Share

Part. 6

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2024-06-27 13:46:46

"Kamu marah?"

Pertanyaan itu meluncur mulus tanpa dosa dari mulut Tuan Stevan, sesaat setelah kami menjejakan kaki keluar resto tanpa makan.

Aku mendelik sinis. "Menurut ngana?"

Kalau saja ada penghargaan untuk lelaki paling menyebalkan di dunia, mungkin Tuan Stevan bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk membawa pulang piala beserta sound sistemnya.

Masa cuma gara-gara debat perkara jengkol. Aku harus pulang dengan keadaan dongkol?

"Jadi, sekarang bagaimana?"

Dih, pake nanya lagi. Situ yang buat, ya situ yang harus bertanggung jawablah setelah bikin baper, eh laper anak orang.

"Au, ah."

Kulihat Tuan Stevan hanya terdiam saat dia berjalan di depan menuju parkiran, sementara aku mengekor di belakang sembari menendang-nendang udara berharap walaupun tak sengaja aku bisa menendang pantatnya.

Entah apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu, aku pun tak tahu dan tak mau tahu sebenarnya. Karena sungguh, rasa lapar ini lebih menyiksa daripada sikap acuh tak acuhnya.

Percayalah, lima bungkus mie instan yang kucemil sejak kemarin, sama sekali tak berpengaruh apa-apa dalam perut yang haus akan nasi ini.

Pokoknya prinsip orang Indonesia itu belum makan nasi, ya belum makan. Tak peduli walaupun udah nyemil emih sedus, roti sekeranjang, atau bakso sebakul.

Mudah-mudahan aku tak ngerusak tubuh indah ini walaupun makan sembarangan dan tidak tahu aturan.

"Sebentar!"

Jdug!

"Kalau mau berhenti ngedadak bilang napa? Lagian itu punggung atau tiang listrik, sih? Keras amat."

Seketika dia berbalik, lalu menatapku aneh.

"Apaan?"

"Kamu beneran laper?"

Yaelah masih aja nanya lu, Bang!

Kagak denger dari tadi, nih perut udah dangdutan?

"Keliatannnya?" jawabku penuh penekanan.

"Sebenarnya aku tak yakin ekspresi apa yang tengah kamu tunjukan itu. Antara lapar dan menahan keinginan buang hajat seperti tak ada bedanya." Dia memicingkan mata, memperhatikanku sembari mengusap dagu yang kebetulan ada belahannya macam dada ayam.

Ya Gusti ... begitu adil Kau ciptakan makhluk di hadapanku ini. Dengan wajah dan akhlak yang begitu sempurna. Iya, sempurna lucnutnya.

"Bang, pernah nyobain digampar pake sendal nggak? Kalau belum, cobain, deh. Rasanya ... ah, mantaf!" Kuacungkan jari telunjuk dengan ekspresi yang dibuat sedramatis mungkin.

Namun, sayang. Jurus andalan sama sekali tak mempan pada Tuan Stevan.

"Belum. Kalau ditampar pake bibir sering," jawabnya begitu santai.

Aku mengerjap. Kehilangan kata.

Berani-beraninya dia bahas kenganuan sama orang yang belum pengalaman, penuh kepolosan, juga lugu kebangetan macam aku.

"Kenapa? Mau nyobain rasanya ditampar pake bibir? Bukan ser--"

"Nggak," potongku cepat. "Makasih." Setelah itu, aku memilih berjalan lebih dulu menuju mobil lalu duduk termenung dengan pikiran yang sudah di awang-awang.

Entah kenapa tiba-tiba aku kepikiran sama ucapannya barusan. Ditampar?pake bibir? Bi tu de bir?

Astagfirullah, sadar Milah!

Ngapa lu jadi ngehalu? Berdosa banget punya otak jarang dikuras.

Lagian definisi dari kata-kata itu juga belum tentu jatohnya ke sana.

"Sebenarnya ini bukan kebiasaanku mengikuti kemauan orang. Tapi karena melihatmu terus diam seperti ini, tak ada yang bisa kulakukan selain membawamu makan. Jadi, rekomendasikan RM Khas Sunda yang enak di mana?"

"Eh."

Setengah terlonjak aku menatap Tuan Stevan yang entah sejak kapan sudah duduk di balik kemudi tanpa disadari.

Sejenak kuusap wajah pelan, lalu memutar tubuh menghadapnya. Mengalirlah list rumah makan sampai warteg yang pernah kusambangi setelah gajian.

"Warung Ceu Edoh, Rumah Makan Sambel Belekok, Resto Idaman Mitoha, Rumah Makan Pulen, Resto Randa Herang, Resto Dud--"

"Stop, cukup! Sejak kapan kamu tahu tempat makan khas Sunda sebanyak itu? Kamu, kan biasa makan masakan Chinese, Western, sama Jepang!"

Sejenak kugaruk kepala, berusaha mencari alasan masuk akal agar Tuan Stevan tak curiga. Akhirnya setelah beberapa detik memikirkan aku menemukannya.

"Milah!" Bahkan hanya dengan mendengar nama ikonik itu bisa kulihat bola mata Tuan Stevan berputar. "Dia yang merekomedasikannya."

"Lagi-lagi si Milah. Sebenarnya seberapa banyak dia mendokrin otakmu, Intan? Lama-lama kamu bisa tertular kampungan kalau terus bergaul dengannya. Kalau dipikir-pikir akhir-akhir ini sikapmu malah mirip dengannya."

Kuelus dada mencoba sabar.

Memang ringan sekali mulutnya menghujat. Seolah semua aura jahat berkumpul dalam satu tempat.

Masih mending bini lu begaul sama gue, Bang. Daripada sama demit penghuni loteng. Entar pas lu ajak ngobrol dia cuma cekikikan. Kan kolor, eh horor.

"Dendam apa, sih kamu sama Milah sampe segitunya benci dia?" pancingku setelah berhasil menahan keinginan untuk kembali melayangkan tamparan.

"Sebenarnya aku bukan membencinya, hanya kadang kesal saja. Setiap kali menatap wajahnya aku jadi ingat bagaimana dia merampas bakwanku saat itu."

Busyet ... perkara bakwan lima biji, sampe lu ungkit-ungit setahunan, Bang. Lagian waktu itu aku bener-bener kelaperan karena habis kecopetan.

Bahkan dominal duit yang dikeluarkan nggak sampe lima rebu, loh. Kok bisa dia dendamnya menggebu-gebu kayak gitu.

"Bakwan? Cuma karena bakwan? Muke lu kek Tekwan, Bang!" sungutku sebal.

"Loh, kok kamu yang marah? Kan kita lagi bahas si Milah."

Arrghhh ....

"Ya udahlah. Jadi makan atau enggak?" bentakku habis kesabaran.

Lama-lama kumakan pula moncong kau, Bang!

"Jadi, kok. Yang dekat dari sini yang mana tadi?" tanyanya santai.

Udah macam psikopat dia tampak mudah sekali mengubah suasana. Seolah apa yang diucapkannya tak berpengaruh pada orang di sekitar.

Fix, sakit nih orang.

"RESTO RANDA HERANG!" cetusku dengan penuh penekanan.

"Oke."

***

Kami sampai di pelataran Resto Khas Sunda yang cukup terkenal di Ibukota. Bisa dilihat deretan mobil dan motor hampir memenuhi parkiran.

Tak heran memang. Karena selain menu yang tersedia lengkap, sambal terasinya paling mantep di sini. Apalagi harganya juga ramah di kantong masyarakat kelas menengah ke bawah sepertiku.

"Kita duduk di bawah?" tanya Tuan Stevan heran saat melihat spot lesehan yang mendominasi tempat ini.

"Yup, udah macam piknik, kan? Oh, iya. Kita duduk deket empang, yuk. Sambil liatin ikan."

Tak menjawab Tuan Stevan hanya mengernyitkan dahi.

"Alah kelamaan."

Tanpa persetujuan, langsung kuseret saja tubuhnya menuju spot yang tersedia di luar ruangan. Menuju salah satu gazebo yang kebetulan berhadapan langsung dengan kolam ikan. Sekelilingnya dipenuhi rindang pohon yang menambah asri tempat ini.

Sepanjang perjalanan bisa kulihat pandangan Tuan Stevan menyisir sekeliling, mengamati, dan meneliti.

"Belum pernah ke tempat kayak gini?" tanyaku setelah kami duduk bersila di dalam gazebo. Tatapan Tuan Stevan masih belum berhenti memperhatikan sekitar.

Dia menggeleng pelan.

"Lebih bagus mana sama resto di hotel tadi?" tambahku sembari menaik-turunkan alis.

"Better-lah." Dia menatapku sembari mengedikkan bahu. "Kuakui selera si Milah cukup oke."

Gotca! Ini yang eneng tunggu dari tadi, Bang. Sebuah pengakuan!

"Ya, selain manis dia juga bisa diandalkan," akuku sembari membusungkan dada.

"Untuk bagian manisnya aku tak setuju!"

Etdah. Masih aja nggak terima lu, Stip.

Saat kami sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Tiba-tiba seorang pramusaji berpakaian batik datang menghampiri sembari tersenyum ramah. Menyodorkan daftar menu yang tak asing di mataku.

"Permisi. Mau pesan apa, Pak, Bu?"

"Kamu dulu!" Sekarang ucapan itu aku lontarkan pada Tuan Stevan yang tampak mengernyitkan dahi menatap selembar kertas berlaminating di hadapannya.

"Samain ajalah," pungkasnya dengan ekspresi yang masih belum berubah. Bingung, mungkin?

"Oke. Kita pesen ...."

Dan mengalirlah pesanan yang semula kulontarkan di resto hotel tadi dengan tambahan satu porsi Gurame terbang.

Tuan Stevan tampak keheranan, dan cuma bisa geleng-geleng pelan.

Sembari menunggu pesanan siap di hidangkan, bisa kulihat sesekali Tuan Stevan memainkan ponselnya. Tak seperti orang sibuk kebanyakan, kuperhatikan lelaki itu tak terlalu sering bermain gadget.

Waktunya lebih banyak digunakan untuk baca buku atau maen sama Nyonya Intan di kamar. Au, ah mereka ngapain di dalam.

"Nih!" Kusodorkan sebungkus pakan ikan yang tersisa setengah ke hadapannya saat pandangan lelaki itu mulai beralih dari ponsel menuju kolam.

"Emangnya boleh?"

Yaelah nih bule bikin gemes.

"Ya, bolehlah. Terus buat apa pakan ikan disimpen di bawah meja? Masa suruh kita cemilin."

Bisa kulihat dia terkekeh, lalu mengambil alih bungkus pakan ikan dari tanganku.

Bentar! Aku nggak salah liat, kan?

Dia senyum, loh.

Ya Allah Gusti. Cakep banget laki orang. Eh.

Pada akhirnya kami kembali hanyut dalam lamunan, sembari melempari sedikit demi sedikit pakan ikan ke kolam. Tampak Ikan-Ikan Mas yang semula berpencar menggerombol ke tempat pakan dilemparkan.

Lagi, aku melihatnya tersenyum kecil memperhatikan ikan-ikan. Saat seperti ini jelas tak kutemukan sosok siluman di dalam dirinya. Dia hanya Stevan, Stevan Alexander.

"Eh?"

Tepat saat aku hanyut dalam lamunan, tangan besarnya tiba-tiba bertengger di atas punggung tanganku. Karena asik melamun aku sampai tak sadar tangan masih berada di dalam bungkusan pakan ikan, dan gerakan refleks yang dilakukan Tuan Stevan itu jelas ketidaksengajan.

Tapi, kenapa efeknya begitu besar untuk jantungku? Apalagi saat dia tiba-tiba mendekat, dan berbisik di samping telinga.

"Kamu tahu kalau aku membencimu, kan? Tapi di satu sisi aku juga lemah karena parasmu. Jadi, tolong berhenti menatap seperti itu seolah kamu juga menginginkanku, Intan."

Aku terpaku, kehilangan kata-kata. Tiba-tiba bulu kudukku meremang, badan gemeteran, dag-dig-dug tanpa alasan.

Pertanda apakah ini?

"Makanannya, Bu, Pak!"

Yap, kalian benar. Itu adalah pertanda kelaperan, bukan kebaperan.

Akhirnya kami beralih pada makanan yang sudah tersaji lengkap di atas meja. Hanya dengan melihatnya saja aku sudah dibuat beberapa kali menelan ludah.

"Pakai tangan?" Pertanyaan itu meluncur dengan polosnya dari mulut Tuan Stevan, sepeninggal sang pramusaji.

"Ya iyalah. Masa pake kaki!" sahutku sewot. Bukan apa-apa. Sumpah sekarang aku udah bener-bener kelaperan.

"Terus ini?" Dia menunjuk air yang ada di dalam mangkuk kecil.

"Itu kobokan, Bang. Buat cuci tangan."

"Jorok. Nggak ada wastafel emangnya?"

Hadeuh ....

Kapan makannya kalau begini terus?

"Ada di belakang. Dah, ah aku mau makan."

Tanpa memedulikannya lagi, bergegas kusantap satu per satu menu dengan lahap. Tuan Stevan terlihat mendengkus sejenak sebelum akhirnya mencelupkan tangan ke dalam mangkuk kobokan dan mulai makan juga.

"Kenapa? Nggak suka?" tanyaku saat melihatnya hanya memasukan beberapa suap nasi tanpa lauk ke dalam mulut.

"Entahlah."

Menghela napas sejenak, kuraih satu buah jengkol goreng, lalu mencolek sambal terasi sedikit dan menyodorkannya ke depan mulut Tuan Stevan.

"Aaaa ...." Kubuka mulut lebar-lebar, berharap dia bersedia mengikuti.

Namun, bukannya membuka mulut, dia justru mengernyitkan dahi.

"Aku nggak suka jengkol, Intan!" protesnya.

"Jangan bilang nggak suka kalau belum nyoba." Sejenak kucolekan sambel terasi di tepi bibirnya, membuat kedua alis tebal itu bertaut. "Buka mulutnya!"

Berhasil. Satu buah jengkol mendarat mulus ke dalam mulut Tuan Stevan.

"Gimana? Enak, kan?"

Dahinya kembali mengernyit.

"Aku tak yakin, tapi rasanya menempel di mulut. Aneh."

"Ya, emang begitu."

Setelah memastikan kalau dia tidak keracunan, aku kembali menyantap  makanan dengan lahap. Entah kenapa suap demi suap makanan gratisan itu terasa lebih nikmat.

"Ngomong-ngomong porsi makan kamu banyak banget udah kayak Kuli. Biasa juga cuma tiga sendok nasi."

"Sengaja. Biar kuat menghadapi kenyataan punya laki kek siluman!"

"Apa?!"

"Nggak jadi."

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 45

    Aku masih mengingat betul hari itu. Hari ketika hidupku berubah dalam sekejap. Intan, majikanku yang dulu kucemburui karena kehidupannya yang sempurna, tiba-tiba bertukar jiwa dengan seseorang sepertiku. Awalnya aku berpikir semua yang terjadi hanyalah sebuah mimpi, mana mungkin pembokat sepertiku bisa menjalani kehidupan sebagai seorang nyonya besar dengan suami setampan Tuan Stevan, ya walaupun kelakuannya rada-rada membagongkan. Seolah masih dalam ingatan saat dia kami berpisah persimpangan jalan. “Kita jalani apa yang sudah ditakdirkan Tuhan,” katanya. “Aku butuh kebebasan, Milah. Dan kamu butuh kesempatan.” Dan begitulah semua takdir kampret ini berjalan. Tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi di waktu mendatang, saat Nyonya Intan yang menghuni tubuh ndesoku tiba-tiba hilang kabar dan aku yang kebingungan dengan tubuh ini yang tiba-tiba serapuh kerupuk kena aer. *** Pagi ini, aku duduk di ruang keluarga dengan segelas kopi di tangan, menatap daftar kegiatan yan

  • Hasrat Terpendam Majikanku   Part. 44

    "Udah dapet kabar tentang Milah? Kok akhir-akhir ini dia susah dihubungin, yak?" Aku bertanya pada Tuan Stevan yang baru saja masuk ke ruang kamar dengan segelas air putih di tangan. Lelaki itu menggeleng pelan, lalu meletakkan gelas tersebut di atas meja di hadapan, kemudian duduk di sampingku dalam sofa panjang berwarna hitam. "Belum. Terakhir dia menghubungi sekitar dua minggu lalu, mengatakan tentang rencana pernikahannya dan Saiful, juga memutuskan mengakhiri kontrak kerja kita." Aku tertegun. Bingung harus melakukan apa. Komunikasi dengan Nyonya Intan benar-benar terputus kini. Waktu semakin mengerucut, hanya tinggal hitungan minggu sampai waktu yang ditentukan. Aku tak menyangka ternyata seratus hari bisa terasa sesingkat ini, apalagi setelah dua minggu terakhir kuhabiskan hanya dengan berbaring di atas ranjang. Setelah tragedi pingsan di resto hari itu. Dokter datang tiap seminggu dua kali sepanjang dua pekan ini. Obat-obatan juga selang infus seolah menjadi konsumsi seha

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Masa Lalu Milah & Stevan

    Emak terdiam. Aku tak tahu apa yang beliau pikirkan saat ini. Tatapannya beralih ke arah lain."Oh, ya udah atuh." Emak meraih remote di atas meja yang kubeli sekitar dua minggu lalu satu set dengan kursi dan rak TV. "Tapi kamu udah pastiin undang mereka nanti, kan?" sambungnya kemudian." .... "Aku tak menjawab. Entah kenapa kalau bertemu dengan tubuhku lagi, aku takut jiwa kita tiba-tiba kembali tertukar di saat belum siap meninggalkan semuanya."Nanti Milah pikirkan lagi, ya, Mak."Bingung harus menjawab apa, aku memilih menghindar. Beranjak untuk masuk ke kamar. Namun, sebelum sempat aku bangkit dari kursi di samping Emak, sebuah cekalan tangan membuat langkahku tertahan."Mil ... kamu teh beneran nggak apa-apa? Dari hari ke hari, kok Emak khawatir. Perasaan kalau dilat-liat kamu makin beda. Mau dibilang kayak anak orang, tapi da kamu emang anak Emak sama Bapak."Aku terdiam. Jujur, bingung harus menjawab apa. Pertanyaan seperti ini sudah sering diajukan Emak, Bapak, Ahmad, bahka

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Tak Ingin Kembali

    "Neng, Milah! Hei, kok ngelamun?"Sebuah tepukan pelan, seketika menarikku dari lamunan masa lampau. Keping demi keping kenangan yang semula datang sekelebatan, tiba-tiba tersusun kembali menjadi satu ingatan yang utuh, hingga mengakibatkan nyeri di ulu hati.Perjalanan hidup selama dua puluh lima tahun yang sering kali orang anggap sebagai kesenangan dunia, nyatanya hanya bisa membuatku merana. Vonis mati yang sudah dokter tetapkan setelah seratus hari, seolah menambah nyeri sakit yang tak terperi.Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah akan keadaan. Dan memilih mengembalikan semuanya pada takdir Tuhan.Di saat aku sudah mulai menyerah akan kehidupan yang kupikir berakhir tanpa tujuan, ternyata sekali lagi Tuhan beri aku kesempatan untuk bertahan. Kesempatan itu datang kala aku meminta suatu kemustahilan dari sisa-sisa harapan setelah krisis kepercayaan. Akhirnya permintaan itu terlontar tanpa sadar di hadapan gadis remaja yang menurutku bisa memandang dunia dari sudut yang berbeda. Si

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Vonis Dokter

    "Kenapa kamu nggak mau kemo?"Berlian bertanya saat kami memulai perjalanan menuju perusahaan Papa yang letaknya tak jauh dari restoran Mama. Jadi, bisa disimpulkan mereka akan ada di satu tempat yang sama saat makan siang seperti ini."Kemo walaupun akurasi kesembuhannya tinggi tapi hal itu menyebabkan beberapa perubahan pada fisikku, Lian. Sekali lagi, sebenarnya aku nggak ingin kalian tahu tentang penyakitku."Berlian terdiam. Sembari memperhatikan jalan di depan sesekali tatapannya beralih padaku."Apa ada cara pengobatan lain?"Kualihkan pandangan ke luar jendela. Menatap hiruk-pikuk kota dengan segala kepadatannya."Ada. Operasi transplantasi sumsum tulang belakang.""Ya, terus kenapa nggak dilakuin?" tanyanya lagi."Selain biayanya milyaran, sangat sulit untuk menemukan jenis pasangan sumsum yang cocok. Mungkin semua akan lebih mudah bila penderita punya kembar--" Sontak aku terdiam ketika mengatakan kalimat itu dengan tanpa sadar.Berlian terbungkam, begitu pun denganku. Beber

  • Hasrat Terpendam Majikanku   PoV Intan : Awal Semuanya

    Setiap orang bisa memilih seperti apa jalan hidupnya. Tapi, jelas tak ada yang bisa memilih seperti apa dan di mana ia ingin dilahirkan.Berlian dan aku lahir dalam keluarga berada dengan kedua orangtua yang sama-sama pengusaha. Sampai saat ini Papa masih sibuk mengurus bisnis Tour and Travel di bidang Biro Perjalanan Wisata (BPW) sementara Mama sibuk dengan bisnis kulinernya.Sejak kecil kami memang sudah biasa ditinggalkan bersama baby sitter maupun asisten rumah tangga. Tanpa pengawasan orangtua akhirnya kami tumbuh dengan pola pikir yang jauh berbeda. Gelimang harta yang sudah dijejali sedari balita, tak lantas membuat kami puas menikmati dunia. Ada beberapa saat di mana kami juga membutuhkan kasih sayang dari mereka sebagai keluarga.Hal itulah yang memicu pemberontakan kami dalam menanggapi cara pengasuhan mereka. Berlian tumbuh menjadi anak yang pembangkang dengan penampilan yang bisa dibilang sederhana, bebas, bahkan terkesan berantakan. Saudara kembaraku itu bahkan menghambur

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status