Lidah Krish kelu. Terasa sulit untuk digerakkan. Untuk menutupi rasa tidak nyaman dalam hatinya, Krish membingkai wajah Grisse dengan kedua telapak tangan. "Aku harus pulang selama beberapa hari." Bisik Krish lembut. Grisse tidak menjawab, namun sorot mata gadis itu menyiratkan kesedihan."Maaf, aku tidak bisa mengajakmu." Lanjut Krish masih dengan suara lirih. Sungguh kalimat Krish membuat otak Grisse hanya mampu memikirkan satu hal. Krish akan dijodohkan."Apa orang tuamu ingin mengenalkanmu pada seseorang?""Tidak. Tidak seperti itu. Aku pulang untuk menghadiri acara Aditi. Dia akan menikah besok."Seketika sorot sendu dari sepasang manik mata Grisse bersinar, memancarkan binar kebahagiaan. "Benarkah? Aditi akan menikah? Kalau begitu sampaikan salam dan ucapan selamat dariku untuknya. Kapan kau akan berangkat? Sebelum berangkat, bisakah kita pergi membeli sesuatu? Aku ingin membeli hadiah untuk Aditi." Ocehan Grisse membuat Krish menggeleng lalu tertawa."Ucapkan satu-satu dan p
"Krish!" Pekik Aditi. Gadis itu girang bukan kepalang melihat sosok adiknya di ambang pintu rumah keluarga mereka. Sepasang netra indah milik Aditi juga berbinar. Menunjukkan keriangan yang sama dengan anggota tubuh lainnya. “Kau datang, Krish.”"Tentu saja aku tidak akan melewatkan momen istimewamu, Kak." Balas Krish sambil merentangkan tangan, menyambut Aditi yang menghambur untuk memeluknya sebentar."Bukan istimewa, Krish, tapi teristimewa." Aditi menyebut kata yang menunjukkan derajat kesangatan itu sambil memberi penekanan pada setiap suku katanya. Tentu saja ekspresi Aditi membuat Krish tersenyum lebar. Krish sangat paham dengan koreksi Aditi. Pernikahan tentu menjadi momen paling istimewa bagi semua gadis di dunia. Aditi pernah mengatakan bahwa pernikahan ibarat sebuah gerbang, gerbang bagi seorang perempuan bertransformasi, dari anak gadis menjadi istri juga ibu. “Ya, baiklah. Teristimewa.” Ulang Krish sambil kembali menarik kakaknya ke dalam pelukan. Krish lega setelah mel
“Apa yang kau katakan tadi?” Ulang Aditi seraya mendorong dada Krish agar pelukan mereka terurai. “Tidak ada.” Balas Krish. “Bohong!”“Tidak!”“Samar-samar aku mendengar kau menyebut nama Vidwan tadi.” Aditi sangat yakin pendengarannya tidak salah."Kau salah dengar. Aku tidak mengatakan apa pun." Krish bersikukuh dengan pendiriannya.“Ck, setelahnya aku juga mendengar nama… Grisse. Ya, kau menyebut nama Grisse.” Untuk kali ini sebenarnya Aditi kurang begitu yakin.“Ck, kau selalu ngotot.” Krish berdecak kesal. Dalam sekejap, dua bersaudara yang tadinya rukun kini sama-sama mendengungkan perselisihan. "Siapa Grisse?"Sebuah suara alto yang tetiba terdengar serta merta membuat Krish dan Aditi menoleh ke arah yang sama. Itu suara ibu mereka. Krish mendelik marah pada Aditi sebelum akhirnya menjawab pertanyaan sang ibu."Dia asistenku, Bu." Ujar Krish sambil menghambur ke arah sang ibu."Asisten? Seingatku dia laki-laki." Kejar sang ibu yang terlihat tidak puas dengan jawaban sang put
"Krish, bagaimana penampilanku?" Setengah berlari, Aditi menghampiri Krish yang tengah sibuk dengan kameranya. Krish mengangkat kepalanya, melihat ke arah Aditi yang berputar beberapa kali. "Kau sangat cantik dengan saree merah itu." Jawab Krish yang kembali menekuri benda optik di tangannya."Aku pernah melihat Grisse memakai saree merah." Kalimat Aditi tentu saja menarik perhatian Krish."Grisse?" Sebut Krish dengan alis nyaris bertaut. Aditi mengangguk."Aku bertemu Grisse dan Vidwan di depan hotel. Waktu itu Vidwan mengatakan bahwa ia hendak mengantar Grisse sekaligus menyaksikan pernikahannya. Apa kau tahu siapa yang menikahi Grisse?" Aditi mematri pandangan pada Krish yang berusaha menyembunyikan keterkejutan. "Kau tidak mengencani istri orang, kan?" Tanya Aditi dengan wajah prihatin.Tawa Krish langsung berderai. Krish menduga Aditi kembali mencurigai sesuatu."Sembarangan! Aku tidak sehina itu, Kak!" Bela Krish."Karena kau tidak segera menjawab pertanyaanku, Adikku yang tam
"Hai, aku mencari Grisse. Di mana aku bisa bertemu dengannya?" Sapa sekaligus tanya Krish pada seorang mahasiswi yang berpapasan dengannya. Mahasiswi yang ditanya Krish itu mengerjap beberapa kali, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, sebelum akhirnya tangan kiri gadis itu terangkat dengan telunjuk teracung ke satu arah, tepatnya ke lokasi situs purbakala yang telah selesai digali. Pandangan Krish langsung mengikuti arah yang ditunjuk mahasiswi itu. Dari tempatnya berdiri sekarang, Krish bisa melihat sosok Grisse yang sedang berdiri di depan sebuah batu setinggi berbentuk persegi panjang."Terima kasih." Ucap Krish sambil melempar senyum ke arah mahasiswi yang masih bergeming di depannya. Krish kemudian berlalu, meninggalkan si mahasiswi yang langsung mengangkat alat komunikasi jarak jauh yang dipancarkan dengan gelombang radio. Dengan suara yang terdengar aneh, seperti jerit tertahan, mahasiswi itu berbicara pada rekan-rekannya melalui handy talkie."Kalian pasti tidak pe
“Maaf sudah merepotkanmu, Krish.” Ujar Grisse memecah kesunyian di antara mereka berdua. Grisse merasa perlu meminta maaf karena gadis itu benar-benar tidak enak hati pada Krish. Krish membuktikan ucapannya dengan tetiba muncul di lokasi ekskavasi untuk menjemputnya. Itu artinya Krish lebih mendahulukan dirinya daripada bergabung bersama anggota keluarga lainnya untuk merayakan pernikahan Aditi, kakaknya. “Hm?” Dehaman bernada tanya Krish mengisyaratkan bahwa laki-laki itu tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar. “Kau seharusnya tidak perlu menjemputku. Pernikahan Aditi lebih penting.” Grisse bicara dengan tetap mempertahankan pandangannya lurus ke depan. Gadis itu tidak siap jika harus beradu pandang dengan Krish walaupun hanya sekejap. “Aku sudah lebih dulu berjanji padamu kemarin. Kau lupa?” Tanya Krish sambil melihat Grisse melalui ekor matanya.“Pantang bagiku mengingkari janji.” Tegas Krish sambil tetap mempertahankan fokus pada jalanan beraspal yang membentang di
“Maafkan aku, Aditi.” Vidwan langsung menegakkan tubuhnya kemudian membelakangi Aditi. Sementara Aditi hanya mampu mengerjap beberapa kali sambil melempar pandangan penuh tanya. Aditi, tanpa memedulikan pakaiannya yang hampir terlepas seluruhnya, langsung bangkit berdiri lalu mendekati Vidwan. Aditi memberanikan diri memeluk Vidwan dari belakang. Ada sedikit keraguan dalam hati Aditi ketika ia meletakkan kepalanya pada punggung Vidwan. Namun hal itu segera ditepisnya dan digantikan oleh harapan untuk dapat mengetahui apa yang tengah mengganggu suaminya melalui debaran jantungnya.“Ada apa?” Tanya Aditi dengan suara lembut sambil perlahan-lahan menyelipkan sepasang tangannya melalui celah antara lengan dan badan Vidwan. Kedua tangan Aditi dengan kompak mendarat di tempat yang sama, yakni di atas dada Vidwan. Vidwan tidak menjawab. Laki-laki itu juga tidak menunjukkan respons apa pun pada apa yang dilakukan Aditi. Aditi bukanlah gadis bodoh. Gadis itu sangat yakin bahwa Vidwan teringat
Krish langsung memeluk Grisse dari belakang begitu mereka berdua memasuki kamar hotel. Kemudian laki-laki itu tanpa henti menghujani Grisse dengan kecupan-kecupan kecil di beberapa bagian atas tubuhnya: tengkuk, leher, daun telinga, pipi, bahkan tulang selangka. Grisse yang mendapati serangan cepat Krish hanya mampu merespons dengan tawa sekaligus pekik tertahan akibat sensasi geli yang menjalari sekujur tubuhnya. Bibir Krish memang luar biasa, terlebih ketika bagian yang lembut serta hangat itu menyentuh bagian leher Grisse yang terbuka. Tidak berhenti sampai di situ, sentuhan bibir Krish juga menyasar titik sensitif Grisse lainnya, daun telinga yang terekspos seolah menantang Krish. “Aww….” Pekik Grisse kembali terdengar ketika Krish mendaratkan gigitan kecil pada cuping telinganya. Krish terkekeh sambil tangannya menyingkirkan helaian anak rambut Grisse yang terlepas dari ikatan serupa ekor kuda. Helaian rambut itu nampaknya mengganggu Krish yang bermaksud menyasar tengkuk Grisse.