Masuk
Suara itu memecah keheningan malam. Desahan rendah bercampur erangan, jelas terdengar dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka.
Bella terhenti. Tubuhnya kaku, Jantungnya berdebar kencang. Dadanya terasa dihantam palu. Itu suara siapa? Mustahil… tapi telinganya tak bisa berbohong. “Han… ini terasa begitu nikmat,” suara perempuan terdengar parau, penuh gairah. Jantung Bella seakan merosot ke perutnya. Tidak. Itu tidak mungkin. Itu bukan suara yang ia kenal.... tapi hatinya jelas tahu itu suara yang sangat ia kenal. Han menggeram rendah. “Kamu suka? Katakan, kamu suka aku.” “Aku suka… ahh… sangat suka… kamu...ahh... luar biasa...” Seakan darah Bella berhenti mengalir. Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu sedikit lebih lebar. Dunia seketika runtuh. Di atas ranjang, tunangannya.... lelaki yang selama ini ia percayai... menindih seorang perempuan dengan rambut panjang terurai. Kuku perempuan itu menancap liar di punggung Han. Gerakan mereka begitu tanpa malu, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Bella menutup mulutnya agar jeritannya tak pecah. Namun air mata sudah menggenang. Dadanya sakit, perih seperti diremuk. “Han…” suara Bella pecah, lirih tapi jelas. Kepala lelaki itu terangkat cepat. Matanya membeku, wajahnya pucat. “Bella?!” Han terlonjak. Perempuan di bawahnya buru-buru menarik selimut, separuh panik, separuh masih mabuk kenikmatan. Bella mundur satu langkah. Tangannya gemetar, tubuhnya bergetar hebat. “Kenapa… Han? Kenapa kamu lakukan ini padaku?” “Bella, tunggu!” Han meraih selimut, bangkit dengan wajah panik. “Aku bisa jelasin. Ini… ini nggak seperti yang kamu lihat!” “Tidak seperti yang kulihat?!” suara Bella meninggi, matanya kabur oleh air mata. “Aku lihat sendiri, Han! Dengan mataku sendiri!” “Bel, aku khilaf… aku…” “Diam!” Bella menggeleng cepat, air matanya jatuh deras. “Kamu bukan cuma khianati aku, kamu juga hina aku! Dengan sahabatku sendiri?!” Perempuan itu bersuara, suaranya serak, “Bella, aku… aku minta maaf…” “Diam, Fanya!” teriak Bella, dadanya naik turun. “Aku percaya sama kamu. Aku anggap kamu saudaraku. Dan ini balasanmu?!” Han mendekat, tangannya terulur. “Bella, tolong dengar aku. Jangan begini, kita bisa bicara baik-baik…” Bella mundur makin jauh, tubuhnya hampir limbung. “Kamu menjijikkan, Han.” Suaranya pecah, penuh benci. “Kamu bukan lagi lelaki yang kucintai.” Air matanya tak terbendung lagi. Ia berbalik, membuka pintu dengan kasar, lalu berlari keluar. “BELLA!” Han berteriak, setengah telanjang, mencoba mengejarnya. Tapi Bella sudah lebih dulu menuruni tangga dengan langkah kacau. Tangannya gemetar saat membuka pintu depan. Malam terasa dingin menusuk, tapi hatinya lebih dingin, lebih beku. Tanpa menunggu lagi, Bella berlari menuju mobilnya. Air matanya mengaburkan pandangan, tapi ia tetap memutar kunci, menyalakan mesin, dan menekan pedal gas. Tangisnya pecah di balik setir. “Aku benci kamu, Han… aku benci kamu!” Mobil melaju kencang di jalanan malam, lampu kota berpendar kabur oleh air mata yang tak henti jatuh. Bella bahkan tak tahu ke mana ia pergi. Ia hanya tahu satu hal, ia harus menjauh dari rumah itu, dari pengkhianatan itu, dari mereka. Ingatannya berputar. Malam saat Han melamarnya. Tawa Fanya yang selalu mendukungnya. Semua itu sekarang terasa hina, kotor, palsu. “Kenapa aku begitu bodoh percaya kalian…” suara Bella patah. Ia menekan gas lebih dalam. Ia tidak tahu ke mana ia pergi, hanya ingin sejauh mungkin dari rumah itu, dari mereka berdua. Dan tanpa sadar, roda takdir membawanya menuju sebuah apartemen. Bella menatap bangunan itu dengan pandangan kosong. Tubuhnya bergetar, seolah semua tenaga sudah terkuras. Tapi di tengah hancurnya hatinya, hanya satu nama yang terlintas, Renand. Lelaki yang selalu dingin, tapi diam-diam pernah menjadi tempat paling aman yang pernah ia rasakan. Tangannya meraih ponsel. Dengan jari bergetar, ia menekan nomor yang sudah lama tak dipanggilnya. Sekali, dua kali, sampai akhirnya terdengar suara berat yang familiar di telinganya. “Bella? Kenapa malam-malam telepon?” suara Renand terdengar serak, jelas baru bangun. Bella terisak. “Aku… aku di depan apartemenmu. Tolong… bukain pintu.” Hening sebentar. Lalu suara langkah cepat terdengar dari seberang. “Tunggu. Aku turun.” Tak sampai lima menit, Bella melihat sosok tinggi itu keluar dari lobi apartemen. Wajahnya masih kusut, kaos tipis menempel di tubuhnya, tapi mata Renand langsung melebar saat melihat Bella dengan wajah berantakan. “Bella… apa yang...” ucapannya terhenti ketika melihat mata bengkak Bella. Tanpa bisa menahan diri, Bella terisak semakin keras. Tubuhnya goyah, dan seketika Renand meraih lengannya, menahannya agar tidak jatuh. “Han… dia… dia hianatin aku,” suara Bella pecah di dada Renand. Lelaki itu terdiam. Rahangnya mengeras, matanya berkilat marah. Tapi ia hanya menghela napas dalam, lalu memeluk Bella erat, membiarkannya menangis sepuasnya di dadanya. “Sudah… kamu aman sekarang,” bisiknya rendah, nyaris tak terdengar. Bella hanya menangis, tubuhnya terguncang di pelukan itu. Renand membawanya masuk ke apartemen. Ruangan hangat, lampu temaram. Bella duduk di sofa, wajahnya sembab. Renand menyodorkan segelas air, tapi Bella menolaknya. "Beri aku alkohol. Aku yakin kamu punya." Renand tak membantah ia mengambil sebotol minuman beralkohol dan menyodorkannya. Bell langsung meneguknya sampai habis. “Aku benci dia, Renand. Aku benci… tapi kenapa hatiku masih sakit begini?” tangis Bella makin parah. Renand menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya, sesuatu yang selalu ditahan bertahun-tahun. Perlahan ia duduk di sebelah Bella, menepuk bahunya. “Karena kamu terlalu cinta, Bel. Dan orang yang terlalu cinta… paling gampang dihancurkan.” Bella menoleh. Pandangannya kabur, tapi ia bisa melihat tatapan Renand yang dalam menusuk jantungnya. Ada kehangatan di balik dingin yang selama ini ia kenal. Tubuh Bella gemetar. Entah dorongan apa, ia mendekat, mencari kenyamanan di pelukan itu lagi. Renand ragu sesaat, tapi akhirnya membiarkan tubuh Bella merapat. Suasana hening. Hanya terdengar isakan kecil Bella dan detak jantung yang terasa begitu dekat. Lalu, tanpa sadar, wajah mereka semakin mendekat. Hidung hampir bersentuhan. Mata Bella setengah terpejam, air matanya masih menempel di pipi. Renand mengatupkan rahangnya, seolah berperang dengan dirinya sendiri. Namun akhirnya, jarak itu lenyap. Bibirnya menyentuh bibir Bella, ringan, ragu, tapi penuh gejolak yang selama ini terkubur. Bella terhenyak. Air matanya terhenti seketika, berganti dengan kehangatan yang mengguncang dadanya. Di luar jendela, malam tetap dingin. Tapi di dalam apartemen itu, sebuah batas telah terlewati.Tubuh Bella terasa berat. Pandangannya kabur, langkahnya limbung di lorong gelap rumah Martin. Keringat dingin bercampur panas aneh dari dalam tubuhnya. Suara detak jantungnya sendiri terdengar seperti palu di telinga.“Apa… yang dia lakukan padaku…” bisiknya.Dari balik bayangan lorong, seseorang muncul, wajahnya samar di bawah cahaya redup. Sosok itu terkejut melihat Bella yang nyaris terjatuh. Ia cepat menahan tubuh Bella sebelum membentur lantai.“Bella? Hei! Kamu kenapa?”Bella hanya menggigit bibir, berusaha menahan tubuhnya yang bergetar hebat. “Han… dia… sesuatu di minumanku…”Renand terdiam. Tatapan matanya berubah dingin. Ia menggendong Bella ke kamar kosong di ujung lorong, membaringkannya perlahan.“Tenang. Aku di sini.”Bella berusaha menahan kesadarannya yang mulai kabur. “Jangan… jangan biarkan dia mendekat lagi…”Renand mengangguk, lalu menatap ke arah pintu dengan rahang menegang."Renand, tolong aku!" Bella merengek, bangkit dengan pakaian tidur yang sedikit terbuka,
Setelah pertungan Renand, perasaan Bella semakin kacau ia merasa kini tak ada lagi yang bisa ia harapkan. Hidupnya benar-benar hampa, dan selalu mendapat pengkhianatan. Bella merenung di kamarnya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sampai akhirnya ia tak tahan lagi menjadintawanan keluarga Martin."Aku ingin kita pindah, Han," kata Bella pada Han, saat Han baru saja keluar dari kamar mandi."Pindah bagaimana maksudnya?""Kalau kamu masih mau pernikahan ini sampai satu tahun, kita pindah ke rumah orang tua ku.""Tapi, Ayah tidak akan setuju.""Kalau kamu tidak mau, kita bercerai saja,""Bella," Han tidak mau bercerai, meskipun perjanjian pernikahan hanya satu tahun tapi Han tidak akan pernah menceraikan Bella apapun yang terjadi. "Nanti aku bicarakan dulu dengan orang tuaku, ya?""Aku tunggu jwabanmu secepatnya.""Baiklah," Han mengambil segelas air di nakas, dan saat Bella kembali menatap ke luar jendela Han memasukan sebuah serbuk ke dalam minuman Bella, lalu berjalan menghampir
Hari pertunangan itu berlangsung megah di kediaman keluarga Han. Taman belakang disulap menjadi tempat pesta, dihiasi bunga putih dan lampu-lampu gantung yang berkilau seperti bintang. Musik lembut mengalun, tamu-tamu berbusana elegan saling bertukar senyum, membicarakan betapa serasinya pasangan yang sedang dirayakan hari itu, Renand Wijantara dan Amanda Daraswita.Amanda tampak cantik dalam gaun krem muda, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun di sampingnya, Renand berdiri dengan ekspresi datar. Tatapannya dingin, terlalu kaku untuk disebut bahagia. Sesekali, matanya mencari ke sekeliling ruangan… dan berhenti pada satu sosok di kejauhan.Bella.Ia berdiri di sudut taman, mengenakan dress hitam sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai. Senyum tipis yang dipaksakan tak mampu menyembunyikan matanya yang kosong. Sejak awal acara, Bella menghindari kontak mata dengan siapa pun, apalagi dengan Renand.Namun tatapan itu… tatapan yang sama penuh kerinduan dan luka yang terus mengikut
Kabar itu menyebar secepat kilat, jauh melebihi dugaan Bella.Renand Wijantara, pria yang dulu memohon padanya untuk bertahan, kini resmi mengumumkan pertunangannya dengan Amanda, sepupu Han. Pengumuman itu disiarkan langsung di televisi, disaksikan oleh seluruh keluarga yang terpaku di depan layar. Bella membeku di kursinya, jemarinya mencengkeram erat cangkir kopi, seolah mencari kekuatan.Han, dari ujung meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kabar bahagia, bukan?" ujarnya datar, sambil mengaduk teh.Bella membisu, matanya terpaku pada Renand di layar. Pria itu tersenyum kaku di samping Amanda, tangan mereka bertautan di depan kamera.Han menyandarkan tubuh, tatapannya menusuk. "Tidak ingin memberi selamat?"Bella mendengus pelan. "Untuk apa?""Untuk pria yang dulu kau bela mati-matian." Han mendekat, suaranya tajam namun rendah. "Setidaknya kau bisa tenang sekarang. Dia sudah memiliki calon istri yang jelas."Bella menoleh cepat. "Berhenti bicara seperti itu
Suara ketukan pintu terdengar pelan tapi berulang—ritmis, penuh kesengajaan. Han yang sedang menatap layar laptopnya langsung menegakkan tubuh. Ia tidak sedang menunggu siapa pun.“Masuk,” katanya datar, tanpa mengalihkan pandangan.Pintu terbuka. Aroma parfum manis yang pernah ia kenal memenuhi ruangan. Han terdiam.“Sudah lama, ya,” suara itu lembut, tapi menusuk seperti belati.Han mendongak perlahan. “Fanya.”Perempuan itu tersenyum miring. Ia menutup pintu dan berjalan santai mendekat, tumit sepatunya menimbulkan suara kecil di lantai marmer. “Kamu kelihatan kaget. Padahal aku cuma ingin ngobrol.”“Ngobrol?” Han mendengus. “Kalau kamu datang buat main-main lagi, keluar saja.”“Main-main?” Fanya tertawa pendek, matanya berkilat. “Lucu sekali kamu ngomong begitu. Padahal dulu kamu yang paling suka main dengan aku.”“Sudah cukup.” Han menekan meja dengan telapak tangannya. “Kita selesai waktu itu. Jangan buat masalah lagi.”Fanya mengangkat alis, senyumnya tidak hilang. “Kamu yakin
Siang itu rumah keluarga Han terasa lengang. Semua orang pergi bekerja, Han, kedua orang tuanya, bahkan Amanda yang biasanya sibuk di rumah pun ikut keluar untuk menghadiri rapat bisnis. Hanya para pelayan yang lalu-lalang dengan langkah hati-hati, takut membuat kegaduhan di rumah yang kini terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Namun, di antara kesunyian itu, suara mobil berhenti di depan gerbang.Renand turun dari mobil dengan langkah pasti. Wajahnya tegang, matanya gelap. Sejak kejadian makan malam itu, Bella terus menghindar darinya, tidak membalas pesan, tidak menjawab telepon, bahkan menghilang setiap kali mereka berada di tempat yang sama.Hari ini, ia tidak ingin menunggu lagi. Ia harus tahu alasannya.“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu pelayan gugup ketika Renand melangkah masuk tanpa banyak bicara. “Nyonya muda sedang di taman belakang.”Renand hanya mengangguk, lalu terus berjalan melewati lorong panjang menuju taman. Setiap langkahnya berat, seolah membawa beban yang m







