senang langsung memeluk Indra yang tengah memakai dasinya."Makasih sayang. Aku tahu kamu enggak mungkin bisa lama-lama marah sama aku.""Jangan seneng dulu, Tant. Aku ngelakuin ini agar Tante bersikap baik pada Putri. Kalau aku denger Tante melukai Putri sedikit saja, aku takan segan-segan meninggalkan Tante."Bukan tak marah dan kecewa saat Indra mengancam Sarah