Anna duduk membeku di ruang kerja Damien, matanya kosong menatap tumpukan dokumen di meja kayu besar. Tubuhnya terasa mati rasa, tapi pikirannya jauh lebih berat. Sejak insiden jatuh itu, ia tahu ini bukan sekadar kecelakaan. Dan ia yakin Lucian takkan pernah membiarkannya hidup tenang. Apalagi saat pria itu tahu bayi ini masih bertahan.Seorang pelayan masuk, meletakkan secangkir cokelat hangat seperti biasa, tapi gurat kekhawatiran di wajah Anna terlalu jelas untuk diabaikan hari ini."Ada apa?" tanya Damien langsung, duduk di hadapannya.Anna menarik napas panjang, suaranya nyaris berbisik, "Aku ingin minta tolong..."Damien menatapnya, matanya tenang namun penuh perhatian. "Apa pun."Anna menunduk, meremas jemarinya. "Aku masih punya utang. Bukan cuma soal uang, tapi janji. Utangku pada keluarga Aldrick. Pada Vivian. Dan terutama Lucian."Ia mendongak, menatap Damien dalam-dalam. "Aku tahu kau sedang di puncak sekarang. Kau bisa menghancurkan Lucian, dan dia tahu itu. Tapi dia tid
Selena duduk terpaku di sofa panjang ruang kerja Lucian. Tubuhnya tegang, matanya menatap kosong ke depan. Kata-kata Lucian berputar-putar di kepalanya: "Seseorang yang bisa menyingkirkan bayi itu... tanpa jejak?"Ia meremas tangannya kuat-kuat, kukunya hampir menembus kulit. Bukan takut, tapi marah. Terluka. Hancur. Baru saja ia merasa menang. Baru saja ia yakin, Anna sudah benar-benar tersingkir setelah menikah dengan Damien. Ia bahkan berani memamerkan kehamilan palsu, cuma demi mengguncang Anna.Tapi semua itu luluh lantak dalam satu pukulan.Lucian bukan hanya mencaci. Ia menginjak harga dirinya. Menjadikannya alat. Melemparkan semua kekesalan padanya, seolah ia tak berarti apa-apa."Anna... anak panti asuhan sialan itu," gumam Selena penuh kebencian. "Benar-benar tak tahu diri."Selama ini ia menahan diri, mencoba tetap tenang. Tapi kini batasnya runtuh. Ia sudah mempertaruhkan segalanya demi Lucian. Dan ia tak akan membiarkan Anna mengambilnya begitu saja.“Anna harus hilang.”
Langit sore menggelayut kelabu, awan-awan menggantung rendah seolah siap menumpahkan badai sebentar lagi. Anna melangkah pelan, menyusuri trotoar sempit di sisi taman kota. Ia sengaja mengambil jalan memutar dari klinik, berharap udara luar bisa menenangkan pikirannya yang ruwet.Hari ini terasa seperti keberuntungan kecil, ia berhasil keluar tanpa perlu dikawal ketat oleh Damien, tak seperti terakhir kali Damien memergokinya bertemu Lucian.Di tangan Anna, ia meremas amplop putih berisi hasil pemeriksaan kehamilan yang baru saja dikonfirmasi dokter. Tangannya gemetar. Setiap langkah diselingi pertanyaan-pertanyaan yang tak henti menghantui, “Apa aku benar-benar akan jadi ibu? Aku sanggup? Damien... mungkinkah dia berubah?”Ia tak punya jawaban. Yang Anna tahu, hatinya terlalu hancur untuk merayakan kehidupan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Pagi tadi, saat ia menatap bayangan samar dirinya yang lesu dan lelah di cermin, ia hampir tidak mengenali siapa wanita yang menatap balik itu.
Lucian tak sudi menyerah begitu saja.Beberapa hari setelah pertemuan panas di kantor Damien, ia membombardir Anna dengan email, pesan pribadi, bahkan surat fisik dan semuanya diabaikan. Tapi Lucian terkenal pantang mundur. Kini, ia punya alasan yang jauh lebih besar yaitu menyelamatkan perusahaannya dari ambang kehancuran.Namun, hari itu, ketika Lucian sengaja menunggu Anna keluar dari rapat tim pemasaran Damien, sebuah perjumpaan tak terduga terjadi."Lucian Aldric?" Sebuah suara perempuan menyapanya dengan nada tajam.Lucian menoleh. Bianca berdiri tak jauh, berbalut blazer putih dan rok pensil ketat, matanya menatap Lucian penuh penilaian."Kau sedang menguntit istri CEO kita?" sindirnya dingin.Lucian hanya tersenyum tipis, tak ada sedikit pun rasa malu. “Kau keliru. Aku hanya sedang memastikan sesuatu.”“Dan apa itu? Bukankah kau cuma kakak angkatnya? Tidak lebih dari itu?” Bianca melangkah mendekat, melipat tangan di dada. “Atau kau sudah menyadari, kalau Anna benar-benar tela
Lucian membanting pintu ruang kantornya dengan kasar. Napasnya masih memburu setelah pertemuan yang kacau balau dengan Anna. Di balik meja, Selena duduk santai, memainkan rambutnya seolah tak ada hal buruk yang terjadi.“Sudah kubilang jangan datang!” bentak Lucian dingin.Selena mengangkat bahu. “Kalau aku enggak datang, kamu pasti cuma bakal natap dia kayak anak anjing yang putus asa. Lagipula, harus ada dong yang mastiin Anna tahu posisinya sekarang di mana.”Lucian menggebrak meja. “Selena! Kamu bohong soal hamil. Kamu waras, enggak, sih?”Selena menatap Lucian dengan senyum kecil yang licik. “Waras? Ya. Tapi aku tahu cara jaga posisiku. Kamu pikir aku bakal diam aja lihat kamu terus bimbang antara aku dan dia?”“Anna bukan pilihan!” balas Lucian tajam. “Dia cuma masa lalu yang enggak pernah bisa aku beresin. Tapi kamu malah bakar semuanya!”Selena berdiri, berjalan mendekat ke Lucian dengan tatapan menusuk. “Masa lalu? Jangan munafik, deh. Kamu masih tergila-gila sama dia, bahkan
Tok!Tok!Tok!Ketukan pintu terdengar dari luar, suara anak buah Damien. Tapi Damien tak mau menyahut.Ketukan kembali terdengar, kali ini lebih mendesak. Damien masih berdiri di hadapan Anna, rahangnya mengeras mendengar suara yang ia kenal betul."Siapa?" gumamnya pelan."Bianca."Damien mengangkat alisnya. "Bukankah aku sudah menyuruhnya untuk tinggal di tempat lain?" gumamnya lagi.Anna buru-buru berdiri, kembali menjaga jarak. "Sudahlah, urus saja dulu. Aku sudah biasa kok dikesampingkan."Damien berbalik cepat. "Jangan bicara seperti itu."Anna tidak menanggapi. Dia melangkah menjauh, menahan perasaan yang terlalu sulit dijelaskan. Damien akhirnya membuka pintu kamar."Ya?" ucapnya dingin.Bianca berdiri dengan wajah cemas, memegang tablet. "Aku harus tunjukkan ini, sekarang. Pergerakan saham New Ark Group. Kita harus--""Aku tidak butuh hal itu lagi." Damien memotong kalimatnya.Bianca terkejut. "Apa maksudmu?"Damien melirik sekilas ke arah Anna yang sudah duduk di kursi deka