Keesokan paginya, Lea terbangun setelah tak sengaja mendengar suara berisik dari alarm. Dengan mata berat, ia membuka mata dan sebuah pemandangan tak biasa mengejutkan wanita itu. Bagaimana bisa Kayden Easton tidur tepat di sampingnya?!
Lea terkejut dan langsung melompat dari tempat tidur, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya seolah tercekat begitu saja. Lea berniat membangunkannya, namun pria itu tiba-tiba membuka matanya.
“Apa yang terjadi? Mengapa kamu tidur di ranjangku dan Noah?” tanya Lea panik.
Kayden tersenyum miring. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan di kamarku?”
Lea kembali terkejut. “A-apa? A-aku pikir ini kamar pengantin,” jawabnya dengan suara tergagap.
Kayden tertawa pelan. “Jangan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Aku tahu kamu memang sengaja ingin naik ke atas ranjangku, Lea Rose!”
Seluruh wajah Lea memerah karena merasa malu sekaligus marah. “Apa maksudmu? Aku sungguh tidak sengaja masuk ke kamar ini!” elaknya.
Usai mengatakan hal tersebut, Lea segera berlari menuju pintu. Ketika ia berada tepat di ambang pintu kamar, sebuah suara bariton tiba-tiba mengudara.
“Kau sudah masuk ke dalam sarangku, jangan harap kau bisa lepas begitu saja dariku.”
Lea segera berlari keluar dari kamar Kayden dengan jantung yang berdetak dua kali lebih cepat. Dengan wajah panik, ia berlari menuju kamar yang terletak tak jauh dari sana. Kali ini Lea yakin tidak salah lagi, kamar yang ada di hadapannya benar-benar kamar pengantin.
Setelah menarik napas panjang untuk menenangkan diri, Lea mendorong pintu dan mendapati kamar itu kosong. Tidak ada tanda-tanda Noah di dalamnya. Sejujurnya Lea merasa sedikit lega, setidaknya ia tak perlu memberikan penjelasan apa pun pada suaminya itu.
Dengan tubuh yang masih bergetar, Lea melangkah masuk ke dalam kamar. Kedua matanya berkeliling menatap kamar yang tampak bersih dan rapi. Semuanya terlihat seperti belum tersentuh.
“Apa Noah belum pulang?” gumamnya pelan.
Lea menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, lalu membuang napas panjang melalui mulut. Bayangan tentang kejadian tadi terus berputar di kepalanya. Bagaimana mungkin ia bisa salah masuk kamar dan tidur di ranjang Kayden?
Lea mendesah frustasi. Jika saja seseorang mengetahui kejadian tersebut, apa yang akan mereka pikirkan? Seorang pengantin wanita yang baru saja menikah, malah tertidur di kamar kakak iparnya pada malam pertama. Bukankah itu terdengar sangat konyol?
“Mengapa aku bisa salah masuk kamar? Lea, kamu benar-benar wanita bodoh!” Lea merutuk sambil mengacak rambutnya sendiri.
Di tengah rasa frustasi, suara ketukan pada pintu menginterupsi Lea. Ia bangkit berdiri, lalu melangkah menuju pintu dan membukanya. Kedua mata Lea membelalak saat wajah tampan Kayden Easton menyambutnya.
Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tampak santai tetapi sukses membuat Lea merasa tertekan. “Kamu meninggalkan ini di kamarku,” ucap Kayden sambil menyerahkan sepasang sepatu Lea yang tertinggal.
Lea mengambil sepatu itu dengan cepat. “Terima kasih,” ucapnya kemudian mencoba menutup pintu, tetapi Kayden menahan pintu menggunakan tangannya.
“Kita perlu bicara,” ujar Kayden dengan tatapan serius.
Lea meneguk saliva dengan sedikit payah, kemudian mendongak untuk menatap Kayden. “B-bicara soal apa?” tanyanya gugup.
Kayden tidak menjawab. Pria itu lantas mendorong pintu hingga terbuka lebih lebar dan masuk tanpa seizin Lea. Tubuhnya yang tinggi dan tegap membuat Lea refleks melangkah mundur.
“Apa yang ingin kamu bicarakan, Kakak Ipar?” tanya Lea semakin gugup.
Kayden tiba-tiba tersenyum. “Apa kamu tidak ingat yang terjadi tadi malam?” ucapnya kembali mengungkit kejadian tadi malam.
“Itu kecelakaan! Aku benar-benar tidak sengaja masuk ke kamarmu karena aku pikir itu adalah kamar pengantin,” jawab Lea buru-buru.
Kayden mengangguk, tetapi matanya semakin dalam menatap Lea. “Mungkin begitu. Tapi orang lain tidak akan berpikir seperti itu, bukan? Terlebih lagi, kita berdua sudah berciuman,” katanya dengan nada yang terdengar menekan.
Lea merasa jantungnya berhenti sejenak. “A-apa? Kita berciuman?” tanyanya tergagap.
Kayden mendekat, membuat Lea semakin mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, hingga jarak di antara mereka semakin tipis. “Ya, tadi malam kamu seperti gadis liar,” bisiknya dengan nada suara yang berubah menjadi lebih lembut, tetapi ada ancaman terselubung di baliknya. “Aku bisa saja memberi tahu Noah atau siapa pun tentang apa yang terjadi di antara kita. Tapi, aku tidak akan melakukannya … selama kamu tahu posisimu.”
Mata Lea membelalak lebih lebar. “P-posisi? Apa maksud kamu?”
Kayden mengulurkan tangannya, menyentuh ujung rambut Lea yang tergerai. Sentuhan itu membuat Lea tidak nyaman dan semakin merasa tertekan. “Kamu milikku, Lea Rose. Aku tidak peduli apa statusmu sekarang. Apa pun yang terjadi, kamu tidak akan bisa lepas dariku.”
Lea refleks mendorong dada Kayden dengan cukup kuat, namun tindakannya tersebut justru membuat Kayden menariknya semakin mendekat.
“Kamu pasti sudah gila! Aku istri Noah, adikmu sendiri. Jangan coba-coba bermain denganku!” ucap Lea merasa marah.
Kayden hanya tertawa kecil. “Itu hanya status di atas kertas, Lea. Pada akhirnya, aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Dan sekarang, itu kamu,” jawabnya dengan suara rendah dan terdengar begitu percaya diri.
Lea merasakan kemarahan sekaligus ketakutan membakar dirinya dari dalam. Ia hendak membalas ucapan Kayden, namun suara langkah kaki yang baru saja tiba membuat mereka berdua menoleh.
“Noah,” gumam Lea dengan wajah pucat.
Kayden tersenyum santai, lalu mundur beberapa langkah. “Pertunjukan dimulai,” bisiknya kemudian berbalik dan hendak melangkah keluar melalui Noah.
Langit Santorini memancarkan semburat oranye keemasan saat senja menuruni cakrawala. Laut biru membentang luas di hadapan mereka, sementara angin laut yang hangat menyapu perlahan kulit mereka.Di balkon vila pribadi yang menghadap laut, Lea bersandar di dada Kayden, dibalut gaun putih tipis dengan rambut tergerai lembut tertiup angin.“Aku masih tidak percaya kita sudah menikah,” bisik Lea, jemarinya menggenggam tangan Kayden yang melingkari pinggangnya dari belakang.Kayden menunduk, mencium pelipis Lea dengan pelan. “Kalau begitu, aku harus lebih sering mengingatkanmu.”Lea terkekeh kecil. “Dengan apa? Ciuman? Pelukan? Atau ... sesuatu yang lain?”Kayden tertawa pelan di telinganya. “Semua itu. Dan lebih.”Ia membalik tubuh Lea perlahan agar menghadap padanya. Mata mereka bertemu, dan sesaat dunia terasa hening. Jemari Kayden mengusap lembut rahang Lea, kemudian menyelip ke belakang lehernya.“Kamu tahu,” ucap Kayden pelan, “sejak pertama kali melihatmu, aku tahu kamu akan menghanc
Gedung megah itu berdiri anggun di jantung Manhattan, seluruh dinding kacanya memantulkan cahaya matahari sore yang perlahan menurun.Dikelilingi taman pribadi dan air mancur yang menjulang di tengah pelataran marmer putih, lokasi itu dipilih Kayden sendiri.Tempat eksklusif yang tak pernah dibuka untuk umum, hanya untuk perayaan yang benar-benar berarti.Sore itu, ballroom dengan dinding kaca sepenuhnya berubah menjadi taman impian. Kelopak mawar putih berjatuhan dari langit-langit kaca, sementara pilar-pilar klasik dihiasi anggrek dan bunga lili yang dirangkai dengan kristal halus.Suara denting harpa mengalun lembut di latar, mengisi ruang dengan kemegahan tanpa kesan berlebihan. Hanya tamu pilihan yang hadir. Orang-orang yang benar-benar berarti dalam hidup Lea dan Kayden.Julianne tampak anggun dengan gaun berwarna champagne, berdiri di sisi kursi tamu bersama Indi dan Rhaelil. Silas mengenakan tuksedo hitam pekat, berdiri di dekat altar sebagai pendamping utama Kayden.Kaelyn Br
Lea menatap Kayden dengan mata membulat, tak percaya pada apa yang baru saja terjadi di hadapannya. Seluruh pikirannya membeku sejenak, digantikan oleh satu gelombang emosi yang tak tertahan—kaget, haru, bahagia, semuanya berbaur jadi satu.Cincin berlian itu berkilau indah. Namun bukan kilau cincin yang membuat hatinya bergetar hebat, melainkan pria yang saat ini berlutut di hadapannya.“Kayden …,” bisik Lea, matanya mulai basah.Kayden tetap menatapnya penuh keyakinan. “Aku tahu semua yang kamu lewati tidak mudah, dan aku tidak bisa mengubah masa lalu. Tapi hari ini, dan setiap hari setelah ini, aku ingin menjadi orang yang berdiri di sampingmu. Menjadi rumahmu, pelindungmu, teman sekaligus kekasihmu.”Lea menutup mulutnya, berusaha menahan isak yang mulai pecah.“Aku tahu kamu kuat tanpaku, Little Rose. Tapi izinkan aku menjadi orang yang membuat hidupmu sedikit lebih ringan. Lebih hangat. Selamanya,” ucap Kayden lembut namun tegas.Tangan Lea bergetar saat menutupi dadanya, tak sa
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki