Keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.
Mungkin itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan kondisi Alba saat ini.Jantung Alba yang sudah berdebar tidak karuan pun berdebar makin tidak terkendali mendengar ancaman dari pria di hadapannya sampai Alba pun masih tetap mematung untuk beberapa saat.Rafael yang melihat Alba terus diam pun malah makin kesal."Tentukan pilihanmu sekarang, Nona! Menikah denganku atau keluar sekarang juga! Aku sama sekali bukan pria yang sabar!"Alba menahan napasnya sejenak. "Pak, aku sungguh tidak bisa, aku tidak bisa menikah denganmu.""Baiklah, kuanggap kau sudah memilih!"Dengan cepat, Rafael pun langsung mencekal lengan Alba dan menariknya keluar dari kamar mandi."Akhh, lepaskan aku, Pak! Kau mau apa?""Membawamu keluar dari kamarku, kau sudah memilih untuk kembali pada ayahmu saja kan?""Tidak, Pak! Sungguh, aku ...."Belum sempat Alba menyelesaikan ucapannya, mendadak bel pintu kamar Rafael sudah kembali berbunyi."Pak, tolong buka pintunya. Aku mendengar suara wanita!" teriak ayah Alba dari luar kamar.Sontak Rafael pun menghentikan langkahnya dan Alba kembali menggeleng."Kumohon, Pak! Ayahku masih di sana, aku tidak mau keluar, Pak," bisik Alba sambil terus menarik lengannya lepas dari Rafael.Namun, Rafael tetap tenang sambil menatap tajam pada Alba. "Jadi kau sudah menentukan pilihanmu?"Alba kembali menahan napasnya sejenak sebelum dengan sangat terpaksa, ia pun memilih."Aku ... mau menikah, Pak," jawab Alba akhirnya.Rafael pun begitu puas mendengarnya dan langsung melepaskan cekalan tangannya dari Alba. Dengan perasaan yang luar biasa lega, Alba pun kembali menyembunyikan dirinya di kamar mandi dan Alba tidak tahu lagi apa yang terjadi di luar sana.Yang Alba tahu hanyalah tidak lama kemudian, Rafael kembali membuka pintu kamar mandi dan menyuruh Alba keluar."Kau sudah aman sekarang.""Apa Ayahku sudah pergi?""Dia sudah pergi dan aku yakin dia tidak akan kembali ke sini lagi.""Apa yang kau lakukan padanya, Pak?""Caraku menyelesaikan masalah bukan urusanmu, Nona. Yang jelas, kupastikan kau sudah aman darinya."Alba benar-benar bernapas lega kali ini. Alba pun melangkah keluar dari kamar mandi dan Rafael pun memintanya duduk di ranjang. Sungguh Alba merasa seperti terdakwa yang akan diinterogasi saat ini sampai Alba terus menautkan kedua tangannya gugup."Jadi siapa namamu?" tanya Rafael dengan suasana yang lebih tenang."A-aku Alba, Pak," jawab Alba yang masih gugup dan gemetar."Alba! Di mana rumahmu?""Eh, rumah? Aku tidak ingat, Pak."Rafael mulai mengernyit mendengarnya. "Kau tidak ingat di mana rumahmu? Alamatnya saja, atau daerahnya saja, atau jalan ke sana."Alba ikut mengernyit dan berpikir keras, tapi ia berakhir dengan menggeleng."Maaf, aku tidak ingat di mana alamat rumahku maupun jalan menuju ke sana, yang aku tahu aku tinggal di sebuah rumah kecil berdua dengan ayahku.""Ck, bagaimana kau bisa tidak ingat rumahmu sendiri? Apa kau berasal dari luar kota? Karena itu, kau tidak ingat rumahmu?" Nada suara Rafael sudah mulai meninggi.Alba kembali mengernyit dan menggeleng. "Aku benar-benar tidak tahu aku berasal dari kota mana. Aku hanya tahu aku tinggal berdua dengan ayahku!"Rafael makin emosi mendengarnya. "Baiklah, kau tinggal berdua dengan ayahmu, kau sudah mengatakannya beberapa kali. Lalu ibumu ke mana? Saudaramu? Apa mereka tidak menghalangi saat kau akan dijual atau semacamnya?"Lagi-lagi Alba menggeleng dengan menyebalkan. "Aku tidak ingat aku punya ibu atau tidak, Pak."Brak!Rafael langsung menggebrak sofa yang didudukinya saking emosinya."Bahkan kau tidak ingat kau punya ibu atau tidak? Jawaban apa itu? Dasar sinting!"Alba tersentak kaget dan langsung mengkerut. Sungguh Alba hanya ingat satu bulan terakhir hidupnya seolah ia memang baru hidup selama satu bulan saja."Maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu, Pak. Aku baru saja mengalami kecelakaan parah dan aku tidak mengingat apa pun. Kata ayahku, aku sempat tidur selama dua bulan.""Tapi aku tidak ingat mengapa aku bisa mengalami kecelakaan. Yang aku ingat hanyalah aku punya ayah yang terus menyuruhku bekerja membersihkan rumah dan memasak untuknya, tapi aku juga tidak ingat caranya memasak sampai ayahku terus marah padaku," sambung Alba terbata.Alba terus menceritakan apa yang terjadi padanya di rumah ayahnya sebelum akhirnya mendadak ia dibawa ke hotel itu untuk dijual.Rafael yang mendengarnya, alih-alih iba malah memutar bola matanya kesal dan menggeram."Ck, cukup, Alba! Cukup berceritanya karena kau membuatku makin frustasi. Jadi lebih baik kau diam dan tidur saja!""Eh, tidur? Di sini?""Tentu saja di sini, di mana lagi? Kau boleh tidur di mana pun yang kau suka, asal jangan menggangguku! Kau mengerti, Alba?"Dengan jantung yang berdebar kencang, Alba pun mengangguk patuh. Sungguh Alba masih bingung dengan situasi ini, tapi Alba tidak berani bicara lagi selain hanya duduk diam di ranjang.Rafael sendiri malah makin frustasi dan ia pun langsung masuk ke kamar mandi lalu mengguyur dirinya dengan shower."Sial, wanita apa sebenarnya Alba itu? Aku benar-benar sudah salah menyelamatkan wanita gila dan bodoh! Bagaimana aku bisa menikahi wanita seperti itu? Ah, membuatku makin frustasi saja," geram Rafael yang segera menyelesaikan mandinya.Rafael pun keluar dari kamar mandi dengan handuk yang dililitkan di pinggulnya. Bahkan Rafael tidak peduli sekalipun ada orang lain di kamarnya.Alba sendiri sudah berpindah duduk di sofa dan ia masih tidak berani melakukan apa pun saking takutnya. Namun, Alba langsung menahan napasnya sejenak saat melihat tubuh polos Rafael yang begitu kekar dengan otot liatnya sampai tanpa sadar, Alba terus menatap Rafael.Rafael yang masih mengeringkan rambut dengan handuk kecilnya pun langsung menangkap tatapan Alba. Rafael pun memicingkan matanya menatap wanita itu sampai Alba makin tegang dibuatnya."Apa yang kau lihat, Alba? Apa setelah bebas dari pria hidung belang, kau berpikir untuk melayaniku saja, hmm?"Alba yang ketahuan pun langsung membelalak dan refleks menunduk. "Tidak! Jangan! Aku tidak melihat apa-apa!""Kalau begitu tidurlah! Atau aku akan memaksamu melayaniku karena aku benar-benar butuh pelampiasan malam ini!"**"Oek ... oek ...." Satu bulan lebih sejak pernikahan Onad dan Yola akhirnya Sophia pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat gemuk dan tampan. Sungguh, prosesnya sama sekali tidak mudah karena Sophia mengalami sakit seharian sejak kemarin, sebelum hari ini akhirnya bayinya berhasil lahir dengan selamat juga. Sophia sendiri sudah lama memutuskan untuk melahirkan secara normal. Rafael yang tidak tega melihat istrinya kesakitan pun sudah berulang kali hampir menyerah dan meminta operasi saja, tapi Sophia bertahan dan ia masih yakin mampu menahan semua rasa sakit itu. Dan perjuangannya tidak sia-sia. Semua rasa sakitnya pun mendadak lenyap saat mendengar tangisan merdu dari bayi mereka. "Oh, Sophia, Sayang, bayi kita, Sayang. Bayi kita!" seru Rafael yang terus menciumi wajah Sophia yang masih berkeringat itu. Rafael terus menggenggam tangan Sophia saat Sophia mengejan dan setiap detik kesakitan Sophia membuat hati Rafael begitu pilu. Kalau bisa, Rafael saja yang sakit, janga
"Hmm, akhirnya kita satu kamar lagi, Rafael." "Dan selamanya kita akan satu kamar sekarang, Sayang!" Rafael dan Sophia saling bertatapan mesra di kamar mereka malam itu. Setelah pesta sederhana di pagi hari, mereka kembali menjamu beberapa tamu makan malam sebelum mereka bisa beristirahat di malam pengantin mereka itu. Keduanya saling bertatapan mesra dan mereka pun menyatukan bibir mereka dengan mesra juga. Kali ini pagutan bibir mereka begitu menghayati karena tidak ada penonton seperti wedding kiss tadi, hanya ada mereka berdua di kamar sampai tangan Rafael pun leluasa membelai punggung Sophia. Tangan Sophia sendiri juga sama membelai punggung Rafael sambil ia terus memagut bibir suaminya. Mereka baru saling melepaskan bibir mereka saat mereka mengambil napas, namun napas mereka sendiri sudah tersengal. Rafael pun menatap Sophia dengan penuh cinta. "Dokter bilang kita sudah boleh melakukannya kan, Sayang? Aku sudah menahan diriku begitu lama," bisik Rafael dengan suara parau
"Apa itu anak Jackson, Sophia?" Sophia langsung dibawa ke ruang keluarga begitu Jenni mengetahui Sophia hamil. Sungguh, perasaan Sophia tidak karuan saat ini. Sebenarnya bukan hal aneh Sophia hamil karena memang ia punya suami sebelumnya, tapi yang jadi masalah adalah suaminya sudah meninggal dan anak ini bukan anak suaminya. "Ayah senang sekali akan mempunyai cucu, tapi Ayah sedih karena cucu Ayah akan lahir tanpa Papanya," seru Lewis lagi. Namun, baik Jenni maupun Sophia tidak berkomentar apa pun. "Tunggu dulu, Lewis. Sophia, bukankah kau pernah bilang kalau kau belum pernah berhubungan dengan Jackson?" tanya Jenni tiba-tiba. Lewis mengernyit mendengarnya. Tentu saja bagi Lewis, suami istri itu sudah biasa berhubungan ranjang, malahan kalau belum pernah berhubungan itu baru tidak biasa. Dan Lewis tidak tahu kalau Sophia dan Jackson belum pernah berhubungan karena Sophia tidak terbuka pada ayahnya. Sophia hanya terbuka tentang hubungan ranjang pada ibunya. "Apa maksudmu, Jenni?
Beberapa hari berlalu sejak meninggalnya Gemma dan semua ritual untuk penghormatan terakhir pun sudah selesai keluarga Lewis lakukan. Semua prosesnya berjalan lancar dan kali ini, keluarga Rafael datang semua untuk mengucapkan belasungkawa. Kakek Robert dan orang tua Rafael datang sebagai teman dan Lewis pun menyambut mereka dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. "Kami turut berduka cita, Pak Lewis." "Terima kasih, Pak Robert. Terima kasih, Pak Thomas dan Bu Ivana. Terima kasih." "Turut prihatin dan berduka cita, Bu Jenni," ucap Ivana sambil memeluk wanita itu. "Terima kasih, Bu Ivana. Aku tidak akan melupakan bantuanmu menemaniku di rumah sakit waktu itu. Terima kasih." Jenni masih begitu melow dan berpelukan erat dengan Ivana dan Ivana pun seolah bisa merasakan kesedihan Jenni. Bagaimanapun, kehilangan anak adalah hal yang sangat menyakitkan. "Yang sabar ya, Bu. Gemma sudah tenang di sana." Jenni hanya mengangguk dengan air mata yang belum mau berhenti menetes. Sophia
Dua minggu berlalu dan kondisi Lewis terus berangsur membaik. Lewis sudah diijinkan keluar dari rumah sakit dan Rafael adalah orang yang selalu setia menemani di rumah sakit serta membantu semua untuk Lewis. Bahkan, Rafael membantu memapah Lewis ke mobil hari itu lalu mengantarnya pulang ke rumah. "Untung ada Rafael, terima kasih, Rafael," seru Jenni. "Mengapa harus merepotkan Rafael? Bukankah ada sopir?" seru Lewis yang masih kaku. Lewis sendiri sebenarnya sudah membuka hatinya. Bahkan, selama dua minggu ini, Lewis sudah tidak pernah protes melihat Rafael di kamarnya. Rafael membantu Lewis melakukan banyak hal dan menjaga Lewis saat semua orang tidak ada. Hanya saja, untuk mengatakan secara langsung masih berat bagi Lewis. Sophia yang mendengar ucapan Lewis hanya tertawa geli. "Rafael dan sopir tentu saja berbeda, Ayah. Bahkan, Rafael sampai sering meninggalkan pekerjaannya hanya demi menemani kita." "Ayah tidak pernah menyuruhnya. Tapi mana kakekmu yang tua itu? Mengapa dia t
"Kondisi pasien sangat kritis. Kami hanya bisa bilang kami akan berusaha semaksimal kami." Setelah menangis begitu lama melihat jasad Jackson, akhirnya keluarga Sophia kembali menunggu Gemma di depan ruang operasi. Operasi besar berjalan sangat lama karena luka yang serius di tubuh dan kepala Gemma. Dan setelah menunggu begitu lama sejak Gemma dioperasi dan dipindahkan ke ruangan lain, akhirnya dokter pun menemui Sophia dan Jenni untuk memberitahu kabar yang sama sekali tidak baik itu. "Apa maksudnya, Dokter? Apa maksudnya?" tanya Jenni lemas. Namun, Sophia terus memeluk dan menenangkan Jenni. "Tenanglah, Ibu. Dokter bilang akan berusaha semaksimal mungkin kan? Kita tunggu saja. Kita tunggu saja." Jenni hanya bisa menggeleng dan terus menangis di pelukan Sophia, sedangkan Rafael mencoba bicara dengan dokter tentang kondisi Gemma yang ternyata memang sangat kritis, tapi Gemma masih tetap bertahan. Ivana juga tetap ada di rumah sakit untuk memberikan Jenni semangat, sedangkan Yol