Semua orang tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah pintu, begitu juga dengan Laura.
Entah Laura harus lega atau malah takut melihat pria itu di sana.
Darren, suaminya ada di sana dengan tatapan tajam dan aura dinginnya.
"Siapa kau? Berani sekali mendobrak pintu dan menganggu kesenanganku!" geram Pak Bono yang langsung memberi kode anak buahnya untuk maju.
Tanpa menjawab, Darren melangkah cepat. Dua anak buah Pak Bono maju menyerang, namun dalam hitungan detik, tubuh mereka terpelanting ke sisi ruangan.
Tatapan Darren beralih pada Pak Bono dan langsung menyerangnya.
"Berani sekali kau menyentuhnya!"
Buk!
Tinju Darren menghantam rahang Pak Bono. Pria gempal itu jatuh terhempas dan tidak mampu berdiri lagi.Dengan cepat, Darren pun menarik tangan Laura, menyeretnya keluar dari klub itu.
"Apa ini, Darren? Lepaskan aku!" pekik Laura tidak terima.
Laura sampai berkali-kali tersandung mengikuti langkah pria itu. Tapi Darren tidak melambat dan malah mendorong Laura masuk ke mobil.
"Apa yang kau lakukan di sana? Kau kabur dari rumahku untuk bekerja seperti ini? Dengan pakaian seperti ini? Apa kau sedang jual diri, hah?"
"Tutup mulutmu, Darren! Kalau kau tidak tahu apa pun, lebih baik tidak usah bicara!"
"Aku memang tidak tahu! Tapi kalau aku tidak muncul, mungkin kau sudah menjadi santapan pria gempal itu!"
"Aku tidak meminta diselamatkan kan?"
"Oh, jadi kau lebih suka melayani pria gendut itu?"
Laura menggeram. Tentu saja ia tidak mau melayani siapa pun, tapi ia tidak terima kalah dari Darren, pembunuh suaminya itu.
"Kalau iya, kenapa? Pria gendut itu lebih baik daripada pembunuh sepertimu!"
Darren mengatupkan rahang dan ia dibakar amarahnya.
"Kau benar-benar harus dihukum agar kau sadar siapa pemilikmu sekarang, Laura!"
Darren melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya mereka tiba di rumah.
Jantung Laura pun berdebar kencang saat Darren mendadak membuka pintunya dan menarik Laura keluar, membopongnya layaknya karung beras.
"Turunkan aku, Brengsek! Turunkan aku!"
Bik Erna sendiri sudah menunggu gelisah di rumah dan ia langsung menyambut begitu mendengar suara mobil Darren datang.
"Pak Darren ...."
"Minggir, Bik! Ini urusanku!"
Dengan langkah mantap, Darren naik ke kamar. Tubuh Laura pun dibanting ringan ke ranjang sampai tubuhnya memantul, rambutnya kusut, dan napasnya memburu.
"Apa ini? Menyingkir dariku, Darren!"
Laura mencoba mendorong tubuh Darren, tapi pria itu malah menahan kedua tangan Laura dalam satu genggaman, menekannya di atas kepalanya.
"Aku sudah bilang kau akan dihukum kan? Pertama karena kau sudah kabur dariku dan yang kedua karena kau lebih suka melayani pria gendut itu! Kita lihat apa setelah ini kau masih memilih pria gendut itu?"
"Apa maksudmu? Kau tidak bisa menyentuhku seenaknya! Aku bukan barang yang bisa dioper dari Yusak padamu lalu dengan suka rela melayanimu di ranjang!"
"Kau istriku, Laura! Dan aku akan memastikan kau sadar itu!"
Darren menunduk, membenamkan wajahnya ke leher Laura, mengabaikan penolakan wanita itu. Darren menyesap aroma lembut wanita itu yang begitu cepat membangkitkan gairahnya.
Laura terus memberontak, walaupun sentuhan bibir pria itu di lehernya membuat tubuhnya meremang.
Bahkan, saat ia mati-matian menolak, tubuhnya masih meremang karena sentuhan Darren. Aroma parfum Darren yang begitu maskulin mengingatkannya pada malam panas mereka.
Tanpa bisa dicegah, hasrat wanitanya bangkit. Tubuhnya berkhianat, tapi hatinya dan kewarasannya tidak.
"Lepas, Darren! Lepas!"
Tangan Darren yang bebas menyusuri pinggang Laura, naik-turun dengan perlahan tapi menuntut. Ia menahan kaki Laura dengan tubuhnya.
Darren mengangkat kepalanya dan tatapannya beradu dengan tatapan berapi-api milik Laura.
"Sampai mati pun aku tidak sudi melayanimu!" geram Laura dengan napasnya yang tersengal, mengabaikan betapa tampan wajah di hadapannya.
Napas Darren sendiri juga tersengal, hasratnya sudah bangkit hanya dengan menatap istri liarnya itu. Banyaknya tekanan yang ia rasakan beberapa hari itu juga membuatnya benar-benar membutuhkan pelampiasan.
"Katakan, Laura! Dua tahun menikah dengan Yusak, tapi kau masih perawan. Bagaimana bisa?"
Laura menahan napasnya sejenak. "Urusan rumah tanggaku sama sekali bukan urusanmu, Darren!"
"Sekarang menjadi urusanku. Karena hanya aku satu-satunya yang pernah menyentuhmu dan tidak akan ada pria lain lagi," bisik Darren, sebelum kembali menyiksa Laura dengan sentuhannya.
Tangan Darren menyusuri pinggul Laura. Turun dan menyusup ke dalam gaun mini istrinya, berusaha menemukan kelembutan di antara kedua kaki jenjang itu.
"Ah ... apa yang kau lakukan, Darren?"
Laura mengejang, kakinya ingin menendang, tapi tidak bisa.
"Kau sudah basah, Laura ...."
"Singkirkan tanganmu, Darren! Aku tidak sudi disentuh olehmu!"
"Biar tubuhmu yang bicara ...."
**"Ya Tuhan! Laura! Laura!" Jantung Bik Erna sudah memacu tidak karuan. Ia mencemaskan Cia, tapi entah mengapa ia juga sangat mencemaskan Laura yang pergi bersama Darwis. Dengan gemetar, Bik Erna pun akhirnya menelepon Darren dan Darren langsung mengangkatnya. "Pak Darren, syukurlah Anda mengangkat teleponnya," seru Bik Erna penuh kelegaan. "Ada apa, Bik? Laura mana? Kau sudah tiba di taman kan?" "Aku di taman, Pak. Tapi ...." Jantung Darren memacu tidak karuan. "Ada apa? Katakan ada apa kau begitu panik, hah?" "Cia ... Cia dibawa Bu Winny dan Laura ... Laura sedang mengejarnya." Kedua mata Darren membelalak dan jantungnya berdebar makin tidak karuan. "Apa? Cia dibawa Winny dan ... Laura mengejarnya bagaimana? Katakan yang jelas, Bik! Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang!" "Laura menyusul mereka bersama Pak Darwis! Mendadak mobil Pak Darwis muncul dan Laura pergi bersamanya. Aku takut sekali, Pak!" Suara Bik Erna sangat cemas dengan air mata yang sudah mengalir deras.
"Aku masih tidak bisa menghubungi Laura, Oscar. Aku akan pulang duluan, sedangkan kau serahkan video ini ke pengacara untuk segera diproses." "Aku tahu, Darren. Tapi apa yang akan kita lakukan pada Darwis sekarang? Aku sudah menelepon kantor, tapi Darwis tidak masuk kerja hari ini." "Sial! Akhir-akhir ini dia sering tidak masuk kerja. Dia sudah membuatku sangat emosi. Kalau dia masuk, langsung tangkap dia saja! Tahan dia dan biarkan dia menjelaskan semua di kantor polisi." "Aku tahu!" Darren dan Oscar baru saja melangkah saat ponsel Oscar berbunyi dan ia pun mengangkat telepon dari Marlin itu. "Marlin, ada apa meneleponku?" "Maaf menganggu, Pak Oscar. Tapi karena Anda tidak kunjung datang ke kantor, aku tidak bisa menunggu lagi. Aku sudah mengamankan Jay, aku mendengarnya menelepon dengan Pak Darwis tentang penggelapan uang perusahaan yang sedang Anda selidiki itu." Oscar membelalak lebar. "Jay? Jadi Jay juga bekerja sama dengan Darwis?" "Dan ada beberapa orang lagi, Pak." "A
"Kau di mana Darwis? Ada berita gawat. Sepertinya kecuranganmu di kantor sudah ketahuan."Jay, seorang teman kepercayaan menelepon Darwis pagi itu dan memberitahu apa yang ia dengar di kantor. Darwis pun mengepalkan tangannya geram. "Apa maksudmu, Jay?" "Laporan keuangan sedang dibedah langsung oleh Pak Darren. Perasaanku sangat buruk tentang ini. Mereka juga mencari info dari beberapa karyawan finance. Bahkan mereka membongkar laporan keuangan sampai tahun lalu." "Sial! Bagaimana itu bisa terjadi, hah?" "Aku tidak tahu, tapi kau harus antisipasi. Aku yakin mereka sedang mencari bukti untuk membawamu ke polisi, Darwis." Darwis kembali menggeram. "Kau bersamaku kan, Jay?" Jay mengembuskan napas panjangnya. "Aku tidak bisa membantu lebih, aku hanya bisa memberitahumu saja." "Aku tahu. Aku akan menransfer bagianmu nanti, tapi tetaplah tutup mulut!" "Aku akan melakukannya, tapi berjanjilah untuk tidak membawa namaku, Darwis." Darwis tersenyum sinis. Tentu saja ia bukan orang seba
"Apa ini, Oscar? Pesan dari siapa? Pelayan hotel? Apa yang mau dia katakan tentang Yusak?"Darren langsung mengernyit membaca pesan aneh itu. "Aku tidak tahu, Darren! Tapi jantungku mendadak berdebar kencang. Aku akan meneleponnya." Oscar pun buru-buru menelepon nomor Didik dan Ody langsung heboh melihat nama Oscar di sana. "Dia menelepon, Dik! Dia menelepon!" "Siapa?" "Pak Oscar!" "Cepat angkat! Biarkan aku bicara dengannya!" Ody mengangkat teleponnya dan Didik pun langsung bicara dengan Oscar. Pengeras suara sengaja diaktifkan oleh Oscar dan Darren juga merekam pembicaraan itu untuk antisipasi apa pun. "Halo, dengan siapa ini?" tanya Oscar begitu suara seorang pria terdengar di seberang sana. "Pak Oscar, akhirnya Anda meneleponku, aku sudah berkali-kali menelepon Anda." "Ya, cepat katakan ada apa karena aku tidak punya banyak waktu." "Aku tahu Anda adalah orang sibuk, Pak. Tapi aku benar-benar harus bicara dengan Anda. Aku ... aku Didik, aku adalah pelayan di hotel tempat
"Kau tidak apa, Pak?" "Kau tidak apa? Lihat mereka! Lihat mereka!" Didik dan Ody masih kesakitan di aspal setelah tubuh keduanya menghantam keras ke sana. Jalanan tidak ramai sampai Didik bisa mencuri lihat mobil apa yang menabraknya. Didik menahan napasnya sejenak di antara rusuknya yang mungkin patah. Tapi ia bersumpah melihat wajah Darwis di sana sedang menyetir sambil menoleh ke arahnya. "Akhh!" rintih Didik. "Kau tidak apa, Pak? Bawa mereka ke rumah sakit!" Suara orang-orang di sekitar terdengar lagi. Ia tidak mendengar suara lagi karena tidak lama kemudian, ia kehilangan kesadaran. Ia baru sadar saat ia sudah berada di rumah sakit dengan Ody yang duduk di sampingnya dengan kepala diperban. "Dik, kau sudah sadar? Bagaimana rasanya? Mana yang sakit? Kau masih mengenaliku kan?" tanya Ody cemas. Didik menelan saliva. Ia masih linglung sejenak, tapi wajah Darwis terukir nyata di otaknya. "Orang itu ... orang itu yang menabrak kita. Orang itu ... kakaknya Pak Yusak itu," lir
"Kau serius, Dik? Pria itu? Dia bilang dia kan kakaknya Pak Yusak! Jangan becanda!" Ody sudah naik sepeda motor bersama Didik pergi dari Luxterra, tapi mereka tetap mengobrol di sepeda motor. "Aku yakin, sudah kubilang aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kan? Aku sudah mengamati dia sejak dia memasukkan sesuatu ke dalam gelas minuman yang entah milik siapa. Kacamatanya itu membuat dia mudah sekali dikenali." "Aku terus mencuri pandang padanya karena dia terlihat mencurigakan. Dia tidak melihatku, tapi aku melihatnya. Dia bertengkar hebat dengan Pak Yusak, lalu mereka masuk ke kamar dan Pak Yusak ditemukan meninggal. Aku terus merasa tidak tenang sejak itu," imbuh Didik yang merupakan pelayan di hotel tempat pesta Luxterra diadakan waktu itu. Didik sudah menahan dirinya cukup lama, ia bahkan begitu niat meminta rekaman CCTV di koridor dan tempat pesta. Cukup lama ia baru berhasil mendapatkannya, sebelum akhirnya ia berani datang ke Luxterra. Tujuannya adalah mencari Darren, pi