Share

7. Ancaman Mahen

Author: Rich Ghali
last update Last Updated: 2025-05-28 01:19:17

“Jadi, ini hubungan kalian di luar mertua dan menantu? Peluk-pelukan di kamar tanpa rasa malu.”

Maudy melepas dekapan setelah mendengar kalimat dengan nada yang sangat tidak bersahabat itu. Mereka menoleh secara bersamaan pada Mahen yang tengah berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan yang bersidekap di dada. Merasa jijik menatap Maudy dan Tama.

“Jangan dimasukkan ke dalam hati apa pun yang dia katakan.” Tama menegaskan. Ia mengusap wajah, bangkit berdiri dan beranjak pergi keluar dari kamar.

Belum pernah Maudy melihat mertuanya menangis seperti itu selain ketika mendengar berita kematian Liam. Itu artinya ia benar-benar merasa sakit atas sikap Mahen dan sangat ingin putra sulungnya itu berubah kembali seperti dulu lagi.

Mahen masih berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang begitu menusuk. Sorot matanya tajam menikam.

Maudy bangkit berdiri, beranjak menuju pintu hendak menutupnya kembali. Namun, daun pintu langsung ditahan oleh Mahen. Lelaki itu beranjak masuk begitu saja. Meraih kotak obat yang ada di nakas, ia memilih dan memilah.

“Jangan lupa diminum agar bebanku berkurang.” Mahen berucap seraya menaruh butiran obat itu tepat di dekat botol air mineral. Setelahnya ia beranjak keluar tanpa berucap apa pun lagi.

Maudy hanya bisa menghela napas dengan kasar. Tampaknya ia harus memperbanyak stock sabar setelah ini.

***

Maudy mengantar sang mertua hingga teras. Ia sudah jauh lebih baik sekarang. Tubuhnya sudah sangat kuat menggendong Sean tanpa bantuan. Wajahnya juga sudah sangat segar, tidak tersisa pucat sedikit pun di wajahnya sekarang. Bibir itu sudah tampak merekah meski tanpa dipoles lipstick.

“Jaga kesehatan, jangan lupa makan.” Tama berpesan. Sesungguhnya ia merasa berat meninggalkan Maudy dan Sean pada Mahen. Ia tidak bisa mengontrol tindakan putranya itu jika berjauhan seperti ini. Namun, ia percaya jika Mahen bisa menahan diri. Tidak mungkin Mahen berbuat nekat pada istri mendiang adiknya sendiri.

“Papa jangan lama-lama.” Maudy berucap dengan manja. Mimik wajahnya terlihat berat melepas Tama ke luar kota.

“Mungkin dua atau tiga minggu papa akan kembali.” Tama tersenyum berucap. Ia usap wajah Sean yang tengah terlelap dalam gendongan Maudy. Ia akan sangat merindukan rumah. Apalagi sudah ada cucunya kini.

“Itu lama sekali.” Maudy memasang wajah cemberut.

“Papa harus kerja keras biar bisa pensiun dalam waktu dekat. Setidaknya sampai biaya kuliah Sean terkumpul.” Lelaki paruh baya itu berucap dengan lembut.

Maudy merasa tersentuh. Meski Liam sudah tidak ada, sang mertua tetap saja peduli pada mereka. Tama bahkan memikirkan biaya hidup Sean hingga sejauh itu. Padahal Maudy bisa bekerja jika kondisinya sudah benar-benar pulih. Terlebih ada tunjangan dari pemerintah untuk ia dan Sean.

“Papa pergi, ya.” Lelaki itu kembali pamit.

Maudy hanya bisa mengangguk dengan lembut. Menatap dengan sayu pada Tama yang berjalan menuju mobil. Terdengar suara klakson ketika mobil itu mulai melaju meninggalkan area rumah. Maudy melambai, tetap berdiri di sana hingga mobil itu menghilang di kejauhan. Ia kembali teringat ketika ia mengantar Liam ke bandara untuk yang terakhir kalinya. Ketika Sean masih berada dalam kandungan.

Maudy menghela napas dengan kasar. Ia tidak ingin bersedih hanya karena ditinggal demi pekerjaan.

“Aku keluar sebentar, mungkin pulang besok pagi. Catatan untukmu sudah kutinggal di meja ruang tamu. Turuti apa pun yang tertulis di sana.” Mahen berucap saat ia melewati Maudy. Ia membawa ransel berjalan menuju garasi. Mengeluarkan mobil milik Liam yang jarang dipakai.

Maudy tidak ingin berkomentar apa pun, wanita itu hanya diam dan bergegas beranjak menuju rumah. Menikmati status barunya sebagai seorang ibu.

***

[Mahen belum pulang?] Sebuah pesan masuk dari Tama ke ponsel Maudy ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Entah dari siapa ia tahu jika putra sulungnya itu tidak berada di rumah.

[Belum.] Maudy mengirim balasan.

Tidak lagi ada balasan dari Tama setelahnya. Hanya centang dua biru sebagai pertanda bahwa pesan telah dibaca.

[Papa jangan khawatir, dia sudah dewasa, pasti bisa menjaga diri sendiri.] Maudy kembali mengirim pesan agar mertuanya tidak merasa khawatir. Apalagi Mahen itu lelaki, bukan wanita yang gampang dijahati.

[Papa khawatir sama kamu, bukan Mahen. Papa sudah nitipin kamu sama Sean ke dia. Dianya malah keluyuran.]

[Aku baik-baik aja, Pa. Mas Mahen juga ada ninggalin catatan apa yang boleh dan gak boleh aku lakukan.] Maudy meyakinkan. Ia tidak ingin ada masalah ke depannya sehingga memperburuk hubungan mereka.

[Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi papa.]

[Iya, Pa.]

Maudy menghela napas dengan kasar. Ia bisa menebak ke mana Mahen pergi hingga tidak pulang sampai sekarang. Setelah mendengar penjelasan Tama beberapa hari yang lalu, Maudy paham apa yang ada di pikiran Mahen sekarang. Lelaki itu pasti tengah mencari hiburan di atas ranjang. Selama Mahen tidak membawa pulang wanita itu, Maudy tidak akan protes sama sekali. Ia tidak ada hak untuk melarang. Liam yang adiknya sendiri ia benci karena ikut campur masalah itu, apalagi dirinya yang tidak dianggap sama sekali oleh Mahen.

Maudy bangkit berdiri, hendak beranjak keluar kamar. Namun, baru satu kali ia melangkah, tangis Sean membuatnya berhenti dan berbalik kembali. Maudy kembali naik ke ranjang, membawa sang putra ke dalam gendongan untuk ia susui.

Kamar berubah hening setelah Sean terdiam. Ia menatap wajah lelap sang putra. Senyum seketika terbit di bibirnya.

“Kamu mirip sekali sama papa. Mama ngerasa ada papa di sini.” Maudy berucap dengan senyuman. Namun, matanya meneteskan air mata kesedihan. Ia rebahkan Sean dengan pelan. Kali ini anak itu tidak lagi terbangun ketika ia tinggal sendirian.

Maudy menuruni anak-anak tangga. Rumah sangat sepi tanpa suami dan mertuanya. Hanya keheningan yang terasa. Ia hendak menuju dapur, menyusui membuatnya mudah merasa lapar.

“Kau ngadu apa saja pada pria tua itu?” Suara tajam milik Mahen terdengar dari arah belakang.

Maudy berbalik, menatap Mahen dengan sorot penuh kebingungan. Ternyata lelaki itu telah pulang, entah sejak kapan.

“Aku gak ngomong apa-apa.”

“Urus saja hidupmu, jangan ikut campur dengan urusan orang lain. Aku sudah berbaik hati mengulurkan tangan memberimu bantuan.”

Maudy mengabaikan. Ia kembali berbalik, hendak meneruskan langkah menuju dapur. Namun, Mahen mencekal. Ia cengkeram lengan Maudy dengan kasar, lalu menarik paksa agar kembali berbalik menatapnya.

“Sekali lagi kuperingatkan, jangan cari masalah denganku. Andai kau bukan wanita, aku sudah menghajarmu.” Mahen berucap dengan tajam. Ia cengkeram rahang Maudy dengan kasar. Wajahnya memerah menahan amarah. Ada aroma alkohol yang tercium dari tubuhnya.

Maudy berusaha memberontak, tapi ia kalah kuat.

“Maaf, Mas. Itu saya yang lapor sama Tuan Tama. Saya diminta buat ngawasin Mas Mahen selama Tuan Tama di luar kota.” Hanum berucap dengan gemetar, ia ketakutan.

Mahen melepas cengkeraman di rahang Maudy. Menyisakan bekas merah dan rasa sakit di sana, sebab ia mencengkeram terlalu kuat.

“Aku bukan saudaramu, jangan panggil aku dengan sebutan itu.” Mahen berucap dengan tajam, ia berlalu setelah mendengar penjelasan Hanum. Tidak ada maaf sedikit pun yang terlontar dari mulutnya setelah memberi rasa takut pada dua wanita itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 55. Memainkan Perasaan

    Mahen tertawa mendengar pengakuan Maudy. Ia tidak percaya sama sekali. Apalagi beberapa menit yang lalu ia menyaksikan jika Maudy tengah berpelukan dengan Putra, tepat di depan matanya sendiri. Bahkan ayahnya ada di sana bersama mereka. Maudy dan Putra benar-benar tidak punya malu dengan berpelukan di depan orang lain tanpa ada ikatan yang sah sama sekali,Mahen melepas cengkeraman Maudy di pergelangan tangannya. “Jangan main-main dengan perasaan, Maudy. Hanya karena kau tahu aku menyukaimu, kau dengan mudah memainkan perasaanku.” Mahen berucap dengan sorot entah.“Tapi aku tidak sedang berbohong. Aku benar-benar mencintaimu.” Maudy bersikeras.Putra tersenyum getir.“Tidak seharusnya kau mengatakan itu tepat di depan mataku. Kau harusnya bisa menjaga perasaan ornag yang dengan terang-terangan menyatakan cinta padamu.” Putra protes, sebab ia merasa jika Maudy tengah jujur dengan perasaannya. Wanita itu tidak tengah bermain-main dengan ucapannya.“Aku ingin semuanya jelas sekarang. Kal

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 54. Aku Mencintaimu

    Maudy baru saja selesai mandi ketika ia mendengar ketukan di pintu kamar. Wanita itu tampak cantik dengan dress putih yang diberikan oleh Tama. Sebab, ia tidak membawa baju ganti ketika ia datang bertandang semalam.“Mbak, ada Mas Putra di depan.” Hanum memberitahu setelah Maudy membuka pintu kamar.Kening Maudy berkerut mendengar nama Putra disebut. Ia tidak memberitahu lelaki itu jika ia berada di rumah ini sekarang. Dari mana Putra mengetahui keberadaannya? Ia bahkan sengaja tidak membalas pesan Putra karena ingin meyakinkan dirinya untuk mengambil keputusan. Ia tidak bisa terus memberikan harapan. Sementara hatinya telah tertaut pada lelaki lain.“Di mana Sean?” Maudy bertanya, sebab ia tidak mendapati putranya bersama Hanum. Sementara ia telah menitipkan Sean pada Hanum ketika ia ingin mandi tadi.“Sama Mas Putra.” Hanum menjawab tanpa rasa berdosa.Maudy menghela napas dengan kasar.“Sebentar lagi aku ke sana, aku mau mengeringkan rambut dulu.”Hanum mengangguk, lalu beranjak pe

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 53. Karena Dia Calon Suamimu

    Maudy terbangun ketika Sean kembali merengek. Wanita itu sangat terkejut ketika ia mendapati Mahen terlelap dengan bersandar pada bahunya. Ia menoleh menatap untuk waktu yang lama. Dadanya kembali berdebar dengan sangat tidak karuan.Sebuah simpul senyum terbit di bibir Maudy. Ia tatap wajah lelap itu lamat-lamat. Teringat dengan kejadian tadi malam. Mereka banyak bicara, hingga tidak sadar terlelap bersama.“Mbak!” Hanum memanggil dari arah belakang.Maudy menoleh pada sumber suara. Ia memberi kode agar Hanum jangan berisik, sebab Mahen yang tengah tidur di sana. Lelaki itu pasti sangat lelah. Apalagi ia tidak langsung tidur setelah pulang bekerja larut malam.Maudy melambaikan tangan, meminta Hanum untuk datang mendekat. Ia serahkan Sean pada gadis itu, lalu bangkit dengan pelan dan membaringkan Mahen dengan lembut di sofa. Setelahnya ia beranjak menuju kamar Mahen untuk mengambil selimut.Sebuah kejutan ketika Maudy menyalakan lampu kamar Mahen. Di nakas samping ranjang ada fotonya

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 52. Cinta yang Semakin Mekar

    “Aku tidak bisa memutuskan, Pa. Itu tergantung Mas Mahen. Dia berhak memilih wanita yang dia inginkan.” Maudy menjawab dengan sungkan.Awalnya Mahen memang menggebu-gebu menginginkannya. Namun, kini terlihat tidak seperti sebelumnya. Jadi, Maudy berpikir jika Mahen telah mulai melupakan perasaannya.“Mahen pasti mau. Sekarang tinggal kau saja, semuanya berada di tanganmu. Jangan sampai kau menyesal karena menikah dengan lelaki yang salah.” Tama mengingatkan.Maudy menghela napas dengan dalam. Ia tidak tahu harus membuat keputusan apa. Putra sangat jelas mencintai dan menginginkannya. Lelaki itu juga sangat menyayangi Sean layaknya anak sendiri. Namun, hubungan mereka ditentang oleh orang tua Putra. Sementara Mahen, tidak jelas perasannya sekarang seperti apa. Namun, di balik lelaki itu ada Tama yang mendukung hubungan mereka. Terlebih Maudy mulai ada rasa. Ia bingung harus bagaimana.“Papa tahu kau tidak mencintai Putra. Mahen sudah menjelaskannya pada papa, Liam meninggalkan wasiat a

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 51. Menikahlah dengan Mahen

    “Maudy!” Tama tampak sangat senang ketika ia mendapati Maudy datang ke rumahnya bersama Mahen. Lelaki paruh baya itu langsung menghambur memeluk Maudy untuk meluapkan rasa rindu yang telah terpendam sekian lama. Matanya tampak memerah dengan kaca-kaca menghalangi pandangan mata. Ia berpikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi setelah kejadian waktu itu.“Pa ….” Maudy berucap dengan lembut. Ia tersenyum tipis ketika Tama menghujaninya dengan ciuman di wajah. Bukti kasih sayang seorang ayah.“Kau baik-baik saja?” Tama bertanya memastikan. Ia bingkai wajah Maudy dengan kedua telapak tangan. Lelaki itu memeriksa seluruh tubuh Maudy, memastikan jika Maudy tidak kurang satu hal pun pada dirinya.Maudy hanya tersenyum sungkan, tidak tahu harus merespons sikap lelaki itu seperti apa.“Kamu balik sini, ya … tinggal sama papa lagi.” Tama berucap dengan penuh harap. Membuat Maudy semakin bingung harus berucap apa.Mahen hanya diam menatap. Hatinya menghangat melihat kedekatan kedua orang itu.

  • Hasrat Terlarang Abang Ipar   Part 50. Menutupi Perasaan

    Maudy turun dari taksi ketika ia telah tiba di tempat tujuan. Tampak ia sedikit ragu untuk melangkah masuk ke dalam rumah mewah itu. Maudy merogoh tas untuk mengeluarkan ponsel, ia cari nomor Mahen. Namun, ia urungkan niatnya untuk menghubungi lelaki itu. Ia sendiri bingung mengapa ia memikirkan Mahen selama beberapa hari ini. Wanita itu merasa aneh ketika Mahen berhenti mengganggu dirinya.Maudy hendak mengetuk pintu, tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Wanita itu berbalik, hendak pergi. Namun, daun pintu terbuka secara mendadak dengan kemunculan Mahen di baliknya.“Loh, Maudy?” Mahen menatap dengan bingung. Ia cukup terkejut dengan kehadiran Maudy di sana. Namun, ia juga merasa senang. Sebab, Maudy datang sendiri tanpa diminta.“K-kau mau keluar?” Maudy bertanya dengan gugup. Wajahnya memerah menatap lelaki dengan setelan pakaian khas dokter di hadapannya.“Aku harus berangkat kerja sekarang. Pagi ini ada pasien gawat darurat yang baru datang. Ada apa?”Maudy menggeleng dengan pel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status