Share

Bab 3

Aku menatap punggung suamiku dengan perasaan hancur. Dia begitu terburu-buru pergi hingga tak sadar perkataannya barusan membuatku begitu sakit hati. Kali ini aku akui aku yang salah, tapi tidakkah dia berfikir, aku melarangnya pergi mengantarkan Tante Sarah juga karena ada alasannya.

Satu persatu ku ambil kembali pakaianku yang berserakan di lantai. Ku kenakan lagi pakaian itu dengan air mata yang menetes. Kebahagian yang ku impikan setelah menikah sepertinya takan pernah terwujud jika kami masih satu atap dengan ibu tirinya.

Siang ini perasaanku kacau, disatu sisi aku ingin menghubungi suamiku menanyakan keadaan Tante Sarah. Di sisi lain, aku merasa gengsi melakukannya terlebih dahulu. Kalimatnya beberapa jam lalu masih terngiang jelas di telinga. Rasa sakit dan kecewa membuatku enggan menghubungi lelaki yang baru kemarin sah jadi suamiku.

Di tengah rasa gelisahku, tiba-tiba ku dengar suara bel berbunyi. Bergegas aku bangkit dari dudukku kemudian berjalan kearah pintu.

"Dira, kamu sudah pulang? Gimana keadaanmu, baik-baik saja?" tanyaku pada Dira dengan memperhatikan bagian tubuhnya, takut ada yang terluka.

"Iya, Mbak. Saya baik-baik saja. Saya sangat bersyukur Nyonya Sarah berhasil mengendalikan mobilnya."

"Berhasil mengendalikan mobilnya? Bukannya mobil Tante Sarah nabrak pembatas jalan, ya?" tanyaku dengan raut wajah penasaran.

"Belum sampai nabrak kok, Mbak. Nyonya Sarah ngerem tepat waktu. Lagian dia nyetir mobilnya juga pelan-pelan, jadi enggak sempai terjadi apa-apa sama kami berdua."

"Apa?"

Tanganku mengepal mendengar ucapan Dira. Jadi, wanita itu sudah berbohong pada suamiku agar suamiku panik dan menyalahkanku seperti tadi.

"Loh, Mbak. Kok kayak enggak suka denger kita baik-baik saja?" tanya Dira dengan raut wajah kesal. Sepertinya dia sudah salah paham.

"Bukan enggak suka, Dir. Kamu jangan salah paham. Tadi suamiku bilang kalian ada di rumah sakit soalnya jadi aku pikir keadaan kalian cukup parah."

"Enggak parah kok, Mbak. Bahkan sekarang Nyonya Sarah kembali pergi menuju ke mall di temani suami Mbak."

"Apa?"

Sekali lagi aku merasa sangat syok mendengar penjelasan Dira. Bisa-bisanya Mas Indra mengantarkan wanita yang jelas-jelas sudah membohonginya. Aku muak dengan keadaan ini, jika aku terus diam saja seperti ini, Tante Sarah akan terus merasa menang.

Ku hubungi nombor suamiku dengan perasaan dongkol, nombor terhubung tapi yang angkat malah Tante Sarah.

[Hallo, Put. Ada apa?] tanya Tante Sarah. Aku menggelengkan kepala mendengar wanita itu masih bisa berbicara santai padaku setelah apa yang dia lakukan. Awalnya aku ingin langsung memaki wanita itu karena sudah membohongi suamiku tapi setelah memikirkan dampak besar yang akan terjadi aku kemudian mengurungkan niatku.

[Aku mau ngomong sama suamiku, Tan. Mana dia?]

[Suamimu lagi fokus nyetir, enggak bisa pegang hp!]

[Pokoknya, aku mau ngomong sama dia, Tan. Aku enggak peduli gimana caranya!]

[Kamu mau buat kami kecelakaan? Gila kamu, ya!]

Panggilan tiba-tiba terputus. Aku hampir saja membanting ponselku saking marahnya.

Kesabaranku benar-benar habis sekarang, aku sudah tak sanggup melanjutkan pernikahanku kalau begini terus. Segera ku kirim pesan suara untuk memberi dua orang itu pelajaran.

[Mas, aku tunggu tiga puluh menit dari sekarang. Kalau kamu enggak pulang, aku pergi dari rumah kamu.]

Pesan terkirim. Aku segera melangkah ke kamar untuk mengemasi barang-barangku. Sudah cukup aku mengalah. Di awal pernikahan saja, aku sudah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan seperti ini. Apalagi nanti.

Barangku di rumah ini tak banyak, untuk itulah aku tak perlu menghabiskan banyak waktu mengemasi semuanya.

"Mbak Putri mau kemana?" Dira terlihat syok melihat aku menuruni anak tangga membawa barang-barangku.

"Mau pulang, Dir."

"Loh, kok tiba-tiba gini? Apa Mbak berantem sama Tuan muda?" tanya wanita itu lagi. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaannya. Waktu yang ku berikan pada suamiku sudah habis namun lelaki itu belum juga menunjukan batang hidungnya. Bahkan, membalas pesanku juga tidak. Dia pikir aku main-main dengan ancamanku.

"Mbak, jangan pergi Mbak. Nanti saya harus jawab apa kalau Nyonya Sarah tanya."

Dira mencoba menghentikanku.

"Dia sudah tahu aku akan pergi jadi dia enggak akan banyak tanya sama kamu!" balasku sambil menyeret koper menuju teras.

"Aduh, Mbak. Nanti saja perginya. Kenapa tak tunggu Nyonya sama Tuan Indra pulang saja?"

"Minggir, Dira!"

Dira terus berusaha menghalangi kepergianku. Aku menepis tangannya yang berusaha meraih koperku.

"Mbak, jangan nekat pergi Mbak!"

Aku tak menggubris teriakan Dira. Ku percepat langkahku menuju taksi online yang sudah ku pesan.

"Put, tunggu. Jangan pergi dulu!"

Mas Indra menurunkan kaca mobilnya di depan gerbang rumah saat melihatku masuk dalam taksi online. Pulang juga ternyata dia.

Awalnya aku hendak menuruti perintahnya namun melihat sosok wanita yang turun dari mobilnya membuatku mengurungkan niatku. Entah kenapa aku begitu membenci wanita itu sekarang. Jika dia tak suka aku menjadi menantu di keluarga ini, harusnya dari awal dia tak ikut memberi restu pernikahanku dan Mas Indra. Bukan malah mengacaukan hubungan kami saat kami baru saja sah menjadi suami istri.

"Pak, jalan!" perintahku pada sopir taksi yang kutumpangi.

"Baik, Mbak." jawabnya kemudian.

Mobil dengan cepat melaju, namun siapa sangka beberapa saat kemudian mobil Mas Indra memepet dan memaksa taksi ini berhenti di pinggir jalan.

"Put, keluar! Aku mau ngomong sama kamu!" ucap Mas Indra sambil mengetuk kaca mobil. Sebenarnya aku sama sekali tak berniat keluar namun aku merasa tak enak pada sopir taksi yang ku tumpangi karena Mas Indra terus saja mengganggu perjalanan kami.

"Pak, tunggu bentar, ya. Nanti saya akan bayar lebih."

"Baik, Mbak."

Aku pun segera turun dari taksi, Mas Indra langsung menggenggam kedua tanganku.

"Maafin aku, karena tadi telat beberapa menit, Put. Jalanan macet dan--"

"Aku enggak mau tahu, waktu yang ku kasih sudah habis jadi aku harus tetap pergi dari rumah kamu!"

"Put, kita baru nikah. Apa kata orangtuamu nanti kalau kamu sudah kabur-kaburan seperti ini!"

"Justru karena aku baru nikah sama kamu jadi aku berani seperti ini. Lebih baik aku mundur awal-awal daripada harus bertahan sama orang egois yang selalu mengutamakan ibu tirinya di banding istrinya sendiri!"

"Put, apa kamu enggak kasihan sama Tante Sarah. Dia kecelakaan karena menyetir sendiri tadi!"

"Untuk apa aku kasihan sama wanita pembohong itu?" jawabku tegas.

"Wanita pembohong? Beraninya kamu bilang seperti itu pada Tantr Sarah, Put!" bentak Mas Indra.

"Kenapa Mas selalu enggak terima aku berbicara fakta tentang wanita itu, hah? Yang aku katakan itu kenyataan. Dia itu pembohong! Dia bilang sama kamu di telepon kalau dia kecelakaan dan masuk rumah sakit. Tapi kata Dira tadi mobilnya sama sekali tak menyentuh pembatas jalan. Apa itu namanya kalau bukan pembohong!"

Plak!

Perih, rasanya sangat perih mendapatkan tamparan dari Mas Indra. Semua yang ku katakan itu fakta, tapi tetap saja dia tak terima.

"Makasih tamparannya, Mas. Aku semakin yakin untuk bercerai dengan kamu."

Aku masuk kembali dalam taksi setelah berkata. Mas Indra panik dan meminta maaf sambil mengetuk kaca mobil. Namun sedikit pun aku tak menoleh ke arah lelaki itu. Rasa cinta yang selama ini kumiliki berubah menjadi kekecewaan yang mendalam.

"Mbak, sudah sampai!" ucap sopir taksi itu membuyarkan lamunanku. Aku membuka dompet lalu membayar ongkos beberapa kali lipat dari harga seharusnya. Aku merasa tak enak karena perjalanan kami sempat di ganggu oleh Mas Indra.

Ragu aku turun dari taksi yang ku tumpangi, entah apa alasan yang akan ku berikan pada kedua orangtuaku jika mereka bertanya apa yang telah terjadi.

"Ampun, Tuan! Jangan usir kami. Ampun!"

Baru masuk dalam pagar rumah aku mendengar teriakan Ayahku dari dalam rumah orangtuaku. Bergegas aku berlari hendak masuk dalam rumah demi melihat apa yang terjadi.

"Saya sudah kasih waktu kalian tiga bulan untuk membayar hutang kalian, tapi kalian tidak bisa membayarnya. Untuk itu sekarang juga mending kalian pergi dari rumah ini!"

Hutang? Untuk apa orang tuaku berhutang? Bukankah tiap bulan aku selalu memberikan separoh gajiku untuk mereka. Lalu, kenapa mereka masih berhutang?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status