“Aku akan memasang kamera dulu. Kau bersiap-siaplah.” Pinta Krish pada Grisse yang masih memandangi lembaran kertas dengan serius.“Apa yang harus aku lakukan?” Tanya Grisse sambil mengangkat bahu. Krish tertawa karena baginya pertanyaan Grisse terdengar lucu.“Merias diri mungkin? Atau kau ingin menata rambutmu?” Ternyata Krish kesulitan juga mendeskripsikan instruksinya sendiri. “Kau tidak melakukan apa pun, bagiku tidak masalah karena aku suka dirimu yang apa adanya.” Bisik Krish sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Grisse. Grisse mengangguk perlahan.“Baguslah karena aku tidak bisa merias diri.” Jawab Grisse sambil menyugar rambutnya beberapa kali. Krish tersenyum menanggapi kalimat Grisse. Ia kemudian kembali berkutat dengan kamera serta penyangganya. Krish menggerakkan kamera beberapa kali guna memperoleh posisi yang tepat untuk kameranya merekam aktivitasnya dan Grisse di atas tempat tidur.“Sempurna.” Ujar Krish dengan helaan napas lega karena akhirnya ia berhas
“Kau siap?” Tanya Krish sambil menyentuh tangan Grisse perlahan. Yang ditanya hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tetiba, Grisse diserang rasa gugup yang teramat mengganggu dirinya. Terlebih ketika bayangan akan percintaan yang panas dan penuh gairah dengan Krish beberapa kali berkelebat dalam benaknya. “Krish, apa kau merasa gugup?” Tanya Grisse sambil menatap lurus ke arah netra Krish. Laki-laki itu langsung menggeleng.“Kau gugup?” Krish balik bertanya. Grisse mengangguk.“Kenapa?” “Entahlah.” Grisse tidak yakin dengan dirinya.“Kau memikirkan sesuatu?” Tanya Krish dengan kerlingan menggoda. Grisse kembali mengangguk.“Aku membayangkan kita….” Grisse tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Gadis itu menunduk karena tersipu.“Kita bercinta lebih hebat dari sebelumnya.” Tebak Krish yang diikuti anggukan lemah Grisse. Krish langsung memeluk Grisse. Merengkuh kepala gadis itu dalam dekapannya. Krish akui ia juga gugup. Ia juga mempunyai pikiran yang sama dengan Grisse. Meskipun ini
Grisse memilih melangkah menjauhi tempat tidur. Gairah yang tadinya menggebu, kini langsung sirna begitu ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan akan berpisah dengan Krish. Dengan tubuh polosnya, Grisse melangkah menuju dinding kaca yang terbuka tirainya. Pandangannya langsung tertuju pada bangunan hotel yang berada tepat di depannya. Di hotel itulah, Grisse dan Vidwan bercinta dengan disaksikan banyak pasang mata. Grisse tersenyum sinis, juga miris, jika teringat betapa bodohnya dia. Mau saja menurut demi memuaskan fantasi gila Vidwan.Krish yang memilih untuk tetap duduk di tepian ranjang, tidak juga mau melepas pandangan dari sosok Grisse. Krish tahu pikiran Grisse sedang kalut. Sekalut pikiran Krish sendiri, tapi Krish tidak mau berlarut-larut dalam mengikuti pikirannya. Prinsipnya, selama belum terjadi, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dan Krish ingin sekali Grisse juga bisa mempunyai pikiran seperti itu. Setelah beberapa saat berlalu tanpa aktivitas yang berarti, Krish kem
"Kau mau di atas?" Tanya Krish dengan napas terengah. Krish dan Grisse baru saja mengakhiri sesi pertama bercinta mereka dengan gaya yang terbilang sering mereka terapkan. Grisse tidak langsung menjawab. Gadis itu justru bereaksi dengan memejamkan kedua matanya kemudian diikuti dengan deret atas geliginya menggigit bibir bagian bawah. Cuping hidung Grisse juga kembang kempis sedari tadi, pertanda gadis itu tengah menahan diri agar tidak lepas kendali. "Hey!" Krish mencolek puncak hidung Grisse. Gadis itu sontak membuka kelopak matanya karena terkejut. Gigitan pada bibir bawah yang terlepas membuat sepasang bibirnya membuka, membentuk lingkaran yang tidak sempurna. "Bibirmu bisa berdarah jika terus kau gigiti seperti itu." Ujar Krish seraya menelengkan kepalanya. Lantas, laki-laki itu mengulum senyum tatkala dilihatnya Grisse yang semakin salah tingkah. Krish juga gemas melihat Grisse yang perlahan memerah mukanya. "Aku tahu kau menginginkannya." Ujar Krish yang kemudian memilih b
Grisse menanti Krish untuk memulai kembali permainan dengan harap-harap cemas. Pasalnya, Krish meminta Grisse untuk membungkukkan badan dan sedikit membentangkan jarak di antara kedua kakinya. Dalam posisi seperti ini, kecemasan Grisse lebih didasarkan pada satu hal: lupa. Ya, Grisse sangat khawatir Krish lupa dengan apa yang pernah disampaikannya pada laki-laki itu dulu. Aku tidak mau bagian belakangku dimasuki apa pun.Meskipun Grisse mengatakannya dengan nada bercanda, tapi ia melakukannya semata-mata agar Krish tidak tersinggung. Grisse tidak tahu kebiasaan apa saja yang dilakukan Krish ketika berhubungan intim. “Krish.” Panggil Grisse yang mulai merasakan pegal pada area bahu juga punggungnya. Krish tidak menyahut. "Krish, apa kau mendengarku?" Ulang Grisse yang telah menegakkan punggungnya akibat menunggu Krish terlalu lama. Grisse langsung memutar tubuhnya, mencari tahu keberadaan Krish dan apa yang sedang laki-laki itu kerjakan sehingga tidak sempat menyahut panggilannya.
Lidah Krish kelu. Terasa sulit untuk digerakkan. Untuk menutupi rasa tidak nyaman dalam hatinya, Krish membingkai wajah Grisse dengan kedua telapak tangan. "Aku harus pulang selama beberapa hari." Bisik Krish lembut. Grisse tidak menjawab, namun sorot mata gadis itu menyiratkan kesedihan."Maaf, aku tidak bisa mengajakmu." Lanjut Krish masih dengan suara lirih. Sungguh kalimat Krish membuat otak Grisse hanya mampu memikirkan satu hal. Krish akan dijodohkan."Apa orang tuamu ingin mengenalkanmu pada seseorang?""Tidak. Tidak seperti itu. Aku pulang untuk menghadiri acara Aditi. Dia akan menikah besok."Seketika sorot sendu dari sepasang manik mata Grisse bersinar, memancarkan binar kebahagiaan. "Benarkah? Aditi akan menikah? Kalau begitu sampaikan salam dan ucapan selamat dariku untuknya. Kapan kau akan berangkat? Sebelum berangkat, bisakah kita pergi membeli sesuatu? Aku ingin membeli hadiah untuk Aditi." Ocehan Grisse membuat Krish menggeleng lalu tertawa."Ucapkan satu-satu dan p
"Krish!" Pekik Aditi. Gadis itu girang bukan kepalang melihat sosok adiknya di ambang pintu rumah keluarga mereka. Sepasang netra indah milik Aditi juga berbinar. Menunjukkan keriangan yang sama dengan anggota tubuh lainnya. “Kau datang, Krish.”"Tentu saja aku tidak akan melewatkan momen istimewamu, Kak." Balas Krish sambil merentangkan tangan, menyambut Aditi yang menghambur untuk memeluknya sebentar."Bukan istimewa, Krish, tapi teristimewa." Aditi menyebut kata yang menunjukkan derajat kesangatan itu sambil memberi penekanan pada setiap suku katanya. Tentu saja ekspresi Aditi membuat Krish tersenyum lebar. Krish sangat paham dengan koreksi Aditi. Pernikahan tentu menjadi momen paling istimewa bagi semua gadis di dunia. Aditi pernah mengatakan bahwa pernikahan ibarat sebuah gerbang, gerbang bagi seorang perempuan bertransformasi, dari anak gadis menjadi istri juga ibu. “Ya, baiklah. Teristimewa.” Ulang Krish sambil kembali menarik kakaknya ke dalam pelukan. Krish lega setelah mel
“Apa yang kau katakan tadi?” Ulang Aditi seraya mendorong dada Krish agar pelukan mereka terurai. “Tidak ada.” Balas Krish. “Bohong!”“Tidak!”“Samar-samar aku mendengar kau menyebut nama Vidwan tadi.” Aditi sangat yakin pendengarannya tidak salah."Kau salah dengar. Aku tidak mengatakan apa pun." Krish bersikukuh dengan pendiriannya.“Ck, setelahnya aku juga mendengar nama… Grisse. Ya, kau menyebut nama Grisse.” Untuk kali ini sebenarnya Aditi kurang begitu yakin.“Ck, kau selalu ngotot.” Krish berdecak kesal. Dalam sekejap, dua bersaudara yang tadinya rukun kini sama-sama mendengungkan perselisihan. "Siapa Grisse?"Sebuah suara alto yang tetiba terdengar serta merta membuat Krish dan Aditi menoleh ke arah yang sama. Itu suara ibu mereka. Krish mendelik marah pada Aditi sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang ibu."Dia asistenku, Bu." Ujar Krish sambil menghambur ke arah sang ibu."Asisten? Seingatku dia laki-laki." Kejar sang ibu yang terlihat tidak puas dengan jawaban sang put