Semenjak percintaannya dengan Aston, ia semakin memantapkan hatinya hanya untuk Aston seorang. Hari-hari Gina begitu berwarna semenjak ia menyerahkan kesuciannya dengan Aston, pria itu semakin perhatian.
Tidak sekali itu saja, mereka rutin melakukan hubungan suami istri itu meski mereka belum menikah. Gina menikmati, Aston juga merasakan hal yang sama. Bercinta dengan Gina adalah suatu hal yang menyenangkan, tidak terlebih pada Gina juga.
Tidak memerdulikan apapun lagi, ia tetap mengiyakan apapun yang diinginkan Aston. Ia merasakan hatinya semakin berwarna, menggebu-gebu dan selalu merindukan Aston.
Pagi sekali ia telah bangun, shift mereka telah ditetapkan pagi hari. Ia membiasakan dirinya untuk bangun pagi sekali agar tidak terlambat sampai Toko Roti. Namun, belum sempat ia melakukan aktivitas mandi ia merasakan gejolak perutnya kian menjadi ia mual dan terasa pusing sekali.
Ia pijit keningnya, mualnya semakin menjadi ia berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan segala isi perutnya padahal belum terisi makanan sedikitpun. rasa pusing itu kian menjadi bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Gina lemas.
Ia memaksakan, mencoba melupakan rasa mual juga pusingnya. Bergegas mandi segera berangkat bekerja seperti biasa.
Melakukan aktivitas beres-beres di Toko, ia mulai merasakan pusing kepalanya kian menjadi. Gina menghentikan sejenak karena matanya mulai berkunang dan tidak fokus untuk melanjutkan pekerjaannya.
"Gina, kau kenapa?" tanya Alya memerhatikan Gina.
Gina segera menoleh dan menggeleng, "Al, enggak. Aku nggak apa-apa kok."
"Wajah kamu pucat."
"Mungkin aku kurang istirahat," kilah Gina.
"Kau yakin?" tanya Alya lagi.
"Hanya pusing sedikit, itu saja."
Alya merasakan hal berbeda dari Gina, sulit ia tebak namun ia sangat ingin tahu apa yang terjadi dengan wanita yang sudah menjadi sahabat dekatnya beberapa tahun terakhir ini. Tidak ada rahasia dari mereka.
"Kau ingin menceritakan sesuatu denganku?" tanya Alya masih berusaha.
Gina terlihat gugup, matanya tampak nanar namun masih betah bungkam.
"Nggak apa, aku baik saja."
"Bagaimana hubunganmu dengan Aston?" tanya Alya mengintimidasi.
Entah Alya merasa ada yang janggal dari hubungan mereka, namun ia masih mencoba mengoreknya.
"Kau ingin jujur denganku?" Alya berusaha.
"Aku dan Aston? kami baik saja, tidak ada pertengkaran diantara kami."
"Tapi, jika selama sebulanan ini aku melihat kau bukan Gina seperti biasanya, kau kebanyakan melamun bahkan kau terlihat memendam kesakitan sendiri. Ayolah, Gina, katakan padaku apa yang terjadi?"
"Jika yang kulihat dari tingkahmu, kau seperti—"
Deg!
Gina langsung tertegun. Dengan cepat pikirannya langsung terisi dengan pikiran negative tersebut. Apa Alya mengetahuinya? apakah ini tanda-tanda jika ia?
Oh, Tuhan.
Tidak!
Tidak mungkin, Gina dengan cepat membuyarkannya. Ia meyakinkan diri, setidaknya memastikan saja dulu. Ia menatap Alya dengan kaku.
"Alya, aku meminta izin pulang lebih cepat ya hari ini?!" pintanya memelas.
"Gina, ayolah, katakan apa yang terjadi sebenarnya?" Alya mulai tidak tenang.
"Aku tidak bisa mengungkapkan saat ini, tapi kumohon biarkan aku pulang lebih awal Al, please?!" ucapan Gina lirih.
"Aku merasa tubuhku panas dingin, aku sedang tidak enak badan."
Alya akhirnya menyerah. Ia tidak mungkin menahan Gina, sementara kondisinya sedang tidak baik saja. Ia sakit, butuh istirahat.
"Baiklah, oke, kau boleh pulang lebih awal. Tapi, kumohon Gina katakan apapun yang terjadi denganmu. Ya?!" mohon Alya.
Gina mengangguk, matanya terlihat menyimpan rasa perih dan bibirnya terlihat terkatup tidak teratur. Ia menunjukan jika saat ini ia mengalami masa pahit dan juga sulit meski masih betah bungkam.
Setelah mendapatkan izin, Gina langsung menuju apotik dekat dengan kontrakannya. Rasanya ia sulit menelan salivanya, ia menatap ragu dan ia harus memberanikan diri, agar semuanya jelas.
Perasaan Gina berat melangkah memasuki Apotik tersebut. Namun, ia masih berusaha agar semua rasa cemas, tidak tenangnya sirna. Semoga prediksi itu salah, ia pun melangkah takut menuju sang pelayan Apotik.
"Cari apa mba?" tanya pelayan Apotik.
"Eh, aku mencari alat test kehamilan," balas Gina pelan nyaris tidak terdengar.
"Oh, testpeck? Mba, mau berapa banyak dan untuk kualitas mau yang bagaimana? biasa atau bagusan?" tanyanya lagi.
"Eh?" Gina tidak mengerti.
"Iya, biasanya jika memang lagi mencoba atau menebak beli bagusan biar lebih akurat hasilnya."
"Atau jika memang tidak begitu memerlukan kualitas, beli yang biasa saja," jelas pelayan ramah.
"Baiklah, aku beli yang biasa saja."
"Berapa banyak?"
"Tiga saja," jawab Gina asal.
"Oke, baiklah Mba tunggu sebentar."
Gina mengangguk, ia meremati tangannya sambil ketakutan. Ia berharap jika semuanya tidaklah benar, semua hanya pikirannya saja.
"Ini Mba," serah pelayan itu tiga buah testpect.
Gina menatap takut alat itu, alat kecil yang mampu mengoyakan semua perasaan takut juga cemas. Ia memberikan uang lalu mengambil testpack tersebut. Berjalan tergopoh menuju kontrakannya.
Ia menjatuhkan air matanya, jika ia memang hamil?
Ya Tuhan, ia tidak bisa membayangkan jika pada akhirnya ia akan menjadi ibu muda di usia yang masih terbilang muda.
Gina pun mengikuti sesuai petunjuk alat test kehamilan itu, sembari menunggu hasil setelah ia mencelupkan alat ke wadah yang telah ia pegang sedari tadi. Gina merasakan tangan mulai gemetar, dan jantungnya berdetak tidak karuan.
Napasnya sulit ia keluarkan.
Setelah menunggu beberapa menit, ia menatap alat itu perlahan dan tanda garis itu. Ia menjatuhkan wadah itu, air matanya jatuh bercucuran merasakan perih hati. Dua garis merah di alat test itu begitu jelas sekarang.
Bahkan, ia sudah mencoba ketiga alat testpacknya dan hasil tetap sama. Ia positif hamil, spontan ia menyentuh perut yang masih rata itu. Menangis sesunggukan, tidak berdaya dan ia tidak tahu harus apa sekarang.
Ia bukan tidak mau menikah dengan Aston namun mengingat tante Fitri yang tidak merestui mereka. Bahkan, ia teramat membenci Gina mengingat status mereka yang tidak sepadan ditambah Gina adalah anak yatim piatu miskin.
Terisak, tersedu semuanya telah terjadi. Ia tidak dapat memutar kembali waktu, ia akan menjalaninya siap ataupun tidak.
Ia hamil anak Aston Nugraha, dalam kandungannya adalah darah daging Aston. Ia harus pergi menemui Aston meminta pertanggungjawabannya.
Semua ini memang salahnya, mengiyakan apapun yang diminta Aston hingga ia hamil. Gina menangis perih, terduduk di sudut pintu kamar mandi merenungi nasibnya yang menyakitkan.
Tubuhnya gemetar, meyakinkan diri untuk segera mengatakan pada Aston. Ia harus memberitahukan, pria itu harus bertanggung jawab atas kehamilannya.
Dengan keberanian penuh, Gina menghapus air mata dan bersiap menemui Aston.
Gerimis pun menghadang, namun Gina tidak perduli ia hanya ingin bertemu Aston meski cuaca tidak begitu bersahabat. Akhirnya ia sampai tempat Aston biasa menghabiskan waktu bersama temannya.
Apalagi sekarang?
Aston sedang mencumbu wanita asing lagi, terlihat ia begitu bergairah bersama wanita itu. Gina tidak mengenalnya, namun cumbuan itu semakin membuat Gina hancur. Ini bukan pertama yang ia lihat Aston bersama wanita asing, ia sudah sangat kebal atas perbuatan buruk Aston.
"Aston?!" panggil Gina lirih.
Aston menghentikan cumbuannya, menatap Gina sarkas.
"Ada apa? apa kau tidak punya pekerjaan lain selain membuntutiku terusan?!" jawabnya sarkas.
"Kita harus berbicara!" tegas Gina menahan linangan air mata.
"Tentang apa?"
"Hubungan kita," jawab Gina bergetar.
Aston mengembuskan napas, Gina ingin memutuskannya?
"Apakah ini begitu penting?" tanya Aston lagi.
"Ya, tentang masa depan kita."
Aston tampak mengepalkan tangannya, merasa muak dengan Gina.
Bersambung...
Di perusahaan cabang di Indonesia, Revan tengah mengetuk pena di meja kerja dengan terletak jelas cetakan jabatan CEO perusahaan yang ia geluti sejak lama. Menunduk memikirkan suatu hal. Ya, masa waktu Revan di negara ini akan segera berakhir. Tidak terasa sebentar lagi, ia akan kembali ke New York tapi kali ini tidak pulang sendiri atau bersama Vero tapi bersama dengan Gina. Wanita berbeda dari yang ia nyatakan di hati kecil dahulu.Setelah menjalani beberapa meeting, Revan memilih kembali ke rumah. Ingin bertemu Gina, masih belum menemukan waktu yang tepat.Sembari menyetiir, Revan memikirkan bagaimana perkataan yang pantas ia katakan nanti pada Vero. Sesampai di rumah, ia menuju pantry meneguk beberapa tegukan air putih dan menetralkan pikiran berkecamuk. Ia meletak kasar gelas tersebut, ia meremat rambut sehingga teracak serta kegelisahan mulai menyerang perlahan."Tumben siangan begini sudah pulang kamu," ucap Alline mengagetkan Revan.Revan menoleh sejenak wajah Alline yang mas
Pagi ini Revan menikmati sarapan pagi, tapi setelah berpikiran semalaman kalau Gina bersentuhan lagi dengan Aston-suaminya. Jujur, ia marah dan tidak rela demi apa pun membiarkan Gina berpaling darinya.Ia sudah menekankan di hati, Gina akan tetap menjadi milik Revan utuh. Tidak akan membiarkan kesakitan dihati wanita yang begitu ia cintai tersebut.Bayang-bayang percintaan panas mneyeruak dalam pikiran Revan, sentuhan yang ia berikan membuat Gina ikhlas lahir batin bahkan tidak ada kata menyesal atau mara ia ungkapkan entah karena menikmati atau sentuhan seperti inilah yang ia inginkan sesungguhnya.Revan sudah berjanji pada hati kecil, kalau Gina akan tetap menjadi wanita terbahagia. Ia sudah bertekat untuk menjalani perlahan hingga waktu tiba membawa Gina sejauh-jauhnya dari Aston. Pria iu sudah menyiakan Gina yang seharusnya ia hujani dengan penuh cinta."Ehem-- pikirin apaan? Bengong begitu, kosong pandangan." Alline nyeletuk.Revan
Vero yang merasa hidupnya hancur berkeping tak berhenti menangis pilu, tadi itu? Ia merasa kebahagiaan itu hanya miliknya sejenak tidak selamanya. Beginikah hasil ketika mengetahui sang tunangan tak lagi mencintai sepenuh hati?Tidak bisa ia bayangkan jika ia dan Revan harus berpisah.Baru kemarin mereka bahagia, bertunangan dan kini pria berstatus tunangannya harus merenggang menyakitkan. Tanpa ia sadari, sang ibu menyadari kesedihan Vero yang tampak menutupi kalau hati sedang kalut.Sebagai ibu yang paham tentang keadaan Vero, ia berdiri di ambang pintu dan menyaksikan bagaimana Vero menahan sedih tapi ingin mencuatkan semua. Ia mencoba membaur, tersenyum kecil."Begadang sayang?" Anita memasuki kamar."Eh, Mama--" Vero langsung mengusap air mata secepat mungkin.Mencatut wajah sang putri dari cermin, ia mengusap punggug Vero. Ia yakin, melalui sentuhan ini ia sedang memberi koneksi Vero agar mengatakan tentang isi hati sebenar
Revan menggertakkan gigi, masih di lokasi tempat Gina dan Aston tengah berbincang seolah tidak menyadari kehadirannya. Tidak akan tinggal diam, padahal tadi dia sudah sangat gempar ingin membuat Gina mempercayai dan membawa wanita ia cintai tersebut jauh dari jangkauan orang.Baiklah, kalau memang Gina dan Aston menginginkan persaingan di mulai dengan senang hati Revan menerima dan sangat siap untuk menyerang secara halus. Segala perbuatan merebut tidak harus terangan terlihat.Hati-hati tapi mematikan.Bila perlu mematikan secara perlahan hingga ke jantung. Ia mengalah malam ini, tapi tidak dengan hari berikutnya. Akan ia balas, Revan pun menghidupkan mesin mobil dan memundurkan perlahan.Dencitan demi dencitan terdengar nyaring, ia sedikit kasar sambil membunyikkan gas-rem beberapa kali memberitahu kalau ia siap menyerang.Ia pergi meninggalkan lokasi, menjauh dari Gina beberapa saat. Gina tau, mobil yang baru saja pergi tersebut milik
Gina menatap dengan pandangan tak berkedip sedikit pun. Mulutnya tengah terkatup setelah menyadari kalau Aston-suaminya yang memanggil."Istriku?!" Aston tersenyum bak pria iblis sedang memenangkan kehadiran."K-kau sedang apa?"Aston mengernyit, "Hubungan kita kurang baik belakangan ini, kenapa kau seperti tidak menyukai kehadiranku? Kau tergganggu?"Gina menarik napas, tatapan merah nanar. Menggeleng gelisah karena sulit mengatakan apa pun saat ini. Bukankah seharusnya bertemu Revan malam ini?Ke mana pria tersebut?"B-bukan, aku hanya kaget kau hampir tidak pernah laggi menjemputku. Hanya merasa bingung dan kaget.""Gina sayang, aku tau ... aku melakukan banyak kesalahan padamu. Aku juga ingin membuatmu tetap nyaman.""Maksud ucapanmu?""Eh, begini, aku sedang menunggumu pulang. Aku sudah menantikan jam pulangmu. Tapi, aku berkeliling dahulu tadi ke kota."Tubuh Gina mulai gemetar, apa yang baru saja Aston katakan? Ia masih tidak percaya kalau su
Vero benar-benar kalut kalau saja memang Revan memiliki wanita lain selainGina menyusun rapi roti yang baru masuk, ia tersenyum penuh raut wajah tersungging memesona. Tampilan yang memperlihatkan kalau ia akan baik saja. Mencintai Revan tanpa siapa pun yang tau. Tidak. Alya mengetahui dan apa saja tentang Gina.Revan akhirnya sampai di Toko Roti, memendarkan pandangannya dan menatap Gina dengan lembut. Seulas senyum tercetak menawan dari pahatan wajah Revan. Embusan napas tertoreh elegan dari bibir sensualnya."Hai," sapanya.Gina menoleh, susah payah menelan saliva. Ia menatap lama wajah tampan dilapisi kulit legam eksotis. Dia memang pria bule yang khas.Gina Syakilla menatap Revan sambil meletakkan kue yang hendak ia susun."Revan, kau sedang apa? K-kenapa?" Gina sedikit gugup."Bertemu denganmu," jawab Revan.Alya yang menatap mereka syok, hanya bisa termangu dan tidak menyangka kalau Revan mulai terangan b
Revan meraih kemeja putihnya, ia mengenakan ke tubuh sempurna yang banyak digilai para wanita. Ia tahu, jika tubuhnya banyak diidamkan kaum hawa termasuk Gina. Ia telah merasakan betapa nikmat ia dalam kungkungan pria tersebut.Ia ingin memutuskan bertemu Gina, ia ingin menunjukkan sikap kalau ia juga berhak memberikan perhatian terhadap Gina. Ia sisir dengan rapi rambutnya ke belakang. Ia tersenyum pulas sambil menyemprotkan cologne. Reavn begitu memukau, bak sedang ingin menyatakan cinta pada wanita yang begitu ia cintai.Revan memang bukanlah tipikal pria yang sukanya mengumbar pesona di hadapan banyak wanita. Sekali ia mencintai, ia akan mencintai satu orang wanita tanpa memikirkan syarat apa untuk sekadar mencintainya saja. Revan memiliki kelembutan luar biasa, ia akan senang membantu kaum wanita yang tertindas.Kecuali dengan Gina, ia memang membantu tapi ia jatuh cinta.Ah!
Gina tampak menunduk setelah percakapannya dengan Vero. Kini ia menatap kosong area dapur tempat melaksanakan makan siang bergantian dengan Alya.Hati kecilnya seolah terkikis ingin marah pada kenyataan, tapi ia memikirkan ia pun pantas mendapatkan yang sudah menjadi impiannya sejak sekian lama. Perasaan yang telah lama tersakiti, telah diberi warna oleh Revan.Pria yang sudah memberikannya banyak warna.Alya tampak membawa bekal, ia memang sudah terbiasa selalu membawa bekal ke Toko. Ia menatap Gina yang tengah melamunkan entah apa. Ia terlihat gelisah, mengembuskan napas kelelahan yang tidak berhenti.Alya tahu perasaannya."Gina," panggilnya menyentuh pundak lembut."Eh ... Alya, apa kau tidak memiliki pelanggan di depan?""Lagi kosong."Alya memberesi bekalnya, Gina hanya menatap dengan tatapan kosong.&nbs
Semenjak pengakuan Gina kemarin, Alya masih tidak menyangka bahkan perasaan mereka semakin gugup juga sulit mengungkapkan hal apapun lagi. Alya menatap Gina ragu namun ia tidak bisa menyalahkan Gina karena ia memang pantas diberi perhatian oleh pria asing.Sangat disayangkan, jika pria itu sudah dimiliki orang lain tak lain pelanggan yang mereka anggap kakak. Sulit mengartikan namun inilah kenyataan hidup yang harus Gina jalani."Gina, Re—""Gina? Alya?" Vero menyapa.Deg!Belum sempat Gina menyebut nama Revan, Vero telah hadir di antara mereka. Melihat Vero rasanya ia tidak memiliki kuasa untuk mengucapkan tentang Revan lagi, ia menatap Alya berharap merahasiakan hal ini."Hey, apa yang terjadi dengan kalian? Kalian tampak menegang sekali," ucap Vero dengan senyum tipis.Alya mempertunjukkan wajah menyimpan perasaan kaku, menegang