Share

Bab 4

"Kami enggak mau pergi, mau tinggal dimana kalau kami meninggalkan rumah ini!" tangis ibuku pecah. Aku masih berdiri di depan pintu agar bisa menguping pembicaraan mereka.

"Mana kami peduli kalian mau tinggal dimana. Ingat, sertifikat rumah ini sudah ditangan kami. Karena kalian sudah tidak bisa membayar hutang kalian, saat ini juga rumah ini sudah menjadi milik kami!" ucap lantang renternir itu. Tentu saja aku sangat syok mendengar ucapannya.

"Pah, Mah. Untuk apa kalian berhutang?"

Papah dan Mamah berdiri dari tempatnya bersimpuh. Dia terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba. Terlebih aku datang membawa banyak barang pulang.

"Itu--" Mamah menggantung ucapannya. Dia menoleh kearah Papah seakan minta persetujuan pada Papah untuk menceritakan hal sebenarnya.

"Kenapa enggak jawab pertanyaanku, Mah?" tanyaku dengan nada marah. Papah menggelengkan kepala melarang Mamah mengatakan hal sebenarnya.

"Apa uang yang ku kasih selama ini kurang, Pah, Mah?" tanyaku dengan sorot mata kecewa kepada kedua orang tuaku.

"Cukup, Nak. Uang yang kamu kasih sangat cukup. Hanya saja ada sesuatu hal yang membuat kami berhutang sama renternir ini!" jawab Mamah.

"Aku mendesah panjang, jawaban dari Mamah tidak membuatku cukup puas. Harusnya mereka katakan saja apa sebenarnya yang terjadi.

"Berapa kalian hutang sama mereka?" tanyaku pada kedua orang tuaku. Aku punya sedikit tabungan, siapa tahu cukup untuk membayar hutang mereka. Kedua orang tuaku tak segera menjawab. Mereka menunduk dengan raut wajah takut.

"Aku tanya berapa hutang kalian?" bentakanku membuat mereka terlonjak kaget.

"Putri, jangan bentak-bentak kami! Papah enggak suka!"

"Makanya jawab pertanyaanku, Pah! Sumpah, aku kecewa sekali pada kalain berdua!"

Tak ada jawaban lagi dari kedua orangtuaku.

"Utang mereka 100juta. Belum bunganya. Totalnya jadi 150juta." sahut renternir yang meminjamkan uang pada orang tuaku. Mendengar jawaban lelaki itu tiba-tiba tubuhku menjadi lemah. Kalau uang sebanyak itu aku tak punya. Dalam tabunganku hanya ada 50 juta. Tak cukup untuk membayar semua hutang orangtuaku.

"Ya ampun, Pah, Mah. Buat apa kalian hutang sebanyak itu!"

Sekali lagi aku menatap kecewa kearah orangtuaku. Mereka hanya mengucapkan kata maaf tanpa berani menatapku.

"Hutang orangtuamu biar aku yang bayar!"

Aku menoleh ke sumber suara, ternyata Mas Indra membuntutiku sampai ke rumah.

"Enggak perlu, Mas! Udah, enggak usah ikut campur urusanku!" ucapku ketus pada lelaki yang datang bersama ibu tirinya.

"Put, jangan tolak lebaikan suami kamu sendiri. Kalau bukan dia yang menolong kita siapa lagi. Kamu mau kami tinggal di jalanan kalau rumah ini sampai di sita para renternir ini?" sahut Papah kemudian.

"Tenang saja aku enggak akan biarin kalian tinggal di jalanan kok meskipun rumah ini nantinya akan disita!"

"Jangan egois sayang, kenapa sih kamu jadi keras kepala gini!" sahut suamiku.

Sayang? Setelah beberapa saat yang lalu dia menamparku, masih berani dia menyebutku dengan sebutan itu!

"Aku enggak egois. Aku bakal kasih yang terbaik buat orangtuaku tanpa ngrepotin kamu!" ceplosku. Suamiku terdiam dengan menatap kecewa kearahku.

"Put. Semua masalah kamu berawal dariku. Aku minta maaf. Mulai sekarang aku janji akan berusaha menyukai kamu. Maaf, kalau selama ini aku kurang bisa nerima kamu sebagai menantu di rumah kami!"

Aku terdiam mendengar permintaan maaf dari Tante Sarah. Dia bicara lembut sekali sepertinya dia tulus mengucapkannya.

"Tante yang salah. Jadi tolong jangan akhiri rumah tangga kamu dengan Indra cuma gara-gara keegoisan Tante!"

Aku masih menunduk belum berniat merespon ucapannya.

"Kamu lihat tangan Indra. Dia melukai tangannya sendiri setelah nampar kamu. Dari situ Tante baru sadar kalau Tante sudah terlalu jahat sama kalian berdua!"

Aku menoleh ke arah tangan kanan suamiku yang di balut perban. Mendadak aku merasa kasihan pada lelaki itu.

"Dia sudah menghukum tangannya sendiri yang sudah nampar kamu. Jadi tolong, maafin dia, ya!"

Hatiku mendadak luluh mendengar ucapan Tante Sarah. Aku mendekat kearah Mas Indra lalu meraih tangannya.

"Ta...tanganmu kenapa, Mas?" tanyaku panik.

"Udah, enggak apa-apa. Ini enggak sebanding dengan apa yang sudah aku lakuin ke kamu. Maafin aku ya!"

Aku akhirnya mengangguk, kemarahanku mereda setelah melihat suamiku sudah melukai tangannya sendiri karena sudah menamparku.

"Ini uang 150 juta. Rumah ini tetap jadi rumah keluarga Putri. Awas kalau kalian berani usik lagi keluarga ini!" ucap Tante Sarah pada renternir yang masih berdiri di depan orangtuaku.

"Ok. Dan ini, aku kembalikan sertifikat rumah ini!" balas lelaki berwajah sangar itu. Kemudian dia dan anak buahnya pergi meninggalkan rumah orangtuaku.

"Putri, Indra! Kalian habis bertengkar?"

Aku gelagapan mendapat pertanyaan dari Papah.

"Ini salah saya, Pah. Maaf, ya. Karena sudah membuat anak Papah kecewa." Mas Indra yang menjawab.

"Sebenarnya Indra enggak salah apa-apa, yang salah itu saya. Saya masih belum bisa sepenuhnya nerima Putri jadi menantu di rumah kami. Tapi saya janji, mulai sekarang akan mencoba bersikap baik sama Putri. Saya tidak mahu rumah tangga Indra hancur karena keegoisan saya!" Tante Sarah menimpali.

"Ya sudah kalau kalian sudah menyadari kesalahan kalian. Kami selaku orangtua Putri hanya berharap kalian mau menjaga Putri dengan baik. Dia satu-satunya anak kami. Kami juga enggak akan terima jika sekali lagi kalian melukai satu-satunya anak kami!"

"Pah, Mah. Saya janji. Ini yang pertama dan terakhirnya saya kasar sama Putri." ucap Mas Indra. Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kembali pulang ke rumah Mas Indra. Orangtuaku banyak menasehati agar lain kali aku tidak kabur-kaburan seperti ini. Meski mereka tahu Mas Indra dan Tante Sarah yang salah, mereka juga tidak membenarkan sikap kekanak-kanakanku.

"Put, aku sudah menyuruh orangku untuk mengurus tiket ke Bali. Minggu depan kita bulan madu kesana. Gimana kamu suka?" tanya Mas Indra. Tentu saja aku sangat suka mendengar hal itu.

"Suka banget, Mas. Makasih ya!" ucapku kemudisn mencium pipi suamiku yang sedang fokus menyetir itu.

"Sama-sama, sayang." balas lelaki itu sambil tersenyum. Aku merasa suamiku makin bertambah sayang padaku setelah melakukan kesalahan tadi siang. Aku berharap dia akan terus seperti ini.

"Sayang, malam ini siap-siap, ya. Mas pastikan malam ini enggak ada yang ganggu kita lagi!" bisik suamiku setelah kami sampai di rumah.

"Apaan, sih, Mas. Nanti Tante Sarah dengar!" ucapku sambil menatap ke arah Tante Sarah yang baru turun dari mobil.

"Denger juga enggak apa-apa, Put. Kalian kan suami istri!" sela Tante Sarah sambil terkekeh. Baru kali ini dia begitu bersikap ramah padaku. Semoga ini bukan cuma sekedar berpura-pura saja.

Sampai di rumah kami langsung makan siang. Dira sudah menyiapkan semua makanan favoritku. Lagi-lagi aku merasa sangat terharu dengan kejutan-kejutan yang suamiku siapkan untukku.

"Ndra, tadi Papahmu bilang dia enggak bisa pulang cepet. Masih banyak hal yang harus diurusnya katanya. Boleh ya, Tante ikut ke Bali. Tante janji kok enggak akan ganggu kalian lagi!" ucap Tante Sarah. Meski dia sudah bersikap baik padaku, entah kenapa aku masih kurang merasa nyaman dengan permintaanya sekarang.

"Tan, maaf enggak bisa. Sementara waktu kami ingin berduaan saja." jawaban suamiku membuat moodku kembali membaik. Aku tersenyum senang kearahnya.

"Ya udah kalau enggak boleh. Nanti Tante keluar saja sama temen-temen Tante buat ngusir kejenuhan."

"Aku sih enggak larang kalau Tante ingin keluar sama mereka. Yang penting Tante tahu waktu saja pulangnya. Jangan sampai pulang kemaleman."

"Iya-iya. Tante tahu waktu, kok!"

"Mas, biar kita tenang bepergian. Kenapa kita enggak cari sopir pribadi saja untuk Tante Sarah. Jadi kejadian seperti tadi siang enggak akan terulang lagi!" selaku di tengah perbincangan mereka.

"Tante Sarah punya trauma. Jadi dia enggak bakalan mau." jawab suamiku sambil mengunyah makanan.

"Trauma soal apa, Mas?" tanyaku pada suamiku.

Lelaki itu menoleh kearah ibu tirinya. Seolah meminta persetujuan wanita itu untuk menceritakan hal sebenarnya padaku. Tante Sarah mengangguk memberi izin.

"Tante pernah di lecehkan sopir pribadinya. Untung malam itu aku pulang enggak terlalu malam jadi bisa nyelametin Tante Sarah dari kejahatan lelaki jahat itu!"

"Jahat sekali lelaki itu." responku dengan nada kesal.

"Orangnya sudah mendekam di penjara sekarang. Dia padahal orang kepercayaan Papah!"

"Syukurlah kalau dia sudah di penjara. Orang jahat sepertinya pantas di hukum!" sahutku lagi.

"Makanya sampai sekarang Tante trauma. Jadi kemana-kemana harus aku yang anterin baru dia merasa aman!"

Aku merasa tertampar mendengar ucapan suamiku. Sebelumnya aku melarangnya pergi dengan Tante Sarah karena salah paham saja. Setelah tahu kejadian ini aku janji pada diriku sendiri tidak akan melarang suamiku lagi jika ingin mengantarkan ibu tirinya berbelanja maupun kemanapun wanita itu pergi.

"Maaf, ya, Mas. Maaf juga ya, Tante. Harusnya tadi aku enggak larang kalian pergi bareng."

"Udahlah, Put. Enggak usah bahas ini lagi, kamu enggak salah. Yang salah itu Tante!" Tante Sarah menggenggam tanganku.

"Tidak seharusnya Tante ganggu kalian yang masih pengantin baru. Tante sadar Tante memang ibu mertua yang egois!" lanjut wanita itu lagi.

"Kalian berdua enggak ada yang salah. Yang salah itu Papah. Perjalanan bisnis kok lama banget. Enggak kasian apa sama istrinya mau kemana-mana jadi bingung mau diantar sama siapa!"

Sontak aku dan Tante Sarah tertawa mendengar ucapan Mas Indra. Sebenarnya jujur aku juga penasaran kenapa Ayah mertuaku selalu saja pergi sendirian tak membawa Tante Sarah saat melakukan perjalanan bisnis. Namun menurutku bukan sekarang waktu yang tepat untuk bertanya hal ini. Hubungan kami bertiga baru saja membaik, aku tak mau merusak suasana bahagia ini.

"Mas, aku duluan naik, ya. Tiba-tiba perutku sakit!" ucapku pada Mas Indra.

"Ok, Put. Nanti Mas nyusul keatas kalau sudah selesai makan!" jawab suamiku.

"Baik, Mas."

Aku sedikit berlari saat menaiki anak tangga. Namun karena tak hati-hati aku terpeleset. Entah kenapa aku merasa tangga sedikit licin.

"Aaa...!"

Aku menjerit saat tubuhku menggelinding ke bawah.

"Ya, ampun Putri. Kamu kenapa?" ucap suamiku panik sambil mendekat kearahku.

"Tangganya licin banget, Mas. Untung aku belum terlalu tinggi naiknya!" jawabku dengan menahan sakit di tubuhku.

"Kamu pasti enggak hati-hati naiknya. Sini Mas tolong angkat kamu keatas!"

Mas Indra membopong tubuhku naik ke lantai atas, aku mengalungkan tanganku sambil menatap penuh haru kewajah suamiku.

"Mas, anterin aku ke toilet dulu. Perutku masih sakit!" bisikku ke telinga suamiku.

"Ok!"

Suamiku membuka pintu kamar, lalu menuju toilet yang ada dalam kamar kami.

"Nanti kalau sudah, Mas gendong lagi. Badanmu masih terasa sakit?"

"Iya, Mas. Sakit banget. Maaf ya, sudah merepotkan kamu!"

"Aku enggak merasa di repotkan, kok!"

Mas Indra segera menutup pintu toilet. Dia dengan sabar menungguiku di depan pintu.

"Mas, sudah selesai!" ucapku. Suamiku kembali membuka pintu toilet lalu kembali menggendongku ke atas ranjang.

"Mas panggilkan Dokter Hasan, ya. Mas takut kamu kenapa-kenapa!" ucap suamiku dengan raut wajah khawatir.

"Enggak usah, Mas. Kayaknya aku cuma butuh istirahat nanti juga rasa sakitnya ilang!"

"Ya, udah. Kamu istirahat dulu. Aku akan selalu jagain kamu disini takut nanti kamu butuh bantuanku!"

"Makasih banget ya, Mas."

Aku pun segera memajamkan mata. Jujur badanku terasa sakit sekali saat ini. Semoga saja rasa sakitku sedikit mereda setelah bangun nanti.

"Mas...!"

Aku meraba ke samping kanan, Mas Indra ternyata sudah tak ada disampingku. Aku bangkit sambil melirik jam di dinding kamar. Jam sudah menunjukan pukul 5 sore, entah kemana Mas Indra sekarang. Di balkon dan kamar mandi pun dia tak ada.

Dengan langkah tertatih aku keluar kamar, ku dengar isak tangis Tante Sarah di kamarnya. Beberapa saat kemudian ku dengar suara Mas Indra menenangkan wanita itu.

Perasaanku mulai tak enak. Aku melangkah dan mendorong pintu kamar Tante Sarah yang memang tak tertutup rapat. Alangkah terkejutnya aku saat melihat pemandangan di depanku. Tante Sarah tengah menangis di dada bidang suamiku. Aku menutup mulutku dengan telapak tangan karena sangat syok melihat apa yang di lakukan kedua orang itu. Mungkinkah kedua orang itu diam-diam menjalin hubungan di belakangku?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
autornya gak niat lanjutin ceritanya...
goodnovel comment avatar
Nur Janah
ank m ibu tiri sama² gila
goodnovel comment avatar
NURUL LAILI MUFIDA
papa indra pulang cepat dong selametin tuh mantu kamu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status