Sinar matahari pagi yang menembus kaca jendela membuat Maudy terbangun dari tidurnya. Wanita itu menyipit karena merasa silau dengan cahaya yang masuk ke dalam ruangannya. Ia menggeliat, menyamping untuk menghindari silau cahaya. Ia kembali memejamkan mata, hendak melanjutkan tidur yang terjeda.
“Akhirnya kau bangun juga. Aku baru saja berniat untuk menyirammu dengan air.” Mahen langsung berkomentar dengan nada yang tidak enak didengar. Maudy kembali membuka mata. Ia berbalik, menoleh pada sumber suara. Sebab, suara itu terdengar asing baginya. Maudy cukup sulit untuk menatap wajah itu, sebab cahaya yang menghalangi pandangan mata. “Aku akan memberimu obat. Ini sudah terlambat.” Mahen menyuntikkan cairan ke dalam selang infus. Itu tugas perawat, tapi Mahen sudah menghandle semuanya seperti permintaan sang papa. Apalagi di rumah sakit tempatnya terakhir bekerja, ia memiliki nama dengan prestasi yang cukup baik. Namun, terpaksa resign demi warisan yang ditawarkan. “Mas Liam.” Maudy cukup terkejut dengan sosok yang ada di hadapannya. Ia lekas bangun, mengabaikan seluruh rasa sakit di tubuhnya. “Mas, aku kangen.” Maudy mendekap tubuh itu erat-erat. Ia menangis melampiaskan kerinduan. Tidak percaya jika sang suami masih hidup dalam keadaan sehat wal afiat. “Aku gak bakalan biarin kamu pergi lagi. Aku gak mau kamu ninggalin aku sama Sean.” Tangis itu benar-benar pecah. “Ck!” Mahen berdecak kesal. Kejantanannya semakin bangkit karena pelukan itu. Semalaman ia sudah susah payah dalam menahan hawa nafsu ketika ditinggal berdua saja. Kini ia harus kembali menahan nafsunya demi uang yang dijanjikan oleh papanya. “Aku gak yakin kau benar-benar mencintai Liam. Kau bahkan gak bisa membedakan mana suamimu dan mana orang lain.” Mahen melepas pelukan Maudy di tubuhnya dengan cukup kasar. Maudy terdiam. Tangisnya ikut terhenti karena perlakuan kasar itu. Sejenak, ditatapnya wajah itu lamat-lamat, kini ia sadar jika itu memang bukan suaminya. Mereka memang terlihat mirip, tapi jelas ada perbedaan yang cukup jauh di antara keduanya. Maudy mengempaskan tubuhnya dengan cukup kasar. Ia kembali rebahan, berbalik membelakangi Mahen dan kembali menangis mengingat kematian suaminya. Denyut sakit itu semakin terasa parah di dadanya. Hingga detik ini pun ia masih tidak terima akan kematian sang suami yang tiba-tiba. “Aku gak peduli kau mau bunuh diri atau apa, itu hakmu. Tapi jangan menyusahkan orang lain dengan keegoisanmu. Anakmu masih bayi merah, kau ingin dia jadi yatim piatu setelah kau menyusul suamimu? Lalu pria tua itu, dia akan menangis sendirian setiap waktu. Kau hanya menantunya, tapi kasih sayangnya lebih besar untukmu dibanding aku!” Mahen berucap dengan kasar. Maudy hanya diam dengan tangis yang belum bisa ia hentikan. “Aku jauh-jauh dari luar kota datang ke mari hanya untuk mengurusmu dan anakmu. Kau pikir aku gak punya kesibukan lain? Cepatlah sehat, biar aku bisa pulang. Atau mati sekalian, jangan nanggung seperti ini. Itu menyusahkan.” Maudy berusaha keras menghentikan tangisan. Ia sesenggukan, mengusap wajahnya dengan kasar. “Kau pikir dengan bunuh diri kau bisa bertemu dengan Liam? Kurasa itu pemikiran yang salah. Meski aku yakin Liam bukan orang baik, tapi tempatnya di surga karena mati dalam medan perang. Sementara kau, hanya neraka yang akan menunggumu. Itu usaha yang sia-sia.” Maudy tersentak mendengar ucapan Mahen. Ia merasa tertampar dengan kalimat itu, kalimat yang sama sekali tidak pernah ia dengar selama usahanya dalam melakukan diskon nyawa. Mahen benar, andai ia benar-benar mati di tangannya sendiri, mereka akan berada di tempat yang berbeda. Tidak ada maaf untuk orang yang tidak menghargai nyawanya. *** “Papa!” Maudy langsung memeluk mertuanya saat Tama datang membesuk. Tampak hari ini Maudy sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak ada laporan yang ia dapatkan mengenai usaha sang menantu yang kembali ingin melakukan aksi bunuh diri. Hari ini Maudy sudah bisa mengendalikan diri. “Aku sudah meminta ke pihak rumah sakit biar dia dirawat di rumah saja. Aku yang akan menghandle semuanya. Aku bosan di sini.” Mahen langsung menyampaikan apa yang ia inginkan pada Tama. Ia memang selalu bertindak seenaknya saja. “Dia merawatmu dengan baik?” Tama bertanya memastikan. Maudy hanya diam. Perlakuan Mahen memang cukup kasar, tapi apa yang ia sampaikan memanglah sebuah kebenaran. Ia juga memberikan perawatan yang cukup baik. Selalu memeriksa kondisi Maudy satu kali dalam beberapa jam. “Maudy mau ketemu Sean.” Maudy berucap dengan lemah. Ia rindu dengan putranya itu. Merasa bersalah karena beberapa hari ini tidak memberikan perhatian barang sekecil apa pun. Ia terlalu larut dalam kesedihan, sehingga lupa pada orang-orang yang membutuhkan dirinya. Tama tersenyum. Mendengar keinginan menantunya itu ia mengerti jika kini Maudy sudah mulai bisa menerima kepergian Liam. “Pa, Sean di mana? Dia dirawat sama siapa? Dikasih susu apa?” Maudy mulai banyak bertanya. Hal itu semakin membuat Tama bersyukur, sebab kedatangan Mahen benar-benar telah menyadarkan Maudy. “Kamu yang tenang, Sean baik-baik saja. Hanum yang ngasuh dia buat sementara waktu.” “Maudy mau ketemu Sean.” Maudy mulai memaksa. Ia merengek pada mertuanya itu. Baginya Tama adalah orangtuanya. Sebab, lelaki itu memperlakukan ia lebih dari seorang mertua. Apalagi ia yang sudah menjadi yatim piatu semenjak SMA, membuat ia benar-benar menganggap Tama sebagai ayahnya. “Apa kau selalu seperti ini? Memaksakan kehendakmu pada orang yang bukan orangtuamu?” Mahen berkomentar dengan sinis. “Mahen!” Tama menegur dengan kasar. Maudy terdiam, barangkali ia sudah terlewat manja pada sang mertua. “Dia wanita. Perlakuan terhadap wanita dan pria jelas berbeda.” Tama menjelaskan. “Bagiku sama saja.” Mahen tidak menerima penjelasan apa pun. “Dia membenciku dan Mas Liam?” Maudy menatap Tama dalam-dalam. Meminta jawaban dari sorot matanya. Tama menghela napas dengan kasar. “Apa dia memperlakukanmu dengan buruk?” Maudy menggeleng. “Itu artinya dia tidak membencimu.” Tama beralasan. “Dia siapa, Pa?” Sudah dua hari bersama, Maudy belum mengenal lelaki itu. Ia hanya tahu lelaki itu memiliki garis wajah yang sama dengan suaminya. “Dia abang iparmu. Selama ini dia memang tidak pernah pulang setelah perkelahiannya dengan Liam. Mereka tidak cukup akrab, jadi dia tidak hadir ketika Liam menikah, bahkan ketika Liam dimakamkan.” “Kenapa di rumah gak ada fotonya sama sekali?” Maudy mengerutkan kening, bingung. “Pikirkan saja dirimu sendiri, jangan urus orang lain.” Mahen langsung menimbrung pembicaraan mereka. Maudy menghela napas dengan kasar. Ia bisa mengerti jika Mahen tidak pernah terlihat selama ini. Namun, ia tinggal di rumah mertuanya. Rumah itu telah ada sejak suaminya kecil. Mustahil jika hanya ada foto Liam dan kedua orangtuanya saja yang terpajang di sana. Ia tidak menduga jika suaminya memiliki masalah keluarga sekompleks ini. Sebab, Liam tidak pernah memberitahunya sama sekali. Ia memang tahu Liam memiliki saudara, tapi tidak bisa datang ke pernikahan mereka karena saudaranya itu bekerja di luar kota dan tidak bisa ambil cuti sama sekali. “Kau akan tahu nanti.” Tama menjawab dengan lembut. Membuat kening Maudy semakin berkerut.Gedung itu didominasi oleh warna putih. Ada banyak bunga yang ditata di beberapa sudut ruangan. Maudy tampak begitu cantik dengan gaun yang ia kenakan. Rambutnya disanggul dengan poni yang menutupi jidat. Make up yang flawless semakin menambah tingkat kecantikan wanita itu.Sementara Mahen hanya mengenakan jas hitam dengan kemeja putih di bagian dalam. Terlihat begitu formal. Namun, tetap saja ia tampak begitu tampan. Mereka berdua berdiri di atas pelaminan dengan pisau pemotong kue yang digenggam berdua. MC memimpin acara, menghitung dari tiga hingga satu.Tampak ada banyak undangan di sana. Rata-rata bukan orang yang dikenal oleh Maudy ataupun Mahen. Tamu undangan pagi ini lebih banyak berasal dari orang-orang perusahaan yang memiliki hubungan baik dengan Tama. Tidak ada kado undangan sama sekali, sebab di kertas undangan tertulis agar tamu undangan tidak membawa kado. Tujuan diadakannya pesta bukan untuk meminta hadiah, tapi untuk berbagi kebahagiaan.Hanya ada beberapa orang dari
Mobil berwarna putih itu berhenti ketika mereka tiba di parkiran area makam. Mahen pulang jauh lebih awal hari ini, sebab ada janji dengan Maudy untuk ziarah dan fitting baju pengantin sepulang dari sana.Sudah lama sekali sejak terakhir Maudy datang mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Liam. Sebab, ia selalu merasakan luka sayatan di hatinya kembali terbuka setiap kali ia ke sana. Namun, kini situasinya sudah sedikit berbeda. Maudy sudah punya Mahen yang menempati kekosongan dalam hati dan jiwanya.Mahen turun dari mobil seraya menggendong Sean. Maudy menyusul dengan keranjang bunga dan sebotol air di tangan. Mereka melewati banyak makam lama sebelum akhrinya tiba di makam Liam. Kuburan itu tampak hijau dengan rumput yang begitu terawat. Di atas makan ada topi Liam dan juga fotonya dengan seragam militer.Ada rasa nyeri di dada ketika Mahen berlutut di dekat pusara adiknya. Menyesal, sebab tidak ada di saat-saat terkahir sang adik. Ia bahkan tidak hadir di saat pemakaman meski
Kalung berlian itu tampak begitu indah di leher jenjang milik Maudy. Warna dan modelnya sangat cocok untuk dia. Benda itu jadi semakin terlihat mewah karena dipakai oleh orang yang tepat.Tama memerhatikan, makan malam berlangsung dengan cukup hening tanpa suara selain denting sendok yang beradu dengan piring.“Kalungnya bagus.” Lelaki paruh baya itu memberikan pujian.Maudy menyentuh kalungnya, tersenyum seraya menoleh menatap Mahen.“Mas Mahen yang ngasih.” Wanita itu terlihat sangat senang saat memberitahu. Ia sangat suka semua hadiah yang ia terima dari Mahen, dalam bentuk apa pun itu.“Papa juga ada hadiah buat kalian.” Tama berucap dengan senyuman.“Papa harusnya tidak perlu repot seperti itu.” Maudy berucap demikian, tapi dalam hati sebenarnya ia tengah menunggu.“Sudah waktunya kalian menikah secara resmi. Kita adakan acara besar.” Tama memberikan usulan.Maudy menoleh menatap Mahen dengan sorot meminta pendapat.“Kapan-kapan saja, Pa. Belum ada uang.” Mahen memberikan jawaban
“Loh, Pa. Kok pulang sendiri? Mas Mahen mana?” Maudy bertanya ketika mendapati hanya Tama yang pulang sore ini, sementara Mahen entah berada di mana.“Masih ada urusan katanya, jadi papa tinggal saja.” Tama menjawab dengan santai.Maudy menghela napas dengan kasar. Pikirannya mulai mengarah ke mana-mana. Sebab, teringat dengan wanita yang ada di kantor waktu itu. Ia mulai berpikir jika Mahen ada main belakang dengan wanita itu. Overthinking pun dimulai. Ia tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar tentang sang suami. Entah Mahen sedang di mana dan tengah berbuat apa. Ada banyak kemungkinan buruk yang menguasai pikirannya.“Sayang, sini sama opa.” Rasa lelah karena penat bekerja selama seharian, menghilang menguar begitu saja setelah ia menatap sang cucu yang begitu lucu.Sean dengan perlahan menghampiri Tama. Kakinya sudah semakin kuat dalam melangkah. Langkahnya juga semakin lama semakin panjang.“Pa, titip Sean sebentar ya.” Maudy berucap dengan lembut, lalu beranjak pergi.Di dalam
“Pa, ini benar?” Mahen bertanya seraya menunjukkan file yang tengah ia kerjakan.Di ruang kerja Tama kini ada dua meja yang bersisian, satu untuk Mahen dan satu lagi untuk dirinya. Dengan begitu, Tama bisa selalu mengawasi pekerjaan sang putra. Mahen juga bisa dimudahkan, sebab bisa langsung bertanya pada orangnya.“Ini kamu salah masukin datanya. Harusnya begini.” Tama menjelaskan, berusaha mengajari dengan penjelasan yang mudah dimengerti.Mahen ngangguk-ngangguk tanda mengerti. Lelaki itu mulai kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia selalu saja tampak serius ketika bekerja. Tidak ada yang bisa merusak fokusnya sama sekali.Pintu ruangan terdengar diketuk dari luar. Disusul daun pintu yang terbuka dengan kemunculan Maudy di baliknya.“Mas.” Maudy memanggil dengan penuh kelembutan. Ia duduk di sofa, menaruh rantang yang ia bawa di meja.“Cuma Mahen yang disapa?” Tama berkomentar.“Pa.” Maudy tersenyum menyapa sang bapak mertua.Pintu kembali terdengar diketuk dari luar, disusul oleh
Maudy tampak begitu cantik mengenakan dress vintage bunga-bunga berwarna putih dengan kombinasi kekuningan. Rambutnya ia ikat dengan rapi, sementara poninya ia biarkan menutupi jidatnya. Make tipis-tipis dan natural semakin membuatnya bertambah cantik.“Sudah, Sayang?” Mahen bertanya ketika ia kembali masuk ke kamar untuk menjemput kunci mobil.Maudy mengangguk dengan lembut. Ia bangkit berdiri dari kursi rias untuk meraih tasnya.“Tidak perlu bawa gendongan.” Mahen berucap ketika Maudy meraih kain gendongan yang ada di ranjang.“Kenapa?” Maudy menatap dengan sorot penuh tanda tanya. Sebab, akan sedikit merepotkan jika mereka jalan-jalan tanpa membawa gendongan. Ia akan dangat kelelahan menggendong Seon tanpa bantuan.“Aku baru beli stroller, itu udah ada di bagasi mobil.” Mahen memberitahu.Ini pertama kalinya mereka jalan-jalan bertiga setelah menikah sekian lama. Wajar saja jika Maudy tidak memiliki kereta dorong bayi. Sebab, ia tidak pernah menggunakan dan membutuhkan itu. Bahkan