Setelah seminggu lamanya meja makan terasa begitu sepi karena harus makan sendiri, kini Tama merasa senang karena Maudy sudah ikut bergabung dengannya di sana. Ia tidak lagi merasa kesepian seperti biasanya. Sebab, ada teman ngobrol untuk bertukar kata.
Perlahan wajah pucat itu bisa menghilang. Wajah cantik Maudy mulai terlihat segar. Meski kesehatannya belum pulih total. “Kau bisa papa tinggal?” Tama bertanya dengan ragu saat ia tengah menikmati makan malam berdua bersama sang menantu. Maudy mendongak, menatap dengan kening berkerut. Bingung akan pertanyaan Tama yang begitu ambigu. “Lusa papa harus ke luar kota untuk mengurus pekerjaan.” Tama berucap dengan berat. Ia tahu Maudy belum bisa ditinggal. Namun, ia juga harus fokus dengan pekerjaan. Sebab, ia yang kini menjadi tulang punggung untuk menantu dan cucunya. Meski Maudy akan mendapatkan tunjangan dari pekerjaan Liam yang gugur di medan perang. Namun, tanggung jawab Liam kini berpindah ke tangannya. Maudy hanya diam. Ia tidak bisa memberikan jawaban. Ia tidak bisa malarang karena tidak berhak untuk melarang. Namun, jika bisa meminta ia ingin agar sang mertua di rumah saja. “Papa pergi cuma sebentar.” Tama menegaskan. Maudy hanya menghela napas dengan kasar. Sebab, kalimat itu kalimat yang pernah ia dengar terlontar dari mulut Liam. “Di sini ada Hanum sama Mahen yang bakal jagain kamu.” Maudy tetap diam. Ia menunduk, menyembunyikan matanya yang telah memerah membendung air mata. Ia tidak ingin menangis lagi, tapi baginya berat jika harus ditinggal karena pekerjaan. Ia tidak ingin mertuanya pulang hanya tinggal nama seperti Liam. Ia tidak ingin kembali kehilangan. “Pergi saja.” Mahen menimbrung pembicaraan. Lelaki itu ikut bergabung untuk makan malam. “Gak perlu minta izin sama Maudy. Dia gak berhak melarang. Dia bukan siapa-siapa di sini, harusnya dia sadar diri.” Mahen berucap dengan santai. Ia meraih piring, lalu mengambil hidangan dengan tenang. Maudy bangkit berdiri, meninggalkan piringnya yang masih berisi banyak makanan. Ia baru melahap beberapa sendok saja. Ucapan Mahen memang benar, tapi Maudy juga punya perasaan yang harus dijaga. Apalagi ia yang baru kehilangan suami karena tuntutan pekerjaan. Maudy melangkah dengan cepat menuju kamar. Ia usap pipinya yang sudah basah karena air mata. Mengunci pintu kamar dan merebahkan diri di samping Sean yang tengah terlelap. Dipeluknya tubuh mungil itu, lalu memejamkan mata. Berharap lekas tertidur agar ia tidak terlalu larut dalam tangisan. Terdengar ketukan di pintu kamar beberapa saat setelah Maudy terpejam. Ia bangkit untuk duduk, diusapnya wajah untuk menghilangkan jejak tangisan. Lalu, beranjak untuk membukakan. Sosok sang mertua langsung menyambut setelah daun pintu terbuka. “Boleh papa masuk?” Tama bertanya dengan senyum lembut terukir di bibirnya. Maudy mengangguk. Membuka pintu lebar-lebar agar Tama bisa masuk. Pintu dibiarkan terbuka, sebagai pertanda bahwa mereka tidak melakukan apa pun di dalamnya. Tama duduk di tepian ranjang setelah Maudy mengambil posisi duduk di sana. Ia tatap wajah sang cucu lamat-lamat. Wajah itu mirip sekali dengan Liam ketika kecil dulu. Bak buah pinang dibelah dua. Garis wajah mereka benar-benar sama. Seolah Sean adalah fotokopian ayahnya. Mereka terdiam cukup lama dengan menatap bayi mungil itu. “Jangan didengarkan apa kata Mahen.” Tama memecah keheningan di antara mereka. “Dia dulunya tidak seperti itu. Sifatnya berubah drastis setelah batal nikah lima tahun lalu. Tunangannya selingkuh dan tidur dengan lelaki lain. Hal itu membuat sifatnya berubah 180 derajat. Bukan hanya dari segi ucapan, tapi juga perilakunya yang benar-benar berubah. Dia seperti orang asing setelah kejadian itu.” Tama berucap dengan lemah. Matanya tampak berkaca-kaca mengingat apa yang terjadi di masa silam. Maudy mendongak, ia tatap Tama lamat-lamat. “Papa rindu masa lalu. Sewaktu Mahen dan Liam masih bersikap layaknya saudara. Mereka dulunya sangat dekat, sebelum Mahen berulah dan mereka jadi sering bertengkar. Dulu Mahen bekerja di rumah sakit dekat sini, tapi diberhentikan secara tidak terhormat karena terbukti melakukan pelecahan pada pasien.” Tama mulai bercerita. “Liam menasehati Mahen agar lebih bisa menjaga kode etik sebagai nakes, tapi Mahen keras kepala. Tingkahnya semakin lama semakin memuakkan. Ia jadi sering tidur dengan wanita berbeda. Mengajak mereka untuk kencan satu malam. Bahkan tidak segan membawa wanita pulang dan tidur di kamarnya. Liam tidak terima karena Mahen mengotori rumah dengan hal yang tidak senonoh, mereka jadi sering bertengkar karena masalah itu. Bahkan tidak segan untuk saling hajar. Papa membela Liam karena dia memang benar, tapi Mahen berpikir papa pilih kasih karena selalu membela Liam ketika mereka bertengkar. Mahen berpikir papa membela Liam karena karirnya sebagai aparat lebih cemerlang, sementara Mahen pengangguran setelah dipecat dari rumah sakit tempatnya bekerja.” Maudy hanya diam mendengar. “Puncaknya dua tahun lalu. Liam meminta Mahen untuk tidak pulang selama satu hari karena dia ingin membawamu ke sini untuk berkenalan dengan papa. Liam tidak ingin terjadi masalah karena Mahen memang tidak punya etika. Dia selalu menggoda wanita mana saja yang menurutnya menarik. Liam tidak ingin hal itu berakibat buruk pada hubungan kalian. Mahen menolak. Papa membujuk agar Mahen mengalah dan menuruti keinginan Liam. Mahen semakin marah karena diminta untuk selalu mengalah. Dia memukul papa, Liam tidak terima. Liam sampai membawa pangkatnya dan mengancam akan memenjarakan Mahen. Mahen marah besar, dia mengacak-acak seisi rumah. Meminta untuk putus hubungan.” Maudy ingat, dulu beberapa kali Liam membatalkan janji untuk membawanya ke rumah dan berkenalan dengan papa Liam. Ia membatalkan janji dengan alasan pekerjaan. “Mahen pergi dari rumah ketika dia marah. Dia tidak pernah kembali setelah itu, sekeras apa pun papa meminta. Selama Liam masih hidup, ia tidak ingin dianggap anak oleh papa. Selama Liam berada di rumah ini, ia tidak ingin menginjakkan kaki di sini.” Lelaki itu berucap dengan lemah. Maudy hanya diam, sebab ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. “Liam sudah sering menasehati, mengajak untuk berdamai asal Mahen berhenti membuat ulah. Tapi Mahen tetap saja keras kepala. Ia selalu melakukan hal yang tidak diinginkan, sampai berakibat fatal pada nama baik perusahaan. Setiap kali ada rekan atau saudara yang berkunjung ke rumah, sikap buruk Mahen selalu dibicarakan setelah melihat fotonya yang terpajang di dinding. Beberapa kali papa dihina karena dianggap gagal dalam mendidik anak. Liam tidak suka papa dihina oleh siapa pun. Dia membuang semua foto Mahen, mengurus pemisahan KK untuk mengeluarkan nama Mahen di dalamnya. Mengungumkan jika papa cuma punya satu anak saja.” Maudy menghela napas dengan kasar. Ia senang, sebab selama mendengar cerita sang mertua, ia hanya mendengar hal baik tentang mendiang suaminya. Itu pertanda jika memang Liam selalu melakukan hal baik selama hidupnya. “Papa tidak tahu kapan papa mati. Papa cuma mau Mahen kembali seperti dulu lagi. Menjadi anak yang membanggakan keluarga. Berhenti bermain wanita, menikah, dan memiliki keluarga seperti Liam.” Tangis Tama akhirnya pecah. Sebagai orang tua, tentu saja ia merasa gagal dengan sikap Mahen sekarang. Ia mencemaskan masa depan Mahen. Siapa yang akan mengurusnya kelak jika ia tetap bersikap seperti itu. “Dia pasti akan berubah, tidak sekarang, tapi nanti. Papa gak perlu khawatir.” Maudy berucap dengan lembut. Ia peluk sang mertua untuk menenangkan.Mahen tertawa mendengar pengakuan Maudy. Ia tidak percaya sama sekali. Apalagi beberapa menit yang lalu ia menyaksikan jika Maudy tengah berpelukan dengan Putra, tepat di depan matanya sendiri. Bahkan ayahnya ada di sana bersama mereka. Maudy dan Putra benar-benar tidak punya malu dengan berpelukan di depan orang lain tanpa ada ikatan yang sah sama sekali,Mahen melepas cengkeraman Maudy di pergelangan tangannya. “Jangan main-main dengan perasaan, Maudy. Hanya karena kau tahu aku menyukaimu, kau dengan mudah memainkan perasaanku.” Mahen berucap dengan sorot entah.“Tapi aku tidak sedang berbohong. Aku benar-benar mencintaimu.” Maudy bersikeras.Putra tersenyum getir.“Tidak seharusnya kau mengatakan itu tepat di depan mataku. Kau harusnya bisa menjaga perasaan ornag yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padamu.” Putra protes, sebab ia merasa jika Maudy tengah jujur dengan perasaannya. Wanita itu tidak tengah bermain-main dengan ucapannya.“Aku ingin semuanya jelas sekarang. Kal
Maudy baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu tampak cantik dengan dress putih yang diberikan oleh Tama. Sebab, ia tidak membawa baju ganti ketika ia datang bertandang semalam.“Mbak, ada Mas Putra di depan.” Hanum memberitahu setelah Maudy membuka pintu kamar.Kening Maudy berkerut mendengar nama Putra disebut. Ia tidak memberitahu lelaki itu jika ia berada di rumah ini sekarang. Dari mana Putra mengetahui keberadaannya? Ia bahkan sengaja tidak membalas pesan Putra karena ingin meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus memberikan harapan. Sementara hatinya telah tertaut pada lelaki lain.“Di mana Sean?” Maudy bertanya, sebab ia tidak mendapati putranya bersama Hanum. Sementara ia telah menitipkan Sean pada Hanum ketika ia ingin mandi tadi.“Sama Mas Putra.” Hanum menjawab tanpa rasa berdosa.Maudy menghela napas dengan kasar.“Sebentar lagi aku ke sana, aku mau mengeringkan rambut dulu.”Hanum mengangguk, lalu beranjak pe
Maudy terbangun ketika Sean kembali merengek. Wanita itu sangat terkejut ketika ia mendapati Mahen terlelap dengan bersandar pada bahunya. Ia menoleh menatap untuk waktu yang lama. Dadanya kembali berdebar dengan sangat tidak karuan.Sebuah simpul senyum terbit di bibir Maudy. Ia tatap wajah lelap itu lamat-lamat. Teringat dengan kejadian tadi malam. Mereka banyak bicara, hingga tidak sadar terlelap bersama.“Mbak!” Hanum memanggil dari arah belakang.Maudy menoleh pada sumber suara. Ia memberi kode agar Hanum jangan berisik, sebab Mahen yang tengah tidur di sana. Lelaki itu pasti sangat lelah. Apalagi ia tidak langsung tidur setelah pulang bekerja larut malam.Maudy melambaikan tangan, meminta Hanum untuk datang mendekat. Ia serahkan Sean pada gadis itu, lalu bangkit dengan pelan dan membaringkan Mahen dengan lembut di sofa. Setelahnya ia beranjak menuju kamar Mahen untuk mengambil selimut.Sebuah kejutan ketika Maudy menyalakan lampu kamar Mahen. Di nakas samping ranjang ada fotonya
“Aku tidak bisa memutuskan, Pa. Itu tergantung Mas Mahen. Dia berhak memilih wanita yang dia inginkan.” Maudy menjawab dengan sungkan.Awalnya Mahen memang menggebu-gebu menginginkannya. Namun, kini terlihat tidak seperti sebelumnya. Jadi, Maudy berpikir jika Mahen telah mulai melupakan perasaannya.“Mahen pasti mau. Sekarang tinggal kau saja, semuanya berada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal karena menikah dengan lelaki yang salah.” Tama mengingatkan.Maudy menghela napas dengan dalam. Ia tidak tahu harus membuat keputusan apa. Putra sangat jelas mencintai dan menginginkannya. Lelaki itu juga sangat menyayangi Sean layaknya anak sendiri. Namun, hubungan mereka ditentang oleh orang tua Putra. Sementara Mahen, tidak jelas perasannya sekarang seperti apa. Namun, di balik lelaki itu ada Tama yang mendukung hubungan mereka. Terlebih Maudy mulai ada rasa. Ia bingung harus bagaimana.“Papa tahu kau tidak mencintai Putra. Mahen sudah menjelaskannya pada papa, Liam meninggalkan wasiat a
“Maudy!” Tama tampak sangat senang ketika ia mendapati Maudy datang ke rumahnya bersama Mahen. Lelaki paruh baya itu langsung menghambur memeluk Maudy untuk meluapkan rasa rindu yang telah terpendam sekian lama. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata. Ia berpikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah kejadian waktu itu.“Pa ….” Maudy berucap dengan lembut. Ia tersenyum tipis ketika Tama menghujaninya dengan ciuman di wajah. Bukti kasih sayang seorang ayah.“Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Ia bingkai wajah Maudy dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu memeriksa seluruh tubuh Maudy, memastikan jika Maudy tidak kurang satu hal pun pada dirinya.Maudy hanya tersenyum sungkan, tidak tahu harus merespons sikap lelaki itu seperti apa.“Kamu balik sini, ya … tinggal sama papa lagi.” Tama berucap dengan penuh harap. Membuat Maudy semakin bingung harus berucap apa.Mahen hanya diam menatap. Hatinya menghangat melihat kedekatan kedua orang itu.
Maudy turun dari taksi ketika ia telah tiba di tempat tujuan. Tampak ia sedikit ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Maudy merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel, ia cari nomor Mahen. Namun, ia urungkan niatnya untuk menghubungi lelaki itu. Ia sendiri bingung mengapa ia memikirkan Mahen selama beberapa hari ini. Wanita itu merasa aneh ketika Mahen berhenti mengganggu dirinya.Maudy hendak mengetuk pintu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Wanita itu berbalik, hendak pergi. Namun, daun pintu terbuka secara mendadak dengan kemunculan Mahen di baliknya.“Loh, Maudy?” Mahen menatap dengan bingung. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Maudy di sana. Namun, ia juga merasa senang. Sebab, Maudy datang sendiri tanpa diminta.“K-kau mau keluar?” Maudy bertanya dengan gugup. Wajahnya memerah menatap lelaki dengan setelan pakaian khas dokter di hadapannya.“Aku harus berangkat kerja sekarang. Pagi ini ada pasien gawat darurat yang baru datang. Ada apa?”Maudy menggeleng dengan pel