LOGINSuasana rumah yang biasanya tenang tiba-tiba berubah menjadi tegang saat sebuah mobil mewah berhenti di depan pelataran. Nyonya Lydia, ibu dari Sarah, turun dengan keanggunan yang mengintimidasi. Ia adalah wanita yang membangun bisnis keluarganya dengan tangan besi, dan matanya selalu mampu melihat apa yang tersembunyi di balik permukaan."Mama.. kenapa tidak kabari aku dulu?" tanya Sarah. "Padahal aku bisa jemput Mama." Sarah menyambut ibunya dengan pelukan hangat di ruang tamu. Namun, baru beberapa menit duduk, mata tajam Nyonya Lydia langsung tertuju pada sesosok wanita muda yang sedang menyajikan teh dengan gerakan yang sangat sopan. Itu adalah Sri. Nyonya Lydia memperhatikan Sri dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia melihat kecantikan yang tidak biasa bagi seorang pelayan, kecantikan yang berbahaya jika diletakkan di bawah atap yang sama dengan seorang pria. Setelah Sri kembali ke dapur, Nyonya Lydia menyesap tehnya perlahan, lalu menatap Sarah dengan serius. "Sarah, sejak
Malam merayap sunyi di kediaman Pratama. Setelah makan malam yang penuh kepura-puraan bersama Sarah, Andra merasakan kegelisahan yang tak tertahankan. Meskipun Sarah kini lebih waspada, hasrat Andra kepada Sri telah menjadi candu yang mengalahkan rasa takutnya. Dengan langkah yang sangat berhati-hati, menghindari setiap derit lantai kayu, ia menyelinap menuju paviliun pelayan. "Sri... buka pintunya," bisik Andra sambil mengetuk pelan, nyaris tak terdengar. Pintu terbuka sedikit, dan Andra segera masuk, menguncinya rapat dari dalam. Napasnya tercekat saat melihat penampilan Sri. Wanita itu hanya mengenakan tanktop tipis yang menonjolkan lekuk tubuh serta belahan dadanya, dipadukan dengan celana pendek yang memamerkan kaki jenjangnya. Cahaya lampu kamar yang remang memberikan kesan sensual yang tak terbantahkan. Andra tersenyum kecil, matanya berkilat penuh nafsu. Ia melangkah mendekat, menghirup aroma tubuh Sri yang selalu membuatnya mabuk, lalu mendaratkan kecupan manis namun menun
terasa jauh lebih tenang daripada hari sebelumnya. Sri melangkah masuk melalui pintu belakang dengan wajah yang tampak lebih segar, seolah pelariannya kemarin benar-benar memberikan ketenangan. Ia sempat berpapasan dengan Sarah di ruang tengah. "Sudah pulang, Sri? Bagaimana keadaan di kampung?" tanya Sarah sambil merapikan tas kerjanya. Suaranya terdengar jauh lebih lunak, mungkin karena ia merasa "menang" setelah perdebatan dengan Andra semalam. "Sudah lebih baik, Nyonya. Terima kasih atas izinnya," jawab Sri dengan senyum sopan yang sempurna. Ia memberikan sedikit bungkukan sebelum melangkah menuju kamarnya di area pelayan. Namun, ketenangan itu hanya bertahan sesaat. Baru saja Sri meletakkan tasnya di atas ranjang kayu yang sempit, pintu kamarnya terbuka. Bi Minah masuk dengan langkah berat, wajahnya nampak sangat kusut seolah tidak tidur semalaman. Matanya yang merah menatap Sri dengan tatapan yang tajam sekaligus memohon. "Sri, Bibi mau ngobrol sebentar," ucap Bi Minah, suara
Suasana di dalam mobil masih terasa pekat oleh sisa emosi yang belum tuntas. Andra mencengkeram kemudi dengan erat, matanya menatap Sri dengan penuh permohonan. Ia tidak ingin melepaskan wanita itu sekarang, terutama setelah ia merasa hampir kehilangan dia seharian ini. "Sekarang ikutlah pulang denganku. Aku akan memastikan Sarah tidak akan menyentuhmu atau membentakmu lagi. Aku akan melindungimu," bujuk Andra, suaranya terdengar putus asa. Sri menggeleng pelan, wajahnya tampak lelah namun sangat tegas. "Tidak, Tuan. Jika saya pulang sekarang, suasana hanya akan semakin memanas. Biarkan saya menenangkan diri satu malam lagi. Saya butuh waktu untuk berpikir." Andra menghela napas panjang, merasa kalah. Ia tahu ia tidak bisa memaksa Sri jika ingin tetap memiliki hatinya. Dengan berat hati, ia menepikan mobil di sebuah persimpangan jalan yang cukup ramai namun tetap memberikan privasi. "Baiklah, jika itu maumu. Setidaknya biarkan aku mengantarmu sampai ke tempat tujuanmu," tawar Andr
Sepanjang hari, rumah besar keluarga Pratama terasa seperti kuburan bagi Andra. Ketidakhadiran Sri tanpa kabar yang jelas membuatnya tidak bisa fokus pada pekerjaan. Ia terus-menerus memeriksa ponselnya, berharap ada pesan dari wanita itu. Saat Bi Minah mengatakan bahwa Sri meminta izin untuk mengunjungi ibunya dan menenangkan diri. Namun hal itu membuat jantung Andra seolah diremas. Ia takut jika tindakannya yang liar semalam atau pertengkaran hebat dengan Sarah telah membuat Sri memutuskan untuk pergi selamanya. Andra tidak bisa menunggu. Setelah melakukan beberapa panggilan telepon dan melacak lokasi ponsel Sri, ia akhirnya berhasil mengetahui keberadaan wanita itu. Ia segera memacu mobilnya, meninggalkan semua urusan kantor dan mengabaikan panggilan telepon dari Sarah. Sore itu, di sebuah area yang cukup jauh dari kediaman mereka, Andra melihat sosok yang ia cari. Sri sedang berjalan di trotoar dengan tatapan kosong, tas kecil masih tersampit di bahunya. Andra segera menghentik
Suara pintu yang tertutup perlahan menandakan keberangkatan Andra dari kamar sempit itu. Pria itu pergi dengan terburu-buru, diselimuti ketakutan jika Sarah tiba-tiba kembali dan memergokinya di area pelayan. Kepergiannya meninggalkan keheningan yang menyesakkan, hanya menyisakan aroma parfum maskulin yang bercampur dengan keringat dan gairah yang masih tertinggal di udara. Sri masih terbaring kaku di atas ranjangnya yang berantakan. Ia tidak bergerak sedikit pun, matanya menatap hampa ke arah langit-langit kamar yang kusam. Sensasi panas dan gairah dari jamahan Andra tadi masih terasa nyata di permukaan kulitnya. Setiap inci tubuhnya seolah masih bergetar, merekam betapa liarnya pria itu menjamahnya, memberikan kepuasan yang seharusnya ia benci. Sri mengangkat tangannya yang gemetar, menyentuh bibirnya yang masih terasa bengkak karena ciuman panas Andra. Ia kemudian memeluk tubuhnya sendiri, merasakan sisa-sisa kehangatan pria itu yang mulai mendingin. Air mata perlahan mengalir da







