“Jadi, ini hubungan kalian di luar mertua dan menantu? Peluk-pelukan di kamar tanpa rasa malu.”
Maudy melepas dekapan setelah mendengar kalimat dengan nada yang sangat tidak bersahabat itu. Mereka menoleh secara bersamaan pada Mahen yang tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang bersidekap di dada. Merasa jijik menatap Maudy dan Tama. “Jangan dimasukkan ke dalam hati apa pun yang dia katakan.” Tama menegaskan. Ia mengusap wajah, bangkit berdiri dan beranjak pergi keluar dari kamar. Belum pernah Maudy melihat mertuanya menangis seperti itu selain ketika mendengar berita kematian Liam. Itu artinya ia benar-benar merasa sakit atas sikap Mahen dan sangat ingin putra sulungnya itu berubah kembali seperti dulu lagi. Mahen masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang begitu menusuk. Sorot matanya tajam menikam. Maudy bangkit berdiri, beranjak menuju pintu hendak menutupnya kembali. Namun, daun pintu langsung ditahan oleh Mahen. Lelaki itu beranjak masuk begitu saja. Meraih kotak obat yang ada di nakas, ia memilih dan memilah. “Jangan lupa diminum agar bebanku berkurang.” Mahen berucap seraya menaruh butiran obat itu tepat di dekat botol air mineral. Setelahnya ia beranjak keluar tanpa berucap apa pun lagi. Maudy hanya bisa menghela napas dengan kasar. Tampaknya ia harus memperbanyak stock sabar setelah ini. *** Maudy mengantar sang mertua hingga teras. Ia sudah jauh lebih baik sekarang. Tubuhnya sudah sangat kuat menggendong Sean tanpa bantuan. Wajahnya juga sudah sangat segar, tidak tersisa pucat sedikit pun di wajahnya sekarang. Bibir itu sudah tampak merekah meski tanpa dipoles lipstick. “Jaga kesehatan, jangan lupa makan.” Tama berpesan. Sesungguhnya ia merasa berat meninggalkan Maudy dan Sean pada Mahen. Ia tidak bisa mengontrol tindakan putranya itu jika berjauhan seperti ini. Namun, ia percaya jika Mahen bisa menahan diri. Tidak mungkin Mahen berbuat nekat pada istri mendiang adiknya sendiri. “Papa jangan lama-lama.” Maudy berucap dengan manja. Mimik wajahnya terlihat berat melepas Tama ke luar kota. “Mungkin dua atau tiga minggu papa akan kembali.” Tama tersenyum berucap. Ia usap wajah Sean yang tengah terlelap dalam gendongan Maudy. Ia akan sangat merindukan rumah. Apalagi sudah ada cucunya kini. “Itu lama sekali.” Maudy memasang wajah cemberut. “Papa harus kerja keras biar bisa pensiun dalam waktu dekat. Setidaknya sampai biaya kuliah Sean terkumpul.” Lelaki paruh baya itu berucap dengan lembut. Maudy merasa tersentuh. Meski Liam sudah tidak ada, sang mertua tetap saja peduli pada mereka. Tama bahkan memikirkan biaya hidup Sean hingga sejauh itu. Padahal Maudy bisa bekerja jika kondisinya sudah benar-benar pulih. Terlebih ada tunjangan dari pemerintah untuk ia dan Sean. “Papa pergi, ya.” Lelaki itu kembali pamit. Maudy hanya bisa mengangguk dengan lembut. Menatap dengan sayu pada Tama yang berjalan menuju mobil. Terdengar suara klakson ketika mobil itu mulai melaju meninggalkan area rumah. Maudy melambai, tetap berdiri di sana hingga mobil itu menghilang di kejauhan. Ia kembali teringat ketika ia mengantar Liam ke bandara untuk yang terakhir kalinya. Ketika Sean masih berada dalam kandungan. Maudy menghela napas dengan kasar. Ia tidak ingin bersedih hanya karena ditinggal demi pekerjaan. “Aku keluar sebentar, mungkin pulang besok pagi. Catatan untukmu sudah kutinggal di meja ruang tamu. Turuti apa pun yang tertulis di sana.” Mahen berucap saat ia melewati Maudy. Ia membawa ransel berjalan menuju garasi. Mengeluarkan mobil milik Liam yang jarang dipakai. Maudy tidak ingin berkomentar apa pun, wanita itu hanya diam dan bergegas beranjak menuju rumah. Menikmati status barunya sebagai seorang ibu. *** [Mahen belum pulang?] Sebuah pesan masuk dari Tama ke ponsel Maudy ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Entah dari siapa ia tahu jika putra sulungnya itu tidak berada di rumah. [Belum.] Maudy mengirim balasan. Tidak lagi ada balasan dari Tama setelahnya. Hanya centang dua biru sebagai pertanda bahwa pesan telah dibaca. [Papa jangan khawatir, dia sudah dewasa, pasti bisa menjaga diri sendiri.] Maudy kembali mengirim pesan agar mertuanya tidak merasa khawatir. Apalagi Mahen itu lelaki, bukan wanita yang gampang dijahati. [Papa khawatir sama kamu, bukan Mahen. Papa sudah nitipin kamu sama Sean ke dia. Dianya malah keluyuran.] [Aku baik-baik aja, Pa. Mas Mahen juga ada ninggalin catatan apa yang boleh dan gak boleh aku lakukan.] Maudy meyakinkan. Ia tidak ingin ada masalah ke depannya sehingga memperburuk hubungan mereka. [Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi papa.] [Iya, Pa.] Maudy menghela napas dengan kasar. Ia bisa menebak ke mana Mahen pergi hingga tidak pulang sampai sekarang. Setelah mendengar penjelasan Tama beberapa hari yang lalu, Maudy paham apa yang ada di pikiran Mahen sekarang. Lelaki itu pasti tengah mencari hiburan di atas ranjang. Selama Mahen tidak membawa pulang wanita itu, Maudy tidak akan protes sama sekali. Ia tidak ada hak untuk melarang. Liam yang adiknya sendiri ia benci karena ikut campur masalah itu, apalagi dirinya yang tidak dianggap sama sekali oleh Mahen. Maudy bangkit berdiri, hendak beranjak keluar kamar. Namun, baru satu kali ia melangkah, tangis Sean membuatnya berhenti dan berbalik kembali. Maudy kembali naik ke ranjang, membawa sang putra ke dalam gendongan untuk ia susui. Kamar berubah hening setelah Sean terdiam. Ia menatap wajah lelap sang putra. Senyum seketika terbit di bibirnya. “Kamu mirip sekali sama papa. Mama ngerasa ada papa di sini.” Maudy berucap dengan senyuman. Namun, matanya meneteskan air mata kesedihan. Ia rebahkan Sean dengan pelan. Kali ini anak itu tidak lagi terbangun ketika ia tinggal sendirian. Maudy menuruni anak-anak tangga. Rumah sangat sepi tanpa suami dan mertuanya. Hanya keheningan yang terasa. Ia hendak menuju dapur, menyusui membuatnya mudah merasa lapar. “Kau ngadu apa saja pada pria tua itu?” Suara tajam milik Mahen terdengar dari arah belakang. Maudy berbalik, menatap Mahen dengan sorot penuh kebingungan. Ternyata lelaki itu telah pulang, entah sejak kapan. “Aku gak ngomong apa-apa.” “Urus saja hidupmu, jangan ikut campur dengan urusan orang lain. Aku sudah berbaik hati mengulurkan tangan memberimu bantuan.” Maudy mengabaikan. Ia kembali berbalik, hendak meneruskan langkah menuju dapur. Namun, Mahen mencekal. Ia cengkeram lengan Maudy dengan kasar, lalu menarik paksa agar kembali berbalik menatapnya. “Sekali lagi kuperingatkan, jangan cari masalah denganku. Andai kau bukan wanita, aku sudah menghajarmu.” Mahen berucap dengan tajam. Ia cengkeram rahang Maudy dengan kasar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ada aroma alkohol yang tercium dari tubuhnya. Maudy berusaha memberontak, tapi ia kalah kuat. “Maaf, Mas. Itu saya yang lapor sama Tuan Tama. Saya diminta buat ngawasin Mas Mahen selama Tuan Tama di luar kota.” Hanum berucap dengan gemetar, ia ketakutan. Mahen melepas cengkeraman di rahang Maudy. Menyisakan bekas merah dan rasa sakit di sana, sebab ia mencengkeram terlalu kuat. “Aku bukan saudaramu, jangan panggil aku dengan sebutan itu.” Mahen berucap dengan tajam, ia berlalu setelah mendengar penjelasan Hanum. Tidak ada maaf sedikit pun yang terlontar dari mulutnya setelah memberi rasa takut pada dua wanita itu.Gedung itu didominasi oleh warna putih. Ada banyak bunga yang ditata di beberapa sudut ruangan. Maudy tampak begitu cantik dengan gaun yang ia kenakan. Rambutnya disanggul dengan poni yang menutupi jidat. Make up yang flawless semakin menambah tingkat kecantikan wanita itu.Sementara Mahen hanya mengenakan jas hitam dengan kemeja putih di bagian dalam. Terlihat begitu formal. Namun, tetap saja ia tampak begitu tampan. Mereka berdua berdiri di atas pelaminan dengan pisau pemotong kue yang digenggam berdua. MC memimpin acara, menghitung dari tiga hingga satu.Tampak ada banyak undangan di sana. Rata-rata bukan orang yang dikenal oleh Maudy ataupun Mahen. Tamu undangan pagi ini lebih banyak berasal dari orang-orang perusahaan yang memiliki hubungan baik dengan Tama. Tidak ada kado undangan sama sekali, sebab di kertas undangan tertulis agar tamu undangan tidak membawa kado. Tujuan diadakannya pesta bukan untuk meminta hadiah, tapi untuk berbagi kebahagiaan.Hanya ada beberapa orang dari
Mobil berwarna putih itu berhenti ketika mereka tiba di parkiran area makam. Mahen pulang jauh lebih awal hari ini, sebab ada janji dengan Maudy untuk ziarah dan fitting baju pengantin sepulang dari sana.Sudah lama sekali sejak terakhir Maudy datang mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Liam. Sebab, ia selalu merasakan luka sayatan di hatinya kembali terbuka setiap kali ia ke sana. Namun, kini situasinya sudah sedikit berbeda. Maudy sudah punya Mahen yang menempati kekosongan dalam hati dan jiwanya.Mahen turun dari mobil seraya menggendong Sean. Maudy menyusul dengan keranjang bunga dan sebotol air di tangan. Mereka melewati banyak makam lama sebelum akhrinya tiba di makam Liam. Kuburan itu tampak hijau dengan rumput yang begitu terawat. Di atas makan ada topi Liam dan juga fotonya dengan seragam militer.Ada rasa nyeri di dada ketika Mahen berlutut di dekat pusara adiknya. Menyesal, sebab tidak ada di saat-saat terkahir sang adik. Ia bahkan tidak hadir di saat pemakaman meski
Kalung berlian itu tampak begitu indah di leher jenjang milik Maudy. Warna dan modelnya sangat cocok untuk dia. Benda itu jadi semakin terlihat mewah karena dipakai oleh orang yang tepat.Tama memerhatikan, makan malam berlangsung dengan cukup hening tanpa suara selain denting sendok yang beradu dengan piring.“Kalungnya bagus.” Lelaki paruh baya itu memberikan pujian.Maudy menyentuh kalungnya, tersenyum seraya menoleh menatap Mahen.“Mas Mahen yang ngasih.” Wanita itu terlihat sangat senang saat memberitahu. Ia sangat suka semua hadiah yang ia terima dari Mahen, dalam bentuk apa pun itu.“Papa juga ada hadiah buat kalian.” Tama berucap dengan senyuman.“Papa harusnya tidak perlu repot seperti itu.” Maudy berucap demikian, tapi dalam hati sebenarnya ia tengah menunggu.“Sudah waktunya kalian menikah secara resmi. Kita adakan acara besar.” Tama memberikan usulan.Maudy menoleh menatap Mahen dengan sorot meminta pendapat.“Kapan-kapan saja, Pa. Belum ada uang.” Mahen memberikan jawaban
“Loh, Pa. Kok pulang sendiri? Mas Mahen mana?” Maudy bertanya ketika mendapati hanya Tama yang pulang sore ini, sementara Mahen entah berada di mana.“Masih ada urusan katanya, jadi papa tinggal saja.” Tama menjawab dengan santai.Maudy menghela napas dengan kasar. Pikirannya mulai mengarah ke mana-mana. Sebab, teringat dengan wanita yang ada di kantor waktu itu. Ia mulai berpikir jika Mahen ada main belakang dengan wanita itu. Overthinking pun dimulai. Ia tidak bisa tenang sebelum mendapat kabar tentang sang suami. Entah Mahen sedang di mana dan tengah berbuat apa. Ada banyak kemungkinan buruk yang menguasai pikirannya.“Sayang, sini sama opa.” Rasa lelah karena penat bekerja selama seharian, menghilang menguar begitu saja setelah ia menatap sang cucu yang begitu lucu.Sean dengan perlahan menghampiri Tama. Kakinya sudah semakin kuat dalam melangkah. Langkahnya juga semakin lama semakin panjang.“Pa, titip Sean sebentar ya.” Maudy berucap dengan lembut, lalu beranjak pergi.Di dalam
“Pa, ini benar?” Mahen bertanya seraya menunjukkan file yang tengah ia kerjakan.Di ruang kerja Tama kini ada dua meja yang bersisian, satu untuk Mahen dan satu lagi untuk dirinya. Dengan begitu, Tama bisa selalu mengawasi pekerjaan sang putra. Mahen juga bisa dimudahkan, sebab bisa langsung bertanya pada orangnya.“Ini kamu salah masukin datanya. Harusnya begini.” Tama menjelaskan, berusaha mengajari dengan penjelasan yang mudah dimengerti.Mahen ngangguk-ngangguk tanda mengerti. Lelaki itu mulai kembali fokus mengerjakan tugasnya. Ia selalu saja tampak serius ketika bekerja. Tidak ada yang bisa merusak fokusnya sama sekali.Pintu ruangan terdengar diketuk dari luar. Disusul daun pintu yang terbuka dengan kemunculan Maudy di baliknya.“Mas.” Maudy memanggil dengan penuh kelembutan. Ia duduk di sofa, menaruh rantang yang ia bawa di meja.“Cuma Mahen yang disapa?” Tama berkomentar.“Pa.” Maudy tersenyum menyapa sang bapak mertua.Pintu kembali terdengar diketuk dari luar, disusul oleh
Maudy tampak begitu cantik mengenakan dress vintage bunga-bunga berwarna putih dengan kombinasi kekuningan. Rambutnya ia ikat dengan rapi, sementara poninya ia biarkan menutupi jidatnya. Make tipis-tipis dan natural semakin membuatnya bertambah cantik.“Sudah, Sayang?” Mahen bertanya ketika ia kembali masuk ke kamar untuk menjemput kunci mobil.Maudy mengangguk dengan lembut. Ia bangkit berdiri dari kursi rias untuk meraih tasnya.“Tidak perlu bawa gendongan.” Mahen berucap ketika Maudy meraih kain gendongan yang ada di ranjang.“Kenapa?” Maudy menatap dengan sorot penuh tanda tanya. Sebab, akan sedikit merepotkan jika mereka jalan-jalan tanpa membawa gendongan. Ia akan dangat kelelahan menggendong Seon tanpa bantuan.“Aku baru beli stroller, itu udah ada di bagasi mobil.” Mahen memberitahu.Ini pertama kalinya mereka jalan-jalan bertiga setelah menikah sekian lama. Wajar saja jika Maudy tidak memiliki kereta dorong bayi. Sebab, ia tidak pernah menggunakan dan membutuhkan itu. Bahkan