Ayudia, wanita paruh baya dengan dandanan menor berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Tatapannya menusuk, menatap Laura seolah ia adalah beban dunia. Di sampingnya, Claudia, juga berdiri menyilangkan tangan, senyum sinis terlukis di bibirnya.
Laura membalas tatapan itu dengan kebencian yang sama. Ayudia, selingkuhan ayahnya yang akhirnya dinikahi adalah sumber kehancuran keluarganya. Sejak wanita itu datang, ayah Laura berubah, memperlakukan istri serta anak kandungnya sendiri seperti sampah.
Claudia, anak Ayudia dari pernikahan sebelumnya, tidak berbeda dengan ibunya yang jalang. Mereka hanya menjadikan Laura sebagai ATM berjalan yang harus selalu menyediakan uang setiap kali mereka butuh.
Kalau Laura tidak mau memberi uang, ayahnya akan turun tangan, memukul dan memaki Laura tanpa perasaan.
Itulah alasan utama mengapa Laura begitu cepat menerima lamaran Yusak saat umurnya masih 21 tahun waktu itu, karena Laura ingin pergi dari keluarga toxicnya.
Dan kini, disambut dengan begitu sinis membuat Laura menyadari keputusannya untuk pulang benar-benar salah besar.
"Apa hanya uang yang ada di pikiranmu, hah? Aku bahkan tidak pernah berpikir menikah demi uang atau demi warisan!" geram Laura yang tidak perlu bersikap sopan pada ibu tirinya itu.
"Jangan naif, Laura! Kau melayani semua kebutuhannya, termasuk di ranjang. Lalu setelah dia meninggal, bukannya dapat warisan, kau malah pulang sebagai janda miskin? Lalu sekarang kau mau tinggal di sini? Boleh saja! Asal kau memberikan uang untuk kami!"
"Uang dari mana lagi? Suamiku baru saja meninggal, aku tidak bekerja selama menikah, semua uang yang aku dapat dari Yusak aku berikan pada kalian. Aku tidak punya uang lagi!"
"Dasar pembohong! Tidak mungkin kau tidak punya uang lagi kan? Berani membohongi ibumu, kau harus diberi pelajaran!"
Ayudia langsung meraih kepala Laura lalu mendorongnya kasar. Laura jatuh ke lantai dengan rambut yang menutupi wajahnya. Dan Laura pun begitu frustasi dibuatnya.
"Teruskan, Ibu! Dia pantas mendapatkannya! Padahal dia pasti mendapat banyak uang duka, tapi dia tidak mau memberikannya pada kita!" sahut Claudia.
"Eh, tapi aku dapat ide, Ibu. Pak Bono kan minta wanita malam ini, tapi kita belum menemukan wanitanya. Bagaimana kalau kita berikan Laura saja?" imbuh Claudia dengan seringai jahatnya.
Ayudia terdiam sejenak. Selama ini diam-diam ia menyediakan wanita bagi pria kaya yang membutuhkan, bisa dibilang mucikari adalah pekerjaan sampingannya.
Ayudia pun terlihat berpikir sejenak, sebelum ia mulai tersenyum miring.
"Benar juga, Sayang! Wah, wah, kau pulang di saat yang tepat, Laura. Karena kau tidak membawa sepeser pun dari keluargamu itu, maka kau harus menghasilkan uang untuk kami malam ini!"
"Apa maksudmu? Simpan saja semua rencanamu karena aku mau pergi dari sini!"
Baru saja Laura akan bangkit berdiri, tapi Ayudia sudah membungkuk dan menjambak rambut Laura.
"Enak saja pergi begitu saja! Kau tidak akan pergi sebelum menghasilkan uang untukku! Sekarang pakai gaun ini dan pergi bekerja!"
"Aku tidak mau! Gaun apa ini? Pekerjaan macam apa yang harus kulakukan?"
"Jangan banyak tanya dan pakai gaunnya!"
Laura meronta saat Claudia dan Ayudia menariknya paksa ke kamar mandi, menyuruhnya berganti pakaian. Gaun itu minim, memperlihatkan paha dan punggungnya sampai membuat Laura merasa telanjang.
Mereka menyeretnya ke sebuah klub malam. Laura pun langsung disambut oleh suara musik yang keras, pencahayaan yang remang-remang, dan samar-samar bau rokok.
"Lepaskan aku! Aku tidak mau di sini! Aku mau pergi!"
"Diam dan menurut saja, Laura! Dengar ya, malam ini, kau harus melayani seorang tamu kaya! Kalau pelayananmu memuaskan, kau bisa mendapat banyak uang!"
"Melayani? Aku bukan pelacur sepertimu!"
Ayudia melotot marah. "Dasar wanita sialan! Kau memang harus ditampar!" Ayudia mengangkat tangannya, tapi ia segera mengurungkan niatnya agar pipi Laura tidak berbekas.
"Sial! Jangan banyak bicara lagi dan jangan sok suci! Kau juga sudah tidak perawan, jadi gunakan tubuhmu untuk mencari uang!"
Sebelum Laura bisa lari, Ayudia sudah mendorongnya ke sebuah ruangan VIP, tempat tiga orang pria sudah menunggunya.
Ayudia meninggalkannya di dalam dan seorang pria gempal menatapnya dengan tatapan laparnya.
"Wah, wanitanya cantik sekali hari ini! Ayolah, kemari! Duduk di sini!"
Pak Bono, pria gempal itu langsung maju untuk memeluk Laura, tapi Laura langsung mendorongnya keras-keras sampai pria itu hampir jatuh.
"Jangan menyentuhku!"
"Hei, apa-apaan ini? Aku sudah membayarmu, tapi aku tidak boleh menyentuhmu? Atau mungkin kau suka kekerasan, hah?" Pak Bono mengedikkan kepala pada dua anak buahnya yang langsung maju menangkap Laura.
"Ah, lepaskan!" pekik Laura yang langsung dibawa menghadap Pak Bono.
Pria gempal itu menyentuh wajah Laura. "Kau cantik sekali! Kalau kau suka yang kasar, bilang saja. Aku tidak keberatan melakukan gaya apa pun! Ah, tapi aku jadi tidak sabar mendengarmu mengerang di bawahku, Cantik!"
"Dalam mimpimu, Gendut!"
Sambil menggeram, Laura menendang alat vital pria itu sampai ia memekik keras. Buk!
"Auw, sial! Berani sekali kau menendangku!"
"Rasakan itu!"
"Sial! Bawa dia ke sofa!"
Laura berontak dan menjerit saat ia dibawa ke sofa, tapi dengan cepat, Pak Bono menindihnya dan menamparnya. Plak!
"Lihat saja bagaimana aku akan menaklukanmu, Wanita Jalang! Makin liar, aku makin suka!"
Tepat saat Pak Bono menundukkan kepalanya untuk menikmati wanitanya, pintu ruangan itu didobrak dengan kasar.
Brak!
"Singkirkan tanganmu darinya!"
**Laura menggeliat gelisah saat merasakan bibir Darren menciumi lehernya. Tubuhnya terasa hangat seperti ada yang menimpanya. Tiupan juga terasa di telinganya, begitu dekat, begitu nyata, sampai Laura menahan napasnya sejenak merasakan sensasi yang membuat tubuhnya merinding. Hingga perlahan, kesadaran menyentaknya. Kelopak matanya terbuka nyalang, dan jantungnya langsung menghentak keras.Itu bukan mimpi.Darren sedang berada di atasnya. Satu tangannya menopang tubuh di samping kepala Laura, sementara tangan satunya membelai pipi dan leher Laura. Bibir pria itu bergerak, menciumi telinga, pipi, hingga dagu Laura dengan intensitas yang membuat napas Laura tercekat."D-Darren ...." Laura terkejut, ingin mendorong dada bidang pria itu, tapi tangannya malah tertahan di sana. Darren berhenti sejenak, menatap matanya dalam-dalam."Kau memimpikan ini, Laura? Kau memimpikan sentuhanku sampai kau mendesah dalam tidurmu?" bisiknya, suaranya rendah dan bergetar karena hasratnya. Laura panik,
Darren mengguyur kepalanya dengan shower sambil memejamkan matanya. Entah apa ia akan sanggup menahan hasratnya berada satu kamar dengan istri yang sangat diinginkannya. Bayangan Laura dengan piyamanya menari-nari di otak Darren. Bukan piyama yang seksi. Laura tidak pernah berusaha terlihat seksi, tapi sialnya, bagaimanapun penampilan Laura, wanita itu selalu terlihat seksi di mata Darren. Cukup lama, ia mengguyur dirinya, sebelum ia menyelesaikan mandinya, mengeringkan tubuhnya, dan melilitkan handuk di pinggangnya begitu saja karena ia tidak membawa baju apa pun ke kamar mandi. Darren segera keluar dan berusaha meredam hasratnya, tapi apa yang menyambutnya di kamar membuat hasratnya makin menyentak. Suara desahan dan erangan wanita terdengar begitu keras sedang melakukan aktivitas ranjangnya dengan menggebu.Seketika Darren menegang dan menatap layar TV dengan tidak percaya. Darren pun mengalihkan tatapannya pada Laura yang sedang begitu sibuk menatap sekelilingnya mencari sesu
Laura melangkahkan kakinya dengan enggan mengikuti Darren. Otaknya masih memikirkan cara agar ia tidak perlu sekamar dengan pria itu. Namun, begitu ia masuk ke kamar, mendadak ia melupakan segalanya. Ia langsung mematung melihat kamar yang begitu rapi. Kamar itu langsung menyambut dengan aroma segar khas hotel bintang lima, lembut dan menenangkan. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna krem yang terasa empuk di bawah kaki.Di tengah ruangan, sebuah ranjang king size berdiri megah dengan sprei putih bersih dan empat bantal besar yang tersusun rapi.Di sisi kanan, ada sofa single berbalut kulit krem dengan meja kaca kecil di depannya, sedangkan di seberang ranjang, televisi layar datar besar menempel di dinding. Kamar mandinya pun dindingnya dilapisi marmer putih dengan urat emas samar. Bathtub besar terletak di sudut, menghadap kaca besar yang bisa dibuka tutup tirainya dan langsung menghadap ke arah ranjang. Laura sampai merinding sejenak membayangkan hal absurd, ia berendam dan
Siang itu, Darren dan Laura akhirnya berangkat ke luar kota dengan menggunakan mobil. Mereka akan menempuh perjalanan selama tiga jam dan Laura tidak tahu harus melakukan apa selama berada di dalam mobil berdua dengan Darren. "Kau sudah membawa semua dokumen yang tadi kuminta kan?" tanya Darren memecah keheningan. "Sudah.""Bagus! Begitu tiba di sana kita akan langsung bertemu klien sekaligus makan malam." "Aku tahu." Darren mengangguk dan kembali menyetir sambil mengangkat teleponnya yang berdering. Oscar meneleponnya. Mereka membicarakan bisnis dengan begitu serius dan Laura pun bernapas lega karena ia tidak harus berbasa-basi dengan pria itu. Laura sendiri memilih memalingkan wajahnya ke jendela, sampai sebuah pesan masuk ke ponselnya. Itu pesan dari Darwis. Darwis: "Aku tidak melihatmu di kantor, katanya kau pergi perjalanan dinas dengan Darren." Laura melirik Darren yang masih sibuk menelepon dan ia pun membalas pesan Darwis. Laura: "Iya, aku pergi dengan Darren." Darwis:
"Pangsit rebusnya sebanyak apa? Aku akan menambahkan setengah porsi pangsitnya di setiap mangkuknya ya. Mie ayamnya segera datang. Tunggu sebentar!" seru sang penjual dengan antusias. Namun, Laura tidak mendengarnya karena tatapannya masih terpaku pada Darren. "K-kau ...." Laura menelan saliva dan menghapus air matanya. "Bagaimana kau tahu ...." Darren hanya diam menatap Laura, menunggu apa yang akan wanita itu katakan. Namun, mendadak Laura menggeleng, mengurungkan niatnya untuk bicara. "Bagaimana aku tahu apa?" tanya Darren hati-hati. Laura kembali menggeleng. "Tidak. Lupakan saja! Aku ... aku hanya sedang lapar. Aku sangat ingin makan mie ayam." Darren terdiam, menatap ekspresi Laura sedikit lebih lama, sebelum penjual mie ayam datang dengan cepat dan memecah keheningan di antara mereka. "Mie ayamnya datang! Silakan makan!"Satu mangkuk mie ayam favoritnya tersaji di hadapan Laura dan aromanya membuatnya terharu. Perlahan ia mengambil sumpitnya dan saat ia merasakan mie aya
Seorang wanita paruh baya berkacamata hitam melangkah masuk ke gedung perusahaan. Penampilannya cukup anggun dan gayanya modis, tapi tatapannya begitu waspada mencari ke sekelilingnya. Dan wanita itu adalah Ayudia yang sengaja ke Luxterra untuk menemui anak tirinya. Ayudia pun langsung duduk di lobby sambil menelepon Claudia. "Ibu sudah di lobby. Mana dia, Claudia?" "Tunggu saja! Saat jam pulang kantor tiba, Ibu akan melihatnya." Ayudia menyeringai. "Akhirnya kita menemukan wanita sialan itu dan kita bisa segera menyerahkannya pada Pak Bono." "Tapi Ibu harus hati-hati! Jangan sampai Pak Darren tahu aku terlibat atau dia akan memecatku." "Ibu bukan pemain amatiran, Claudia. Kau tenang saja! Tapi cepat kau turun duluan dan arahkan Laura pada Ibu." "Baiklah, tunggu di sana, Ibu!" Claudia langsung bergerak untuk mengintip ke ruangan Laura, tapi ia baru tahu kalau Laura pergi menemani Darren bertemu klien sejak sore. "Apa? Laura tidak ada? Lalu mengapa kau menyuruh Ibu ke sini, h