Di sebuah ruangan luas bergaya industrial dengan lampu gantung temaram, suasana terasa tegang. Kantor itu tampak megah tapi mencekam, dengan jendela besar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mendung. Di dalamnya, Liam duduk di balik meja kayu gelap sambil menatap laptop, sementara Cintya berjalan mondar-mandir seperti singa kelaparan dalam kurungan.“Apa mereka pikir aku main-main?!” geram Cintya, matanya melotot kesal. Tumit sepatunya menghentak lantai, memantul bersama suara amarahnya. “Mereka janji ngasih kabar maksimal pagi tadi! Sekarang udah hampir siang dan gak ada satupun dari dua brengsek itu yang bisa dihubungi!”Liam tak bereaksi. Ia masih menatap layar laptop, mengecek beberapa pekerjaan penting yang harus segera ia selesaikan hari ini. Tapi dari rahangnya yang menegang, jelas ia juga mulai kehilangan kesabaran.“Mereka cuma minta tanda tangan aja kan? Kenapa lama sekali,” ujar Liam akhirnya, suaranya tenang namun tajam. “Apalagi mintanya ke seorang perempuan lemah kay
Langit pagi terlihat sendu. Matahari enggan bersinar terang. Di dalam ruang perawatan beraroma obat-obatan itu, suasana terasa begitu hening, seakan waktu enggan bergerak. Mesin pemantau detak jantung berdetak perlahan dan teratur. Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan cahaya lembut masuk ke dalam ruangan.Di atas ranjang, tubuh Nayya yang lemah akhirnya bergerak. Matanya terbuka perlahan, menyipit karena cahaya. Napasnya berat, kesadarannya kembali pelan-pelan seperti menyusuri lorong mimpi yang terlalu gelap."Nayya?” suara lirih dan serak menyambutnya.Nayya memutar kepala perlahan. Galen duduk di kursi di samping ranjang, wajahnya sayu dan tak tidur semalaman. Matanya sembab, rambutnya acak-acakan, dan tangan kirinya menggenggam erat tangan Nayya seolah takut jika wanita itu akan pergi.“Galen…” Nayya berbisik, “Kita… kita di rumah sakit?”Galen mengangguk pelan.Nayya diam, mencerna segala ingatan soal kejadian malam tadi. “Anakku...” Suara Nayya langsung gemetar. Tangannya r
Saat Galen hendak mengangkat tubuh Nayya ke dalam pelukannya, tiba-tiba—BUG!Sebuah hantaman keras mendarat di punggungnya.“AARGH!” Galen terhuyung dan jatuh menimpa tubuh Nayya yang lemah, membuat perempuan itu mengerang kesakitan.“Sial!” Galen berusaha cepat-cepat mengangkat badannya, tetapi nyeri di punggungnya begitu hebat. Saat ia mencoba memutar tubuhnya, ia melihat lawannya, meski tubuhnya babak belur dan berdarah, ia berusaha melindungi Nayya.“Aku akan menghabisimu!!!” teriak pria itu, matanya liar, penuh kebencian. Ia mengangkat balok tinggi-tinggi, siap mengayunkannya sekali lagi ke kepala Galen.Namun sebelum benda itu sempat turun—DOOR!Sebuah tembakan membelah udara.Pria botak itu menjerit keras. Balok besi jatuh dari tangannya saat peluru menembus bahunya. Ia jatuh berlutut, menjerit sambil memegangi luka berdarah di lengan kanannya.Tak sampai satu detik kemudian, suara sepatu berlari menggema di seluruh gudang.“GALEN!!”Rico datang menerjang masuk bersama bebera
“Kalau kita gak bisa pakai rayuan, kita pakai cara lama.”Belum sempat Nayya tau maksud ucapan lelaki itu, sebuah tamparan kembali membuat pipinya terasa panas."Cepat tanda tangani surat itu!"Nayya berusaha menahan tangisnya. Tamparan tadi masih terasa membakar pipinya, dan kulit kepalanya perih karena jambakan kasar si kurus. Tangannya gemetar di balik ikatan tali, dan jantungnya berdetak begitu kencang hingga terasa nyeri di dadanya.“Ayo, tanda tangan sekarang, sebelum kami berubah pikiran!” gertak si botak sambil mengacungkan kertas itu lagi, lebih dekat ke wajahnya.“TIDAK!” teriak Nayya, suaranya nyaris habis. “Aku nggak akan pernah ikuti kemauan kalian!”“Dasar keras kepala,” desis si kurus. “Kamu pikir kamu punya hak untuk memilih? Kamu pikir kita tidak takut menghabisimu sekarang juga?""Aku tidak pedu—ughhh..."Pria kurus itu kembali menjambak rambut Nayya dan menariknya ke belakang, membuat leher perempuan itu tertarik ke atas. Wajahnya menegang, rahangnya bergetar.“Akh!
Mobil hitam melaju kencang membelah jalan sempit berbatu, seperti ular hitam melata di antara hutan bambu dan ilalang tinggi yang bergoyang ditiup angin sore. Suara gesekan ban dengan kerikil tajam bersahutan dengan desingan angin yang menambah kesan mencekam. Seakan alam pun ikut membungkam, menutup mata atas apa yang terjadi.Di dalam mobil, tubuh Nayya terguncang pelan seiring kecepatan mobil. Ia masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat dan terlihat kontras dengan darah kering di sudut bibirnya. Rambutnya berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang sayu.“Cek belakang. Ada yang ikutin kita atau tidak?” tanya si botak tanpa menoleh.Pria kurus menengok lewat kaca spion, matanya waspada. “Aman. Tapi kita harus cepet. Bos nggak suka kalau sampai ada yang ngendus jejak kita.”Tak lama, mobil berbelok tajam, masuk ke lorong tersembunyi di antara semak-semak. Gerbang besi tua menyambut mereka, bergemeretak saat terbuka, seperti menyambut iblis yang pulang ke rumah.Di balik gerbang, berdi
Nayya membuka sedikit kaca jendela, lalu memanggil Galen yang sedang sibuk di dekat ban mobil.“Galen, mobilnya kenapa?” tanyanya dari dalam mobil. Suaranya sedikit cemas.Galen menoleh, menyeka keringat dari pelipisnya. “Ban depan kita pecah, kayaknya kena sesuatu tadi di jalan.”Nayya membuka pintu, tapi belum sempat turun, Galen sudah menghampirinya dan mengangkat tangan memberi isyarat agar ia tetap di tempat.“Gak usah turun! Kamu tunggu aja di dalam, ya! Aku mau cek, siapa tahu ada bengkel deket sini. Gak jauh kok,” jelas Galen sambil memastikan semua aman.Nayya mengangguk pelan. “Terus... kamu tinggalin aku sendiri?”Galen tersenyum, meski wajahnya mulai terlihat sedikit tegang. “Enggak lama. Aku cuma jalan sebentar ke ujung sana. Kayaknya ada warung, mungkin mereka tahu bengkel sekitar sini. Kalau ada apa-apa kamu langsung telfon aku aja! Okey!"“Kalau ada orang asing yang dekati mobil, jangan buka kaca! Jangan buka pintu! Tunggu aku balik, ya!" Galen kembali menasehati, tapi