Keesokan harinya, di Axidira Company.
“Tuh orang dateng juga akhirnya…” “Astaga, liat deh cara jalannya. Kayak nggak ada dosa, padahal… ya kita semua juga tau, kan?” “Please deh, udah jelas semalam itu dia belanja bareng Pak Alvin. Sopirnya sih, katanya. Tapi sopir bisa bayarin baju seharga gaji satu tahun kita? Jangan ngibul lah.” Tawa cekikikan terdengar dari balik ruang pantry. Suara sendok mengaduk kopi dan denting gelas terdengar samar di antara bisik-bisik menusuk itu. Ruangan kantor Axidira lantai tiga yang biasanya tenang mendadak seperti sarang lebah—ramai dengan suara yang tak terlihat tapi terasa panas di kulit. Renata melangkah masuk ke ruang kerjanya sambil menunduk. Matanya sempat menatap beberapa rekan kerja yang buru-buru berpaling, seolah-olah tadi mereka tidak berkata apa-apa. Tapi Renata bukan anak kemarin sore. Ia tahu… tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa. Mereka tahu sesuatu. Atau, setidaknya mengarang sesuatu yang cukup kejam untuk menjadi santapan gosip satu kantor. “Eh, Renata. Tumben telat, ya?” Lisa menyapanya dengan senyum tipis yang sulit dibaca—antara ramah dan sarkas. “Iya, macet tadi,” jawab Renata singkat, mencoba menormalkan suaranya meski tenggorokannya terasa kering. “Macet dari hotel atau mall?” celetuk seseorang dari sudut ruangan, diiringi gelak tawa yang langsung diredam seolah pura-pura bersin. Renata pura-pura tidak dengar. Tapi wajahnya memucat. Jemarinya gemetar saat meletakkan tas di mejanya. Kopi yang baru saja ia beli bahkan tak disentuh. Ia duduk, menatap layar komputer kosong, tapi pikirannya sudah kabur ke mana-mana. ‘Apa yang mereka tahu? Apa yang mereka lihat?’ pikir Renata. Ia masih terngiang kejadian malam kemarin—Raka muncul tiba-tiba, kamera flash, lalu sorotan penuh tuduhan. Apakah foto itu tersebar? Ataukah gosip ini hanya hasil dari imajinasi keji yang sudah terlalu liar? --- Sementara itu, di ruang rapat, Alvin Adison baru saja menutup laptopnya. Wajahnya seperti biasa—dingin, tenang, dan tak bisa ditebak. Namun saat tangannya menyentuh ponsel, ia membuka galeri dan memperbesar sebuah foto: Renata berdiri di depan toko, membawa kantong belanja, bersama Pak Johan. Ia mengepalkan rahangnya. “Si brengsek itu main belakang,” gumam Alvin lirih. Tapi yang tak bisa ia pahami adalah: kenapa ia peduli? Bukankah selama ini ia menjaga jarak dengan Renata justru karena tak ingin melanggar batas? Batas yang kini terasa makin rapuh. --- Kembali di ruang kerja, Renata berusaha fokus mengetik laporan mingguan, namun telinganya tak bisa menahan suara-suara berbisik dari belakang. “Aku denger dia tuh udah lama dekat sama Pak Johan. Mungkin bukan cuma Alvin doang yang dia deketin. Strategi naik jabatan, ya, siapa sih yang nggak pengen?” “Eh, katanya Pak Alvin itu udah dilamar Velicia, ya? Ya ampun… kasian sih Vel, punya calon kayak gitu.” “Tau nggak, aku pernah liat mereka makan siang berdua di basement cafe belakang kantor. Berdua aja loh! Waktu semua orang ke rapat. Curiga sih, tapi sekarang udah makin jelas, ya…” Renata menarik napas panjang. Tangannya mengepal. Ingin rasanya berdiri dan berteriak bahwa semua itu tidak benar. Tapi siapa yang akan percaya? Ia terjebak. Dan lebih menyakitkan lagi—ia tidak bisa menyangkal bahwa hatinya memang telah goyah sejak dekat dengan Alvin. --- Saat jam makan siang, Renata beranjak keluar, mencoba mencari udara segar. Tapi langkahnya terhenti di dekat lift, saat mendengar suara dua rekan wanita berbicara cukup keras. “Ya Tuhan, bisa-bisanya si Alvin naksir cewek biasa kayak Renata. Padahal Velicia itu anak konglomerat loh.” “Cinta itu buta, katanya. Tapi yang ini mah mungkin karena nafsu.” Renata melangkah mundur. Ia tidak jadi naik lift. Ia memilih kembali ke ruangannya dan mengunci pintu kecil di ruang kerja yang memang biasa digunakan staf untuk rapat dua atau tiga orang. Di dalam sana, ia duduk di lantai, memeluk lutut, dan membiarkan air mata turun satu per satu. ‘Kenapa semua ini terjadi ke aku? Apa salahku?’ Ia mengeluarkan ponsel, menatap nomor Alvin, lalu menghapusnya dari daftar panggilan cepat. Ia butuh jarak. Ia butuh waktu untuk memahami… apa yang sedang terjadi dalam hidupnya. --- Di tempat lain, Alvin memandangi jendela kantornya. Pak Johan baru saja melapor bahwa Renata tampak stres, dan kemungkinan besar sudah tahu dirinya sedang jadi bahan omongan. Alvin memanggil Johan masuk. “Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?” Johan menunduk. “Saya hanya menemani Nona Renata belanja, Tuan. Dia tampak sangat stres. Saya pikir, dengan membantunya, saya bisa sedikit meringankan beban yang dia tanggung.” Alvin menatapnya lama. “Kau tahu dia jadi bahan gunjingan sekarang?” “Saya tahu. Dan saya minta maaf. Mungkin saya salah ambil keputusan.” Alvin terdiam sejenak. “Mulai sekarang, jangan biarkan Renata sendirian terlalu lama. Aku ingin tahu ke mana dia pergi, apa yang dia lakukan, dan siapa yang mendekatinya.” Johan menatap Alvin penuh tanya. Tapi ia memilih tidak berkata apa-apa dan hanya mengangguk. --- Sore harinya, saat Renata hendak pulang, ia melihat pesan singkat masuk dari nomor tak dikenal: > "Mereka akan menjatuhkanmu, satu per satu. Tapi aku akan pastikan kamu tetap selamat. Hati-hati malam ini." Renata terpaku. Siapa yang mengirim ini? Jantungnya berdebar tak karuan. Ia menatap sekeliling kantor yang mulai kosong. Tiba-tiba semua terasa mengancam. Bahkan bayangan sendiri pun terasa seperti musuh. Ia menelan ludah. Langkahnya gontai saat menuju parkiran. Namun ia tak tahu, seseorang sedang mengamati dari kejauhan—mengawasi setiap geraknya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.Keesokan harinya, di Axidira Company.“Tuh orang dateng juga akhirnya…”“Astaga, liat deh cara jalannya. Kayak nggak ada dosa, padahal… ya kita semua juga tau, kan?”“Please deh, udah jelas semalam itu dia belanja bareng Pak Alvin. Sopirnya sih, katanya. Tapi sopir bisa bayarin baju seharga gaji satu tahun kita? Jangan ngibul lah.”Tawa cekikikan terdengar dari balik ruang pantry. Suara sendok mengaduk kopi dan denting gelas terdengar samar di antara bisik-bisik menusuk itu. Ruangan kantor Axidira lantai tiga yang biasanya tenang mendadak seperti sarang lebah—ramai dengan suara yang tak terlihat tapi terasa panas di kulit.Renata melangkah masuk ke ruang kerjanya sambil menunduk. Matanya sempat menatap beberapa rekan kerja yang buru-buru berpaling, seolah-olah tadi mereka tidak berkata apa-apa. Tapi Renata bukan anak kemarin sore.Ia tahu… tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa. Mereka tahu sesuatu. Atau, setidaknya mengarang sesuatu yang cukup kejam untuk menjadi santapan gosip satu
Seorang lelaki terlihat menelepon di depan sebuah mall, "Saya masih disini, sampai dimana harus saya ikuti?" dia menunggu jawaban dari seberang telepon namun telepon itu dimatikan. "Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya yang terlihat melirik arah luar toko baju. "Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak. "Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir, "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja. Saya bantu pilihkan, boleh?" tawar Johan "Boleh Pak," mereka berdua mulai sibuk mencari pakaian yang cocok untuk Renata. Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian. Renata melihat Johan tersenyum kecil, "Pak, ini terlalu banyak. Saya tidak mampu bayar semuanya, bahkan dengan gaji saya tiga bulan ini tak bisa saya lunasi." "Tinggal bayar saja, Non. Lalu saya antar pulang." kata Johan menenangkan Renata. Saat keluar dari toko itu Johan dan Renata menenteng tas berisi pakaian itu di kedua tangan mereka. Renata terkejut sa
"Pak? Pak Johan? Ini bagus nggak?" tanya Renata pada sopir bosnya. Namun, pria paruh baya itu hanya melihat ke arah luar toko. Wajahnya tampak panik dengan dahi berkerut-kerut. Karena penasaran, Renata ikut menoleh, tapi tidak ada apapun di luar sana. Ia pun menyentuh pundak Johan untuk memanggilnya. “Pak?” "Hah? Gimana Non?" tanya Johan tak menyimak. "Pak Johan kenapa? Ada masalah?" Renata khawatir. Johan menggeleng, lalu mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak Non, silahkan lanjutkan saja.” Renata sebenarnya masih ingin bertanya, tapi dia mengurungkan niat. Akhirnya, dia kembali memutari toko untuk mencari pakaian yang cocok untuknya. Sebenarnya semuanya bagus, tapi harganya terlalu mahal. Renata sampai beberapa kali mengembalikan pakaian itu ke rak. Namun tiba-tiba saja, Johan malah menariknya kembali dan memasukannya ke keranjang. Beberapa menit kemudian, lengan Johan sudah penuh dengan tumpukan pakaian. Renata melihat Johan tersenyum kecil. "Pak, ini terlalu banyak. Saya t
***Senin pertama, saat Renata menjadi sekretaris Alvin. Renata yang merasa dirinya sudah sangat rapih dan cantik, bersiap untuk ke kantor.Beep.. beep..Beberapa kali klakson mobil itu berbunyi. 'Ini tetangga, baru beli mobil apa gimana ya?' Pikir Renata heran, dia bergegas membawa tasnya dan membuka pintu rumah."Pak Johan?" mata Renata menyipit mencoba memahami keberadaan supir Bosnya di sana.Tiba-tiba jendela mobil terbuka, "Hei, cepatlah, jangan terlalu lambat!" teriak Alvin dari dalam mobil."Baik Pak", Renata bergegas mengunci pintu dan pagar rumahnya, kemudian masuk ke dalam mobil."Silahkan Nona", sopir itu membukakan pintu agar Renata duduk bersebelahan dengan Alvin."Tapi Pak, saya mau duduk di depan aja sama Bapak," pinta Renata."Hei, Idiot, cepat masuk!" pekik Alvin. Renata langsung masuk dan duduk bersebelahan dengan Bosnya. 'Sial, harusnya naik ojek saja tadi' pikirnya gelisah."Apa tidak ada baju yang lebih bagus dari ini? Kamu yakin jadi sekretarisku dengan gaya sepe
"Oh, jadi sekarang sudah jadi simpanan orang kaya ya?" Aku melihat Raka meludah, seolah jijik. Renata merasa semakin sakit hati. Tidak pernah dibayangkan kalau Raka bisa berubah sejauh ini."Tutup mulut sampahmu itu!" bentak Alvin, yang membuat Renata semakin kaget."Hei tuan, wanita itu bekasku. Aku sudah menjamah seluruh inci tubuhnya, apa kau tak jijik?""Apa--""Bajingan!"Sebelum Renata berteriak, Alvin sudah lebih dulu berteriak dan memukul pria itu.Satu pukulan melayang ke arah wajah pria itu, tubuhnya roboh ke trotoar, terlihat darah segar mengalir dari sela bibirnya."Pergi dari sini atau nanti kau akan tahu akibatnya!" nada suara Alvin membuat pria itu terlihat agak takut. Renata sontak menggenggam tangan Alvin agar tak memukuli pria itu lagi."Dasar pelacur jalanan!" umpat pria itu sambil berjalan pergi dari sana.Alvin melirik wanita yang berdiri di belakangnya, tangan Renata gemetar, matanya berkaca-kaca. Alvin membalikan tubuhnya, sekarang mereka berhadapan."Kau tidak
Perjalanan berujung pada sebuah rumah mewah dengan gerbang berwarna emas dan penjagaan ketat di depannya. Rumah itu berwarna putih bersih, terlihat sangat terawat. Ada taman bunga dan mobil mewah yang berjejeran di garasi."Demi apapun aku mungkin akan nyasar kalau sampai masuk ke rumah ini," batin Renata keheranan.Mobil itu parkir di depan anak tangga yang terlihat terbuat dari marmer berkualitas. Ada seseorang yang sigap membukakan pintu dan mengambil kunci mobil, yang satunya lagi membukakan pintu untuk Renata."Terima kasih Pak," sapa Renata dengan ramah.Kedua pria penjaga itu saling bertatapan, seolah aneh dengan hal itu."Itu siapa sih?" tanya pria itu pada temannya."Yah, palingan mainan baru si Bos. Udah, ayo lanjut kerja nanti kalau ketauan kepo abis kita," timpal temannya.Sesampainya di dalam, Renata menahan rahangnya yang ingin menganga melihat rumah yang begitu besar dengan semua perabotan yang mahal. Yang lebih membuat kaget Renata adalah ada sekitar dua belas pelayan d