LOGINKeduanya berjalan bersama turun ke bawah.
Setibanya di ruang makan, Laura segera menarik kursi untuk suaminya. Lalu dia mengambilkan roti dan menyiapkan kopi. Dari arah belakang, terdengar suara sepatu mendekat. Benar, dia adalah David Sanjaya—paman Rendra yang semalam baru datang dari luar negeri. Melihat pamannya, Rendra tampak terkejut, sementara David menyunggingkan sebuah senyuman. “Kenapa kamu terkejut seperti itu, Rendra?” tanya David santai, lalu menarik kursi. “Tidak, Paman. Kapan Paman datang? Kenapa tidak mengabari aku terlebih dahulu?” Rendra terlihat gugup, entah karena terkejut bertemu pamannya atau ada hal lain yang ia sembunyikan. “Kamu sangat sibuk, jadi aku tidak mau merepotkan kamu dengan kedatanganku,” ujar David sambil mengambil roti yang tersaji di atas meja makan. Rendra mengangguk kemudian menyantap rotinya dalam diam. Sementara itu, netra David terus mengikuti gerak-gerik Laura. “Halo, Laura,” sapa David berbasa-basi. “Ha-halo, Pak David,” balas wanita itu gugup. Saking gugupnya, dia tidak berani menatap wajah David. “Masih saja memanggil Pak, sekarang aku adalah pamanmu.” Pria itu tertawa dengan netra yang masih menatap wajah cantik istri keponakannya. Laura mengangguk, lalu menelan ludah sebelum berkata, “Halo, Paman,” sapanya sekali lagi. “Begitu lebih baik,” ujar pria itu. Hening kini menyelimuti mereka, hanya terdengar suara pelan saat menikmati sarapan. Hingga tak lama, suara David kembali mencuat. “Lusa aku akan aktif kembali di kantor.” Mendengar ucapan David, Rendra yang tengah fokus makan jadi tersedak. “Hati-hati, Mas.” Laura segera mengambilkan air. David yang melihat keponakannya tersedak justru tersenyum miring. “Apa kamu tidak suka aku kembali ke kantor?” Pertanyaan itu terdengar tenang dan dingin di saat yang bersamaan. Perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur perhiasan itu awalnya memang dipegang oleh David sebagai CEO. Di tangannya, perusahaan tersebut melesat hingga menjadi perusahaan perhiasan nomor satu. Namun, tiba-tiba, David memutuskan pergi ke luar negeri dan memberikan jabatan CEO pada keponakan angkatnya, yang tak lain adalah Rendra. Setelah tiga bulan, dia kembali dan ingin menjabat sebagai CEO lagi? Berita ini tentu saja mengejutkan, tidak hanya bagi Rendra, tapi juga Laura yang terdiam di kursinya. Rendra buru-buru menggeleng, “Tidak, Paman. Kenapa paman berpikiran seperti itu?” “Syukurlah, aku pikir kamu tidak suka,” sahut David santai, lalu kembali menikmati sarapannya. Selepas makan, mereka semua kembali ke lantai atas. Rendra yang awalnya ingin istirahat di rumah, tiba-tiba memutuskan pergi ke kantor. “Loh, kenapa Mas? Katanya mau istirahat?” Wanita itu kebingungan melihat sang suami yang berganti pakaian dengan buru-buru. “Tiba-tiba ada urusan, Sayang,” sahut Rendra. Helaan nafas keluar dari bibir Laura. “Istirahatlah dulu, Mas. Baru saja pulang kenapa mau pergi lagi?” Rendra tersenyum kemudian mendekati istrinya. “Istirahatnya nanti saja kalau pulang dari kantor.” Pria itu lantas mengecup kening sang istri. Sementara itu, di kamarnya, David tampak mengepalkan tangan ketika membaca laporan yang dibawa oleh orang kepercayaannya. “Kamu ingin menghancurkan perusahaanku?” David mendengus sinis. “Jangan harap!” Pria itu meremas dokumen di tangannya, lalu membuangnya ke tempat sampah. Selama ini, David sudah berbaik hati dan mengalah pada Rendra. Namun, yang dia dapat hanya sebuah pengkhianatan. David menyergah napas kasar. “Padahal aku sudah berbaik hati padamu, Rendra,” desisnya dengan suara serupa bisikan. Dia tidak akan tinggal diam. David lantas memerintahkan orang kepercayaannya itu untuk membuat ruangan baru di kantor. “Ruang kosong di samping ruang CEO jadikan ruanganku. Atur sedemikian rupa dan cermin di ruangan Rendra ganti menjadi cermin dua arah.” Orang kepercayaannya mengangguk, lalu ia pamit undur diri karena harus segera melaksanakan titah tuannya. Merasa bosan di kamar, David memutuskan untuk keluar. Senyumnya tersungging ketika tak sengaja melihat Laura. “Laura.” Suara David menghentikan langkah Laura yang hendak masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu berhenti di depan pintu. “Ada apa, Paman?” tanyanya gugup. Ia segera menunduk ketika bertemu pandang dengan paman suaminya itu. “Kenapa kamu selalu menunduk ketika melihatku?” David tiba-tiba mengangkat dagu Laura, memaksanya mendongak hingga tatapan mereka bertemu. Laura menelan ludah, tidak mengantisipasi jarak di antara mereka begitu dekat. “Kamu Paman Mas Rendra, ja-jadi aku harus sopan,” jawab Laura, lalu mundur selangkah dan kembali menundukkan kepala. David tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, jika itu alasanmu.” Kini netra David tertuju ke dalam kamar Laura dan Rendra. Pria itu tiba-tiba masuk ke dalamnya tanpa izin. Laura buru-buru mengejar David. “Paman, kenapa kamu masuk ke dalam kamar pribadiku dan Mas Rendra?” Tampak wanita itu tak suka karena David masuk kamarnya begitu saja. Bukannya segera keluar, David justru masuk lebih dalam ke area kamar pribadi keponakannya itu. “Kamar ini….” David terlihat mengepalkan tangannya. Kamar ini tadinya adalah kamarnya. Keponakannya itu mengambilnya tanpa izin. Tapi dia harus meredam amarahnya, lagipula dia bisa mengambilnya kembali nanti. “Lebih baik Paman keluar! Sikap Paman ini jelas tidak sopan sama sekali!” Laura mulai marah karena David bersikap sesukanya. Tapi… pria itu malah tertawa. Tanpa terduga tangannya justru melingkar di pinggang Laura, membuat wanita itu terkesiap. “Asal kamu tahu Laura, ini rumahku!” Hanya dengan satu hentakan, tubuh David dan Laura kini berdempet tanpa jarak. Laura terkesiap. Aura David yang mengintimidasi membuatnya gemetar. “Me-meski ini rumah Paman, tapi tetap harus menjaga kesopanan.” Laura berujar sambil berusaha melepaskan diri dari David. Namun, pergerakan Laura justru membuat pria itu semakin mengeratkan dekapannya. Tubuh Laura meronta dengan kuat. “Lepas, jaga sikap Paman! Aku ini istri Rendra!” “Tidak ingatkah kamu semalam memohon padaku untuk disetubuhi, Laura?” bisik pria itu. Raut wajah Laura seketika memucat. Amarahnya dengan cepat menghilang. Kilatan-kilatan kejadian semalam kembali datang, membuatnya malu sekaligus merasa bersalah. “Maafkan aku Paman … semalam aku mabuk.” Laura berhenti meronta. Tenaganya seolah terkuras tanpa sisa. “Mabuk atau tidak, kamu telah mencuri hal yang berharga dariku,” ujar David, membuat Laura menatapnya tak percaya. “Jadi kamu harus bertanggung jawab.” Laura terdiam. Perlahan, emosinya merangkak naik kembali. Seharusnya dialah yang kehilangan sesuatu berharga itu. Kenapa malah David yang minta pertanggungjawaban?! “Apa maksud, Paman?” tanya Laura. Tangannya terkepal di samping tubuh. David tersenyum miring. Dengan suara rendah, ia berkata, “Aku ingin kamu selalu melayaniku, Laura.”“Sayang besok aku harus ke luar negeri selama 3 hari, kamu nggak papa kan aku tinggal sendiri.” David nampak cemas meninggalkan istrinya sendiri tapi dia juga harus ke luar negeri untuk mengurusi bisnisnya. Laura menggeleng tentu dia tidak apa-apa toh di rumah ada ART dan juga Rendra. “Nggak papa Mas, kan ada Mas Rendra dan juga Art.” Laura tersenyum menatap suaminya.David sangat was-was, takut kalau Laura kenapa-kenapa di rumah selama dia tidak ada.Pukul 06.00 pagi David, Revan dan Laura sudah berada di bandara, Laura melambaikan tangan ketika David sudah masuk ke dalam. “Cepat pulang ya Mas.” teriak Laura sambil tersenyum.Selepas mengantar David, Laura langsung pulang, hari ini David melarangnya pergi ke kantor karena memang tidak ada pekerjaan. Wanita itu menurut saja kebetulan dirinya juga kurang enak badan. Saat melihat makanan di meja makan, tiba-tiba perutnya bergejolak. “Aku kenapa ya kenapa mual begini.” Gumam Laura heran. Menunggu rasa mualnya menghilang Laura berg
“Pak dia bisa mati.” Bisik Gio. Setelah berpikir sejenak, pria itu melepaskan cekikannya. “Sekali lagi kamu berkata buruk tentang Laura, siap-siap menemui malaikat maut!” Hardik Erik. Anisa bergegas pergi sebelum dia benar-benar bertemu malaikat maut. Di depan gerbang kantor Erik, Anisa mengumpat lagi. Dia mengutuk Erik dan Laura agar tidak selamat. “Semoga kamu yang akan bertemu malaikat maut!” Teriaknya kesal. Kini Anisa bingung sendiri, Rendra sudah tidak bisa diharapkan, apakah dia harus kembali ke kotanya dengan tangan kosong? Apakah impian menjadi istri David harus pupus? “Sudahlah yang penting cari aman dulu, nanti bisa kembali lagi di waktu yang pas.” #####Sore itu Setibanya di rumah Erik langsung masuk ke dalam kamarnya ketika dia membuka pintu terlihat pemandangan yang sangat indah. Air liurnya mengucur deras, hasrat yang selama ini tak pernah bangun tiba-tiba merengek, meronta ingin dipenuhi. “Wanita ini bisa-bisa tak memakai pakaian sama sekali.” Kakinya melang
Anisa merebut ponsel yang dibawa David, alangkah terkejutnya dia melihat dirinya sendiri dalam video itu. “Laura kamu!” Dia menatap tajam ke arah Laura ternyata Laura tak selugu yang dia kira, siapa sangka dia sudah menyiapkan diri. “Mau apa sekarang?” Tantang Laura kemudian mengambil ponselnya kembali. “Trik-trik seperti ini sudah aku pelajari, kamu pikir aku tidak tahu akal busukmu Anisa!” David benar-benar tak habis pikir dengan sikap Anisa, siapa sangka teman masa kecilnya itu kini berubah menjadi wanita licik dan penuh intrik. “Sikapmu kali ini benar-benar keterlaluan Anisa! Sepertinya kamu sengaja ingin membuat aku dan Laura salah paham.” Ujarnya tegas. Dengan air mata yang berderai, Anisa mencoba menjelaskan kalau ada salah paham. “Bukan seperti itu David, ada salah paham disini.” Ucapannya menatap David dan Laura secara bergantian. Salah paham? David dan Laura tertawa kecil, sudah jelas kalau Anisa ingin berulah. “Salah paham, apa matamu buta! Di video itu jelas-jelas
Netra Anisa menatap David, berharap dia itu mencegah istrinya untuk bertindak lebih. “David apa kamu juga akan mengusirku dari sini?” tanyanya. “Kalau istriku berkata demikian aku bisa apa,” jawab David yang membuat tubuh Anisa terhuyung ke belakang. Kakinya terasa lemas ia tak percaya kalau teman masa kecilnya itu akan mengusirnya. Anisa sangat kesal kalau dia tidak tinggal di rumah David lantas bagaimana bisa membuat David menjadikannya istri kedua? “Aku tidak mau David, aku mohon.” Wanita itu menangis, merengek pada teman masa kecilnya itu. Saat bersamaan Rendra datang, “Ada apa Anisa?” Tanya Rendra yang turut bergabung dengan mereka semua. “David dan Laura meminta aku pergi dari sini Ren?” Dia mencoba mengadu pada Rendra. “Memang begitu seharusnya.” Ternyata Rendra juga setuju kalau Anisa tidak tinggal bersama dengan mereka. Mendengar respon Rendra, sepertinya dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi. “Besok berkemaslah biar Rendra yang akan mengantar ke hunianmu yang baru.”
“Aku menyuruhmu untuk lembur dan menyelesaikan pekerjaan ini tapi kenapa sampai sekarang masih belum kamu kerjakan?” atasan Citra membanting berkas tepat di hadapannya.Wanita itu tersentak, baru saja sampai ruangan sudah dimarahi. “Maaf Bu hari sabtu kemarin saya sudah ada janji jadi harus segera pulang.” Jawab Citra sambil menatap atasannya sebentar kemudian menunduk. Wanita paruh baya itu menarik kursi kemudian duduk sambil menatap Citra dengan tajam. “Seharusnya masalah pekerjaan kamu selesaikan terlebih dahulu.” Ujarnya. Citra menjelaskan kalau janjinya tidak bisa ditunda bahkan pekerjaan ini tidak lebih penting dari janjinya. Mendengar ucapan Citra atasan itu menjadi murka, darahnya seakan mendidih. Baru kali ini ada bawahan yang berani mengesampingkan pekerjaan kantor demi janji yang mungkin nggak penting. “Kalau begitu pergilah ke ruangan HRD dan minta pesangon! mulai hari ini kamu aku pecat!” Citra menggeleng memohon pada atasannya itu supaya tidak dipecat. “Saya moho
Namun semua berbeda, Citra justru berjalan di depan Erik. Wanita itu seolah menjadi bodyguard bagi Erik. Apakah Citra yang akan menjadi Heronya? “Citra kamu apa-apaan! kalau ada hantu, apa kamu nggak takut?” Erik langsung protes mendapati dirinya justru dilindungi Citra, hal ini jelas membuat harga dirinya jatuh. “Tenang saja saya nggak takut sama hantu hantu jadi-jadian, hantu beneran saja malah saya ajak bicara.” Sahut Citra. Erik melongo menatap punggung istrinya sepertinya dia salah tempat mengajak Citra masuk ke dalam rumah hantu. “Astaga dia malah pawangnya.” Pria itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Saat mereka berjalan tiba-tiba di samping Erik ada tuyul yang mengikutinya, pria itu berteriak bukan karena takut tapi terkejut. Melihat ekspresi Erik Citra tertawa, “Anda takut?” Terdengar mengejek. “Siapa yang takut! aku hanya terkejut tiba-tiba ada anak kecil di sampingku!” Sambil mengelus dadanya karena jantungnya masih belum berhenti berdegup. Tuyul itu tersenyum







