เข้าสู่ระบบ"Mengapa kau membunuh Yusak? Apa salahnya padamu?"
Laura tidak bisa menahan dirinya. Ia yang tadinya mundur mendadak butuh penjelasan. Tanpa peduli apa pun, ia menyerbu masuk ke ruang kerja Darren dan menyambar kerah kemeja pria itu.
"Mengapa kau membunuh Yusak? Mengapa kau membunuhnya?" ulang Laura dengan wajah memerah.
Darren membelalak kaget. "Apa yang kau katakan, Laura?"
"Aku mendengar semuanya! Aku dengar kau bilang kalian bertengkar, dia memukulmu, lalu kau membunuhnya!"
"Kau menguping?"
"Cukup beritahu aku kebenarannya! Mengapa kau membunuhnya?" geram Laura lagi.
"Aku tidak pernah bilang aku membunuhnya kan? Kami memang bertengkar, dia memukulku, tapi aku bahkan tidak balas memukulnya!"
"Lalu apa yang kau lakukan padanya sampai dia meninggal?"
"Aku tidak tahu bagaimana dia meninggal!"
"Kau bohong, Darren! Apa maksudnya dia meninggal karena kau?"
"Kami bertengkar, aku menyesal pertemuan terakhir kami dihiasi pertengkaran."
"Kau tidak bilang begitu tadi! Dia memukulmu, lalu kau membunuhnya? Tidak hanya itu, kau sengaja balas dendam dengan cara meniduri istrinya? Lalu akhirnya menjadikan aku istrimu! Kau brengsek, Darren!"
Darren menggeram dan akhirnya menggenggam kedua tangan Laura, melepaskan cengkeraman tangan wanita itu dari kerah kemejanya.
"Sudah kubilang kau berpikir terlalu jauh, Laura! Dengarkan aku, posisi kita sama-sama sulit sekarang, jadi bekerja samalah! Jangan membuat ini makin sulit!"
"Tidak! Aku tidak mau bekerja sama dengan pembunuh suamiku!" pekik Laura.
"Tenangkan dirimu, Laura! Tenangkan dirimu!"
Dengan sangat terpaksa, Darren akhirnya mengunci Laura di kamarnya, mengabaikan teriakan wanita itu dan suara pecahan barang yang entah apa dari dalam kamar.
* Suara ketukan pintu terdengar pelan setelah suasana lebih tenang, diikuti suara kunci pintu yang terbuka. Seorang pelayan wanita paruh baya bernama Bik Erna pun masuk ke kamar Laura dengan hati-hati, membawa nampan berisi makanan.Langkahnya terhenti begitu melihat beberapa barang pecah yang berserakan di lantai. Namun, wajahnya tetap tenang, dan ia berusaha tersenyum.
"Selamat siang, Bu Laura," sapanya lembut. "Aku membawakan makan siang untuk Anda."
Laura hanya meliriknya sekilas tanpa minat. "Letakkan saja di meja, aku tidak lapar."
"Tapi Anda belum makan apa-apa sejak pagi, Bu."
Laura berdiri menatap jendela, masih membelakangi Bik Erna. Namun, alih-alih menjawab, ia malah bertanya hal lain.
"Apa pembunuh itu sudah pergi?"
"Eh, siapa maksudnya, Bu?"
"Darren! Siapa lagi? Di mana dia sekarang?"
"Ah, Pak Darren baru saja kembali ke kantornya. Tapi apa ada pesan untuk Pak Darren? Anda mau aku meneleponnya?"
"Tidak! Jangan!"
Laura berbalik cepat, suaranya meninggi. Perlahan, ia menenangkan dirinya dan kembali bertanya.
"Oh ya, ada berapa pintu di rumah ini?"
"Iya?"
"Bukan apa-apa. Aku hanya … misalnya, kalau aku bosan, aku bisa jalan-jalan sendiri," dusta Laura.
"Ah, itu ... ada pintu utama, pintu samping, dan satu lagi yang ke taman belakang. Tapi jangan khawatir, rumah ini aman, Bu."
Laura mengangguk pelan tanpa banyak bicara lagi. Namun di kepalanya, mendadak tersusun rencana melarikan diri dari sana.
Di sisi lain, Darren baru saja tiba di kantornya, Luxterra Developments, salah satu perusahaan properti dan konstruksi yang sedang sangat berkembang.
Darren baru saja turun dari mobilnya ketika beberapa wartawan menyerbunya. Mikrofon dan kamera nyaris menabrak wajahnya.
"Pak Darren, benarkah karyawan yang meninggal itu karena bunuh diri atau overdosis obat?"
"Ada desas-desus bahwa pesta Luxterra malam itu diisi obat-obatan terlarang, komentar Anda?"
Darren mengatup rahangnya. Matanya tajam menyapu kerumunan itu, tapi ia tidak bicara satu patah kata pun dan terus melangkah bersama Oscar sampai mereka masuk ke dalam lift.
"Para wartawan itu tidak bosan-bosannya berdiri di depan sana! Tapi apa kau yakin tidak apa meninggalkan Laura di rumah dalam kondisi seperti ini?"
"Lalu apa yang harus kulakukan? Membawanya ke mana pun aku pergi?"
"Hmm, entahlah! Dia mengamuk dan membuatku terkejut, kukira dia wanita melow yang pasrah, ternyata dia mengaum seperti singa!"
"Dan kondisinya makin kacau karena dia menuduhku membunuh Yusak! Sial!"
"Itu di luar dugaan!"
Oscar terus mengembuskan napas panjangnya. Tidak ada yang membahasnya lagi setelahnya karena mereka langsung sibuk menyiapkan rapat untuk konferensi pers.
Darren pun baru saja masuk ke ruang rapat malam itu saat ponselnya berdering. Nama Bik Erna muncul di layar dan Darren segera mengangkatnya.
"Halo? Ada apa, Bik?"
"Pak, maaf, tapi … Bu Laura tidak ada di kamarnya."
Darren langsung menegang. "Tidak ada bagaimana maksudmu, Bik?"
"Aku membawakan makan siang dan tidak mengunci pintunya lagi seperti perintah Anda. Bu Laura sudah tenang tadi, tapi saat aku mengetuk pintu kamarnya barusan, dia sudah tidak ada. CCTV menunjukkan Bu Laura keluar melalui pintu belakang, Pak."
Darren mengumpat pelan, wajahnya berubah serius. "Pimpin rapatnya, Oscar! Aku harus mencari Laura sekarang!"
Tanpa ia ketahui, Laura sudah tiba di sebuah rumah yang sebenarnya tidak ingin ia datangi lagi, tapi ia tidak punya pilihan.
Ia tidak punya rumah lagi setelah diusir dari rumah Wanda. Ia juga tidak punya cukup uang untuk tinggal di hotel dan pilihan terakhirnya adalah pulang ke rumah keluarganya sendiri.
Jantung Laura masih berdebar kencang setelah melarikan diri dari rumah Darren. Beberapa kali Laura menoleh ke belakang saat ia naik taksi tadi dan untungnya, tidak ada yang menyadari kepergiannya. Semoga Darren juga tidak bisa menemukannya.
Sungguh, Laura berharap ia bisa pulang ke rumahnya dengan damai. Walaupun mungkin ia tidak akan disambut dengan hangat, ia berharap keluarganya masih bersimpati padanya yang baru saja menjadi janda.
Namun, alih-alih simpati, Laura malah disambut oleh bentakan sinis.
"Mau apa kau kembali ke sini? Kau bawa uang atau tidak, hah? Apa gunanya menjadi istri orang kaya selama dua tahun kalau kau tidak mendapat apa-apa setelah dia meninggal?"
**Takdir tidak selalu datang dalam bentuk yang diharapkan. Kadang ia menyamar sebagai ujian, kehilangan, atau air mata. Namun, Tuhan tidak pernah salah menulis kisah. Ia hanya menunda bahagia, sampai hati kita cukup kuat untuk benar-benar menerima dan bersyukur atas setiap momennya. Seperti kisah hidup Laura. Begitu banyak hal yang sudah ia lalui sejak awal. Ditinggalkan ibunya, tidak diinginkan keluarganya, diperlakukan tidak baik oleh suaminya, diwariskan, mendapati pria yang menjadi suami barunya punya banyak rahasia yang terus menyiksa batinnya. Semuanya sakit sampai Laura ingin melarikan diri dari semuanya. Tapi Tuhan tidak pernah ingkar janji. Tuhan selalu menjanjikan pelangi setelah hujan badai, begitu juga dengan akhir kisah Laura. Laura belajar bahwa kebahagiaan tidak datang dari hidup yang sempurna, melainkan dari hati yang memilih untuk tetap sabar di tengah ketidaksempurnaan. Dan hadiah untuk kesabaran itu sangat luar biasa. "Selamat satu bulan, Carlo Pratama!" Suara se
"Welcome Home, Carlo!" Sebuah spanduk dan hiasan-hiasan sudah terpasang penuh di rumah Darren dari pintu masuk sampai ke kamar bayi hari itu. Setelah menginap di rumah sakit selama dua hari, akhirnya Laura dan si kecil Carlo pun diijinkan pulang ke rumah dalam keadaan yang sangat sehat. Semua anggota keluarga pun begitu antusias menyambut anggota baru di keluarga mereka itu. "Selamat datang di rumah, Carlo Sayang!" seru Laura sambil menggendong anaknya itu. "Cia mau lihat! Cia mau!" Cia sudah berloncatan ingin memeluk adiknya. Laura pun membungkuk agar Cia bisa melihat adiknya itu dan Cia pun tertawa begitu cantik melihat bayi tampan di gendongan Laura itu. "Ih, adik Carlo gemas. Cia mau gendong!" "Belum bisa, Sayang. Cia masih belum kuat, tapi Carlo lucu sekali, Darren, Laura!" seru Winda yang ikut gemas melihat Carlo. "Wajahnya mirip dengan Laura," seru Harry juga. "Tapi ada miripnya dengan Darren. Dia benar-benar perpaduan Darren dan Laura, tampan sekali," timpal Winda.
Beberapa bulan berlalu dan waktu melahirkan pun sudah semakin dekat. Saat kandungannya mulai besar, Laura makin aktif, bahkan Laura kembali bekerja di perusahaan, tentunya dengan status yang baru. Semua orang menghormati Laura dan Laura merasakan hari-harinya yang jauh lebih bahagia. Persahabatannya dengan Nada tetap sama, malahan Laura tidak mau dipanggil Bu dan ingin tetap dipanggil nama oleh sahabatnya itu. Bukan hanya Nada, tapi Marlin juga sudah menjadi sahabat Laura juga sekarang. "Aku saja yang membawa ini, Laura. Perutmu sudah terlalu besar, kau tidak boleh mengangkat yang berat-berat. Lalu yang ini, biar aku saja yang mengerjakannya. Ada hal lain yang kau butuhkan? Apa pun yang kau perlu, panggil aku saja ya!" Setiap harinya, Marlin selalu sibuk melayani Laura, padahal pekerjaan wanita itu sendiri sudah begitu sibuk. Sejak Darwis resmi dipecat, akhirnya Marlin diangkat menjadi manager keuangan. Di bawah kepemimpinan Marlin, keuangan menjadi lebih kokoh dan solid. Marlin
"Aku mau mie ayam dan permen susu madu." "Cia juga mau permen susu madu sama kue strawberry." "Oh, kue strawberry. Mama juga mau. Ayo kita minta Papa pergi membelinya." Cia mengangguk bersemangat dan langsung berteriak memanggil Papanya. "Papa!" Suara anak itu pun begitu ribut di rumah dan membuat rumah Darren semakin berwarna. Cia, anak yang dulunya lebih banyak diam dan hanya berteriak sesekali, sekarang menjadi anak yang luar biasa ceria. Tidak ada orang yang mengekang teriakannya, tidak ada orang yang mengekang tawanya, Cia sangat bahagia. "Papa!" "Iya, Papa datang, Sayang. Ada apa? Papa sedang bersiap ke kantor." "Tapi Mama sama Cia mau banyak makanan, Papa." Cia memasang ekspresi memelasnya. Tidak hanya Cia, karena sekarang Laura pun menatap Darren dengan penuh harap dan Darren selalu tidak tahan melihat tatapan itu. "Ya ampun, apa yang kalian mau, hah? Beritahu Papa!" Darren langsung memeluk sandaran kursi Laura dan Cia yang saat ini duduk berjejer di meja makan. "M
"Sampai jumpa lagi, Cucu Grandma! Kalau Cia merindukan Grandma dan Grandpa, telepon kami!" Setelah semua acara duka Winny berakhir, Harry dan Winda memutuskan untuk kembali ke Amerika dan menetap di sana. Perpisahan di bandara dengan Cia benar-benar membuat mereka menangis. Mereka sudah menyayangi cucu mereka sekarang, tapi mereka tahu bersama Darren dan Laura, Cia akan lebih bahagia. Tidak ada yang tahu siapa ayah Cia yang sesungguhnya karena Winny sering berpesta liar sebelumnya, tapi tidak ada yang berniat mencari tahu tentang itu. Biarlah dunia tahu bahwa Cia adalah anak Darren dan Laura. "Dah, Grandma, Grandpa!" Cia memeluk Harry dan Winda lalu mencium mereka. Tangan kecil itu menangkup pipi Winda dan rasanya hangat sekali. "Sekali lagi maafkan kami atas semuanya dan terima kasih, Darren, Laura." Darren dan Laura ikut mengantar kepulangan Harry dan Winda. "Bolehkah aku juga menelepon Om dan Tante kalau aku rindu?" tanya Laura yang membuat tangisan Winda makin deras. "Te
Winny tidak bisa meminta lebih. Tuhan sudah memberinya lebih dari sekedar bonus. Ia sudah bahagia sekarang. Melihat bagaimana Darren dan Laura bahagia, membuatnya ikut bahagia. Cia sendiri akhirnya ikut naik ke panggung dan memeluk kedua orang tuanya di sana. Pemandangan yang indah. Winny menghela napas dalam, air matanya terus mengalir, tapi bukan karena sedih."Aku baru saja merasakan bahagia yang sesungguhnya di akhir hidupku, Karina," ucap Winny lirih pada Karina yang selalu setia menemaninya dan mendorong kursi rodanya. "Akhir hidup apa? Jangan bicara begitu, Winny!" "Jangan mencoba menghiburku lagi! Aku sudah menerimanya. Kalian juga harus menerimanya." "Winny ...." "Perpisahan tidak akan terasa menyakitkan kalau yang kita tinggalkan adalah kebahagiaan, Karina." Winny tersenyum dan menggenggam tangan sahabatnya itu. "Carilah sahabat baru yang bisa membawamu ke jalan yang tetap lurus, ke jalan yang lebih baik, jangan seperti saat kau bersamaku." "Tidak akan ada sahabat te







