INICIAR SESIÓNUdara malam menerpa wajahku begitu aku melangkah keluar dari pintu putar restoran mewah itu. Hembusan angin dingin ini sedikit membantu mendinginkan kepalaku yang rasanya seperti mendidih setelah berhadapan dengan Arya."Tuan Muda!"Guntur dan Jonathan membungkuk serentak. Guntur terlihat sedikit ngos-ngosan, wajahnya dipenuhi rasa bersalah yang mendalam."Maafkan saya, Tuan Muda," ucap Guntur dengan suara berat. Dia tidak berani menatap mataku. "Saya baru sempat datang dan belum menjenguk Anda di rumah sakit. Alfonso memberi tugas mendadak untuk mengamankan perimeter selatan karena ada pergerakan mencurigakan dari tikus-tikus Dominus Noctis."Aku mengibaskan tangan dengan santai. "Nggak masalah, Guntur. Prioritas keamanan wilayah jauh lebih penting daripada sekadar menjenguk orang sakit. Kau melakukan tugasmu dengan baik."Guntur menghela napas lega, namun Jonathan langsung melangkah maju, wajahnya keras dan serius."Bagaimana di dalam, Tuan Muda?" tanya Jonathan, matanya melirik ke
Pintu ganda yang kubanting menciptakan gema keras di ruangan VIP itu, seolah-olah menjadi gong pembuka perang yang tak terhindarkan. Di dalam ruangan yang mewah dan beraroma lavender itu, dua pria yang sedang tertawa terbahak-bahak seketika membeku.Arya Pradana dengan setelan jas abu-abu mahal dan rambut disisir klimis, menatapku dengan mata melotot. Di sebelahnya, seorang pria paruh baya dengan perut buncit ikut menatapku dengan tatapan bingung bercampur marah.Detik berikutnya, kilatan pengenalan muncul di mata Arya. Dia menunjukku, wajahnya berubah dari terkejut menjadi meremehkan."Rey?!" serunya keras, nada suaranya penuh ketidakpercayaan. "Kamu anak buah istriku? Seorang room service rendahan itu?"Aku tidak menjawab. Kakiku melangkah masuk ke dalam ruangan dengan ketenangan yang menakutkan, mengabaikan tatapan membunuh mereka."Kurang ajar!" geram Arya, bangkit dari kursinya hingga kursinya bergeser kasar di lantai. "Apa yang kau lakukan di sini, hah?! Ini tempat VIP, bukan da
"Tapi bagaimana kondisimu, Tuan Muda?" tanya Jonathan, matanya tertuju pada bekas suntikan infus di punggung tanganku yang kini berdarah dan membiru. Darah segar itu merembes, membentuk noda merah kecil di lengan kemejaku, tapi aku sama sekali tidak merasakan perih.Aku melirik ke arah ponselku yang masih terhubung dengan aplikasi pengawas. Di layar itu, aku melihat balasan dari Amanda muncul, sebuah balasan yang membuat ulu hatiku terasa seperti ditikam belati berkarat.'Ayo. Aku langsung ke apartemenmu sepulang kerja nanti.'Jawaban yang begitu ringan. Tanpa beban. Tanpa rasa bersalah sedikit pun terhadap suaminya yang sedang terbaring di rumah sakit.Aku mengangkat wajah, menatap Jonathan dengan tatapan dingin yang kosong. "Kondisiku baik, Jo... kecuali hati. Bagian itu sudah hancur tak berbentuk."Jonathan terdiam. Dia mengangguk paham, sorot matanya menunjukkan rasa hormat sekaligus keprihatinan yang mendalam."Aku antar, Tuan Muda," ucap Jonathan tegas, mengambil kunci mobil dar
Jonathan terdiam sejenak, wajahnya yang biasanya tenang kini memancarkan kegelisahan yang nyata."Tuan Muda, Anda tahu sendiri bagaimana Paman Julian," Jonathan memulai dengan suara rendah, hampir berbisik. "Aturan adalah aturan. Di Veleno, melompati wewenang pusat adalah dosa besar. Tidak ada yang boleh melanggar jika masih ingin menghirup udara esok hari. Paman Julian menganggap privasi keluarga sebagai hal sakral yang tidak boleh diusik tanpa alasan yang mutlak."Aku menyandarkan punggungku ke bantal rumah sakit, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong namun tajam. Rasa sakit di dadaku akibat pengkhianatan Amanda jauh lebih perih daripada luka fisik yang sedang dibalut perban ini. Harga diri? Julian mungkin akan kecewa melihat keponakannya dikhianati, tapi aku jauh lebih kecewa pada diriku sendiri karena telah memelihara ular di dalam rumah."Lakukan saja, Jo," kataku dengan nada final yang tidak menerima bantahan. "Sadap ponsel Amanda sekarang juga. Jika Paman Julian m
Aku melirik layarnya. Nama Jonathan berkedip di sana. Di samping ranjang, Lydia sedang sibuk merapikan dress sutranya yang berantakan.Aku menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga.‘Ya, Jo?’ kataku dingin.‘Tuan Muda, maaf mengganggu waktu Anda,’ suara bariton Jonathan terdengar di seberang sana, formal dan penuh hormat seperti biasa. ‘Saya sudah berada di rumah sakit. Jika Anda mengizinkan, saya ingin menjenguk dan berbicara beberapa hal secara langsung.:Aku melirik Lydia yang kini sedang mengancingkan bagian belakang pakaiannya sambil sesekali mencuri pandang ke arahku dengan tatapan memuja sekaligus lapar.‘Aku tunggu!’ jawabku singkat sebelum memutus panggilan.Lydia menoleh, alisnya bertaut. "Ada apa, Rey? Ada tamu lagi? Siapa sekarang?"Aku bangkit, merapikan baju pasienku dengan gerakan tenang, tidak memedulikan rasa perih di luka jahatku yang seolah berteriak protes akibat aktivitas panas tadi. Aku menatap Lydia tajam, membuat wanita itu sedikit tersentak."Ma
Bau parfum floral yang menyengat dari tubuh Lydia menyerang indra penciumanku, berusaha menggantikan aroma sabun bergamot milik Amanda yang masih membekas di ingatanku."Terasa lebih enak, Rey?" bisik Lydia. Suaranya rendah, serak, dan penuh undangan.Aku memejamkan mata, tapi bukan karena menikmati pijatannya. Aku sedang memanggil kembali setiap detak suara dari rekaman semalam. Suara desahan Amanda, tawa mengejek Livia, dan kalimat laknat itu: "...Rey juga lagi sakit, dia nggak bisa gituan. Aku udah gatel banget."Gatel, ya?Kemarahan yang mendidih di dalam dadaku kini menjalar ke seluruh saraf. Luka di wajah dan dadaku memang masih berdenyut nyeri, tapi adrenalin Veleno yang mengalir di nadiku jauh lebih kuat. Amanda pikir aku sudah patah? Dia pikir suaminya ini sudah menjadi seonggok daging tak berguna hanya karena beberapa jahitan?"Ma..." panggilku, suaraku kini lebih berat, dalam, dan penuh ancaman."Ya, Sayang?" Lydia mencondongkan tubuhnya. Dress sutra tipis yang dia kenakan







