Venina menatap wajah Erlangga dengan penuh keberanian, tetapi dalam tatapan matanya terdapat getir yang tak terbendung. “Mau sejauh apa pun hubungan kita, Mas tidak akan pernah berniat menikahi saya, kan?” desisnya, suaranya penuh dengan kekecewaan yang terpendam.
Erlangga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Saya sedang berusaha untuk meyakinkan orang tua saya tentang hubungan kita, Nina,” jawabnya, tetapi bahkan dia sendiri merasa keraguan yang menyelimuti setiap kata yang diucapkannya.
Venina hanya tersenyum masam. Dia tahu bahwa tanpa restu orang tua, hubungan mereka tidak akan pernah berkembang. Dan dalam hatinya, dia mulai kehilangan harapan. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dengan latar belakang dan ekspektasi yang tidak pernah bertemu. Dia menyadari bahwa langit dan bumi mungkin lebih dekat untuk be
Kali ini, Erlangga menepati ucapannya. Hampir setiap Minggu dia datang ke rumah Nina. Tidak peduli bagaimana penolakan dan masamnya wajah Nadia, dia tetap tidak menyerah."Ibu tidak mau melihatnya lagi, Nina. Untuk apa kamu bawa dia ke sini?" ujarnya dengan nada yang tajam, memancarkan ketidaksetujuan yang mendalam saat Erlangga tiba-tiba datang ke rumahnya.Venina, terdiam dan serba salah, mencoba menjelaskan kehadiran Erlangga. "Bukan Nina yang memintanya, Bu. Tapi Mas Angga sendiri yang mau datang," jawabnya dengan ragu."Dia tahu kamu sudah memilih Rio, kan?" desak Nadia dengan nada tajam yang tak terbantahkan.Venina mengangguk perlahan, menghela napas dalam-dalam. "Sudah, Bu. Tapi Mas Angga bilang dia belum mau menyerah. Dia akan memperjuangkan Nina."
Sudah dua hari Venina memulai kembali pekerjaannya sebagai sekretaris Erlangga. Dia berusaha keras untuk menjaga profesionalisme dan menekan perasaannya yang terpendam. Tetapi, setiap kali dia berada di dekat atasannya itu, gelisah dalam dirinya semakin terasa. Seperti sekarang ini, ketika Erlangga memintanya untuk mengantarkan berkas yang tertinggal ke salah satu restoran. Venina merasa kekesalan menyelinap di dalam dirinya. Entah mengapa, permintaan pria itu selalu membuatnya merasa gelisah dan tak nyaman."Saya tidak akan kembali lagi ke kantor, Nina. Jadi, tolong antarkan berkas itu sekarang juga," suara Erlangga terdengar tenang di seberang telepon, namun pesan yang disampaikannya membuat Venina merasa kesal."Dan nanti ongkos taxi mu akan saya ganti," tambahnya lagi sebelum menutup panggilan dengan singkat.Venina menghela napas berat. Dia merasa terganggu dengan permintaan Erlangga, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa menolak.Setelah beberapa saat, Venina berada di sudu
Rio menatap Venina dengan lembut. Hatinya terusik melihat kegelisahan yang terpancar jelas dari wajah wanita yang dicintainya. Di bawah sinar lampu temaram, dia melihat ketidaknyamanan yang terus menghantui wanita itu."Ada apa, Nina? Kenapa akhir-akhir ini kamu kelihatan gelisah sekali?" tanya Rio dengan lembut, tatapannya penuh perhatian seperti biasa.Venina menatap ke bawah, merasa berat untuk mengungkapkan rasa takutnya. "Apa dia masih terus mengganggumu?" Rio bertanya lagi dengan hati-hati, memberikan ruang bagi wanita itu untuk berbagi tanpa tekanan.Venina menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara gemetar, "Aku takut, Rio." Suaranya penuh dengan ketidakpastian yang mengganggu pikirannya."Apa yang membuatmu takut?" tanya Rio, suaranya penuh ke
Selama beberapa minggu, Venina terus memikirkan lamaran Rio. Setiap malam, dia merenung tentang pilihan yang harus diambil.Dan Rio benar-benar tidak mendesaknya. Dia memberikan ruang dan waktu untuk Venina memutuskan tanpa tekanan.Pengertian dan kesabaran pria itulah yang menggugah hati Venina. Dan perlahan, dia merasa semakin yakin dengan keputusan yang harus diambil.Suatu malam, Venina menghubungi Rio. "Bawa aku ke pantai, Rio," katanya singkat namun penuh makna.Rio tidak membuatnya menunggu lama. Keesokan harinya, dia sudah berdiri di depan rumah Venina dengan senyum hangat di wajahnya. "Sudah siap pergi bersamaku, Nina?" tanyanya dengan penuh perhatian, menyiratkan kesediaannya untuk mengikuti langkah Venina, apapun itu.
Venina menunggu hasil tes kehamilan dengan perasaan campur aduk. Jantungnya berdegup kencang, seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya. "Negatif... Negatif... Negatif!" harap Venina dalam hatinya, nyaris seperti mantra yang dia ulangi tanpa henti. Namun, ketakutan yang mengintai di sudut hatinya terus membayangi."Nggak mungkin... Ini nggak mungkin!" gumamnya sambil menggelengkan kepalanya dengan kuat seolah ingin menepis kenyataan yang ada di depannya. Matanya tak lepas dari beberapa alat tes kehamilan yang kini menampilkan hasil yang sama—positif. Garis-garis itu menghantui pikirannya, mengunci setiap harapan yang tersisa.Venina merasa dunianya runtuh. Dia tahu siapa ayah dari janin yang kini tumbuh dalam rahimnya. Anak itu pasti anak Erlangga. Karena dia belum pernah berhubungan dengan pria lain sel
Setelah mendengar ketulusan dari kata-kata Rio, akhirnya Venina tidak dapat menahan kegelisahannya lagi. Perasaan yang bercampur aduk di hatinya mendorongnya untuk mengunjungi seorang dokter kandungan.Ketika pintu ruang konsultasi terbuka, Venina disambut oleh sorot tajam dari Dokter Prapti. Wajahnya yang serius dan tatapannya yang tajam seolah memperlihatkan bahwa dia tahu apa yang terjadi sebelum Venina bahkan mengucapkannya."Kenapa?" tanya Dokter Prapti, suaranya terdengar tegas, membuat Venina bergidik. "Belum siap punya anak?"Venina tergagap, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawab. "Saya... Saya belum menikah, Dok," jawabnya gemetar.Dokter Prapti mengangkat alisnya, tatapannya menyelidiki. "Ayah dari bayi ini tidak mau bertanggung jawab?" Su
Venina melangkah masuk ke ruang kerja Erlangga dengan langkah yang tergesa-gesa. Matanya berusaha menyembunyikan kecemasan yang menghantui pikirannya. Tapi, begitu dia berdiri di depan meja Erlangga, tatapan dinginnya langsung melesat ke arahnya."Terlambat lagi?" Erlangga menyampaikan kalimatnya dengan nada yang menusuk."Maaf, Pak, saya...." Venina mencoba untuk meminta maaf, tetapi ucapannya terpotong ketika Erlangga menyela dengan cepat, tanpa memberikannya kesempatan untuk menjelaskan."Saya ada pertemuan sebentar lagi. Lebih baik kamu bersiap-siap," potong Erlangga tanpa menoleh lagi. Nada suaranya dingin dan tanpa kompromi, menambah beban yang sudah menekan bahu Venina.Venina hanya bisa mengangguk pasrah, berbalik untuk keluar dari ruangan. Namun, seruan Erlangga yang tiba-tiba membuatnya terhenti di tempatnya."Jangan pikir karena semua yang terjadi di antara kita... Kamu jadi bisa terus bertingkah seenaknya seperti ini, Nina!" serunya den
Kecurigaan dalam diri Erlangga terhadap Venina tumbuh semakin besar, seperti serangkaian kabut tebal yang menyelimuti pikirannya. Setiap gerak dan tingkah lakunya Venina menjadi bahan pertimbangan yang membuatnya semakin gelisah.Duduk di ruang kerjanya yang megah, Erlangga mendengarkan laporan dari Regi, orang yang dipekerjakannya untuk mengawasi Venina. Suara telepon yang bergema di ruangan itu memecah keheningan yang tegang."Sejauh ini tidak ada yang beliau lakukan setelah pulang bekerja, Pak," kata Regi dengan nada yang serius. "Beliau jarang sekali pergi keluar."Erlangga menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum mengambil keputusan selanjutnya. "Terus awasi dia dan juga pria itu," perintah Erlangga dengan tegas sebelum menutup sambungan teleponnya.