Aston mencari bunga mawar merah, bunga favorite Gina. Tujuannya, ingin membujuk kekasihnya itu. Aston sudah sangat paham dengan sifat kekasihnya itu. Dengan diberikan bunga mawar saja, ia akan memaafkan Aston.
Kembali mencintai dan memaafkan semua kesalahan Aston.
Aston sudah menunggu Gina tepat diluar Toko. Menggenggam beberapa tangkai bunga mawar merah yang dibalut susunan bucket. Senyum tampan pria itu telah terpancar, bahkan matanya tak henti menatap dalam Toko.
Gina dan Alya telah selesai dari pekerjaan lelah mereka, jam juga sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Gina telah bersiap untuk segera pulang, meski hatinya masih diliputi kesedihan mengingat perlakuan Aston. Gina tampak menyemangati dirinya sendiri meski sebenarnya ia pun mengalami masa sulit.
Aston memang tipe pria urakan.
Mereka berdua keluar dari Toko, Alya tetap menyemangati dengan senyuman. Sesekali membahas suatu hal terkait pekerjaan mereka sehingga mereka begitu menikmati pembicaraan ringan tersebut.
"Gina ...."
Gina tercenung.
Melihat itu, Alya membuang wajah. Pemandangan memuakan baginya bahkan ia jujur tidak setuju dengan Aston sampai kapanpun. Ia tampak mengembuskan napas, lalu tanpa permisi atau mengungkapkan apapun lagi ia langsung pergi meninggalkan Gina dan Aston.
"Kekasihku," ujar Aston sambil tersenyum.
"Aston, kamu ...."
Belum sempat Gina melanjutkan ucapannya, bibirnya langsung diserobot Aston. Pria itu mencium bibir Gina selembut mungkin, memberi sebuah bentuk kasih sayang dan juga permintaan maaf karena kesalahan yang terjadi pagi tadi.
Gina tidak bisa menolak ketika Aston semakin melumat bibirnya dengan rakus, ia memainkan lidahnya masih mencium Gina dengan napsu luar biasa.
Ciuman pun terhenti, setelah Gina merasakan napasnya mulai tersengal dan bibirnya membengkak karena kecupan hangat dari kekasihnya tersebut. Napas Gina tampak terengah-engah.
"Maafkan aku," ucap Aston serak.
"Hanya aku kekasihmu bukan?" tanya Gina ikut serak.
Betapa cinta ia pada Aston, sehingga ia tidak dapat membuka hati bahkan seolah tidak mampu melihat jika Aston sudah berkhianat padanya. Bertengkar, dan dengan mudah Aston meminta maaf mereka kembali berbaikan lagi.
Semudah itu.
"Kamu kekasihku, calon istri masa depanku dan Ibu dari anakku kelak," jawab Aston mengecup kening Gina hangat.
"Aku sangat mencintaimu, Aston," jawab Gina memeluk pria itu.
"Baiklah, bagaimana kalau kita kerumahku saja?" tawar Aston.
"Kerumah?" tanya Gina mengulang.
"Mama sedang tidak dirumah. Kamu bebas kerumah," balas Aston memasang senyum licik.
"Kamu serius?" tanya Gina merasa enggan.
"Ya, sayang."
"Ayo?" ajak Aston lagi.
Setelah memikirkan waktu yang cukup panjang, akhirnya Gina mengangguk.
"Baiklah, kita kerumah kamu saja As," ujar Gina.
Mereka pun pergi berlalu dari Toko roti tempat ia bekerja. Menaiki sepeda motor, akhirnya mereka sampai di kediamanan milik Aston. Jika teringat rumah Aston ia akan mengingat perbuatan buruk pria itu tadi pagi.
Berita yang masih hangat, namun sekejab kilat Gina memaafkan Aston.
Aston benar, tidak ada Tante Fitri dirumah. Hanya ada mereka berdua saja, ia daratkan tubuhnya duduk di sofa sambil matanya menatap sekeliling ruangan. Tampak hening dan terdengar dentangan jam dinding yang terus bergeser terus menerus.
Aston pun duduk, ia genggam tangan Gina dengan leluasa. "Gina, wanita yang kamu lihat itu hanya wanita panggilan saja. Dia memaksaku untuk melakukannya, aku sudah berusaha menolaknya."
Gina masih diam, ia mendengarkan pria itu mengungkapkan segala alasannya. Memang dalam hal rayu merayu serta meyakinkan seorang wanita Aston-lah paling handal bahkan siapapun akan jatuh kedekapnnya.
Pesona wajah tampan, rayuan salah satu membuat Gina selalu luluh.
"Aku ambilin minum, mau?" tawar Aston.
"Eh, tidak—Aston. Aku bisa mengambilnya sendiri kok," tolak Gina bernada lembut.
Keadaan yang mencekam, membuat mereka semakin sulit mengungkapkan apapun lagi.
Aston mendekatkan wajahnya, ia cium lembut bibir Gina hingga berakhir sebuah lumatan yang nikmat. Mencecap ciuman hangat itu, Gina mulai terbawa suasana. Kemudian, Aston menuju leher ia cium sambil mengembuskan napas berat. Erangan kecil mereka mulai saling bertautan, sesak dan menggairahkan.
Ia kecup sekujur aset yang berada di area wajah Gina, seolah ia tidak mau terlewatkan satupun aspek tubuh Gina terlewati.
"Gin, bagaimana kalau sekarang aku menyentuhmu seutuhnya? agar kamu menjadi milkku, dan aku akan menjadi milikmu seutuhnya?" Aston membujuk dengan nada suara parau.
"As, bagaimana kalau aku hamil nanti?" tanya Gina takut.
"Aku akan bertanggung jawab, aku akan menikah dengan kamu."
Gina menatap sendu wajah Aston, apakah ia akan merelakan kesucian yang telah ia jaga selama 20 tahun lamanya? mempercayakan Aston? Gina begitu bingung antara mengiyakan ataupun menolak. Jika ia menolak, pasti Aston akan marah bahkan yang akan menjadi taruhannya adalah kisah cinta mereka telah terajut selama 3 tahun lamanya.
Akan membiarkan begitu saja? tidak. Gina tidak akan bisa hidup tanpa Aston.
Dengan segala pertimbangan mengkelebut di pikirannya, menguras isi hati begitu gelisah akhirnya Gina memantapkan hatinya untuk mengiyakan dan merelakan kesuciannya.
Gina mengangguk. "Baiklah, bisakah kamu berjanji untuk selalu ada untukku?" tanya Gina begitu polos.
Aston bersemangat, ia cium kembali bibir Gina dan memagut semakin rakus seakan tidak ingin meninggalkan satupun cecapan setiap rasa yang ada dibibir Gina. Aston remat buah dada Gina, ia bernaung diceruk leher Gina. Mulai terbuai dalam sentuhan Aston, erangan kecil terlontar menahan perasaan membuncah karena kenikmatan.
Ia membuka tiap helai pakaian Gina, serta celana jeans telah terlepas dari tubuh mungilnya. Aston menatap jelas ketika tubuh yang ia dambakan sejak lama, pada akhirnya menjadi miliknya utuh malam ini.
Aston melepaskan pengait bra yang masih melekat, perlahan dan melonggar sehingga menampilkan buah dada Gina yang tampak tegak dan mengeras. Ujung berwarna kecokelatan masih merekah membangkitkan gairah Aston.
Ia kungkung, dan mengisap membuat Gina seketika menjerit kecil menahan betapa sentuhan Aston begitu membuat ia uringan ingin merasakan kenikmatan yang sesungguhnya.
Dalaman berwarna hitam itu berhasil terlucuti, terlihat jelas seluruh tubuh Gina tanpa sehelai benangpun menutupi. Debaran jantung Gina semakin menjadi, tatkala Aston telah melepaskan seluruh pakaiannya.
Ia dapat melihat milik Aston tampak menegang, baru kali ini ia melihat secara nyata.
"Apakah itu menyakitkan?" tanya Gina serak.
"Untuk awal, namun terasa nikmat jika terusan kita lakukan."
Gina menyerahkan semuanya juga merelakan kesucian hanya untuk Aston Nugraha seorang.
Aston menimpa tubuh Gina, ia dapat merasakan milik Aston yang sudah sangat mengeras tergesek diantara paha Gina. Pria itu kembali memagut bibir Gina, memberikan sentuhan sambil mengarahkan miliknya untuk bersatu.
Percobaan pertama, meleset.
Percobaan kedua, Aston setengah berjongkok mencoba kembali mengarahkan miliknya dan ia memaksa masuk.
"Ah!" teriak Gina spontan.
Aston berhasil memasukinya, Aston dapat melihat cucuran darah tanda keperawanan Gina telah terenggut oleh Aston. Ia bangga juga merasa pria paling beruntung pada akhirnya mendapatkan kesucian Gina Syakilla pada akhirnya.
"Rilex sayang, terima aku," ucap Aston serak dan menikmati.
Ritme pun berlangsung dengan lembat, cepat, sedikit cepat hingga hentakan memaksa masuk terusan. Nikmat tidak tertandingi, mampu menghangatkan tubuh mereka berdua. Gina mulai menikmati, sentuhan demi sentuhan Aston.
Gina telah memberikan segalanya untuk Aston. Ia melakukan itu karena besar perasaan cintanya pada Aston. Gina meyakinkan diri, bahwa tidak akan ada yang bisa memisahkan mereka karena Aston adalah miliknya dan Gina adalah milik Aston.
Cinta Gina yang berlebihan membuat ia merelakannya.
Bersambung...
Semenjak percintaannya dengan Aston, ia semakin memantapkan hatinya hanya untuk Aston seorang. Hari-hari Gina begitu berwarna semenjak ia menyerahkan kesuciannya dengan Aston, pria itu semakin perhatian.Tidak sekali itu saja, mereka rutin melakukan hubungan suami istri itu meski mereka belum menikah. Gina menikmati, Aston juga merasakan hal yang sama. Bercinta dengan Gina adalah suatu hal yang menyenangkan, tidak terlebih pada Gina juga.Tidak memerdulikan apapun lagi, ia tetap mengiyakan apapun yang diinginkan Aston. Ia merasakan hatinya semakin berwarna, menggebu-gebu dan selalu merindukan Aston.Pagi sekali ia telah bangun, shift mereka telah ditetapkan pagi hari. Ia membiasakan dirinya untuk bangun pagi sekali agar tidak terlambat sampai Toko Roti. Namun, belum sempat ia melakukan aktivitas mandi ia merasakan gejolak perutnya kian menjadi ia mual dan terasa pusing sekali.Ia pijit keningnya, mualnya sem
"Cepat katakan!" tegas Aston."Kita harus berbicara empat mata, As," balas Gina masih terkatung."Apa begitu penting?" tanya Aston sinis.Gina menarik napas panjang, hatinya seakan terobek sulit mengungkapkan namun harus terpaksa mengatakan kebenaran yang sebenarnya.Aston menarik keras tangan Gina, teman Aston hanya melihat aneh sambil berbisik tidak tertarik. Mereka kini berada disebuah tempat sedikit sepi."Aston, kau menarik tanganku keras!" tukas Gina merasa pergelangan tangannya sakit.Aston melepaskan cengkraman erat tangannya, ia tampak menggertakan gigi dengan geram menatap Gina seakan ia adalah tumbal sasaran empuknya yang siap dimakan."Cepat, katakan!"Gina berusaha untuk tetap kuat, ia tidak bisa menutupi jika dirinya begitu kalut bahkan tidak tahu harus berbuat apalagi sekarang."Aku, hamil."
Pernikahan digelar.Apakah pernikahan itu membuat ia merasa bahagia juga bangga? tentu saja ia merasa banyak tanda tanya. Salah satunya, dari menyewa kebaya pengantin padahal mereka keluarga terpandang namun kembali lagi Gina harus menelan rasa pahit itu.Ia tidak membangkang, ia terima dengan lapang hati.Impiannya sejak dulu bersama Aston kini terkabulkan, dalam kenyataan menyakitkan juga keadaan yang penuh luka. Ketika ia berharap Aston akan melindungi atau sekadar memberikan ia kebahagiaan malah tangisan dan rasa perih ia dapatkan.Pernikahan tanpa resepsi, hanya pernikahan sekadar berlangsung dirmahu namun membuat ia setidaknya mendapat status.Alya memilih tidak menghadiri, ia sejak awal sudah mengatakan tidak akan pernah setuju atas pernikahan mereka. Menolak keras Aston juga menentang pernikahan mereka namun Gina tetap kekeh mempertahankannya.Hati Gina?
Bandara Soekarno-Hatta, pesawat kelas bisnis telah mendarat dengan sempurna.Sosok tangan kekar, guratan halus di area tangan terlihat jelas. Ia menundukan kepalanya dengan elegan menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Bibir memerah tanda tidak mengisap rokok terlihat jelas.Penampilan begitu memesona dan yang lebih tepat, ia sangat tampan maksimal sehingga seisi pesawat tidak menghentikan pandangan dari pria tinggi, rahang tegas menunjukan kekuasaan sebagai pria terhormat dan mapan.Tatapan begitu memukau, siapa yang tidak langsung terpesona? apalagi jika sudah melihat manik matanya yang mencolok berwarna biru.Ya, pria tampan itu ialah Revan Alexander Djayaningrat, memiliki tinggi 180 cm, rambut sedikit keemasan membuat ia semakin terlihat sexy.Revan berusia 30 tahun, meski idak lagi dikatakan muda namun wajahnya awet bak formalin dan digilai semua wanita termasuk nega
Revan tak henti menatap kecantikan Vero sepanjang mereka berjalan menuju Toko Roti, Vero bercerita panjang lebar pada Revan."Konsep apa untuk pertunangan kita nanti?" tanya Vero sumringah."Sederhana saja," jawab Revan."Baiklah, aku memiliki langganan tempat kue. Kita akan kesana, lalu ke butik untuk pakaian yang akan aku kenakan.""Baiklah, sesuai yang kamu mau saja sayang ...," balas Revan.Vero tersenyum dan bersikap manja, Revan pun menyetir dengan kecepatan standartd.Akhirnya mereka sampai tepat di depan Toko Roti tersebut. Vero menatap dengan mata binar, bangga ia akan memesan kue ditempat langganannya apalagi sudah cukup lama tidak kemari sehingga ia merindukan kedua wanita yang sudah menjadi temannya."Nah, itu dia."Revan mengangguk, "Baiklah, kamu lebih dulu masuk. Aku akan memarkirkan mobil," perintah Revan lembut.
Malam pun menyambut, malam gelap itu membuat Gina semakin menggelap. Ia menunggu sang suami dengan perasaan hitam. Ia sudah tahu jika Aston tidak akan pernah mau datang menemuinya, ia saja yang terlalu percaya diri besar untuk berharap Aston-mencintainya.Aston pria keras, sampai kapanpun ia tidak akan mau meluluhkan hatinya termasuk menjemout atau sekadar memberikan perhatian lebih pada Gina."Menunggu Aston?" tanya Alya tidak berselera, sambil memasang jacketnya bergegas pulang."Iya, Al ... aku menunggu Aston menjemputku.""Dia bilang mau jemput kamu?"Tumben."Nggak, aku hanya berharap dia datang menjemputku. Itu saja," jawab Gina sekenanya."Gina?!" panggil seorang pria dibelakang mereka.Gina dan Alya kompak melirik, setelah melihat sosok siapa yang datang Alya membuang wajahnya. Sampai kapanpun, ia tidak akan menyukai semua sifat Aston, ia me
Bisakah ia sejenak dengan pria bermata biru ini?"Mari kubantu," tawar Revan.Revan membantunya berdiri, ia dapat merasakan wewangian tubuh Revan menguar di hidungnya. Sentuhan itu terasa membuat Gina semu juga merasakan sesuatu hal berbeda sedang tersentuh disekujur tubuhnya."M-maaf Pak!? Maaf jika aku membuat Bapak merasa terancam.""Nggak apa, kamu baik saja?" Revan masih membantu Gina.Revan membantunya duduk di kursi luar Toko roti, Gina mengelus perutnya smabil meringis menahan sakit."Dia suamimu?" tanya Revan pelan.Gina terdiam sejenak lalu mengangguk mengiyakan, "Ya, dia suamiku."Revan mengangguk paham, tanpa sengaja ia memperhatikan ada darah dari sudut bibir Gina. Ia terlihat sangat tenang menanggapi namun terlihat meremang karena ingin mengobati luka itu."Ada darah di sudut bibirmu, apa kau ti
Pertunangan Revan dan Vero.Sesuai yang mereka rencanakan, Revan dan Vero melangsungkan pertunangan mereka hari ini. Malam yang dipenuhi terang bulan bahkan terlihat bintang gemerlap begitu indah. Para tamu undangan dari berbagai pengusaha telah berdatangan untuk menyaksikan langsung pertunangan Revan dan Vero yang tergolong dari keluarga sama-sama mapan.Pertunangan mereka memang terkesan sederhana, betapa bahagia menyelimuti Vero hingga ia selalu menebarkan senyum kepada setia tamu menyalamnya.Pertunangan mereka pun terlaksana, tawa bahagia dari berbagai kalangan begitu menyemarakan mereka. Revan mencium kilat bibir Vero tanda mereka resmi bertunangan setelah bertukar cincin emas putih. Tak hentinya Vero memandangi cincin berlapis swarovki yang kini melekat di jemari tangannya.Bangga dan terharu pada akhirnya Revan meminangnya untuk menjadi teman hidup.Di kejauhan tapi tetap