Natalie selalu sendiri. Dia berada di urutan kedelapan tahta Monako, sedangkan dua kakak laki-laki ada di atasnya. Ibunya, anak ketiga dari raja, menikah dengan pengusaha dari kalangan rakyat jelata, dan lebih memilih agar putra-putrinya tidak menyandang gelar di depan nama.
Lingkungan pergaulan Natalie terbatas. Tidak banyak yang bisa diajak benar-benar terlibat dalam sebuah pertemanan tulus di kalangan jetset. Seolah semua orang punya maksud dan tujuan masing-masing untuk mendekati Natalie. Kecuali, mungkin, keluarga Toussaint dari Belgia. Mereka sangat kaya. Darah mereka biru bahkan lebih biru daripada monarki yang kini berkuasa—meski mereka tidak lagi memiliki gelar. Toussaint dianggap sebanding. Setara. Kekuasaan mereka sungguh luas karena para wanita dalam keluarga itu selalu menikah dengan bangsawan tinggi atau minimal pemimpin sebuah keluarga. Termasuk Catherine—sahabat Natalie sejak bayi. Perempuan itu belum lama ini menikah kembali dengan mantan suami—bisakah Natalie menyebut 'mantan suami' di saat pernikahan sahabatnya dibatalkan enam tahun lalu?—dan kini sudah memiliki dua anak kembar sekarang ditambah sedang mengandung dua yang lainnya. Princess Stéphanie, ibu dari Natalie, sudah nyaris kehilangan kesabaran. Dia selalu berkata, "Mon Dieu, menikahlah, Nat. Temanmu hampir punya empat anak dan kau masih perawan? Apakah aku membesarkanmu dengan cara yang salah hingga tak satu pun lamaran berhasil kudapatkan untukmu?" Natalie hanya akan terkekeh dan memutar bola mata. Entahlah. Entah apa yang salah. Nat adalah gadis baik-baik. Dia selalu mematuhi jam malam ibunya. Lalu, tidak suka menonjolkan diri di depan umum dan yang jelas, tidak akan membuat skandal yang akan mempermalukan seluruh keluarga. Akan tetapi, sungguh, mungkin dia hanya ... tidak disukai laki-laki. Jadi, daripada menunggu lamaran yang tak kunjung datang dan menyia-nyiakan hidup dalam penantian, Natalie memutuskan untuk bekerja. Mendirikan Lyubova Event Organizer impiannya bersama Catherine—yang biasa disapa dengan sebutan 'Kat'—dan satu lagi sosialita sahabat mereka yang bernama Chiara Brignone. Hanya sebagai pengisi waktu luang. Sebagai excuse untuk tinggal di Paris. Bukan di Monte Carlo bersama ibunya. Jangan salah. Nat tidak membenci ibunya. Well. Tidak selalu. Hanya kadang-kadang saja, saat sang mama menanyakan kapan dia akan menikah. Lagi, dan lagi. "Dulu saat Mama seumuran denganmu, Mama sudah menikah!" Princess Stéphanie berkacak pinggang. "Kalau tidak ada yang mau denganmu, kenapa tidak kau goda saja Pieter Toussaint, atau Julien, Luc, dan Leroux sepupunya? Mon Dieu—Ya Tuhan bahkan jika tidak ada pilihan lain, minta saja Dietrich menikahimu. Mereka semua masih lajang, bukan?" Natalie tersedak ludahnya sendiri saat mendengar semua itu. Oh, si perempuan cantik bukannya tidak pernah memikirkan itu. Mendekati pria-pria tampan dari keluarga Toussaint, maksudnya. Terutama, Axel Junior. Dari semua orang yang ada, pria yang satu itu adalah yang terbaik. Tenang, ramah, baik hati, selalu berpikir sebelum bertindak. Semua yang dilakukannya terkalkulasi dengan cermat. Sayangnya, dia sudah menikah. Tahun ini. Di musim semi. Barang bagus nan langka memang cepat sekali terjual, bukan begitu? Natalie tidak akan mempertimbangkan Julien, Luc, dan Leroux Toussaint. Ya ampun. Mereka itu jahil dan liarnya bukan main! Yang paling parah adalah Dietrich. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Pria itu tumbuh menjadi seseorang berbadan tinggi dan atletis. Ototnya menyembul di tempat-tempat yang tepat. Wajahnya mencerminkan ketampanan klasik khas bangsawan kelas atas dengan tulang pipi tinggi dan senyuman lembut. Dan, dia adalah kepala keluarga Toussaint saat ini. Akan tetapi, Dietrich adalah pilihan terburuk! Natalie berani bersumpah bahwa melajang seumur hidup akan jauh lebih baik ketimbang menikah dengan lelaki itu. Mulutnya. Gosh. Pria itu punya mulut terpedas di seluruh dunia. Meski dengan berat hati, Natalie mengakui sebagian besar yang dikatakan Dietrich memang benar. Itu bukan satu-satunya alasan mengapa Natalie tidak bisa menikah dengan Dietrich. Gadis itu bersahabat sangat dekat dengan Catherine hingga nyaris dianggap sebagai anggota keluarga Toussaint. Dietrich selalu berada di sana. Menjadi kakak bagi mereka berdua sekaligus bahkan sewaktu Nat dan Kat masih kanak-kanak, Dietrich gemar sekali menepuk pantat montok mereka. Ibunya benar-benar sudah gila kalau sampai sungguhan menyarankan yang terakhir tadi. "Mama. Tolong jangan khawatirkan aku. Kalau aku tidak menemukan pria untuk kunikahi, kau masih bisa mendapatkan lebih banyak cucu dari kedua putramu. Sekarang, permisi. Aku harus kembali ke Paris." Natalie menyambar tas tangannya, kemudian mencium pipi ibunya tiga kali, sebelum melangkah pergi menuju sebuah limosin yang akan mengantarkannya melewati French Riviera yang indah. "Natalie! Nat, dengarkan aku dulu! Aku tidak bercanda!" Princess Stéphanie sampai kelepasan menjerit, kemudian buru-buru menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada paparazi yang menguntitnya di sini. Natalie melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. o0o Natalie tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Dietrich. Di dalam lindungan Rolls Royce milik keluarga Toussaint, keduanya bebas mengekspresikan diri tanpa takut dikritik orang banyak. "Dasar bodoh!" Natalie menyembur tanpa sungkan. "Buat apa menjemputku, di saat kau juga tidak membawa payung? Ini sama saja dengan aku berlari sepanjang beberapa blok sampai ke kantor Lyubova!" Dietrich menunjuk rambut Natalie yang lepek dan tawanya terus berderai. "Bagaimana mungkin kau bilang ini sama? Terkena hujan sedikit saja penampilanmu sudah seperti tikus yang terperosok ke dalam got! Apalagi, jika kau nekat berlari sejauh beberapa blok." Tangan Natalie sontak berlari menuju rambut. Tawanya hilang. Gadis itu lalu memberengut. "Apakah begitu buruk?" "Benar-benar buruk." Dietrich berkata apa adanya. Jika ada satu hal yang perlu disyukuri dari mulut cabai super milik lelaki itu, ia selalu berkata jujur. Kebenaran memang terkadang menyakitkan, tapi itulah yang Nat butuhkan. Terutama karena seluruh pelayan dan rakyat Monako selalu memberikan pujian padanya. Nat tidak pernah tahu apakah semua yang mereka bilang itu benar atau hanya sugar coating belaka. "Berikan aku cermin." Natalie menengadahkan tangannya. Dietrich mengedikkan bahu, menepuk tangan supirnya, Monsieur Randall lalu memberikan kode berupa anggukan. Monsieur Randall menaikkan sebelah alis, kemudian membuka laci dasbor dan mengeluarkan cermin bersepuh perak milik mendiang nenek Dietrich dari sana. Dietrich menerimanya. Dia dan Monsieur Randall memang lebih senang begitu. Berkomunikasi tanpa kata. Pria paruh baya itu dulunya kurang dalam pendengaran—sampai ayah Dietrich mempekerjakannya dari jalanan dan membelikan alat bantu dengar. Natalie menyambar cermin dari tangan Dietrich diiringi dengkusan. "Rasanya aku tidak siap untuk melihat wajahku sendiri." Perempuan itu masih bersungut-sungut. "Tidak ada masalah pada penampilanku saja aku tidak punya pacar. Bagaimana jika penampilanku sangat buruk?" Dietrich mengambil sebuah handuk dari sebuah kotak penyimpanan. Lelaki itu membantu untuk mengeringkan rambut dan baju Natalie yang terkena hujan. Lalu, ia mengernyit saat melihat bagian dada Nat. "MERDE!—SIALAN!" Dietrich terkesiap keras. "Bisakah sekali saja kau memakai pakaian dengan benar? Bajumu tembus pandang!" Natalie ikut terkesiap. Kemudian dengan cekatan menyambar handuk dari tangan Dietrich dan menutupi bagian dadanya sendiri. "Bajuku tadi baik-baik saja. Memangnya kau tidak lihat aku memakai lengan panjang?" "Seharusnya kau memakai mantel, Dasar Bodoh! Ini Paris, bukan Monte Carlo yang relatif hangat. Kau bisa kedinginan jika memakai pakaian setipis itu!" Dietrich mulai mengomel. Natalie tadinya ingin memilih untuk diam. Namun, kalimat Dietrich selanjutnya membuatnya benar-benar naik pitam. "Apakah kau sebegitu desperate sampai berniat menggodaku?" Apabila lelaki itu tidak mengucapkannya dengan wajah memerah semerah kepiting rebus, Natalie sudah pasti akan menamparnya. Namun, tidak. Natalie berbaik hati untuk hanya memukul dada lelaki itu dengan keras. "Kau pikir dirimu hebat? Jangan mengada-ada! Aku bahkan tidak tahu kau akan menyusulku!" Natalie memukul dada Dietrich berulang kali. Namun, justru tangannya sendiri yang terasa sakit sekarang. Kemudian ekspresi Dietrich berubah kesal. "Jadi ... kau memakai pakaian tipis untuk menggoda lelaki mana pun di kedai bunga?" Natalie menghitung dalam hati untuk mengusahakan kesabaran ekstra. Hitungannya baru sampai angka satu, ketika detik berikutnya tangannya sudah bergerak sendiri memukuli Dietrich lagi. "Berengsek kau! Kurang ajar! Berani sekali kau menuduhku seperti itu?!" Umpatan Natalie tak berhenti sampai Dietrich mengaduh kesakitan. "Mon Dieu! Kau ini putri dari Princess Stéphanie! Omonganmu akan kurekam. Akan kurekam dan kukirimkan pada kantor berita kerajaan! Aw! Hentikan, Dasar gadis jelek! AWWW!" ♡♡♡Natalie memang berada di dalam elemennya. Wanita cantik itu duduk di sebuah kursi rotan, di hadapan bunga-bunga bermekaran, pada dua musim semi selanjutnya. Ruangan di sekelilingnya besar, memiliki sirkulasi udara yang sangat baik, dan berbatasan langsung dengan halaman belakang. Sebuah kebun, penuh tanah berumput, yang sudah jarang ada di properti milik pribadi di Paris.Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sembari tersenyum. Ini adalah aroma favoritnya sepanjang masa. Perpaduan lavendel, mawar, dan wisteria yang wangi semerbak bercampur menjadi satu di udara."Kau seharusnya menambahkan wisteria di acara pernikahanmu," kata seseorang yang datang dari belakangnya.Tanpa berbalik pun, Natalie sudah terlalu mengenal suara itu. "Menurutmu begitu, Madame Vernoux?"Seorang wanita pemilik kedai bunga terkenal di Paris ini, Madame Vernoux, mengambil tempat duduk di samping Natalie. Natalie adalah pelanggan favoritnya. Tak perlu mengatakan apa pun, tetapi Madame Vernoux selalu mengabaikan
"Ya. Ya … berhasil dengan pujian. Sempurna. Kau benar-benar nakal, Mon Amour." Dietrich masih terengah-engah. Namun, kejantanannya terasa menyembul sekali lagi. Menekan perut Natalie yang duduk di pangkuannya.Sial.Dietrich akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sang presdir tampan kini sepenuhnya menanggapi rayuan Natalie. Tangannya menelusup di balik piyama wanita cantik itu, menyentuh punggungnya yang halus.Bibir Natalie menuruni rahang Dietrich ... mengecap aroma di lehernya lalu, beralih sedikit ke belakang telinga lelaki itu—yang kini Natalie tahu, menjadi titik dimana Dietrich takkan bisa menolaknya. Natalie menjilat belakang telinga Dietrich yang seketika membuat lenguhan pria tampan itu keluar tertahan.Dietrich membenarkan posisi duduknya. Tangannya turun ... beralih menyibak bagian bawah piyama Natalie. Menjamah paha sang istri hingga membangkitkan sensasi geli yang menyenangkan.Dietrich menyentuh bagian lembap diantara kedua kaki Natalie. Wanita cantik itu benar-benar ti
Awalnya, Natalie merasa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. Berbagai macam ketakutan menyeruak di dalam hatinya. Bagaimana jika keluarga Toussaint menolaknya? Bagaimana jika mereka merasa terhina dengan apa yang telah dilakukannya? Namun, rupanya itu semua tidak terjadi.Natalie selalu diterima dengan tangan terbuka. Sejak dulu pun begitu. Semua orang bersikap baik padanya—bahkan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Satu-satunya hal yang dapat dikeluhkan oleh Nat adalah pekerjaan suaminya.Well, masa bulan madu memang sudah berakhir, tapi bukankah terlalu cepat?Dietrich sibuk sekali. Meski tidak pergi ke mana-mana, tetapi lelaki itu selalu mengubur diri dalam pekerjaan. Sudah hampir dua bulan Natalie tinggal di dalam kastil Toussaint. Namun, perempuan itu bahkan lebih sering melihat Nasya dan Tata—serta Catherine, tentu saja—ketimbang suaminya sendiri."Dietrich berada di ruang kerjanya lagi?" Catherine menebak saat melihat raut wajah Natalie yang masam seusai makan malam.
"Tuan Dietrich, Nyonya Natalie ...."Dietrich dan Natalie menoleh di saat yang bersamaan, ketika mereka mendengar Ashley Morgans memanggil. Ketukan sepatu hak tinggi wanita itu bahkan sama sekali tidak terdengar saking kedua sejoli itu melupakan dunia seisinya dan hanya memperhatikan pasangannya.di sisi lain Ashley meringis saat melihat wajah Natalie Casiraghi memerah. Wanita bangsawan yang telah resmi menjadi majikannya setelah menikah dengan Dietrich itu terlihat malu dan penuh penyesalan."Ah, begini. Tuan Axel Senior memanggil saya untuk beberapa urusan pekerjaan di Brussel. Saya rasa ...." Ashley menunjuk Natalie dan Dietrich yang sudah dalam pose setengah berpelukan itu, lalu melanjutkan, "Saya rasa jasa saya sudah tidak dibutuhkan di sini. Bukan begitu?"Dietrich tersenyum dan mengangguk. "Paman Axel memanggilmu? Wah, kau benar-benar wanita yang sangat sibuk, Ash. Baiklah. Tentu saja kau boleh pergi. Aku akan segera mengirim hadiah ke nomor rekeningmu."Ashley Morgans mengangg
Natalie terkesiap kasar. Matanya mulai berair, tetapi pipinya bersemburat merah jambu.Dietrich tadi hampir menyemburkan tawa. Hampir. Beruntung, pria tampan itu dapat membekap mulutnya sendiri tepat waktu. Wah, wah. Ini benar-benar pertunjukan menarik. Seumur hidup, Dietrich belum pernah melihat Natalie mengamuk.Oh, jangan salah. Amukannya sungguh dahsyat—sampai semua orang di ruangan yang sama menahan napas. Namun, entah mengapa, di mata Dietrich, Natalie terlihat ... menggemaskan.Dan manis.Mon Dieu. Sekarang rona merah yang merayapi wajah hingga leher dan dada perempuan itu tampak terlalu menggiurkan untuk ditampik."Tentu saja tidak ...." Natalie menjawab dengan suara bergetar."Apakah kau tidak ingin aku menikah dengan Ashley Morgans?" Dietrich bertanya lagi.Natalie mulai menangis. "Itu ... urusanmu! Terserah padamu ingin menikah dengan siapa."Dietrich menggeram tidak puas. "Jadi, kau baik-baik saja mendengar aku akan menikah dengan orang lain? Come on. Setidaknya jujurlah p
Natalie cukup terkejut bagaimana berita-berita mencengangkan yang mengguncang dirinya hingga ke inti, belakangan ini tidak membuatnya langsung pingsan di tempat."Tunggu. Tunggu dulu. Kau akan ... menikah dengan Ashley?" Natalie mendelik tak percaya. "Ashley Morgans?"Dietrich melirik Ashley yang tampak kaku, serta gelisah, di tempatnya berdiri lalu mengembalikan perhatiannya pada Natalie. "Apakah ada yang salah dengan Ashley? Menurutmu ... ada yang kurang dari dia?"Natalie menelan ludah, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak. Tentu saja bukan itu maksudku. Ash, aku tidak bermaksud apa-apa. Jangan salah paham. Aku ...."Natalie memutuskan untuk mengatur napasnya dulu sebentar, sebelum ia merasa semakin pusing dan agak tersengal. Wanita cantik itu kemudian mendongak dengan pandangan menantang pada Dietrich. Kebencian terpancar jelas di matanya."Kita bahkan belum resmi bercerai. Tapi, bisa-bisanya kau—" Natalie memejamkan mata dan menggigit bibir. Suara yang dihasilkan selanjutnya terdeng