Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.
Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas. Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut. "Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk bicara, pasti bukan hal yang sederhana. Dietrich tidak membenci pamannya. Berkebalikan dengan itu, Dietrich mungkin justru adalah yang paling mengerti tindakan dan keputusan paman Axel selama ini—di saat bahkan Axel Junior pun tidak mau menerima kata-kata ayahnya sendiri. Jadi, Dietrich cenderung menghadapi Paman Axel dengan ketenangan yang sama. Itulah yang membuat paman Axel dan kakek Auguste menjulukinya bermental baja. Dietrich hanya tidak tahu bahwa malam ini ketenangannya akan diuji habis-habisan. "Stéphie mengeluh padaku bahwa putrinya tak kunjung mendapatkan pelamar." Paman Axel memulai. "Aku dengan senang hati akan menjodohkan putraku sendiri, tapi kau kan tahu Axel sudah menikah." "Dan Natalie sudah menunjukkan minat pada Axel Junior sejak lama, tetapi Axel tidak tertarik." Dietrich membenarkan. Paman Axel Senior tertawa bangga. "Semua orang menginginkan putraku. Sayang sekali aku hanya punya satu putra, bukan begitu?" Dietrich tersenyum lalu duduk di sofa sembari menggoyangkan gelas scotch. "Jadi, apa maksud kedatangan Paman? Paman ingin menjodohkan Natalie ... denganku?" Paman Axel Senior memandang Dietrich lama. "Di mana kau menyimpan cap kepala keluarga? Aku butuh izinmu karena, well, bagaimana pun, posisi itu adalah milikmu sekarang. Aku ingin stempel resmi. Toussaint akan mendapatkan putri kerajaan Monako sebagai anggota keluarga kali ini. Aku tidak akan membiarkan Natalie Casiraghi lepas dari genggaman keluarga ini." "Ada di sini, Paman." Dietrich menunjuk saku celananya. "Aku selalu membawa capku ke mana pun untuk menghindari seseorang yang ... ingin menggunakannya tanpa izin." Tatapan Paman Axel menjadi dingin selama beberapa detik, sebelum lelaki paruh baya itu tertawa. "Tentu saja tidak. Itu sebabnya aku menunggumu pulang. Segala sesuatunya bisa kita bicarakan dan kau selalu mengambil keputusan yang tepat selama ini. Tidak ada gunanya melakukan hal-hal tanpa izinmu." Dietrich menunggu Paman Axel menghampirinya, duduk dengannya di sofa, kemudian menyodorkan proposal resmi Toussaint untuk melakukan pendekatan dengan Natalie Casiraghi dari kerajaan Monako. "Capnya, Dietrich." Paman Axel mengingatkan. Dietrich menghela napas lalu menyerahkan stempel keluarga ke tangan pamannya. Belum sempat Dietrich mengedip, Paman Axel sudah membubuhkan cap itu di atas kertas. ... Yang ketika Dietrich membaca ulang sekali lagi, rupanya tidak ada namanya tertera di sana. Hanya ada nama Natalie dan … Julien Toussaint. ♡♡♡ Dietrich lumayan terguncang. Wajahnya memucat dan dahinya mengernyit. Kernyitannya begitu dalam, sehingga Paman Axel mulai bertanya bingung. "Apa yang terjadi, Dietrich? Ada yang salah?" Tidak. Seharusnya tidak ada yang salah. Semuanya benar, bukan begitu? Menjodohkan Natalie dengan salah satu pria dalam keluarga Toussaint, siapa pun orangnya, memang terasa benar. Kedua keluarga sama-sama mendapatkan keuntungan—yang mungkin dapat dikatakan setimpal—dari penyatuan itu. Namun, mengapa semuanya terasa salah? Dietrich menelan ludah dan berdiri. "Berikan capku kembali, Paman." Paman Axel Senior mengulurkan stempel kepala keluarga dengan nama Dietrich yang terukir di sana, lalu mengangkat sebelah alis dengan gaya menantang. "Mengapa kau tampak ... kesal? Kau punya alasan untuk tidak menyetujui ini?" Dietrich mendengkus. "Tidak." Paman Axel Senior menunggu. Dietrich berusaha menormalkan ekspresi wajahnya dan berpikir dengan jernih. Oh, ya. Dia butuh berpikir dengan jernih. Lelaki itu menyesap alkoholnya sedikit, kemudian memejamkan mata. Memiliki salah seorang anggota keluarga kerajaan dalam keluarga jelas menguntungkan. Secara pribadi melepaskan tanggung jawab atas satu lagi adik perempuan, seharusnya terasa melegakan. Dibandingkan lelaki lain, Julien juga tidak termasuk yang terlalu berengsek. Di antara semua sepupunya, Dietrich bahkan paling menyukai sifat humoris Julien. Pria yang satu itu sudah pasti dapat membuat Natalie tertawa. Kehidupan rumah tangga mereka seharusnya akan baik-baik saja. Dietrich tidak percaya cinta. Namun, dia menginginkan pernikahan yang baik bagi adik-adiknya. Catherine, di satu sisi, telah menemukan tambatan hatinya pada Vladimir Alexandrov, seorang mafia Rusia. Dibandingkan dengan suami Kat, Julien jelas pilihan yang jauh lebih aman untuk Natalie. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang dengan didikan penuh martabat, sudah mengenal sejak kecil, dan yang paling penting ... tidak membenci satu sama lain. Pernikahan antar bangsawan tidak menyuguhkan banyak pilihan. Menemukan sedikit persahabatan dan dapat menghargai satu sama lain dalam sebuah perkawinan saja sudah cukup. "Mereka akan menikah dengan baik." Paman Axel Toussaint berkata, seolah dapat membaca pikiran Dietrich dengan jelas. "Dan kau ... tidak memiliki tanggung jawab apa pun pada Natalie Casiraghi. Dia bukan adikmu." Dietrich terdiam selama beberapa saat. Kemudian, mengerjap. Kenyataan itu, semua orang juga tahu. Akan tetapi, saat ini dirinya merasa sedang tertampar fakta. Ya, benar. Persetan dengan semua ini. Natalie bahkan bukan adik kandungnya. Lantas untuk apa Dietrich repot-repot memikirkan kebahagiaan mahligai pernikahan gadis itu? "Kau tampak lelah, Di." Paman Axel berkata lagi karena Dietrich betah sekali berdiam diri. "Masuklah ke kamarmu dan beristirahatlah." Lantas, Dietrich membungkuk sedikit dan mengucap salam, "Selamat malam, Paman." Paman Axel mengangguk. "Selamat malam." Pun Dietrich menyeret kakinya untuk pergi dari sana—sebelum tangannya tergoda untuk merebut kertas sialan dalam genggaman Paman Axel, kemudian meremas kertas itu hingga membentuk bola, lalu melemparkannya tanpa ampun ke perapian. ♡♡♡Natalie memang berada di dalam elemennya. Wanita cantik itu duduk di sebuah kursi rotan, di hadapan bunga-bunga bermekaran, pada dua musim semi selanjutnya. Ruangan di sekelilingnya besar, memiliki sirkulasi udara yang sangat baik, dan berbatasan langsung dengan halaman belakang. Sebuah kebun, penuh tanah berumput, yang sudah jarang ada di properti milik pribadi di Paris.Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sembari tersenyum. Ini adalah aroma favoritnya sepanjang masa. Perpaduan lavendel, mawar, dan wisteria yang wangi semerbak bercampur menjadi satu di udara."Kau seharusnya menambahkan wisteria di acara pernikahanmu," kata seseorang yang datang dari belakangnya.Tanpa berbalik pun, Natalie sudah terlalu mengenal suara itu. "Menurutmu begitu, Madame Vernoux?"Seorang wanita pemilik kedai bunga terkenal di Paris ini, Madame Vernoux, mengambil tempat duduk di samping Natalie. Natalie adalah pelanggan favoritnya. Tak perlu mengatakan apa pun, tetapi Madame Vernoux selalu mengabaikan
"Ya. Ya … berhasil dengan pujian. Sempurna. Kau benar-benar nakal, Mon Amour." Dietrich masih terengah-engah. Namun, kejantanannya terasa menyembul sekali lagi. Menekan perut Natalie yang duduk di pangkuannya.Sial.Dietrich akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sang presdir tampan kini sepenuhnya menanggapi rayuan Natalie. Tangannya menelusup di balik piyama wanita cantik itu, menyentuh punggungnya yang halus.Bibir Natalie menuruni rahang Dietrich ... mengecap aroma di lehernya lalu, beralih sedikit ke belakang telinga lelaki itu—yang kini Natalie tahu, menjadi titik dimana Dietrich takkan bisa menolaknya. Natalie menjilat belakang telinga Dietrich yang seketika membuat lenguhan pria tampan itu keluar tertahan.Dietrich membenarkan posisi duduknya. Tangannya turun ... beralih menyibak bagian bawah piyama Natalie. Menjamah paha sang istri hingga membangkitkan sensasi geli yang menyenangkan.Dietrich menyentuh bagian lembap diantara kedua kaki Natalie. Wanita cantik itu benar-benar ti
Awalnya, Natalie merasa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. Berbagai macam ketakutan menyeruak di dalam hatinya. Bagaimana jika keluarga Toussaint menolaknya? Bagaimana jika mereka merasa terhina dengan apa yang telah dilakukannya? Namun, rupanya itu semua tidak terjadi.Natalie selalu diterima dengan tangan terbuka. Sejak dulu pun begitu. Semua orang bersikap baik padanya—bahkan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Satu-satunya hal yang dapat dikeluhkan oleh Nat adalah pekerjaan suaminya.Well, masa bulan madu memang sudah berakhir, tapi bukankah terlalu cepat?Dietrich sibuk sekali. Meski tidak pergi ke mana-mana, tetapi lelaki itu selalu mengubur diri dalam pekerjaan. Sudah hampir dua bulan Natalie tinggal di dalam kastil Toussaint. Namun, perempuan itu bahkan lebih sering melihat Nasya dan Tata—serta Catherine, tentu saja—ketimbang suaminya sendiri."Dietrich berada di ruang kerjanya lagi?" Catherine menebak saat melihat raut wajah Natalie yang masam seusai makan malam.
"Tuan Dietrich, Nyonya Natalie ...."Dietrich dan Natalie menoleh di saat yang bersamaan, ketika mereka mendengar Ashley Morgans memanggil. Ketukan sepatu hak tinggi wanita itu bahkan sama sekali tidak terdengar saking kedua sejoli itu melupakan dunia seisinya dan hanya memperhatikan pasangannya.di sisi lain Ashley meringis saat melihat wajah Natalie Casiraghi memerah. Wanita bangsawan yang telah resmi menjadi majikannya setelah menikah dengan Dietrich itu terlihat malu dan penuh penyesalan."Ah, begini. Tuan Axel Senior memanggil saya untuk beberapa urusan pekerjaan di Brussel. Saya rasa ...." Ashley menunjuk Natalie dan Dietrich yang sudah dalam pose setengah berpelukan itu, lalu melanjutkan, "Saya rasa jasa saya sudah tidak dibutuhkan di sini. Bukan begitu?"Dietrich tersenyum dan mengangguk. "Paman Axel memanggilmu? Wah, kau benar-benar wanita yang sangat sibuk, Ash. Baiklah. Tentu saja kau boleh pergi. Aku akan segera mengirim hadiah ke nomor rekeningmu."Ashley Morgans mengangg
Natalie terkesiap kasar. Matanya mulai berair, tetapi pipinya bersemburat merah jambu.Dietrich tadi hampir menyemburkan tawa. Hampir. Beruntung, pria tampan itu dapat membekap mulutnya sendiri tepat waktu. Wah, wah. Ini benar-benar pertunjukan menarik. Seumur hidup, Dietrich belum pernah melihat Natalie mengamuk.Oh, jangan salah. Amukannya sungguh dahsyat—sampai semua orang di ruangan yang sama menahan napas. Namun, entah mengapa, di mata Dietrich, Natalie terlihat ... menggemaskan.Dan manis.Mon Dieu. Sekarang rona merah yang merayapi wajah hingga leher dan dada perempuan itu tampak terlalu menggiurkan untuk ditampik."Tentu saja tidak ...." Natalie menjawab dengan suara bergetar."Apakah kau tidak ingin aku menikah dengan Ashley Morgans?" Dietrich bertanya lagi.Natalie mulai menangis. "Itu ... urusanmu! Terserah padamu ingin menikah dengan siapa."Dietrich menggeram tidak puas. "Jadi, kau baik-baik saja mendengar aku akan menikah dengan orang lain? Come on. Setidaknya jujurlah p
Natalie cukup terkejut bagaimana berita-berita mencengangkan yang mengguncang dirinya hingga ke inti, belakangan ini tidak membuatnya langsung pingsan di tempat."Tunggu. Tunggu dulu. Kau akan ... menikah dengan Ashley?" Natalie mendelik tak percaya. "Ashley Morgans?"Dietrich melirik Ashley yang tampak kaku, serta gelisah, di tempatnya berdiri lalu mengembalikan perhatiannya pada Natalie. "Apakah ada yang salah dengan Ashley? Menurutmu ... ada yang kurang dari dia?"Natalie menelan ludah, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak. Tentu saja bukan itu maksudku. Ash, aku tidak bermaksud apa-apa. Jangan salah paham. Aku ...."Natalie memutuskan untuk mengatur napasnya dulu sebentar, sebelum ia merasa semakin pusing dan agak tersengal. Wanita cantik itu kemudian mendongak dengan pandangan menantang pada Dietrich. Kebencian terpancar jelas di matanya."Kita bahkan belum resmi bercerai. Tapi, bisa-bisanya kau—" Natalie memejamkan mata dan menggigit bibir. Suara yang dihasilkan selanjutnya terdeng