Jantungku seakan berhenti berdetak. Aku bahkan menahan deru napas agar tidak membangunkan Dewangga saat aku akan bersiap menancapkan pisau ke dadanya. Kupejamkan mata saat pisau itu perlahan bergerak menuju titik yang telah terpusat di otak. Namun, aksi itu terhenti saat terdengar ketukan di daun pintu secara tiba-tiba. Buru-buru aku menyembunyikan pisau di balik baju, lalu segera kembali berbaring seakan tidak terjadi apa-apa.“Tuan, Nyonya, makan malam telah disiapkan.” Begitu pesan yang terdengar.Terasa pergerakan kasar di ranjang, aku membuka mata seolah baru terbangun dari tidur, sama seperti Dewangga yang terlelap untuk beberapa saat.“Turunlah dan ikut makan malam bersama.” Dewangga berucap, lalu bergegas pergi setelah berucap demikian.Aku hanya mengangguk dengan lembut. Ternyata masih tersisa sedikit rasa kepedulian dalam dirinya. Kutatap punggung lelaki yang hampir membunuhku beberapa jam yang lalu. Kini ia terlihat biasa saja, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.Kuhel
Dengan cepat Dewangga melepas semua pakaian. Sementara sepasang mata tajam itu tidak ingin melepas tatapan dariku sama sekali. Ia terus menatap dengan begitu lekat. Ia memang tidak bisa jika tidak bercinta dalam sehari saja.Aku mulai teringat dengan pesan Dokter Roni agar membuat Dewangga merasa nyaman saat bercinta hingga tanpa sadar melakukan pelepasan di dalam. Setidaknya itulah satu-satunya cara agar bisa mendapatkan benih darinya. Sebab, ia masih tetap menolak saat aku meminta ingin punya anak.Aku menyunggingkan senyum. Membalas tatapannya dengan begitu lembut dan penuh godaan. Mengikuti alur permainan yang akan ia lakukan. Melepas satu persatu pakaian yang melekat di tubuhku dengan gerakan begitu erotis. Melempar semuanya dengan asal tanpa melepas tatapan darinya.Senyum ikut terukir di bibir manis lelaki itu. Ia langsung melompat ke ranjang, merangkak di atas tubuhku sembari memberikan kecupan di semua inci. Tidak ia biarkan ada bagian dari tubuhku yang tidak terjamah oleh bi
Aku terbangun ketika Dewangga hendak berangkat kerja. Ia pamit seraya memberikan sebuah kecupan lembut di dahi. Aku hanya menggeliat pelan, lalu mengangguk dan bangkit untuk duduk dengan mata yang masih terasa enggan untuk terbuka. Entah sampai jam berapa tadi malam kami menghabiskan waktu untuk bercinta. Yang pasti aku merasa begitu lelah dan mengantuk pagi ini.“Aku akan kembali untuk makan siang nanti.” Dewangga berpesan, lalu beranjak pergi keluar dari kamar.Sedikit sulit karena kini aku tidak lagi dibekali alat komunikasi. Namun, cukup membantu karena tidak ada lagi pesan atau panggilan yang mengganggu dari Dewangga. Aku jadi lebih bisa sedikit bersantai.Setelah pintu tertutup dengan rapat, aku kembali rebahan. Hendak melanjutkan tidur yang sempat terjeda. Namun, mata mendadak enggan untuk diajak bekerja sama.Aku bangkit dari ranjang. Meregangkan otot-otot yang terasa begitu tegang. Terlebih leher yang terasa sakit saat menoleh ke kanan. Juga kepala yang pusing karena tadi mal
Dewangga pulang untuk makan siang, sesuai dengan pesannya sebelum berangkat kerja tadi pagi. Semua hidangan sudah tersedia di meja makan saat ia kembali. Sebuah senyum tersimpul dengan manis di bibirnya. Ia membawa bucket bunga saat ia berjalan mendekat padaku.Aku tersenyum, membalas senyum itu dengan malas. Menerima bunga yang ia sodorkan, lalu memberikan sebuah kecupan. Hari ini Dewangga benar-benar terlihat sedikit manis dari biasanya.Kami makan siang berdua, tidak ada obrolan penting sama sekali. Kami bahkan lebih banyak diam. Sesekali saling melempar senyum saat tanpa sengaja sorot mata saling beradu.“Sebaiknya Ruri kasih waktu buat istirahat. Setidaknya sampai lukanya mengering.” Aku berucap memecah keheningan yang tercipta.Dewangga menarik napas dengan kasar. “Pekerjaannya tidak ada yang berat. Tugasnya hanya mengawasi rumah, jadi tidak perlu kau hiraukan lukanya.” Ia memberikan jawaban dengan acuh tak acuh.Aku terdiam dengan helaan napas berat. Jika ia sudah berkata tidak
Dewangga memegang ucapannya. Ia selalu pulang tepat waktu untuk makan siang bersama di rumah. Memastikan bahwa aku telah meminum pil yang ia beli sebelumnya, tapi telah diganti oleh Dokter Roni ketika Ruri membawanya ke rumah sakit.Aku tidak lagi takut ketika menelannya, sebab sudah dipastikan jika itu bukan obat penghambat untuk hamil, tapi obat untuk menyuburkan rahim. Dewangga tampak senang akan hal itu. Ia jadi tidak khawatir untuk melakukan pelepasan di dalam ketika kami tengah bercinta. Sebab berpikir bahwa itu tidak akan memberikan efek apa-apa.Meskipun fantasinya semakin lama semakin aneh, aku masih bisa mengimbangi. Walaupun besoknya aku jadi tidak bisa keluar kamar karena merasa sakit di sekujur badan. Namun, semakin lama aku mulai terbiasa dan menikmati setiap permainannya.Seperti sore ini, ada sebuah paket yang datang atas nama Nasya. Aku tahu jika paket itu pemberian Dewangga. Sebab, ia telah berpesan sebelum berangkat kerja tadi pagi.Aku membuka kotak paket dengan dad
“Sakitnya parah, Dok?” Dewangga kembali bertanya karena tidak kunjung mendapatkan jawaban. Apalagi semuanya memasang wajah panik. Lelaki itu menjadi semakin panik.“Biarkan dia istirahat yang cukup selama beberapa hari ini.” Dokter akhirnya memberikan jawaban.“Istri saya sakit apa?” Ia tetap ngotot meminta jawaban.Aku menatap Ruri, berkomunikasi lewat sorot mata. Bernegosiasi agar aku memberitahu Dewangga kenyataan yang sebenarnya. Namun, ia langsung menggeleng dengan pelan.“Nyonya Nasya hanya masuk angin dan kelelahan.” Ruri yang memberikan jawaban pada akhirnya. Ia tetap memilih untuk memberikan kebohongan.Aku terdiam, menghela napas dengan kasar. Merasa jika saran Ruri ada benarnya juga. Aku harus menunggu waktu yang tepat untuk memberitahu Dewangga masalah kehamilan. Bulan depan ia telah berjanji ingin mengadakan pesta di rumah. Sebagai acara perayaan satu tahun pernikahan kami. Beberapa hari ini ia telah sibuk ingin memilih gaun apa yang akan kupakai nanti. Barangkali aku bis
“Tangan pria diciptakan untuk melindungi wanita, bukan untuk menyakitinya.” Seorang lelaki yang cukup familiar berucap seraya meremas tangan pria itu.“Jangan ikut campur, urus saja urusanmu!”“Jelas ini urusanku ketika melihat yang kuat menindas yang lemah.”“Lepas atau kau akan menyesal?!”“Kau akan melakukan apa?” Lelaki itu bertanya, menantang.Aku menghela napas lega, bersyukur karena ternyata masih ada orang baik yang peduli terhadap orang yang tidak dikenal.Pria itu berdecak, mengempaskan tangan hingga cekalan lelaki itu terlepas, lalu beranjak pergi dengan raut wajah kesal.“Kau tidak apa-apa?” Lelaki yang telah menolongku itu bertanya seraya tersenyum.Aku menggeleng pelan dengan tangan kanan berada di perut. Sebab baru mulai merasakan efeknya sekarang. Merasa sakit di bagian bawah perut.“Apa kita sebelumnya pernah bertemu? Sepertinya aku mengenalimu.” Aku bertanya memastikan. Sebab, wajahnya tampak begitu familiar.Lelaki itu tertawa tipis.“Kau lupa padaku? Kita pernah be
Tatapan tajam Dewangga langsung menyambut saat aku mendatangi dirinya yang tengah menunggu di ruang belakang. Sorot itu terlihat begitu nyalang. Seakan ada amarah yang tengah tertahan. Terbukti dengan wajahnya yang terlihat begitu memerah.“Dari mana kamu?” Nada suaranya terdengar penuh amarah.“Dari rumah sakit.” Aku berusaha untuk menjawab sesantai mungkin. Berusaha untuk menyembunyikan rasa takut. Sebab, ia akan semakin merasa berkuasa jika aku menunjukkan rasa takutku di hadapan wajahnya.“Apa buktinya?” Ia menyorot penuh curiga.Aku menarik napas dalam.“Aku cuma ke rumah sakit. Kenapa kau menatapku seakan aku habis berselingkuh?” Aku membalas dengan nada tidak bersahabat.“Tunjukkan buktinya jika kau dari rumah sakit. Untuk apa kau ke rumah sakit? Siapa nama dokter yang memeriksamu? Apa kau sakit?” Ia langsung mencecarku dengan banyak pertanyaan.Lagi, aku menghela napas dalam“Aku sedang tidak ingin berdebat.” Aku berucap dengan tegas, hendak berlalu begitu saja. Namun, langkah