Musim semi menyapu kota dengan lembut, membawa aroma bunga segar dan angin yang tak lagi terasa sesak. Di lantai tujuh sebuah apartemen di pusat kota, Nayya duduk di depan laptop, menyelesaikan desain terakhir untuk klien dari Singapura.Tangannya lincah, matanya fokus, dan ekspresinya tenang. Wajahnya kini jauh berbeda—lebih cerah, lebih ringan, seolah luka-luka lama akhirnya benar-benar tertinggal di masa lalu.Sejak vonis dijatuhkan, hidup Nayya perlahan berubah. Bukan dalam sekejap, bukan tanpa jatuh bangun, tapi hari-hari sulit itu kini hanya jadi bagian dari cerita masa lalu yang tak lagi menyakitkan untuk dikenang.Apartemennya tak besar, tapi nyaman dan hangat. Dan yang paling penting, ia memilihnya sendiri—tepat di samping unit milik seseorang yang diam-diam selalu ada di radius hidupnya: Galen.Sebenarnya, saat Galen tahu Nayya ingin pindah dan tinggal sendiri, dia cuma berkata, “Pindah aja ke sini, sebelahan sama aku. Biar kalau kamu butuh bantuan angkat galon atau benerin
Di luar ruang interogasi, Galen berdiri dengan gelisah. Ia mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan, sementara matanya tak lepas dari pintu berwarna abu-abu itu. Beberapa menit terasa seperti berjam-jam baginya. Ia tahu Nayya kuat. Tapi Galen juga tahu, kekuatan yang selama ini ditunjukkan Nayya bukan berarti ia tak terluka. Justru luka itu terlalu dalam—hanya saja selama ini disembunyikan di balik tatapan tajam dan ucapan penuh tekad.Saat pintu terbuka dan Nayya melangkah keluar, Galen langsung menegakkan tubuh.Langkah Nayya cepat dan tegas. Tapi hanya butuh satu detik. Satu pandang mata dari Galen, satu dekapan hangat yang ditawarkan tanpa kata—dan seluruh pertahanan yang tadi berdiri kokoh di hadapan Liam, runtuh dalam sekejap.Nayya terisak. Tangisnya pecah begitu tubuhnya bersandar di dada Galen."Galen…" bisiknya lirih, tubuhnya gemetar. "Aku… aku pikir aku bisa kuat."Galen memeluknya erat, menangkup kepalanya agar Nayya merasa terlindungi. “Gak apa-apa… Kamu uda
"Galen, aku ingin ketemu sama dia. Kamu bisa kan nganter aku ke sana besok?"Galen menatap Nayya lama. Permintaan itu membuat dadanya mencelos. Ia tahu betul, pertemuan itu bisa mengguncang kondisi Nayya, apalagi kondisi perempuan itu masih belum benar-benar stabil. Tapi dari sorot mata Nayya, Galen tahu… ini bukan sekadar keinginan. Ini tekad.“Nay… aku gak yakin itu ide bagus,” katanya hati-hati. “Kamu masih dalam masa pemulihan dan aku khawatir kamu drop lagi."“Aku harus ketemu dia,” balas Nayya, tegas. “Aku harus dengar penjelasan dari mulutnya sendiri. Aku juga harus buat perhitungan dengannya!"Galen menghela napas berat. “Kamu yakin? Aku hanya takut kamu kenapa-napa."Nayya menatap Galen lurus. “Aku ingin ketemu dia langsung, Galen. Dan aku pasti bisa jaga diri sendiri."Melihat tekat Nayya, akhirnya Galen hanya bisa menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk setuju.***Keesokan harinya…Nayya berdiri di depan kantor polisi dengan jantung berdebar keras. Tubuhnya masih
Langit sore di luar jendela rumah sakit mulai menguning, menandai hari yang perlahan merambat senja. Cahaya matahari menyusup masuk lewat celah tirai, menyinari wajah pucat Nayya yang termenung di ranjang. Tatapannya kosong.Galen mendorong pintu pelan-pelan. Kakinya berat melangkah masuk, seolah membawa semua beban dunia. Begitu melihat Nayya duduk diam dengan tatapan kosong, rasa bersalah itu menyeruak lagi dari dadanya.“Nay…” panggilnya pelan.Nayya tak menjawab.Galen menutup pintu perlahan, lalu berjalan mendekat. Ia sempat menoleh ke luar—anak buah Rico, dua pria berbadan kekar, masih berdiri berjaga di koridor, memberi anggukan singkat saat mata mereka bertemu. Galen sedikit lega. Setidaknya, Nayya gak sepenuhnya sendiri waktu dia pergi tadi.Namun tetap saja, hatinya seperti terkoyak melihat wanita yang dicintainya duduk seperti boneka patah. Hampa.“Kamu udah minum obatnya?" tanya Galen, kali ini sambil duduk di tepi ranjang.Nayya baru menoleh. Pelan. Pandangannya sendu, ma
Di sebuah ruangan luas bergaya industrial dengan lampu gantung temaram, suasana terasa tegang. Kantor itu tampak megah tapi mencekam, dengan jendela besar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mendung. Di dalamnya, Liam duduk di balik meja kayu gelap sambil menatap laptop, sementara Cintya berjalan mondar-mandir seperti singa kelaparan dalam kurungan.“Apa mereka pikir aku main-main?!” geram Cintya, matanya melotot kesal. Tumit sepatunya menghentak lantai, memantul bersama suara amarahnya. “Mereka janji ngasih kabar maksimal pagi tadi! Sekarang udah hampir siang dan gak ada satupun dari dua brengsek itu yang bisa dihubungi!”Liam tak bereaksi. Ia masih menatap layar laptop, mengecek beberapa pekerjaan penting yang harus segera ia selesaikan hari ini. Tapi dari rahangnya yang menegang, jelas ia juga mulai kehilangan kesabaran.“Mereka cuma minta tanda tangan aja kan? Kenapa lama sekali,” ujar Liam akhirnya, suaranya tenang namun tajam. “Apalagi mintanya ke seorang perempuan lemah kay
Langit pagi terlihat sendu. Matahari enggan bersinar terang. Di dalam ruang perawatan beraroma obat-obatan itu, suasana terasa begitu hening, seakan waktu enggan bergerak. Mesin pemantau detak jantung berdetak perlahan dan teratur. Tirai jendela sedikit terbuka, membiarkan cahaya lembut masuk ke dalam ruangan.Di atas ranjang, tubuh Nayya yang lemah akhirnya bergerak. Matanya terbuka perlahan, menyipit karena cahaya. Napasnya berat, kesadarannya kembali pelan-pelan seperti menyusuri lorong mimpi yang terlalu gelap."Nayya?” suara lirih dan serak menyambutnya.Nayya memutar kepala perlahan. Galen duduk di kursi di samping ranjang, wajahnya sayu dan tak tidur semalaman. Matanya sembab, rambutnya acak-acakan, dan tangan kirinya menggenggam erat tangan Nayya seolah takut jika wanita itu akan pergi.“Galen…” Nayya berbisik, “Kita… kita di rumah sakit?”Galen mengangguk pelan.Nayya diam, mencerna segala ingatan soal kejadian malam tadi. “Anakku...” Suara Nayya langsung gemetar. Tangannya r