Mahen membawa Maudy keluar dari rumah sakit dengan bantuan kursi roda. Tidak ada percakapan sama sekali di antara keduanya. Mereka sama-sama diam, tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Tepat sekali Tama datang setibanya mereka di halaman.
Mahen membukakan pintu bagian kursi penumpang. Wajahnya tampak sangat tidak bersahabat ketika dipandang. “Berdiri, usaha sendiri pindah ke mobil.” Mahen berucap dengan nada seperti biasa. Kasar. Maudy tampak bingung. Ia masih terlalu lemah jika diminta untuk pindah dari kursi roda ke kursi mobil tanpa mendapat bantuan sama sekali. Sebab, ia harus mengeluarkan tenaga lebih untuk naik. Sementara dari brankar ke kursi roda ia hanya perlu turun dan langsung duduk. Tidak perlu usaha apa pun. “Bantu dia!” Tama menegur dari kursi kemudi. “Jangan manja. Jika selalu dibantu, kau akan lama sehatnya.” Mahen tetap tidak ingin membantu. Tama berdecak dengan kesal, ia turun dari mobil dan lekas beranjak menuju Maudy. Tidak ia biarkan sang menantu kesayangan kesusahan seperti itu. “Dia pasienku, aku tahu apa yang terbaik untuknya.” Mahen langsung menahan. Tidak ia biarkan sang ayah menyentuh Maudy sama sekali. “Kau lihat sendiri, dia tidak bisa!” Tama semakin kesal dibuatnya. “Maudy bisa, Pa.” Maudy berucap dengan lemah. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dari kursi roda, berpegang kuat pada kursi mobil untuk naik ke sana. Jika berusaha semaksimal mungkin, ia bisa melakukannya. “Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Maudy mengangguk dengan lembut, tersenyum tipis untuk meyakinkan Tama bahwa ia baik-baik saja. Mahen beranjak untuk mengembalikan kursi roda yang ia bawa. Beberapa saat kemudian ia kembali lagi dengan koper miliknya. Koper itu ia taruh di bagasi, setelahnya ia berlari kecil menuju kursi samping kemudi. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang. Maudy memejamkan mata, menyenderkan kepala pada kursi mobil dengan tangan berada di kening. Tampaknya ia merasa pening. Wajahnya masih terlihat pucat khas orang sakit. Tama beberapa kali melirik kaca yang tergantung di hadapan. Memastikan bahwa sang menantu baik-baik saja. Ia tidak ingin terjadi apa-apa pada Maudy. Sebab, Maudy adalah pengganti Liam baginya. Meski sang putra tidak bisa digantikan, tetap saja anak dan istri sang mendiang bisa menjadi obat penghilang kerinduan. Mobil berhenti ketika mereka tiba di rumah. Tama tidak bisa berlama-lama, sebab ia harus kembali ke kantor untuk bekerja. “Mahen, bantu adikmu!” Tama menegur dari tempat duduknya saat melihat Mahen berjalan santai dengan menyeret koper menuju pintu masuk. Sementara Maudy dengan sisa tenaga yang ia punya berjalan pelan dan sedikit sempoyongan. Mahen seolah tidak mendengar apa pun, tetap melangkah tanpa menghiraukan teguran Tama. “Ck!” Tama berdecak kesal. Ia segera turun dari mobil, berlari kecil untuk membantu Maudy melangkah memasuki rumah. Ia memapah. “Hanum!” Suara Tama menggelegar memanggil gadis itu. Gadis yang dibawa oleh Maudy ketika pindah ke sana untuk menemani dan membantu dirinya. Meski sudah ada ART di sana, tetap saja Hanum yang lebih sering Maudy minta untuk melakukan apa yang ia inginkan. “Ya, Tuan!” Hanum lekas bergegas memenuhi panggilan sang majikan. “Bawa Maudy ke kamarnya!” Tama memberi perintah. Setelah Maudy berpindah tangan, Tama lekas beranjak keluar rumah karena harus bergegas menuju kantor. Hanum membantu Maudy menaiki anak-anak tangga, sebab kamarnya berada di lantai dua. Dengan penuh kelembutan ia dudukkan Maudy ke tepian ranjang. “Sean di mana?” Maudy bertanya seraya merebahkan tubuhnya secara perlahan. “Ada di kamar saya, Mbak.” “Bawa dia ke sini.” Hanum mengangguk. Ia lekas melakukan apa yang diminta oleh Maudy. Maudy menyamping, tatapannya langsung tertuju pada foto yang ada di nakas. Foto sang suami dengan seragam dinas. Seketika tangis Maudy terdengar pecah memenuhi seisi ruangan. Melihat foto itu membuatnya teringat dengan kematian sang suami yang begitu menyakitkan. Ia raih foto itu, lalu ia bawa ke dalam pelukan. “Mas, kenapa kamu pergi secepat ini?” Maudy mengusap wajah sang suami yang ada di foto. Ia usap wajah itu dengan penuh kelembutan, meluapkan kerinduan yang terpendam. “Aku kangen kamu!” Tangis Maudy semakin pecah. Ia berteriak, menangis sejadi-jadinya dengan kembali memeluk foto itu. “Mbak ….” Hanum berhenti di ambang pintu. Ia ragu untuk membawa Sean masuk. Ia takut Maudy melakukan hal yang tidak baik pada putranya. Apalagi emosi wanita itu sedang tidak stabil. Ia belum bisa berpikir dengan jernih. Mahen datang karena mendengar teriakan Maudy. Lelaki itu menatap dengan sayu, ia bisa merasakan sakit yang tengah mendera wanita itu. Setelah menghela napas dengan kasar, Mahen melangkah masuk tanpa permisi terlebih dahulu. Ia raih semua pigura yang memuat foto Liam di dalamnya. “Kau! Buang semua benda ini!” Mahen menatap Hanum, memberi perintah untuk membuang semua foto Liam agar Maudy menghentikan tangisan. Maudy lekas turun dari ranjang. Ia berlutut di lantai, memeluk semua foto yang dikumpulkan Mahen di sana. “Jangan sentuh barang-barangku!” Maudy berteriak dengan histeris. “Gak ada gunanya menangisi orang yang sudah mati. Sekali lagi kudengar kau menangisi Liam, semua barangnya akan kubuang.” Mahen mengancam. “Jangan masuk kamarku tanpa izin dariku!” “Ini rumahku! Jika kau gak suka dengan aturanku, angkat kaki saja dari sini.” Mahen berucap dengan kasar. Tangis Sean terdengar menggelagar. Barangkali ia terkejut dengan teriakan Maudy dan Mahen yang saling berbalas. Maudy terdiam. Ia berhenti berucap dan memilih mengabaikan. Percuma juga melawan semua kalimat yang terlontar dari mulut Mahen, sebab ia tidak akan pernah memiliki peluang untuk menang. Mahen lelaki bermulut sangat tajam. Dengan tangis yang tertahan, Maudy raih pigura foto yang ada di lantai. Ia taruh kembali ke tempat semula, memajangnya dengan rapi di sana. Hanum hanya bisa diam memerhatikan. Ia terlalu takut untuk ikut campur dengan dua majikannya yang tengah bersitegang. Apalagi ini juga kali pertamanya bertemu dengan Mahen. Ia belum tahu bagaimana sikap majikannya itu. Setelah semua foto kembali berada di tempat semula, Maudy duduk di tepian ranjang. Ia mengusap kedua pipinya dengan kasar. Mata itu masih memerah menahan tangisan. “Beri anak itu ke ibunya.” Mahen memberi perintah pada Hanum. Hanum lekas menyerahkan Sean pada Maudy. Meski dalam hati ia masih sedikit ragu. “Tinggalkan kami.” Hanum mengangguk, ia lekas beranjak meninggalkan kamar. Membiarkan Maudy dan Sean diawasi oleh Mahen. Maudy berusaha mendiamkan putranya yang masih menangis. Wajah Sean tampak memerah karena tangisnya yang pecah. “Beri dia ASI!” “Tapi … kata dokter aku harus berhenti memberi ASI sampai racunnya benar-benar hilang.” Maudy menolak. “Aku doktermu sekarang. Kau yang keracunan, sistem pencernaan gak ada kaitannya dengan sumber ASI. Anak itu hanya akan menyerap nutrisi dari ASI-mu, dia akan baik-baik saja.” Mahen berucap dengan nada yang begitu meyakinkan. Maudy tetap saja enggan untuk memberikan. Ia tidak ingin putranya mengalami hal buruk karena dirinya. “Aku akan terus berdiri di sini sampai kau menuruti apa yang aku ucapkan.” Maudy menghela napas dengan kasar. Ia berbalik, memunggungi Mahen untuk menyusui putranya. Saat mulut mungil itu menyentuh puting payudaranya, sesuatu yang hangat langsung menyapa dada. Maudy merasa kedamaian dan ketenangan menyusup ke dalam hati. Ketenangan yang tidak pernah ia dapatkan semenjak sang suami telah pergi. Terdengar langkah kaki keluar dari kamar dengan pintu yang ditutup. Maudy menoleh, Mahen telah pergi. Hanya ada ia dan putranya di sana. Kini Maudy tahu alasan Mahen memaksa ia untuk memberikan ASI pada putranya. Maudy menghela napas dengan kasar. Ia usap wajah putranya yang menghisap ASI dengan lahap. Anak itu adalah dunianya sekarang. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal bodoh dengan menyakiti diri sendiri tanpa memikirkan nasib putranya ke depan akan seperti apa. Bagaimana mungkin ia bisa mengabaikan putranya yang begitu menggemaskan. Satu tetes air mata jatuh membasahi wajah Sean. Maudy usap air matanya yang membasahi wajah sang putra. Ia menyesal. Menyesal karena telah melakukan hal bodoh tanpa memikirkan masa depan Sean. Dipeluknya Sean erat-erat. Ia berjanji akan menjalani hidup dengan lebih baik lagi.Gedung itu didominasi oleh warna putih. Ada banyak bunga yang ditata di beberapa sudut ruangan. Maudy tampak begitu cantik dengan gaun yang ia kenakan. Rambutnya disanggul dengan poni yang menutupi jidat. Make up yang flawless semakin menambah tingkat kecantikan wanita itu.Sementara Mahen hanya mengenakan jas hitam dengan kemeja putih di bagian dalam. Terlihat begitu formal. Namun, tetap saja ia tampak begitu tampan. Mereka berdua berdiri di atas pelaminan dengan pisau pemotong kue yang digenggam berdua. MC memimpin acara, menghitung dari tiga hingga satu.Tampak ada banyak undangan di sana. Rata-rata bukan orang yang dikenal oleh Maudy ataupun Mahen. Tamu undangan pagi ini lebih banyak berasal dari orang-orang perusahaan yang memiliki hubungan baik dengan Tama. Tidak ada kado undangan sama sekali, sebab di kertas undangan tertulis agar tamu undangan tidak membawa kado. Tujuan diadakannya pesta bukan untuk meminta hadiah, tapi untuk berbagi kebahagiaan.Hanya ada beberapa orang dari
Mobil berwarna putih itu berhenti ketika mereka tiba di parkiran area makam. Mahen pulang jauh lebih awal hari ini, sebab ada janji dengan Maudy untuk ziarah dan fitting baju pengantin sepulang dari sana.Sudah lama sekali sejak terakhir Maudy datang mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Liam. Sebab, ia selalu merasakan luka sayatan di hatinya kembali terbuka setiap kali ia ke sana. Namun, kini situasinya sudah sedikit berbeda. Maudy sudah punya Mahen yang menempati kekosongan dalam hati dan jiwanya.Mahen turun dari mobil seraya menggendong Sean. Maudy menyusul dengan keranjang bunga dan sebotol air di tangan. Mereka melewati banyak makam lama sebelum akhrinya tiba di makam Liam. Kuburan itu tampak hijau dengan rumput yang begitu terawat. Di atas makan ada topi Liam dan juga fotonya dengan seragam militer.Ada rasa nyeri di dada ketika Mahen berlutut di dekat pusara adiknya. Menyesal, sebab tidak ada di saat-saat terkahir sang adik. Ia bahkan tidak hadir di saat pemakaman meski
Kalung berlian itu tampak begitu indah di leher jenjang milik Maudy. Warna dan modelnya sangat cocok untuk dia. Benda itu jadi semakin terlihat mewah karena dipakai oleh orang yang tepat.Tama memerhatikan, makan malam berlangsung dengan cukup hening tanpa suara selain denting sendok yang beradu dengan piring.“Kalungnya bagus.” Lelaki paruh baya itu memberikan pujian.Maudy menyentuh kalungnya, tersenyum seraya menoleh menatap Mahen.“Mas Mahen yang ngasih.” Wanita itu terlihat sangat senang saat memberitahu. Ia sangat suka semua hadiah yang ia terima dari Mahen, dalam bentuk apa pun itu.“Papa juga ada hadiah buat kalian.” Tama berucap dengan senyuman.“Papa harusnya tidak perlu repot seperti itu.” Maudy berucap demikian, tapi dalam hati sebenarnya ia tengah menunggu.“Sudah waktunya kalian menikah secara resmi. Kita adakan acara besar.” Tama memberikan usulan.Maudy menoleh menatap Mahen dengan sorot meminta pendapat.“Kapan-kapan saja, Pa. Belum ada uang.” Mahen memberikan jawaban
“Loh, Pa. Kok pulang sendiri? Mas Mahen mana?” Maudy bertanya ketika mendapati hanya Tama yang pulang sore ini, sementara Mahen entah berada di mana.“Masih ada urusan katanya, jadi papa tinggal saja.” Tama menjawab dengan santai.Maudy menghela napas dengan kasar. Pikirannya mulai mengarah ke mana-mana. Sebab, teringat dengan wanita yang ada di kantor waktu itu. Ia mulai berpikir jika Mahen ada main belakang dengan wanita itu. Overthinking pun dimulai. Ia tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar tentang sang suami. Entah Mahen sedang di mana dan tengah berbuat apa. Ada banyak kemungkinan buruk yang menguasai pikirannya.“Sayang, sini sama opa.” Rasa lelah karena penat bekerja selama seharian, menghilang menguar begitu saja setelah ia menatap sang cucu yang begitu lucu.Sean dengan perlahan menghampiri Tama. Kakinya sudah semakin kuat dalam melangkah. Langkahnya juga semakin lama semakin panjang.“Pa, titip Sean sebentar ya.” Maudy berucap dengan lembut, lalu beranjak pergi.Di dalam
“Pa, ini benar?” Mahen bertanya seraya menunjukkan file yang tengah ia kerjakan.Di ruang kerja Tama kini ada dua meja yang bersisian, satu untuk Mahen dan satu lagi untuk dirinya. Dengan begitu, Tama bisa selalu mengawasi pekerjaan sang putra. Mahen juga bisa dimudahkan, sebab bisa langsung bertanya pada orangnya.“Ini kamu salah masukin datanya. Harusnya begini.” Tama menjelaskan, berusaha mengajari dengan penjelasan yang mudah dimengerti.Mahen ngangguk-ngangguk tanda mengerti. Lelaki itu mulai kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia selalu saja tampak serius ketika bekerja. Tidak ada yang bisa merusak fokusnya sama sekali.Pintu ruangan terdengar diketuk dari luar. Disusul daun pintu yang terbuka dengan kemunculan Maudy di baliknya.“Mas.” Maudy memanggil dengan penuh kelembutan. Ia duduk di sofa, menaruh rantang yang ia bawa di meja.“Cuma Mahen yang disapa?” Tama berkomentar.“Pa.” Maudy tersenyum menyapa sang bapak mertua.Pintu kembali terdengar diketuk dari luar, disusul oleh
Maudy tampak begitu cantik mengenakan dress vintage bunga-bunga berwarna putih dengan kombinasi kekuningan. Rambutnya ia ikat dengan rapi, sementara poninya ia biarkan menutupi jidatnya. Make tipis-tipis dan natural semakin membuatnya bertambah cantik.“Sudah, Sayang?” Mahen bertanya ketika ia kembali masuk ke kamar untuk menjemput kunci mobil.Maudy mengangguk dengan lembut. Ia bangkit berdiri dari kursi rias untuk meraih tasnya.“Tidak perlu bawa gendongan.” Mahen berucap ketika Maudy meraih kain gendongan yang ada di ranjang.“Kenapa?” Maudy menatap dengan sorot penuh tanda tanya. Sebab, akan sedikit merepotkan jika mereka jalan-jalan tanpa membawa gendongan. Ia akan dangat kelelahan menggendong Seon tanpa bantuan.“Aku baru beli stroller, itu udah ada di bagasi mobil.” Mahen memberitahu.Ini pertama kalinya mereka jalan-jalan bertiga setelah menikah sekian lama. Wajar saja jika Maudy tidak memiliki kereta dorong bayi. Sebab, ia tidak pernah menggunakan dan membutuhkan itu. Bahkan