MasukLucien turun dari mobilnya dengan langkah penuh percaya diri, matanya terlihat cukup tajam memandangi rumah sederhana yang ia datangi bersama para bawahannya.
Di belakangnya, dua pria bertubuh kekar mengikuti, masing-masing juga membawa koper besar yang tampak berat. Angin malam terasa mencekam usai kedatangan mereka.
Laura berdiri di depan pintu bersama Ibunya yang bernama Simone Marchand. Melihat sosok pria itu, tubuh Madam Simone langsung membatu. Matanya membulat penuh ketakutan, dan tangannya mulai sedikit gemetar.
“Cepat masuk ke dalam, Laura,” bisik Madam Simone, matanya tidak lepas dari sosok Lucien yang tampak menatap Laura.
“Tapi kenapa aku harus—”
“Masuk, Laura!” Nada Madam Simone terdengar lebih tegas dengan memandang putrinya.
Akan tetapi, saat Laura ingin berbalik. Lucien justru sudah berdiri di depan mereka, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.
“Selamat malam, Madam Simone,” sapa Lucien, nadanya terdengar sopan, tetapi dingin.
“Senang akhirnya bisa bertemu Anda lagi setelah sekian lama.”
Madam Simone menarik napasnya dalam-dalam, lalu berdiri tegak dan tak lupa melindungi Laura yang berdiri di belakang tubuhnya.
“Beraninya sekali kau datang ke sini, Lucien! Setelah semua yang kau lakukan!” pungkas Madam Simone begitu tegas, sampai suaranya pun menggelegar di halaman rumah.
“Sayangnya, kedatanganku bukan untuk berbicara tentang masa lalu, Madam,” sahut Lucien dengan wajah datarnya, sesekali curi pandang ke Laura.
“La—Lalu untuk apa kau datang kemari?” tanya Madam Simone.
“Aku datang di sini untuk masa depan. Masa depan antara aku dan … putrimu.” Lucien menoleh ke Laura, lalu kembali menatap Madam Simone dengan tersenyum tipis.
Laura menatapnya dengan kaget, apalagi Madam Simone yang langsung memegang erat pergelangan putrinya karena takut terjadi apa-apa dengannya.
“Masa depan? Apa maksudmu?” tanya Laura kebingungan.
Lucien memberi isyarat pada seluruh anak buahnya yang diajaknya datang ke rumah Laura.
Semua koper langsung kompak dibuka, memperlihatkan isi penuh dengan uang tunai dan perhiasan yang berkilauan di bawah lampu jalan.
“Aku datang untuk meminangmu, Laura,” kata Lucien tanpa basa-basi.
“Aku ingin kau menjadi … istriku.”
Laura tersenyum sinis mendengar apa yang baru saja ia dengar. Sangat tidak mungkin kalau mereka akan menikah, karena baru saja saling kenal, ditambah Ibunya terlihat masih menyimpan sebuah rahasia.
“Apa pistol yang mengenai perutmu tadi merusak otakmu juga?” ujar Laura mengejek.
“Bukan pistol yang merusak otakku, Laura, tapi dirimu,” jawab Lucien.
Laura mundur beberapa langkah untuk menghindari pria itu. Kemudian berjalan mendekati salah satu bawahan Lucien yang memegang sekoper uang, lalu menepisnya sampai berhamburan ke tanah.
“Aku tidak akan pernah menikah denganmu!”
“Kau salah, sayang,” balas Lucien sambil melangkah maju, membuat Laura semakin terdesak.
“Aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, dan sekarang … aku menginginkanmu.”
“Pergi dari sini, Lucien!” Madam Simone bergegas berdiri di depan putrinya, suaranya bergetar penuh amarah.
“Laura tidak akan pernah menikah dengan pembunuh seperti dirimu, Lucien!” bentak Madam Simone.
Lucien tertawa kecil mendengar ungkapan Madam Simone yang begitu berani, tawanya terdengar dingin dan menusuk.
“Pembunuh? Rupanya Anda masih menyimpan dendam atas kejadian itu.”
“Bukankah kita sudah selesai dengan urusan itu sepuluh tahun lalu?” ujar Lucien.
“Tidak ada yang benar-benar selesai, Lucien!” teriak Madam Simone.
“Kau membunuh suamiku! Kau menghancurkan keluarga kami!”
“Apa kau pikir aku akan membiarkan anakku menikah dengan pembunuh berdarah dingin sepertimu?”
Laura memandang ibunya dengan pupil mata melebar. Ia masih berusaha mencerna segala ucapan yang baru saja ia dengar dari Ibunya.
“A—Apa maksud Ibu? Orang ini … Lucien … orang yang membunuh Ayah?” tanya Laura dengan emosi yang mulai menguasainya secara perlahan.
Lucien memiringkan kepalanya saat mata Laura menatap nyalang ke arahnya, senyumnya pun tampak sedikit memudar.
“Ibumu benar, Laura, tapi Ayahmu memang bagian dari masalah yang harus diatasi. Tenanglah, itu hanya bisnis,” jawab Lucien dengan ekspresi tenang dan sesekali tersenyum ke Laura.
PLAK!
Tamparan keras Laura mendarat di pipi Lucien, membuat pria itu sedikit tersentak. Beberapa bawahannya sampai bergerak maju, tapi Lucien langsung menghentikan mereka hanya dengan mengangkat satu tangannya.
Meskipun itu adalah tamparan ke sekian dari Laura, ia tidak marah. Sebaliknya, senyum liciknya kembali muncul di wajahnya.
“Kau bisa memukulku sesukamu,” katanya pelan.
“Tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Kau akan menjadi milikku, suka atau tidak.”
“Aku lebih baik mati daripada menikah dengan orang yang telah membunuh cinta pertamaku!” balas Laura, matanya berkilat dengan amarah dan air mata yang mulai mengalir.
Lucien mendekatkan wajahnya ke arah Laura, bahkan menyingkirkan Madam Simone sampai terjatuh ke tanah.
“Jangan mengucapkan kalimat yang tak kumengerti, sayang.”
“Jangan mengancam putriku!” Madam Simone langsung bergegas berdiri di depan Laura, melindungi putrinya dengan tubuhnya yang sudah tidak muda lagi.
“Aku tidak takut padamu, Lucien! Kau tidak akan pernah mendapatkan Laura!”
“Dan aku … tidak sudi punya menantu seorang pembunuh sepertimu!” sambung Madam Simone dengan kedua tangan yang direntangkan untuk melindungi Laura yang sedang menangis.
Lucien memandang Madam Simone dengan tatapan dinginnya yang seperti Rajawali.
“Anda salah besar, Madam. Jika Anda menolak, aku bisa menjamin rumah ini, usaha kecil Anda, semuanya … akan hancur dalam waktu 1 menit.”
“Coba saja!” teriak Madam Simone menantang.
“Aku tidak akan menyerahkan putriku padamu, meskipun kau akan menghancurkan semuanya!”
Lucien menyeringai puas mendengar jawaban yang begitu menantang, lalu melambaikan tangannya pada anak buahnya. Mereka mengunci koper dan membawa semuanya kembali ke mobil.
“Baiklah, Madam. Jika itu yang Anda inginkan…,” katanya sambil melangkah mundur.
“Tapi ingat satu hal, Laura. Aku bersumpah akan membuatmu jadi milikku!” titahnya menggema, sampai membangunkan beberapa tetangga yang tinggal di dekat rumah Laura.
Sebelum Lucien benar-benar kembali ke dalam mobilnya yang mewah, ia mendekatkan diri dan mulai mencengkeram rahang Laura dengan tatapan yang begitu tegas.
“Lepaskan Laura, Lucien!” pinta Madam Simone, tapi tubuhnya ditahan oleh salah satu bawahan Lucien.
“Aku akan kembali besok, dan hanya ada satu jawaban yang ingin kudengar dari bibirmu,” ucapnya, sambil mengusap bibir bawah Laura menggunakan Ibu jari tangan kanannya.
“Lebih baik kau menyerah saja, Tuan Lucien yang terhormat,” ucap Laura.
“Kalau kau ingin aku menyerah, tunggulah selamanya.”
Laura mulai meronta, tapi mengingat tenaganya jauh lebih lemah dibanding Lucien, ia pun menyerah dan hanya bisa pasrah.
“Aku tidak peduli dengan usahamu, karena aku tidak akan pernah mengiyakan keinginanmu itu!”
“Laura? Kalau kau menikah denganku, hidupmu akan jauh lebih terjamin,” jelas Lucien.
“Sayangnya, saya tidak minat menikah denganmu, karena saya sudah memiliki tunangan.”
Jika suka novel ini, mohon untuk masukkan ke daftar pustaka, ya! Jangan lupa follow akun GoodNovel author!
Anneliese dan Laura serentak menoleh secara perlahan. Sementara para anak buah Lucien yang berdiri di dekat gerbang langsung menundukkan kepala mereka dengan sangat hormat.Sosok seorang wanita tua yang berdiri itu melangkah dengan anggun, mengenakan gaun hitam berkelas dengan tongkat yang berukiran naga emas di tangan kanannya.“Siapa wanita itu? Kenapa semua orang terlihat sangat menghormatinya?” batin Laura, sangat penasaran.Sorot matanya tampak tajam seperti elang yang sedang mengamati mangsanya. Dialah Elda Deveraux, nenek Lucien—sosok yang bahkan lebih ditakuti di keluarga Deveraux.Laura tetap berusaha untuk berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan sedikit pun rasa takutnya, meskipun berkali-kali ia terlihat menelan salivanya susah payah, sambil tetap menatap lurus ke arah wanita itu.Elda mengangkat satu alisnya usai memperhatikan seluruh tubuh Laura, mulai dari bawah sampai atas, lalu tersenyum lembut di hadapan semua orang. Bahkan Lucien dan kedua orang tuanya yang sedang berd
Anneliese menoleh dengan depat pada Sofia, ingin memastikan kebenarannya, karena kalau benar begitu, sama saja telah merendahkannya sebagai pewaris kedua keluarga Moretti.“Katakan padaku, Bu Sofia. Kenapa anak lelakimu berkata seperti itu?”“Kau … jangan khawatir, Anne,” jawab Sofia dengan mimik wajah begitu gugup, sesekali melirik ke arah Lucien yang terlihat menatap lekat-lekat wajah cantik Laura.Dalam sekejap Sofia segera menggenggam tangan Lucien, lalu mengajaknya pergi ke tempat yang lebih sepi untuk membicarakan sesuatu.PLAK!Tamparan keras mendarat ke pipi kiri Lucien, tapi Lucien tidak peduli dengan semua itu. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh ibunya dalam keadaan genting seperti ini.“Kau sudah bodoh, ya?” ujar Sofia.“Seharusnya kau tidak berkata seperti itu di hadapan Sofia, Lu!”“Kenapa? Ibu takut keluarga Moretti akan menyerang keluarga Deveraux?” jawab Lucien yang terdengar seperti menantang ibunya karena tak takut sedikit pun.“Anne itu anak satu-satunya kelu
Suasana di halaman rumah langsung berubah mencekam usai mendengar pengakuan Laura yang sungguh berani, seolah kata-katanya menantang mautnya sendiri.“Apa yang baru saja kau katakan?” Suara Sofia terdengar tajam, seperti bilah pisau yang siap menggorok siapa saja yang berani melawan kehendaknya.Laura hanya terdiam, tapi bukan berarti ia akan takut dengan siapa berbicara. Mata cokelatnya bersinar dengan keberanian yang tak tergoyahkan.“Saya bilang, saya adalah anak dari kepala divisi investigasi kriminal … yang putra Anda bunuh.”Dalam sekejap suasana di sana langsung hening lagi, sebelum pada akhirnya suara Alessandro Devereaux bergemuruh dengan kemarahan yang tak tertahan usai menatap tajam putranya sendiri.“Kau … kenapa tidak mengatakan padaku siapa sebenarnya gadis jalang ini, Lucien?”“Bukankah kau yang mengajaknya bersamaku pulang ke rumah?” jawab balik Lucien yang membuat Alessandro geram.“Selain keluarga Deveraux dilarang masuk ke kawasan ini, kecuali jika dia memang diundan
Kembali ke masa kini, tepatnya tiga tahun kemudian di Hotel Bellagio saat tengah malam. Laura yang gagal kabur itu hanya bisa berdiri membisu di hadapan Lucien yang sudah kehilangan kesabarannya.“Kecelakaan 3 tahun lalu … membuatku berpikir kau sudah tewas, tapi lihatlah dirimu sekarang? Kau … baik-baik saja.”“Apa kau tau, Tuan Lucien? Hidupku sangat menderita ketika aku menghindar darimu selama 3 tahun ini,” kata Laura dengan mata yang berkaca-kaca.“KAU BAHKAN MEMBUNUH … GABRIEL!”Tangannya memukul bertubi-tubi dada bidang Lucien karena lelaki yang paling ia cintai sudah tiada di dunia ini, dan semua itu karena keegoisan Lucien!Pria itu melangkah mendekat, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap mengiris ketenangan jiwa siapa pun yang menentangnya.“Kau berani menghilang selama tiga tahun dan sekarang berbicara seolah kau adalah korban?” Suaranya terdengar agak serak.“Kau tau berapa banyak orang yang telah kuhancurkan hanya untuk menemukanmu di kota ini?”Laura menggigit bibi
“Cepat pakaikan dia gaun pengantin!”Tubuh Laura yang dilempar ke dua Pelayan di mansion seketika terkejut. Baru saja ia sampai tapi kenapa Lucien justru menyuruhnya memakai gaun pengantin?“Tu–tuan? Bukankah pernikahan Anda dilaksanakan besok?” tanya Bianca.Hanya ditatap sinis dari samping, Bianca langsung merinding sambil memainkan jari jemarinya. Sedangkan Laura langsung berdiri tegap dan mendekat ke Lucien.“Jangan memaksaku untuk menikahimu, pria sialan!” ucap Laura.“Apa kau tidak mendengarku? Segera dandani dia dan pakaian gaun pengantin!” bentaknya pada Bianca sampai terkejut.Sementara itu, Laura yang diabaikan oleh Lucien hanya bisa menggelengkan kepalanya memohon pada Bianca. Meskipun semua usahanya itu sia-sia mengingat Bianca terlihat ketakutan.Tubuh Laura segera dibawanya masuk ke dalam rumah. Bianca juga memanggil Pelayan baru bernama Alana yang jago dalam merias wajah.Bianca pun menyuruh Laura agar duduk di kursi meja rias, lalu Alana mulai merias wajahnya dengan per
Tepuk tangan itu terdengar lambat, tapi bergema di dalam ruangan rumah sakit yang tadinya dipenuhi perdebatan dan air mata akan tindakan egois Bu Kamilia.Semua mata kini beralih ke arah pintu masuk, di mana Lucien sudah berdiri di sana dengan jas hitamnya yang sempurna.“Lucien? Bagaimana bisa dia datang kemari?” batin Gabriel.Mata tajamnya menyorot tajam dalam ruangan yang hanya diterangi lampu-lampu rumah sakit.Senyum sinis mulai menghiasi wajahnya saat matanya bertatapan dengan Laura, seolah-olah dia menikmati pertemuannya lagi.“Sungguh pertemuan yang mengharukan.”“Benar kan, kucing nakal?”Suaranya sangat tenang, tapi ada nada bahaya yang terselip di dalamnya.Tubuh Madam Simone Pun menegang melihat sosok Lucien yang datang. Ia segera mendekat dan berdiri di depan Laura, melindungi putrinya. Gabriel yang meskipun tubuhnya masih lemah, berusaha bangkit dari ranjangnya, tapi Lucien hanya meliriknya sekilas, seakan-akan dia bukan ancaman sama sekali.“Apa yang kau lakukan di sin







