LOGINLucien Deveraux, ketua gangster paling ditakuti di Milan, tidak pernah gagal mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk Laura Marchand, gadis yang pernah menyelamatkan nyawa pria itu. Sayangnya, Laura menganggap Lucien adalah mimpi buruk yang ingin ia lupakan. Lantas, bagaimana nasib Laura? Terlebih saat gadis itu mencoba melarikan diri dari pernikahan yang dipaksakan--tanpa menyadari bahwa Lucien bersumpah akan membawanya kembali, apa pun yang terjadi!
View MoreHotel Bellagio, Milan – Tengah Malam
Lampu kristal tampak bergemerlapan di aula resepsi mewah yang digelar secara mendadak.
“Gawat, Tuan! Pengantin Anda … kabur.”
Pria bernama Lucien Deveraux segera berbalik badan, lalu mencengkeram erat kerah kemeja pria di hadapannya menggunakan kedua tangan.
“Dasar tidak becus!” hinanya dengan mata yang menyorot tajam.
“Cepat cari dia sampai ketemu! Kalau tidak … akan kuhabisi nyawamu malam ini!” imbuhnya dengan nada yang begitu tegas, membuat pria di hadapannya menelan saliva susah payah sambil menganggukkan kepala.
Beberapa menit kemudian, gadis bernama Laura Marchand terlihat sedang berlari terburu-buru, dengan gaun pengantin yang panjangnya menyeret lantai.
Napasnya tersengal, wajahnya panik, dan tangannya pun tampak gemetar saat mulai memegang sepatu hak tingginya yang dilepas paksa agar bisa kabur lebih cepat.
“A—Aku harus cepat pergi dari sini,” gumamnya gemetar.
Jantungnya berdetak semakin liar, bukan hanya karena larinya yang terburu-buru, tapi juga karena ketakutan yang sudah memasuki pikirannya.
Ia tahu siapa yang sedang mengejarnya di belakang sana. Bukan tamu undangan. Bukan juga keluarganya, karena hari ini ia seorang diri di hotel ini, tapi Lucien Deveraux, pria yang baru saja ia tinggalkan.
“LAURA!” Suara berat itu memantul di sepanjang lorong hotel.
Dalam sekejap, langkah kaki Laura terhenti karena adanya dua bawahan Lucien yang berhasil menghalangi langkahnya. Napasnya jadi tertahan dan tubuhnya pun membeku.
Suara sepatu Lucien terdengar mendekat dan menggema, langkahnya terlihat sangat stabil, seolah tak ada yang mampu menghentikan pria itu.
Ya, tidak ada yang berani, karena perintah Lucien adalah mutlak!
Laura menggigit bibir, menahan tangis yang nyaris pecah.
Dalam hitungan detik, pria itu berdiri di hadapan Laura dengan memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
Tingginya menjulang, dan jas hitamnya sempurna membalut tubuh berototnya yang begitu gagah. Mata abu-abu miliknya itu seperti tombak, berhasil menembus hingga ke hati Laura.
“Berani sekali kau lari dariku.” Suaranya terdengar dingin, tak ada amarah yang meledak, tapi itu justru yang paling menakutkan bagi Laura.
“Aku tidak sudi menikah dengan pembunuh sepertimu!” Laura akhirnya berani bersuara, meskipun suaranya terdengar bergetar.
“Ayahku … dia mati karena ulahmu, Lucien! Dan kau pikir … aku bisa hidup dengan seorang pembunuh Ayahku?”
Lucien tersenyum kecil usai mendengar ucapan Laura, tetapi senyumannya itu terlihat seperti ejekan yang begitu meremehkan kematian Ayah Laura.
“Jangan bertingkah seolah kau tahu segalanya, sayang.”
“Apa yang kau lihat sepuluh tahun lalu … itu bukan salahku.”
Lucien agak membungkukkan tubuhnya, lalu berbisik, “Tapi salah Ayahmu yang terlalu lemah!”
Laura mundur selangkah dengan ekspresi marah yang sudah tak tertahankan, tapi Lucien justru dengan mudah menyudutkan tubuh rampingnya ke dinding.
Tangannya yang besar itu mulai mencengkram pergelangan Laura, bukan dengan kasar, tetapi cukup untuk memastikan gadis itu tidak bisa kabur lagi.
“Dengar baik-baik,” katanya dengan suara rendah, dan wajahnya jadi begitu dekat hingga Laura bisa merasakan napas hangat Lucien yang menerpa wajah cantiknya.
“Kau bisa membenciku, mencaci maki, bahkan mencoba lari seribu kali, tapi aku akan selalu menemukanmu.”
“Jika ada yang berani menyembunyikanmu … akan kuhancurkan Milan demi untuk menemukanmu, Laura,” bisiknya, lalu menyeringai dengan puas ketika melihat wajah tegas Laura, seolah rasa takutnya sudah sirna dan berubah jadi keberanian.
“Kau sudah milikku sejak pertemuan kita saat itu!” lanjutnya.
Kilasan balik menyergap ingatan Laura seperti badai yang tak tertahan. Tatapan dingin Lucien dan suara bariton itu memicu ingatan lama yang terkubur rapat di benaknya.
Tiga Tahun Lalu, Pelabuhan Marseille.
Angin laut terasa menusuk hidung, serta membawa aroma garam yang bercampur dengan bau besi dari darah dua kubu yang sedang saling tembak, aromanya begitu menyengat.
Laura yang baru saja kembali dari tempat kerjanya, tidak pernah membayangkan kalau malam itu akan berubah menjadi mimpi buruk.
Suara tembakan memecah keheningan malam, membuatnya tertegun dan ketakutan. Dari balik kontainer-kontainer raksasa, ia melihat sosok pria terjatuh dengan luka tembak di perutnya.
Ia seharusnya lari. Ia tahu itu, tapi entah mengapa, kakinya justru membawa tubuhnya mendekati pria itu secara spontan, dengan tatapan yang penasaran.
“Ka—Kau masih hidup?” tanya Laura dengan suara lirih.
Meskipun wajahnya pucat pasi dan tubuhnya berlumuran darah, pria itu mengangkat kepala dan menatap Laura.
Mata abu-abunya itu tajam seperti serigala, tetapi lelah seperti seseorang yang sedang di ambang kematian.
“Pergi,” gumamnya pelan, suaranya itu hampir tidak terdengar. “Atau kau akan mati.”
Laura memeriksa luka di tubuh pria itu dan mengabaikan ancamannya. Peluru itu menembus sisi perutnya.
“Diam dan jangan bergerak,” kata Laura.
Dengan tangan gemetar, Laura merobek ujung kemejanya, membalut luka itu semampunya. Ia menekan keras kain yang ia lilitkan, meski pria itu mendesis kesakitan.
“Abaikan aku dan selamatkan hidupmu sendiri!” ujar pria itu di sela napas beratnya.
“Kau akan mati jika lukamu dibiarkan terbuka,” jawab Laura.
Pria itu memandang wajahnya yang terlihat serius, nyaris terkesan, lalu sebuah senyum kecil muncul di wajahnya yang dingin.
“Siapa namamu?”
Sebelum Laura sempat menjawab, langkah kaki yang begitu keras terdengar mendekat. Suara lelaki bercampur dengan dengusan amarah menggema di udara.
“Mereka datang,” bisik Lucien. “Pergilah, sekarang!”
Laura menggeleng. Ia melihat pistol di tangan Lucien yang terlihat lemah. Sebuah keputusan nekat pun muncul dalam benaknya.
“Berikan pistol itu,” pintanya.
Lucien menatapnya terkejut, lalu berkata, “Kau bukan tandingan mereka!”
“Kalau aku tidak melindungimu, kau akan mati di sini,” balas Laura tegas.
“Cepat berikan!”
Dengan ragu-ragu, Lucien pun menyerahkan senjatanya, dan Laura yang bahkan belum pernah memegang pistol sebelumnya mulai berdiri di depan tubuh pria itu.
Ia mengatur napas saat dua pria bersenjata muncul di hadapannya dengan memegang pistolnya masing-masing.
Ia mengacungkan pistol dengan tangan sedikit gemetar. Kedua pria itu justru tertawa kecil, menganggapnya bukan ancaman.
Namun, saat salah satu dari mereka mencoba maju, Laura menarik pelatuknya tanpa ragu dengan mata memejam.
Suara tembakan menggema, diikuti jeritan dari pria yang kini memegangi kakinya.
Lucien terkejut dengan keberanian gadis itu, dengan tenaga yang tersisa, ia meraih pistol cadangan dari sabuknya dan menembak pria kedua dengan presisi yang tajam.
Ketika semuanya sudah berakhir, Laura berlutut lemas, napasnya terengah, dan tangan yang memegang pistol itu bergetar hebat.
Ia menoleh ke arah Lucien yang kini tersenyum samar, entah karena lega atau terhibur oleh keberanian nekatnya.
“Kenapa kau menyelamatkanku?” tanya Lucien.
“Kau pikir aku akan diam saja melihat orang sedang sekarat? Segera pergi ke rumah sakit terdekat biar lukamu tidak semakin parah.”
Saat Laura hendak bangkit untuk pergi meninggalkannya, tangannya justru ditarik paksa oleh Lucien, sampai tubuhnya mendekat dan bibir mereka pun bertemu.
PLAK!
“Bajingan! Seharusnya kubiarkan saya kau sekarat dan mati di tangan dua pria tadi!”
Anneliese dan Laura serentak menoleh secara perlahan. Sementara para anak buah Lucien yang berdiri di dekat gerbang langsung menundukkan kepala mereka dengan sangat hormat.Sosok seorang wanita tua yang berdiri itu melangkah dengan anggun, mengenakan gaun hitam berkelas dengan tongkat yang berukiran naga emas di tangan kanannya.“Siapa wanita itu? Kenapa semua orang terlihat sangat menghormatinya?” batin Laura, sangat penasaran.Sorot matanya tampak tajam seperti elang yang sedang mengamati mangsanya. Dialah Elda Deveraux, nenek Lucien—sosok yang bahkan lebih ditakuti di keluarga Deveraux.Laura tetap berusaha untuk berdiri tegak, tidak ingin menunjukkan sedikit pun rasa takutnya, meskipun berkali-kali ia terlihat menelan salivanya susah payah, sambil tetap menatap lurus ke arah wanita itu.Elda mengangkat satu alisnya usai memperhatikan seluruh tubuh Laura, mulai dari bawah sampai atas, lalu tersenyum lembut di hadapan semua orang. Bahkan Lucien dan kedua orang tuanya yang sedang berd
Anneliese menoleh dengan depat pada Sofia, ingin memastikan kebenarannya, karena kalau benar begitu, sama saja telah merendahkannya sebagai pewaris kedua keluarga Moretti.“Katakan padaku, Bu Sofia. Kenapa anak lelakimu berkata seperti itu?”“Kau … jangan khawatir, Anne,” jawab Sofia dengan mimik wajah begitu gugup, sesekali melirik ke arah Lucien yang terlihat menatap lekat-lekat wajah cantik Laura.Dalam sekejap Sofia segera menggenggam tangan Lucien, lalu mengajaknya pergi ke tempat yang lebih sepi untuk membicarakan sesuatu.PLAK!Tamparan keras mendarat ke pipi kiri Lucien, tapi Lucien tidak peduli dengan semua itu. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan oleh ibunya dalam keadaan genting seperti ini.“Kau sudah bodoh, ya?” ujar Sofia.“Seharusnya kau tidak berkata seperti itu di hadapan Sofia, Lu!”“Kenapa? Ibu takut keluarga Moretti akan menyerang keluarga Deveraux?” jawab Lucien yang terdengar seperti menantang ibunya karena tak takut sedikit pun.“Anne itu anak satu-satunya kelu
Suasana di halaman rumah langsung berubah mencekam usai mendengar pengakuan Laura yang sungguh berani, seolah kata-katanya menantang mautnya sendiri.“Apa yang baru saja kau katakan?” Suara Sofia terdengar tajam, seperti bilah pisau yang siap menggorok siapa saja yang berani melawan kehendaknya.Laura hanya terdiam, tapi bukan berarti ia akan takut dengan siapa berbicara. Mata cokelatnya bersinar dengan keberanian yang tak tergoyahkan.“Saya bilang, saya adalah anak dari kepala divisi investigasi kriminal … yang putra Anda bunuh.”Dalam sekejap suasana di sana langsung hening lagi, sebelum pada akhirnya suara Alessandro Devereaux bergemuruh dengan kemarahan yang tak tertahan usai menatap tajam putranya sendiri.“Kau … kenapa tidak mengatakan padaku siapa sebenarnya gadis jalang ini, Lucien?”“Bukankah kau yang mengajaknya bersamaku pulang ke rumah?” jawab balik Lucien yang membuat Alessandro geram.“Selain keluarga Deveraux dilarang masuk ke kawasan ini, kecuali jika dia memang diundan
Kembali ke masa kini, tepatnya tiga tahun kemudian di Hotel Bellagio saat tengah malam. Laura yang gagal kabur itu hanya bisa berdiri membisu di hadapan Lucien yang sudah kehilangan kesabarannya.“Kecelakaan 3 tahun lalu … membuatku berpikir kau sudah tewas, tapi lihatlah dirimu sekarang? Kau … baik-baik saja.”“Apa kau tau, Tuan Lucien? Hidupku sangat menderita ketika aku menghindar darimu selama 3 tahun ini,” kata Laura dengan mata yang berkaca-kaca.“KAU BAHKAN MEMBUNUH … GABRIEL!”Tangannya memukul bertubi-tubi dada bidang Lucien karena lelaki yang paling ia cintai sudah tiada di dunia ini, dan semua itu karena keegoisan Lucien!Pria itu melangkah mendekat, sorot matanya tajam seperti pisau yang siap mengiris ketenangan jiwa siapa pun yang menentangnya.“Kau berani menghilang selama tiga tahun dan sekarang berbicara seolah kau adalah korban?” Suaranya terdengar agak serak.“Kau tau berapa banyak orang yang telah kuhancurkan hanya untuk menemukanmu di kota ini?”Laura menggigit bibi






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.