Share

Bab 4. Dua Garis Merah

Semenjak percintaannya dengan Aston, ia semakin memantapkan hatinya hanya untuk Aston seorang. Hari-hari Gina begitu berwarna semenjak ia menyerahkan kesuciannya dengan Aston, pria itu semakin perhatian.

Tidak sekali itu saja, mereka rutin melakukan hubungan suami istri itu meski mereka belum menikah. Gina menikmati, Aston juga merasakan hal yang sama. Bercinta dengan Gina adalah suatu hal yang menyenangkan, tidak terlebih pada Gina juga.

Tidak memerdulikan apapun lagi, ia tetap mengiyakan apapun yang diinginkan Aston. Ia merasakan hatinya semakin berwarna, menggebu-gebu dan selalu merindukan Aston.

Pagi sekali ia telah bangun, shift mereka telah ditetapkan pagi hari. Ia membiasakan dirinya untuk bangun pagi sekali agar tidak terlambat sampai Toko Roti. Namun, belum sempat ia melakukan aktivitas mandi ia merasakan gejolak perutnya kian menjadi ia mual dan terasa pusing sekali.

Ia pijit keningnya, mualnya semakin menjadi ia berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan segala isi perutnya padahal belum terisi makanan sedikitpun. rasa pusing itu kian menjadi bahkan tidak tahu harus berbuat apa.

Gina lemas.

Ia memaksakan, mencoba melupakan rasa mual juga pusingnya. Bergegas mandi segera berangkat bekerja seperti biasa.

Melakukan aktivitas beres-beres di Toko, ia mulai merasakan pusing kepalanya kian menjadi. Gina menghentikan sejenak karena matanya mulai berkunang dan tidak fokus untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Gina, kau kenapa?" tanya Alya memerhatikan Gina.

Gina segera menoleh dan menggeleng, "Al, enggak. Aku nggak apa-apa kok."

"Wajah kamu pucat."

"Mungkin aku kurang istirahat," kilah Gina.

"Kau yakin?" tanya Alya lagi.

"Hanya pusing sedikit, itu saja."

Alya merasakan hal berbeda dari Gina, sulit ia tebak namun ia sangat ingin tahu apa yang terjadi dengan wanita yang sudah menjadi sahabat dekatnya beberapa tahun terakhir ini. Tidak ada rahasia dari mereka.

"Kau ingin menceritakan sesuatu denganku?" tanya Alya masih berusaha.

Gina terlihat gugup, matanya tampak nanar namun masih betah bungkam.

"Nggak apa, aku baik saja."

"Bagaimana hubunganmu dengan Aston?" tanya Alya mengintimidasi.

Entah Alya merasa ada yang janggal dari hubungan mereka, namun ia masih mencoba mengoreknya.

"Kau ingin jujur denganku?" Alya berusaha.

"Aku dan Aston? kami baik saja, tidak ada pertengkaran diantara kami."

"Tapi, jika selama sebulanan ini aku melihat kau bukan Gina seperti biasanya, kau kebanyakan melamun bahkan kau terlihat memendam kesakitan sendiri. Ayolah, Gina, katakan padaku apa yang terjadi?"

"Jika yang kulihat dari tingkahmu, kau seperti—"

Deg!

Gina langsung tertegun. Dengan cepat pikirannya langsung terisi dengan pikiran negative tersebut. Apa Alya mengetahuinya? apakah ini tanda-tanda jika ia?

Oh, Tuhan.

Tidak!

Tidak mungkin, Gina dengan cepat membuyarkannya. Ia meyakinkan diri, setidaknya memastikan saja dulu. Ia menatap Alya dengan kaku.

"Alya, aku meminta izin pulang lebih cepat ya hari ini?!" pintanya memelas.

"Gina, ayolah, katakan apa yang terjadi sebenarnya?" Alya mulai tidak tenang.

"Aku tidak bisa mengungkapkan saat ini, tapi kumohon biarkan aku pulang lebih awal Al, please?!" ucapan Gina lirih.

"Aku merasa tubuhku panas dingin, aku sedang tidak enak badan."

Alya akhirnya menyerah. Ia tidak mungkin menahan Gina, sementara kondisinya sedang tidak baik saja. Ia sakit, butuh istirahat.

"Baiklah, oke, kau boleh pulang lebih awal. Tapi, kumohon Gina katakan apapun yang terjadi denganmu. Ya?!" mohon Alya.

Gina mengangguk, matanya terlihat menyimpan rasa perih dan bibirnya terlihat terkatup tidak teratur. Ia menunjukan jika saat ini ia mengalami masa pahit dan juga sulit meski masih betah bungkam.

Setelah mendapatkan izin, Gina langsung menuju apotik dekat dengan kontrakannya. Rasanya ia sulit menelan salivanya, ia menatap ragu dan ia harus memberanikan diri, agar semuanya jelas.

Perasaan Gina berat melangkah memasuki Apotik tersebut. Namun, ia masih berusaha agar semua rasa cemas, tidak tenangnya sirna. Semoga prediksi itu salah, ia pun melangkah takut menuju sang pelayan Apotik.

"Cari apa mba?" tanya pelayan Apotik.

"Eh, aku mencari alat test kehamilan," balas Gina pelan nyaris tidak terdengar.

"Oh, testpeck? Mba, mau berapa banyak dan untuk kualitas mau yang bagaimana? biasa atau bagusan?" tanyanya lagi.

"Eh?" Gina tidak mengerti.

"Iya, biasanya jika memang lagi mencoba atau menebak beli bagusan biar lebih akurat hasilnya."

"Atau jika memang tidak begitu memerlukan kualitas, beli yang biasa saja," jelas pelayan ramah.

"Baiklah, aku beli yang biasa saja."

"Berapa banyak?"

"Tiga saja," jawab Gina asal.

"Oke, baiklah Mba tunggu sebentar."

Gina mengangguk, ia meremati tangannya sambil ketakutan. Ia berharap jika semuanya tidaklah benar, semua hanya pikirannya saja.

"Ini Mba," serah pelayan itu tiga buah testpect.

Gina menatap takut alat itu, alat kecil yang mampu mengoyakan semua perasaan takut juga cemas. Ia memberikan uang lalu mengambil testpack tersebut. Berjalan tergopoh menuju kontrakannya.

Ia menjatuhkan air matanya, jika ia memang hamil?

Ya Tuhan, ia tidak bisa membayangkan jika pada akhirnya ia akan menjadi ibu muda di usia yang masih terbilang muda.

Gina pun mengikuti sesuai petunjuk alat test kehamilan itu, sembari menunggu hasil setelah ia mencelupkan alat ke wadah yang telah ia pegang sedari tadi. Gina merasakan tangan mulai gemetar, dan jantungnya berdetak tidak karuan.

Napasnya sulit ia keluarkan.

Setelah menunggu beberapa menit, ia menatap alat itu perlahan dan tanda garis itu. Ia menjatuhkan wadah itu, air matanya jatuh bercucuran merasakan perih hati. Dua garis merah di alat test itu begitu jelas sekarang.

Bahkan, ia sudah mencoba ketiga alat testpacknya dan hasil tetap sama. Ia positif hamil, spontan ia menyentuh perut yang masih rata itu. Menangis sesunggukan, tidak berdaya dan ia tidak tahu harus apa sekarang.

Ia bukan tidak mau menikah dengan Aston namun mengingat tante Fitri yang tidak merestui mereka. Bahkan, ia teramat membenci Gina mengingat status mereka yang tidak sepadan ditambah Gina adalah anak yatim piatu miskin.

Terisak, tersedu semuanya telah terjadi. Ia tidak dapat memutar kembali waktu, ia akan menjalaninya siap ataupun tidak.

Ia hamil anak Aston Nugraha, dalam kandungannya adalah darah daging Aston. Ia harus pergi menemui Aston meminta pertanggungjawabannya.

Semua ini memang salahnya, mengiyakan apapun yang diminta Aston hingga ia hamil. Gina menangis perih, terduduk di sudut pintu kamar mandi merenungi nasibnya yang menyakitkan.

Tubuhnya gemetar, meyakinkan diri untuk segera mengatakan pada Aston. Ia harus memberitahukan, pria itu harus bertanggung jawab atas kehamilannya.

Dengan keberanian penuh, Gina menghapus air mata dan bersiap menemui Aston.

Gerimis pun menghadang, namun Gina tidak perduli ia hanya ingin bertemu Aston meski cuaca tidak begitu bersahabat. Akhirnya ia sampai tempat Aston biasa menghabiskan waktu bersama temannya.

Apalagi sekarang?

Aston sedang mencumbu wanita asing lagi, terlihat ia begitu bergairah bersama wanita itu. Gina tidak mengenalnya, namun cumbuan itu semakin membuat Gina hancur. Ini bukan pertama yang ia lihat Aston bersama wanita asing, ia sudah sangat kebal atas perbuatan buruk Aston.

"Aston?!" panggil Gina lirih.

Aston menghentikan cumbuannya, menatap Gina sarkas.

"Ada apa? apa kau tidak punya pekerjaan lain selain membuntutiku terusan?!" jawabnya sarkas.

"Kita harus berbicara!" tegas Gina menahan linangan air mata.

"Tentang apa?"

"Hubungan kita," jawab Gina bergetar.

Aston mengembuskan napas, Gina ingin memutuskannya?

"Apakah ini begitu penting?" tanya Aston lagi.

"Ya, tentang masa depan kita."

Aston tampak mengepalkan tangannya, merasa muak dengan Gina.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status