Vidwan berhenti sejenak untuk menoleh ke belakang. Ke arah pintu kamarnya yang sengaja ia tinggalkan terbuka. Ya, Vidwan memang sengaja melakukan itu karena jika ia menutup pintu kamarnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mengintip Grisse ketika gadis itu sedang berganti pakaian. Vidwan kembali teringat tubuh polos Grisse tadi. Ia masih mengingat dengan baik tiap jengkal tubuh gadis itu. Bahkan kedua tangannya pun, ia sangat yakin, masih bisa mengingat dengan jelas apa yang telah dilakukannya tadi.
Ya Tuhan, hati kecil Vidwan protes dengan kelakuannya yang tidak senonoh. Mengintip. Betapa ia telah melakukan hal gila. Selain gila, tentu saja yang Vidwan lakukan itu juga hina. Namun, Vidwan tidak peduli. Ia benar-benar tergila-gila pada Grisse.
Benar saja, mendapati Grisse menanggalkan jubah mandinya dan memperlihatkan kembali tubuh polosnya, Vidwan menelan ludah dengan susah payah. Tubuh, utamanya pusat dirinya, kembali bereaksi. Kembali menunjukkan tanda-tanda primitif yang sangat disukainya. Dirinya membutuhkan Grisse. Membutuhkan gadis itu untuk menuntaskan dahaganya.
Sesekali Vidwan memainkan lidahnya, sedikit mengeluarkan ujungnya kemudian menjilati permukaan bibir bawahnya. Tubuh indah Grisse begitu menggairahkan. Seolah sayang untuk dilewatkan. Oh… Vidwan kini tak ubahnya seperti serigala lapar yang tengah mengintai domba putih kecil yang tiada berdaya.
Sementara Grisse benar-benar tidak tahu jika sedari tadi sepasang mata lapar penuh birahi tengah menatapnya. Ia berpikir bahwa gurunya sudah berada di ruang kerjanya sehingga Grisse memang sengaja tidak menutup pintu kamar. Bukannya segera berpakaian, Grisse tampak menikmati pantulan dirinya di cermin yang berukuran setinggi dinding kamar tidur Vidwan. Terlihat sedikit tidak puas setelah mengamati cukup lama, tangan Grisse pun menangkup kedua payudaranya kemudian menggerakkan bagian atas tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Setelahnya, ternyata Grisse masih tampak belum ingin berpakaian. Ia kemudian mengarahkan telunjuknya pada bagian lingkaran kecoklatan serta puncak payudaranya. Dengan gerakan memutar yang sangat perlahan, Grisse menikmati sentuhan telunjuknya sendiri. Begitu ia merasa gelombang gairahnya hadir kemudian menggulungnya, dengan mulusnya sebuah desahan meluncur keluar dari bibir Grisse.
Vidwan yang sedari tadi menatap tanpa berkedip, kontan membulatkan matanya. Ia benar-benar terbelalak dengan aksi Grisse yang tentu saja membuat miliknya menegang dan panas. Oh, Grisse…. Desis Vidwan dengan suara teramat lirih. Ingin rasanya ia segera mengungkung Grisse dan mengajaknya melakukan permainan panas yang sudah pasti tidak akan bisa gadis itu lupakan.
Tapi, tunggu. Vidwan tetiba menahan dirinya sendiri. Ia tidak boleh gegabah. Kalau saat ini juga ia muncul tiba-tiba di hadapan Grisse, maka yang ada gadis itu akan kembali menghindarinya. Menghindarinya karena takut dan, mungkin juga, malu karena ia tertangkap basah sedang memanjakan dirinya. Vidwan menarik napas dalam kemudian mengembuskannya. Ia benar-benar dibuat pusing dengan ini. Setelah mengusap wajahnya frustasi, Vidwan memutuskan untuk menyudahi aktivitas gilanya dan melangkah menuju ruang kerjanya.
Di dalam ruang kerjanya, Vidwan terlebih dulu mengambil sebuah buku sebelum duduk di balik meja kerjanya. Vidwan mengambil buku tentang pelajaran bahasa Sansekerta untuk pemula. Tepat ketika Vidwan meletakkan buku tersebut ke atas meja kerjanya, pandangannya tertuju pada sebuah buku yang terbuka. Gambar-gambar yang menghiasi buku itu seketika membuat Vidwan tertarik. Dan sebuah rencana untuk Grisse pun terlintas di pikirannya.
Sementara itu….
Grisse kembali terengah-engah. Napasnya tersengal dan titik-titik keringat tampak membasahi dahinya. Ia kemudian menatap payudaranya. Sepasang putingnya menonjol akibat sentuhannya tadi. Grisse tersenyum nakal. Pikirannya melayang pada kejadian yang dialaminya tadi, di kamar mandi. Kini, Grisse bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia tadi menangis ketika disentuh sang guru? Kenapa ia menolak, sedangkan kini ia kembali merindukan untuk disentuh lagi. Merindukan ujung-ujung jemari Vidwan di payudara dan pusat dirinya.
Ah, aku kini tak ubahnya seorang sundal. Sundal yang masih perawan.
Grisse terkikik mendapati gelar yang baru saja ia sematkan untuk dirinya sendiri. Tetiba ia teringat bahwa Vidwan menunggunya di ruang kerja lelaki itu.
Hey, Grisse. Bukankah tadi kamu mengatakan ingin belajar? Cepatlah berpakaian! Gurumu sudah menunggu, tapi kau malah asyik merangsang dirimu.
Kembali Grisse terkikik mendapati hardikannya sendiri. Segera diraihnya kemeja warna putih yang tergeletak di atas tempat tidur Vidwan. Setelah memakainya dan menggulung separuh lengannya hingga mencapai atas siku, Grisse kembali menatap pantulan dirinya di cermin.
Wow! Grisse bereaksi dengan membulatkan matanya. Seketika, ia merasa takjub dengan apa yang ia lihat di dalam cermin. Bagaimana ia tidak takjub, jika dirinya dalam balutan kemeja putih Vidwan justru terlihat lebih menggairahkan. Setidaknya, itulah penilaian Grisse terhadap dirinya sendiri. Kemeja putih dengan bahan tipis itu tetap memperlihatkan lekuk tubuh indah Grisse dengan sempurna, meskipun samar. Grisse merasa lebih seksi tatkala melihat kedua puncak payudaranya masih tercetak sempurna di balik kemeja putih itu. Pinggang rampingnya masih terlihat, dan astaga…. Bagian bawah perutnya yang berambut dan dipuji Vidwan tadi juga terlihat indah meskipun samar.
Grisse terdiam. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dialaminya nanti. Kemungkinan yang bisa saja terjadi antara dirinya dengan sang guru. Hingga Grisse sampai di titik yang membawanya melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri.
Apa kamu siap, Grisse?
Grisse terlihat ragu untuk menjawab.
Apa kamu siap ketika Vidwan meminta lagi?
Entahlah. Kali ini Grisse menjawab pertanyaannya sendiri.
Apa kamu siap menyerahkan kegadisanmu padanya?
Kembali Grisse terdiam.
Apa yang membuatmu ragu? Pesan orang tuamu untuk tetap menjadi perawan, atau sosok Vidwan yang menawan dan sangat sulit dilewatkan?
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Keraguan terlukis sangat jelas di wajahnya.
Kau tahu, Grisse? Kau harus siap jika ia memintamu kembali. Lihatlah dirimu sekarang. Kamu bahkan yakin bahwa dirimu lebih menggairahkan dibanding tadi ketika telanjang. Penampilanmu sekarang sudah pasti menggugah kembali sisi primitif lelaki itu. Bisa jadi Vidwan tidak akan memintanya lagi dengan sopan. Bisa jadi ia akan memaksamu. Bisa jadi ia berubah ganas dan beringas hingga tak segan menerkammu. Siapkah kamu?
Napas Grisse kembali memburu. Apa yang baru saja dikatakan hatinya kembali membuatnya berpikir. Hatinya benar. Ada kemungkinan Vidwan tidak lagi memperlakukannya dengan lembut. Ada kemungkinan Vidwan akan menyerangnya dengan cepat, menindihnya hingga akhirnya merenggut keperawanannya. Memikirkan kemungkinan terakhir terjadi, Grisse bergidik. Ia pernah membaca jika pengalaman pertama berhubungan itu sangat menyakitkan bagi perempuan. Jika yang dilakukan secara perlahan dan lemah lembut saja menyakitkan, bagaimana jika dilakukan secara kasar?
Grisse mengusap tengkuknya yang kini meremang. Jika itu benar-benar terjadi, apa yang bisa Grisse lakukan? Bisakah Grisse menuduh Vidwan melakukan pelecehan padanya? Tapi bukankah dirinya yang mengundang Vidwan untuk melakukan pelecehan? Grisse menyisir ke belakang rambutnya dengan kesepuluh jemarinya. Ia bingung. Ya, bingung. Grisse sudah tidak takut lagi. Kalaupun terselip rasa takut, itu disebabkan oleh kebingungannya. Bingung untuk bersikap di depan Vidwan.
*
Vidwan melirik sekilas sosok Grisse yang telah berdiri di hadapannya. Meskipun hanya sekilas, tapi Vidwan sudah bisa mengingat sosok Grisse yang berdiri canggung di depannya kini. Grisse terlihat menawan. Juga menggairahkan. Gadis itu terlihat semakin menarik dalam balutan kemeja warna putih lengan panjang miliknya. Lengan yang digulung rapi sampai sedikit di atas siku serta panjang kemeja yang menggantung tepat di bawah bokong Grisse membuat Vidwan beberapa kali menelan ludah. Kancing paling bawah kemejanya tepat berada di perut bawah gadis itu. Menyisakan belahan depan yang tentu saja memperlihatkan apa yang tadi Vidwan puji ketika di kamar mandi. Grisse terlihat sangat seksi. Bahkan lebih seksi dibandingkan dengan penampilannya yang polos tadi di kamar mandi. Keseksian Grisse saat ini lebih dikarenakan siluet tubuhnya yang tercetak samar. Vidwan semakin yakin jika hal-hal yang bersifat misterius dan tersembunyi, meskipun samar, mampu menggugah rasa penasaran yang teramat besar.
“Maaf, saya terlalu lama Sir.” Grisse berdiri canggung sambil sesekali menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Vidwan berdeham sebelum menjawab.
“Tidak apa. Kemarilah.” Vidwan meminta Grisse mendekat padanya. Tepat ketika Grisse telah berdiri di sampingnya, Vidwan beranjak dari duduknya.
“Duduklah di sini. Aku akan mengambil kursi lain.”
Grisse langsung duduk tanpa menunggu untuk diperintah dua kali. Mendapati belahan depan kemeja yang membuka lebih lebar karena duduk, Grisse kembali berdiri. Hal itu pun memancing Vidwan untuk menanyainya.
“Kenapa?”
“Maaf, Sir. sepertinya ada yang salah. Aku akan ke kamar untuk mengambil selimut.”
Vidwan mengerutkan keningnya sambil menatap Grisse. Gadis itu hendak menjawab, tapi ragu.
“Katakan.” Nada bicara Vidwan yang datar, tapi terdengar tegas membuat Grisse mau tak mau harus menjawab.
“Ketika saya duduk, bagian bawah kemeja ini terbuka Sir. Dan… dan saya sedang tidak memakai celana dalam.” Grisse merasakan pipinya memanas.
Vidwan melangkah mendekati Grisse kemudian meletakkan kursi di samping kursi yang tadi diduduki Grisse.
“Kita akan belajar, kan?” Vidwan seolah tengah melontarkan pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban dari Grisse. Grisse mengangguk ragu.
“Saat belajar, tidak akan ada yang bisa mengalihkan perhatianku Grisse.” Vidwan memberi penekanan dalam setiap kata yang diucapkannya.
“Termasuk bagian bawah kemejamu yang terbuka.” Imbuhnya.
“Sungguh, aku tidak peduli dengan semua itu Grisse.” Ujar Vidwan sambil menduduki kursi yang tadi dibawanya. Meninggalkan Grisse yang masih berdiri mematung di tempatnya.
***
“Duduklah, Grisse. Mari kita mulai belajar.” Vidwan membuka buku catatan yang dipegangnya. Ketika Grisse sudah benar-benar duduk, gadis itu tidak tahu juga tidak sadar jika Vidwan terlihat sangat menikmati pemandangan di sampingnya meskipun ia hanya melihat melalui sudut matanya. Pemandangan Grisse yang duduk dengan belahan depan kemeja yang terbuka membuat darah Vidwan berdesir. Oh… jiwa lelaki Vidwan meraung kembali. Tidak tahan dengan apa yang tersaji di dekatnya.Vidwan berdeham sehingga Grisse menoleh ke arah lelaki itu.“Kau sudah bisa menulis menggunakan aksara Devanagari?” Tanya Vidwan tanpa melihat Grisse. Vidwan membuat dirinya terlihat sedang sibuk membaca catatan miliknya, yang ia sangga dengan tangan kirinya. Grisse mengangguk, namun seketika ia sadar bahwa sang guru tidak melihatnya. Grisse pun mengulangi jawabannya
“Well, karena kamu sudah bersedia. Ayo kita lanjutkan belajarnya.” Vidwan beranjak dari posisinya diiringi tatapan penuh tanya dari Grisse. Grisse sempat menoleh ke sisi kanan, melihat jam yang berada di atas meja dekat ranjang Vidwan.Pukul dua puluh dua lebih lima belas menit.Sudah malam begini dan Vidwan masih ingin mengajaknya belajar? Grisse mendesah guna melepaskan keluh kesah yang tentu saja tidak mungkin dikatakan pada Vidwan secara langsung. Grisse sudah merasa penat sejak tadi. Tadi siang ketika ia baru saja menginjakkan kakinya di kampus, Grisse sempat berkeinginan untuk segera kembali ke asrama. Ya, ia ingin beristirahat di kamar asramanya lebih awal. Berharap tubuhnya bisa lebih segar untuk beraktivitas besok.Grisse memang sudah datang ke negara ini sejak tiga hari yang lalu. Namun t
Vidwan tertegun beberapa saat. Ia merasa tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya.Benarkah apa yang baru saja ditangkap indera pendengarannya?Benarkah Grisse menuntut yang lebih lagi?Benarkah itu yang dikatakan Grisse?Benarkah?Benarkah?Kepala Vidwan dipenuhi berbagai pertanyaan yang ia lontarkan hanya untuk dirinya sendiri.Vidwan berdeham untuk memecah keheningan di antara dirinya dan Grisse."Vidwan…." Panggilan Grisse membuat Vidwan tanggap. Untuk sesaat ia menghentikan gerakan tangannya."Iya, Grisse."
Vidwan sempat terheran-heran melihat ekspresi wajah Grisse yang meskipun hanya menunjukkan seulas senyum tipis, tapi Vidwan tahu bahwa hati Grisse sedang berbunga-bunga.Tentu saja.Gadis mana yang tidak berbunga-bunga jika seorang laki-laki dengan latar belakang seperti Vidwan telah melamarnya. Seorang dosen yang sudah jelas pintar serta tampan. Benar-benar kombinasi dambaan Grisse.Ya, Vidwan telah melamar Grisse. Tak tanggung-tanggung, laki-laki dengan usia yang terpaut dua puluh tahun dengan Grisse itu baru saja memintanya untuk menjadi istrinya.Ya, bukan menjadi kekasih atau pacar, tapi istri.Bukankah kedudukan seorang istri lebih baik daripada kekasih?Tentu saja.
“Tunggu, kamu mau ke mana?” Tanya Grisse sambil menahan pergelangan tangan Vidwan. Yang ditanya hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa pun. Vidwan mengangkat tangannya yang tengah digenggam Grisse kemudian membawanya mendekat ke arah bibirnya.Cup.Sebuah kecupan lembut didaratkan Vidwan ke punggung tangan Grisse.“Aku akan menyiapkan air hangat untuk kita berendam.” Vidwan kembali mengecup tangan Grisse kemudian mengurai genggaman tangan gadis itu perlahan.“Tidak bisakah kita berendam setelah kita… melakukannya?” Grisse ragu-ragu menyelesaikan kalimatnya. Wajahnya kembali bersemu kemerahan.“Berendam di air hangat yang bercampur aromaterapi a
“Kenapa kau terus merajuk, Grisse?” Tanya Vidwan sambil mengulum senyum.“Aku tidak merajuk. Aku hanya ingin kita segera selesai berendam.”“Hey, kamu sudah tidak sabar ya?” Vidwan menjawil dagu Grisse. Dengan polosnya Grisse mengangguk. Vidwan terbahak. Ia senang melihat reaksi polos Grisse.“Mana yang kamu ingin lakukan terlebih dulu, bercinta di kamar mandi atau di atas ranjang.”“Tentu saja di ranjang.” Sergah Grisse cepat. Vidwan pun kembali terbahak mendengarnya.Vidwan kemudian mengambil spons mandi yang berada di sisi kanannya. Dengan perlahan ia menggosok punggung Grisse sambil menggoda puting gadis itu.&l
“Kau lelah?” Tanya Vidwan sambil membelai punggung Grisse yang berbaring memunggunginya. Grisse mengangguk lemah. Tentu saja ia kelelahan. Entah sudah berapa kali Vidwan membuatnya mereguk kenikmatan bercinta. Meraih puncak kenikmatan bersanggama jauh lebih banyak daripada lelakinya. Vidwan memang piawai membuat Grisse orgasme. Dan kini, sambil berbaring miring membelakangi Vidwan, Grisse berpikir tentang kepiawaian Vidwan dalam bercinta. Entah sudah berapa kali Vidwan bercinta selama ini. Sudah berapa banyak wanita yang ia puaskan seperti dirinya.Menyadari kenyataan bahwa tentunya ada banyak sekali wanita yang mengerang di bawah kungkungan Vidwan serta meneriakkan nama laki-laki itu membuat Grisse sedih.“Vidwan...” panggil Grisse masih tetap pada posisinya. Vidwan tidak menyahut. Yang dilakukan lelaki itu adalah menarik Grisse kemudia
“Bisakah kau sedikit bersabar, Grisse?” Tanya Vidwan dengan nada tidak suka. Vidwan benar-benar kesal karena Grisse terus menanyakan kepastian kapan mereka akan menikah. Jika Vidwan tidak salah menghitung, sepagi ini saja sudah lima kali Grisse menanyakan hal yang sama. Vidwan tahu bahwa Grisse tengah merasa bersalah dengan keputusan yang telah diambilnya. Masih menurut dugaan Vidwan, Grisse juga ketakutan. Ketakutan yang disebabkan oleh rasa khawatir yang terus memenuhi hatinya. Tanpa Grisse sadari, rasa takut yang terus ia pupuk melahirkan keraguan yang justru semakin menyiksa dirinya.Grisse meragukan kesungguhan Vidwan. Gadis itu akhirnya meyakini satu hal yang tidak menyenangkan bahwa Vidwan tengah berusaha lari dari tanggung jawab. Padahal, seandainya Grisse tahu, tidak pernah sedikit pun terlintas dalam hati juga otak Vidwan bahwa ia akan meninggalkan Grisse. Sungguh Vidwan telah j