Share

Menjadi sekretaris

***

Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.

Beep.. beep..

Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah.

"Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.

Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil.

"Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil.

"Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin.

"Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata.

"Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah.

"Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya seperti itu?" cela Alvin saat melihat Renata.

"Tapi Pak, ini baju terbaik yang saya punya." Renata merapihkan kerah dan gulungan blousenya.

"Baju ini kamu bilang rapih? Dasar idiot!" bantahnya pada Renata.

Renata cemberut, 'Ya Tuhan, buatlah aku selalu sabar menghadapi manusia ini.' Dia mengusap dadanya perlahan, mencoba menguatkan hatinya.

Sesampainya di kantor, Renata agak sedikit berlari mengejar Bosnya yang berjalan lumayan cepat. Jelas saja Alvin dengan tinggi 187cm dan Renata yang hanya sejajar dengan dadanya Alvin sangat ketinggalan langkah karena kakinya tergolong lebih pendek dari Alvin, apalagi dia memakai rok. Pasti langkahnya harus lebih diperhatikan.

Saat lift terbuka di lantai tempat Renata dan Alvin bekerja, Renata yang terlalu sibuk merapihkan berkas-berkas di tasnya masih mencoba mengimbangi langkah Alvin. Tiba-tiba, Alvin yang sedari tadi berjalan lebih dulu darinya berhenti dan berbalik arah menghadap sekretarisnya itu.

"Baiklah, atur meeting saya bersama--" belum sempat Alvin meneruskan perkataannya, Renata menyambarnya dengan keras. Untung Alvin sigap menangkap Renata yang hampir terbentur ke lantai.

Semua orang di sana melihat kejadian itu, mata Arini membelalak. Tangan Alvin yang tepat di pinggang Renata sangat mirip seperti kejadian di TV.

"Jangan terlalu ceroboh," ketus Alvin yang kemudian melepas tangannya, membuat Renata langsung mendarat di lantai.

'Kenapa harus ditolongin kalau ujung-ujungnya dilepasin juga,' gumam Renata saat merapihkan berkas-berkas yang berceceran di lantai, tangannya mengurut pinggangnya yang sakit.

"Apa yang kalian lihat?" bentak Alvin. Seketika suasana menjadi ramai kembali, semua karyawan melanjutkan pekerjaannya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Alvin berjalan mengamati semua karyawannya, kemudian masuk ke ruangan kerjanya.

"Ren, gimana rasanya dipeluk Pak Alvin?" Arini memukul gemas bahu Renata yang baru saja duduk di kursinya.

"Ih, ini semua karena kamu nih. Harusnya kamu aja yang jadi sekretarisnya. Sumpah, aku nggak kuat banget sama sikapnya. Ini baru hari pertama, loh," protes Renata.

"Ih, tapi kalian cocok heheh," ejek Arini.

Kriinngg ...!!

"Halo, ada yang bisa saya ban--" Renata mengangkat telepon itu dengan ramah.

"Cepat ke ruangan saya," itu suara Alvin.

Arini melirik temannya yang berdiri dari ruang kerjanya, "Kemana?" tanya Arini penasaran.

"Bertemu odgj," jawab Renata singkat, membuat keduanya menahan tawa sejenak.

Renata masuk ke ruang Bosnya, "Ada apa Pak?"

"Ini, belilah pakaian yang lebih enak untuk dipandang. Saya suka melihat segala hal dengan perfeksionis." Alvin menyodorkan Black Card di meja tepat di depan Renata.

"Tapi Pak, pakaian saya masih bagus dan rapih," jelas Renata. Pikirnya, tidak ada yang salah, toh pakaiannya masih sangat layak untuk bekerja.

"Saya maunya kamu beli baju yang baru. Mengerti!" Renata agak sedikit tersentak dengan suara keras Alvin.

Lagi-lagi dia hanya bisa mengiyakan perintah Bosnya.

"Bonjour mon cher," sapa Velicia dengan bahasa Prancis saat masuk dengan blazer hitam dan gaun merahnya yang sangat menawan. Harum parfumnya tercium sangat semerbak saat dia masuk.

"Apa ini?" Velicia menunjuk Black Card itu, sambil berdiri di samping Alvin, belahan dadanya sengaja di senderkan ke lengan tunangannya

"Black card, apa lagi. Apa keperluanmu?"

Renata ingin muntah saat itu juga, tapi ditahannya. 'Demi apapun ini menjijikan,' ia memasang senyum palsu melihat kejadian itu.

"Minggu depan aku mau kembali ke Prancis, mungkin dua minggu, dan hari ini aku ingin kamu temani aku beli baju yang mau aku pakai kesana, please!" Pinta Velicia,

Tangannya mengusap lembut bibir kekasihnya yang agar mengiyakan ajakan itu. Mata Velicia melirik Renata yang sedari tadi menatap lantai ruangan, terlihat sekali dia sangat canggung dalam posisi itu.

"Alvin menjauhkan lengannya dari dada Velicia "Nanti saja, aku sibuk."

Namun, Velicia terus merengek. "Sebentar saja.... ya? Mau, ya?"

"Aku sibuk Velicia, aku banyak pekerjaan!" bentak Alvin

"Jadi pekerjaanmu lebih penting dariku? Atau aku ajak mami saja untuk menemaniku belanja? Iya?"

"Aku banyak pekerjaan. Apa itu terdengar main-main?" Alvin menggertakkan giginya kesal

Velicia berdiri tegak menatap tunangannya, "Aku ingin kamu yang menemaniku. Apa itu juga terdengar main-main?"

Alvin menghela nafas panjang, dia mengambil jas yang menggantung di belakang kursinya. "Ayo!" ajak Alvin

Velicia meraih lengan tunangannya agar terlihat mesra, dia menaikkan satu alisnya menatap sombong ke arah Renata, mengisyaratkan bahwa dia adalah penguasa hati Alvin dan dia akan selalu menang.

Namun Alvin dengan cepat menepis tangan tunangannya itu, membuat wajah Velicia begitu kesal. Dia langsung menatap Renata yang membuang muka seolah tak melihat kejadian itu.

Renata diam, dia bingung dengan sikap bosnya yang begitu dingin pada tunangannya. 'Bisa-bisanya, dia bertunangan dengan manusia cuek itu,' dia menggeleng heran.

Mereka pergi dari ruangan itu, meninggalkan Renata yang sendirian bersama Black card di meja.

Renata yang melihat sepasang kekasih itu pergi, memutuskan kembali ke meja kerjanya. Mukanya sangat kesal, 'Aku dipanggil hanya untuk disuruh beli baju? Yang benar saja ini.'

Ponsel Renata bergetar, ada pesan masuk dengan nomor yang tak dikenal.

"Beli pakaian baru, saya ingin besok kau terlihat seperti manusia."

Renata mengenali chat itu pasti dari bosnya.

"Dan jika kamu tidak membeli pakaian yang baru, besok tidak usah masuk kerja." Chat itu berakhir. Renata melempar ponselnya ke dalam tas.

Waktu menunjukkan jam pulang kantor. Renata keluar dari kantor itu saat mau memesan ojek, Pak Johan datang menghampirinya. "Nona, saya ditugaskan Tuan Alvin untuk mengantar Nona ke butik, mari Nona."

Renata yang masuk ke dalam mobil, masih mencerna semua ini. "Pak, ngapain kita ke butik?"

"Kata Tuan, Nona mau belanja baju, dan saya ditugaskan mengawal Nona," jelas Pak Johan.

'Apa Pak Alvin takut aku akan memakai semua uangnya, sampai dia harus menyuruh Pak Johan mengawalku?' Renata tersenyum.

Sesampainya di butik, Renata kaget bukan kepalang. Ini butik mahal, para penjabat dan artis sering kesini. "Pak, kita ke toko baju langgananku aja bisa nggak? Aku nggak suka desain bajunya yang di sini," Renata berbohong. Sebenarnya, dia merasa tak enak kalau sampai menggunakan uang bosnya. Dia pikir harus diganti dengan potong gaji, dan dia tidak bisa membayar semester Kevin.

"Lalu dimana, Non?" tanya Pak Johan.

"Di toko baju langgananku, Pak." Renata menjawab dengan antusias. Johan terlihat meninggalkannya sebentar untuk menelpon seseorang, lalu dia kembali.

"Non, kita ke mall saja. Mari..."

Renata menghela nafas berat. Dia tahu kalau membangkang, pasti Pak Johan kena getahnya.

Setibanya di Mall, Renata mulai memilih baju yang cocok untuknya, sementara Johan mengawalnya dari belakang. Kejadian itu ternyata dipotret oleh seseorang dari jauh beberapa kali, lalu dia pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status