LOGINPagi itu Bella membuka mata dengan kepala berdenyut hebat. Rasanya seperti ada palu menghantam pelipisnya. Selimut asing melingkup tubuhnya. Ia berkedip cepat, panik, mencoba mengingat.
Kilasan semalam menghantam begitu saja... air mata, tangan Renand yang menepuk punggungnya, cairan bening dalam gelas, lalu… bibir. Bibir yang menyapu miliknya. Bella langsung menegakkan tubuh. Wajahnya memanas, jantungnya berdegup kacau. Jangan bilang aku benar-benar… sama Renand? Tangannya refleks meraih selimut ke dada, tubuhnya menegang. Pandangannya berkeliling, mencari tanda keberadaan sepupunya itu. “Dia udah pergi kerja?” bisiknya pelan, seakan berharap jawabannya ya. Seakan menertawakan harapannya, pintu kamar mandi berderit terbuka. Renand keluar dengan rambut basah, kemeja putih setengah terpasang, wajahnya tenang seperti biasa. “Kamu sudah bangun?” tanyanya santai, seolah tak terjadi apa-apa. Bella tersentak. “I-iya… kamu rapi sekali. Pagi-pagi begini sudah mau berangkat?” “Aku harus ke kantor.” Renand meraih jam tangan di meja. “Tadi kamu tidur nyenyak sekali. Aku nggak tega bangunin. Kamu pasti capek.” Pipi Bella memanas. Ingatan samar tentang malam itu menyusup, membuatnya salah tingkah. “Jam setengah enam, masih terlalu pagi. Kamu tidurlah lagi,” ucap Renand. “Enggak usah. Aku juga harus siap-siap,” Bella buru-buru menjawab. Renand tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau itu maumu, aku nggak akan maksa.” Hening turun di antara mereka. Hening yang menyesakkan. Bella menggenggam erat selimut, lalu berbisik, hampir tak berani menatap. “Ren… aku beneran mabuk ya semalam? Sampai… sampai mau melakukan hal itu sama kamu?” Mata Renand seketika mengeras. Ia meraih gelas di nakas, meneguk sisa air sebelum bersuara. “Kata-katamu kejam sekali, Bel.” Suaranya rendah, menekan. “Seolah kamu nggak mau melakukannya denganku kalau kamu sadar.” Bella buru-buru bangkit, meraih pakaian yang tercecer di lantai, menutupi rasa malunya dengan gerakan terburu. “Ya jelas nggak mungkin, Ren. Kita ini sepupu. Kamu lupa?” Langkah Renand terhenti. Tatapannya berubah dingin. “Berhenti bilang kita sepupu.” Nadanya tegas, penuh penekanan. “Dari dulu aku nggak pernah lihat kamu sebagai keluarga.” Bella membeku di sisi ranjang, jantungnya melonjak tak karuan. “Ren…” Renand melangkah mendekat. Bella refleks mundur di atas ranjang, selimut masih menempel di tubuhnya. Ia meremas pakaiannya yang belum sempat ia pakai. Semakin ia mundur, semakin Renand maju. Hingga akhirnya punggung Bella menempel ke sandaran ranjang. “Ren, jangan begini…” suaranya goyah. Renand menunduk sedikit, tatapannya pekat. “Selama ini aku diam. Aku pura-pura kuat lihat kamu lengket sama tunanganmu yang brengsek itu, padahal aku terbakar cemburu. Aku menahan semua itu sendirian.” Bella terperangah, matanya membesar. “Kamu sadar nggak sih apa yang baru saja kamu ucapin?” Renand tersenyum miring, getir. “Aku sadar. Terlalu sadar. Aku sudah jatuh cinta sama kamu sejak lama.” Bella cepat-cepat menggeleng, wajahnya pucat. “Berhenti ngomong hal gila. Yang terjadi semalam… anggap saja itu kecelakaan. Kita harus lupain, Ren.” Renand mendekat lebih jauh. Kedua tangannya menahan di sisi tubuh Bella, membuatnya terkunci. Nafasnya hangat, beradu dengan nafas Bella yang terengah. “Jangan pernah sebut itu kecelakaan,” ucapnya parau. “Aku sadar sepenuhnya, Bel. Dan aku tahu… kamu juga merasakannya.” Bella terdiam, tubuhnya bergetar. Matanya menatap wajah Renand yang begitu dekat, terlalu dekat. “Kamu… kamu mulai nggak waras,” bisiknya ketakutan. Renand memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang, lalu berbalik menjauh. “Kalau kamu nggak bisa lihat aku sebagai pria yang mencintaimu,” ucapnya bergetar, “aku nggak akan lagi pura-pura jadi sepupu manis di matamu. Aku nggak bisa. Dan aku jamin kamu nggak akan bisa hidup tenang.” Bella menatap punggung Renand dengan ngeri bercampur iba. “Itu ancaman, Ren?” suaranya meninggi, meski lebih rapuh daripada tegas. “Sayangnya aku nggak pernah takut dengan ancamanmu.” Renand menoleh, tatapannya tajam, matanya menyala. “Bagus,” katanya dingin. “Kalau kamu nggak takut, berarti kita sama-sama siap lihat sejauh apa aku bisa melangkah.” Tubuh Bella merinding. Baru kali ini ia melihat Renand membuka sisi gelap yang selama ini tersembunyi rapat.Tubuh Bella terasa berat. Pandangannya kabur, langkahnya limbung di lorong gelap rumah Martin. Keringat dingin bercampur panas aneh dari dalam tubuhnya. Suara detak jantungnya sendiri terdengar seperti palu di telinga.“Apa… yang dia lakukan padaku…” bisiknya.Dari balik bayangan lorong, seseorang muncul, wajahnya samar di bawah cahaya redup. Sosok itu terkejut melihat Bella yang nyaris terjatuh. Ia cepat menahan tubuh Bella sebelum membentur lantai.“Bella? Hei! Kamu kenapa?”Bella hanya menggigit bibir, berusaha menahan tubuhnya yang bergetar hebat. “Han… dia… sesuatu di minumanku…”Renand terdiam. Tatapan matanya berubah dingin. Ia menggendong Bella ke kamar kosong di ujung lorong, membaringkannya perlahan.“Tenang. Aku di sini.”Bella berusaha menahan kesadarannya yang mulai kabur. “Jangan… jangan biarkan dia mendekat lagi…”Renand mengangguk, lalu menatap ke arah pintu dengan rahang menegang."Renand, tolong aku!" Bella merengek, bangkit dengan pakaian tidur yang sedikit terbuka,
Setelah pertungan Renand, perasaan Bella semakin kacau ia merasa kini tak ada lagi yang bisa ia harapkan. Hidupnya benar-benar hampa, dan selalu mendapat pengkhianatan. Bella merenung di kamarnya, karena hanya itu yang bisa ia lakukan. Sampai akhirnya ia tak tahan lagi menjadintawanan keluarga Martin."Aku ingin kita pindah, Han," kata Bella pada Han, saat Han baru saja keluar dari kamar mandi."Pindah bagaimana maksudnya?""Kalau kamu masih mau pernikahan ini sampai satu tahun, kita pindah ke rumah orang tua ku.""Tapi, Ayah tidak akan setuju.""Kalau kamu tidak mau, kita bercerai saja,""Bella," Han tidak mau bercerai, meskipun perjanjian pernikahan hanya satu tahun tapi Han tidak akan pernah menceraikan Bella apapun yang terjadi. "Nanti aku bicarakan dulu dengan orang tuaku, ya?""Aku tunggu jwabanmu secepatnya.""Baiklah," Han mengambil segelas air di nakas, dan saat Bella kembali menatap ke luar jendela Han memasukan sebuah serbuk ke dalam minuman Bella, lalu berjalan menghampir
Hari pertunangan itu berlangsung megah di kediaman keluarga Han. Taman belakang disulap menjadi tempat pesta, dihiasi bunga putih dan lampu-lampu gantung yang berkilau seperti bintang. Musik lembut mengalun, tamu-tamu berbusana elegan saling bertukar senyum, membicarakan betapa serasinya pasangan yang sedang dirayakan hari itu, Renand Wijantara dan Amanda Daraswita.Amanda tampak cantik dalam gaun krem muda, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Namun di sampingnya, Renand berdiri dengan ekspresi datar. Tatapannya dingin, terlalu kaku untuk disebut bahagia. Sesekali, matanya mencari ke sekeliling ruangan… dan berhenti pada satu sosok di kejauhan.Bella.Ia berdiri di sudut taman, mengenakan dress hitam sederhana, rambutnya dibiarkan tergerai. Senyum tipis yang dipaksakan tak mampu menyembunyikan matanya yang kosong. Sejak awal acara, Bella menghindari kontak mata dengan siapa pun, apalagi dengan Renand.Namun tatapan itu… tatapan yang sama penuh kerinduan dan luka yang terus mengikut
Kabar itu menyebar secepat kilat, jauh melebihi dugaan Bella.Renand Wijantara, pria yang dulu memohon padanya untuk bertahan, kini resmi mengumumkan pertunangannya dengan Amanda, sepupu Han. Pengumuman itu disiarkan langsung di televisi, disaksikan oleh seluruh keluarga yang terpaku di depan layar. Bella membeku di kursinya, jemarinya mencengkeram erat cangkir kopi, seolah mencari kekuatan.Han, dari ujung meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kabar bahagia, bukan?" ujarnya datar, sambil mengaduk teh.Bella membisu, matanya terpaku pada Renand di layar. Pria itu tersenyum kaku di samping Amanda, tangan mereka bertautan di depan kamera.Han menyandarkan tubuh, tatapannya menusuk. "Tidak ingin memberi selamat?"Bella mendengus pelan. "Untuk apa?""Untuk pria yang dulu kau bela mati-matian." Han mendekat, suaranya tajam namun rendah. "Setidaknya kau bisa tenang sekarang. Dia sudah memiliki calon istri yang jelas."Bella menoleh cepat. "Berhenti bicara seperti itu
Suara ketukan pintu terdengar pelan tapi berulang—ritmis, penuh kesengajaan. Han yang sedang menatap layar laptopnya langsung menegakkan tubuh. Ia tidak sedang menunggu siapa pun.“Masuk,” katanya datar, tanpa mengalihkan pandangan.Pintu terbuka. Aroma parfum manis yang pernah ia kenal memenuhi ruangan. Han terdiam.“Sudah lama, ya,” suara itu lembut, tapi menusuk seperti belati.Han mendongak perlahan. “Fanya.”Perempuan itu tersenyum miring. Ia menutup pintu dan berjalan santai mendekat, tumit sepatunya menimbulkan suara kecil di lantai marmer. “Kamu kelihatan kaget. Padahal aku cuma ingin ngobrol.”“Ngobrol?” Han mendengus. “Kalau kamu datang buat main-main lagi, keluar saja.”“Main-main?” Fanya tertawa pendek, matanya berkilat. “Lucu sekali kamu ngomong begitu. Padahal dulu kamu yang paling suka main dengan aku.”“Sudah cukup.” Han menekan meja dengan telapak tangannya. “Kita selesai waktu itu. Jangan buat masalah lagi.”Fanya mengangkat alis, senyumnya tidak hilang. “Kamu yakin
Siang itu rumah keluarga Han terasa lengang. Semua orang pergi bekerja, Han, kedua orang tuanya, bahkan Amanda yang biasanya sibuk di rumah pun ikut keluar untuk menghadiri rapat bisnis. Hanya para pelayan yang lalu-lalang dengan langkah hati-hati, takut membuat kegaduhan di rumah yang kini terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Namun, di antara kesunyian itu, suara mobil berhenti di depan gerbang.Renand turun dari mobil dengan langkah pasti. Wajahnya tegang, matanya gelap. Sejak kejadian makan malam itu, Bella terus menghindar darinya, tidak membalas pesan, tidak menjawab telepon, bahkan menghilang setiap kali mereka berada di tempat yang sama.Hari ini, ia tidak ingin menunggu lagi. Ia harus tahu alasannya.“Selamat siang, Pak,” sapa salah satu pelayan gugup ketika Renand melangkah masuk tanpa banyak bicara. “Nyonya muda sedang di taman belakang.”Renand hanya mengangguk, lalu terus berjalan melewati lorong panjang menuju taman. Setiap langkahnya berat, seolah membawa beban yang m







