“Oh… eh, tidak apa-apa. Kursinya agak dingin saja,” jawab Lena cepat, pura-pura tersenyum. Axel mengangguk dan kembali menonton. Lena menarik napas panjang. Sementara Neil di sampingnya justru menahan tawa, jelas-jelas menikmati kepanikan Lena. Tak lama kemudian, Neil kembali mendekat, napasnya hangat menyentuh telinga Lena. “Jujur saja, kau menyukainya, kan?” Lena menahan napas. “Apa?” “Sentuhan ini,” jawab Neil singkat, sambil meremas tangannya sedikit lebih erat. Lena bergetar. “Kau terlalu percaya diri,” balasnya, meski suaranya terdengar goyah. Neil terkekeh kecil. “Kalau begitu… kenapa kau tidak menarik tanganmu?” Lena terdiam. Jantungnya berdegup semakin keras, membuat dirinya semakin sulit fokus pada film. Beberapa menit berlalu dalam ketegangan itu. Namun Neil tidak berhenti. Tangan kirinya yang bebas perlahan meraih kaleng minuman yang tadi dipegang Lena. Ia meletakkannya di sandaran kursi Lena, cukup dekat sehingga tubuh mereka bersentuhan sedikit. “Neil… jangan d
Lena melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Angka digital di layar ponselnya menunjukkan pukul 16.28. Ia mendesah keras sambil menggerutu. “Jam segini kemana sih bajingan itu? Katanya jam empat sore sudah sampai. Hah! Sekarang sudah hampir setengah lima, belum kelihatan batang hidungnya juga,” Lena mengomel sambil duduk di kursi tunggu bioskop. Ia bangkit berdiri, berjalan mondar-mandir dengan wajah jengkel. Sesekali ia melipat tangannya di dada, sesekali menghela napas panjang. “Tau begini aku telat aja datangnya,” katanya kesal sendiri. Tiba-tiba, sepasang tangan menutup matanya dari belakang. “Hei! Siapa—” Lena tersentak, langsung mengenyahkan tangan itu. Saat menoleh, wajahnya menegang. “Axel!” serunya. “Tidak lucu, tahu!” Axel berdiri di belakangnya dengan senyum menawan, meski keringat masih menetes di keningnya. “Maaf, sayang. Aku telat.” Ia menunduk sedikit, mencoba mengurangi ketegangan. “Kau tidak marah kan?” Lena menatapnya tanpa berkata apa-apa. Wajahnya jelas
Axel terus tertawa keras, langkahnya terhuyung menuju Neil. Bau alkohol menyengat seluruh ruang tamu. “Om…” serunya dengan nada mabuk. “Aku tidak mabuk, tahu! Buktinya aku bisa melihat betapa jeleknya istriku ini. Kau tahu, Om? Dia bahkan mau menggodamu. Konyol kan?” Neil merapatkan rahangnya. “Axel, jaga ucapanmu!” Axel mengangkat tangan, seolah menepis udara. “Ah, jangan sok marah. Aku bicara jujur saja…” Kali ini ia menghampiri Lena yang berdiri kaku di sudut ruangan. Tangannya terangkat, menunjuk wajah Lena. “Lena…” suaranya serak. “Kenapa kau jelek sekali, sih? Kenapa bukan Selena saja yang jadi istriku! Padahal… nama kalian mirip! Jangankan aku… bayi aja bisa tantrum lihat wajah jelekmu itu…” Lena menggigit bibir, tubuhnya gemetar. “Axel, kau mabuk. Sebaiknya kau ke kamarmu saja…” “Tidak! Tidak tidak!” Axel menggeleng keras. “Om harus tahu… wanita jelek ini… masa mau menggoda Om yang gagah ini! Itu kan konyol!” Matanya yang merah menatap Neil penuh tantangan. “Jelek ngga
Bab: Lampu yang Menyala Terlambat Ruang tamu itu gelap ketika Lena mengendap-endap masuk, berusaha tidak menimbulkan suara. Tangannya meraba-raba dinding. “Sial… di mana sih tombolnya? Nggak kelihatan lagi… ah, ketemu juga,” gumamnya. Klik. Cahaya kuning temaram menyiram ruangan. Lena berbalik—dan terlonjak. “Astaga!” serunya. “Bikin kaget saja!” Axel duduk santai di sofa, satu kaki naik ke meja, tangan menyilang di dada. Tatapannya tajam. “Heh, jelek… ngapain baru pulang malam-malam begini?” Lena mengerjapkan mata, menelan jantungnya yang nyaris copot. Ia menarik napas, lalu tersenyum tipis. “Aku…,” ia pura-pura berpikir. “Memangnya kenapa? Tumben kamu mau tahu tentang aku.” Axel terkekeh jijik. “Kalau saja bukan karena orang tuaku, mana peduli aku sama cewek sejelek kau.” “Oh?” Lena mendongak. “Kalau begitu, nggak usah tahu aku ke mana. Aku pulang jam berapa juga nggak ada hubungannya sama kamu, kan?” Axel terhenyak sepersekian detik, lalu mengangkat alis. “Oh… berani juga
Setelah Axel dan Rachel pergi meninggalkan rumah itu, Lena berdiri lama di depan cermin. Dengan perasaan campur aduk, ia mulai menghapus “penyamaran jeleknya”. Bekas jerawat buatan ia hapus, daster lusuh ia ganti dengan gaun sederhana yang anggun. Rambut yang dikepang ia lepaskan, lalu ia tata indah, wajahnya ia poles sedikit riasan tipis—dan seketika, sosok wanita cantik memandang balik dari bayangan kaca.“Aku harus menemuinya… Neil pasti butuh aku,” gumamnya lirih sambil menggenggam sebuah kotak makanan yang sudah ia siapkan untuk sarapan Neil.Ia pun berangkat ke apartemen Neil. Namun begitu tiba di sana, ia merasa hampa. Ruangan itu sunyi. Lena mencari ke kamar mandi, ke dapur, bahkan membuka pintu balkon. “Neil?” panggilnya beberapa kali, tapi tak ada jawaban.Ia menghela napas panjang, menatap kotak makanan di tangannya. “Padahal… aku sudah bawakan sarapan untukmu,” bisiknya kecewa.---Malam datang. Lena duduk termenung di ruangannya di Selena’s Dream. Lampu neon warna-warni d
Wajah Lena merona hebat, pipinya panas seolah terbakar. Ia begitu malu sampai-sampai tanpa sadar mendorong dada Neil yang masih berbaring di ranjang. “Aduh…” Neil meringis kecil, tangannya refleks menyentuh dadanya. “Ma-maaf… aku tidak sengaja,” ucap Lena terbata-bata, wajahnya menunduk dalam-dalam. Neil terkekeh pelan, matanya menatap Lena dengan penuh godaan. “Iya, aku tahu. Kau bahkan terlihat makin manis saat gugup begitu.” “Jangan bercanda, Neil.” Lena mencoba mengalihkan tatapannya, namun semakin ia menghindar, semakin Neil tersenyum geli. Tiba-tiba pikiran Lena tersentak. Axel. Suaminya. Ia harus segera pulang. Jantungnya berdegup semakin cepat. “Neil, aku harus mengobatimu cepat-cepat. Aku harus segera pulang sebelum suamiku curiga,” kata Lena tergesa, suaranya bergetar. Neil menarik napas panjang, kali ini wajahnya terlihat lebih tenang. “Baiklah, aku mengerti. Aku tidak akan macam-macam lagi.” Dengan cekatan, Lena kembali fokus mengoleskan obat pada luka Neil. Tanga