"Kembali ke sini, Alba! Kau tidak bisa lari dari Ayah!"
Teriakan lantang sang ayah membuat Alba memacu kakinya makin cepat menyusuri koridor hotel mewah itu. Napas Alba sudah terengah-engah dan ketegangan makin melingkupinya saat ia mendengar suara langkah berat yang mengejarnya itu mendekat.Alba pun terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang dan Alba tahu ia tidak boleh tertangkap atau ia akan dikurung di kamar untuk melayani pria tua hidung belang yang sudah membelinya."Tolong aku! Mengapa tidak ada pintu yang bisa dibuka? Tolong aku!" lirih Alba yang mencoba membuka satu persatu pintu kamar di sepanjang koridor itu."Alba, mau lari ke mana kau?"Tiba-tiba ayah Alba sudah muncul di ujung koridor sampai membuat Alba berteriak kaget dan makin ketakutan."Akhh!" teriak Alba yang kembali melarikan diri.Di sisi lain, seorang pria muda sedang melangkah dengan penuh emosi sambil memegang ponsel di telinganya dan pria itu adalah Rafael Williams, pengusaha sukses yang sialnya baru saja kalah proyek hanya karena statusnya yang masih bujangan."Kita kalah! Klien aneh itu memberikan proyek itu pada bos lain yang sudah menikah hanya karena dia menganggap bahwa pria yang sudah menikah akan lebih bertanggung jawab. Bukankah itu gila?""Sabar, Bos!" sahut sang asisten di telepon."Kau pikir aku masih bisa sabar, hah? Aku sudah muak dengan semua ini! Kau juga tahu kalau kakekku berniat menyerahkan jabatan CEO di perusahaan pada sepupuku dengan alasan yang sama kan? Memangnya apa hebatnya pria yang sudah menikah? Aku mulai frustasi sampai mungkin aku bisa menikahi wanita mana pun yang aku temui hari ini!"Rafael masih menggeram kesal sambil melangkah masuk ke kamarnya saat tiba-tiba seseorang mendorongnya dan masuk bersamanya ke kamar itu."Sial, apa ini?" pekik Rafael yang ponselnya sudah terlempar entah ke mana.Rafael pun langsung menoleh menatap seorang wanita yang sudah berdiri bersandar di pintunya."Siapa kau? Apa yang kau lakukan di kamarku?" bentak Rafael.Alba yang menatap Rafael pun makin gugup, tapi Alba mengangkat kedua tangannya meminta Rafael tenang dulu."Maafkan aku, Pak. Tapi tolong biarkan aku di sini dulu. Sumpah aku bukan orang jahat, Pak. Aku juga tidak berniat buruk.""Kau masuk ke kamar orang tanpa ijin dan kau masih berani bilang tidak berniat buruk?" bentak Rafael lagi."Aku dikejar oleh ayahku yang mau menjualku demi melunasi hutangnya, Pak. Kumohon, bantu aku kali ini." Alba sudah mengatupkan kedua tangannya.Namun, Rafael yang masih kesal malah makin kesal mendengar kisah tidak masuk akal itu."Sial! Kau pikir ini cerita drama, hmm? Dijual demi melunasi hutang?"Baru saja Rafael menutup mulutnya saat tiba-tiba suara bel pintu terdengar di sana sampai Alba pun meloncat kaget."Itu pasti dia, Pak! Itu pasti dia! Tolong katakan aku tidak ada di sini! Aku harus bersembunyi! Tolong, Pak. Tolong!" Alba terus mengatupkan kedua tangannya dan Rafael mulai memicingkan matanya menatap ekspresi Alba yang sangat serius.Alba sendiri langsung berlari ke kamar mandi dan menyembunyikan dirinya di sana, sedangkan Rafael langsung membuka pintunya.Seorang pria tua dengan wajah bengisnya pun berdiri di hadapan Rafael dan mau tidak mau Rafael pun percaya pada ucapan wanita tadi."Siapa kau?" tanya Rafael."Ah, maaf, Pak. Aku sedang mencari anakku yang kabur dariku, apa mungkin dia ke sini?""Anakmu? Aku tidak tahu siapa anakmu dan tidak melihat siapa pun.""Benarkah? Mungkinkah dia bersembunyi di dalam kamarmu? Bolehkah aku memeriksanya?" Ayah Alba melongokkan kepalanya dengan tidak sopan ke dalam kamar Rafael sambil berteriak, "Alba, kau tidak bisa bersembunyi selamanya, Nak!"Rafael yang makin kesal pun langsung mendorong pria tua itu."Sialan! Aku sudah bilang tidak ada siapa-siapa di sini, kau mau kuhajar, hah? Kalau kau mau mencari anakmu, cari saja di tempat lain, mengapa harus di kamarku, hah? Aku bisa menuntutmu karena sudah mengganggu ketenanganku!" geram Rafael yang sudah mengangkat bogemnya."Ah, maafkan aku, tapi aku menemukan satu sepatu milik anakku di depan pintu ini, jadi kupikir mungkin dia masuk ke sini."Rafael langsung menatap sepatu yang dibawa ayah Alba, tapi ekspresi Rafael tetap tidak berubah."Persetan dengan apa pun yang kau temukan, tapi yang jelas, jangan menggangguku!"Brak!Rafael langsung menutup pintunya dan tetap berdiri diam di tempatnya. Terdengar suara ayah Alba yang menggeram dan mengumpati Rafael, sebelum langkah kaki pria itu akhirnya menjauh.Rafael pun segera melangkah ke kamar mandi dan membuka pintunya sampai Alba kembali meloncat kaget."Dia sudah pergi, kau bisa keluar dari kamarku sekarang," titah Rafael."Tidak, tidak, aku mohon, jangan usir aku sekarang. Ayahku pasti masih di luar dan kalau aku keluar sekarang, dia pasti akan menangkapku lagi.""Itu masalahmu, Nona! Aku juga sedang banyak masalah jadi jangan menambah bebanku dengan masalahmu juga!""Aku mohon, Pak. Aku tidak akan membebanimu, tapi tolong biarkan aku di sini sebentar saja," pinta Alba lagi yang menatap Rafael penuh harap.Rafael memicingkan matanya dan tanpa bisa dicegah, tatapan Rafael pun menyusuri tubuh wanita itu.Wajah cantik yang nampak begitu sempurna dengan garis yang tegas dan kulit yang bersih seolah kulit itu sangat rajin dirawat, padahal untuk ukuran keluarga yang punya banyak hutang, hal itu sangat mustahil.Rambut wanita itu pun tergerai kusut, tapi sama sekali tidak mengurangi keindahannya. Bahkan rambut kusut itu malah membuat wajah polos wanita itu terlihat seksi di mata Rafael.Ditambah tubuh ramping itu yang tetap terlihat seksi sekalipun dibalut oleh kaos longgar yang dipakainya. Dan terakhir, wanita itu hanya memakai satu sepatu karena sepatu yang lain sudah dibawa oleh ayahnya tadi."Kau tahu kalau aku tidak mengenalmu, jadi aku tidak punya kewajiban untuk menolongmu kan?""Aku ... aku tahu itu, Pak. Aku akan melakukan apa saja untuk membalas budimu, tapi tolong, aku tidak mau dijual pada pria tua hidung belang itu, Pak."Rafael kembali memicingkan matanya mendengar janji yang menggoda dari wanita cantik itu. Seketika otak Rafael pun memikirkan sebuah pikiran absurd tentang solusi yang sempurna dari masalahnya."Kau yakin, Nona? Apa saja?" ulang Rafael yang perlahan melangkah mendekati Alba.Alba membelalak dan refleks melangkah mundur dengan tubuh yang merinding."Apa yang kau mau, Pak? Jangan mendekat!" seru Alba yang terus melangkah mundur sampai punggung Alba menabrak dinding ruang shower dan Alba tidak bisa mundur lagi.Rafael pun tiba di hadapan Alba sambil membungkuk dan langsung menyejajarkan wajahnya dengan wajah Alba."Kau bilang apa saja kan? Bagaimana dengan sebuah pernikahan, Nona? Menikahlah denganku dan aku akan menolongmu," seru Rafael yang benar-benar impulsif, tapi seperti yang ia katakan tadi, ia bahkan bisa menikahi wanita mana pun yang ia temui. Siapa sangka takdir langsung memberikan wanita untuknya.Alba pun seketika terdiam tidak percaya pada apa yang didengarnya."A-apa? Kau mau apa?""Kau sudah mendengarku kan? Aku mau kau menikah denganku!" ulang Rafael tegas."Tidak, Pak! Kau pasti sudah gila! Bagaimana bisa mendadak kau minta aku menikah denganmu? Kita bahkan tidak saling mengenal. Aku tidak bisa!"Alba makin gemetar karena ternyata pria di hadapannya ini sama brengseknya dengan pria hidung belang yang membelinya. Namun, Rafael sama sekali bukan pria yang bisa ditolak."Apa aku bilang kau bisa menolak, hah? Kau hanya bisa memilih dan kau hanya punya dua pilihan, Nona."Rafael sengaja menjeda ucapannya. Ditatapnya lekat sosok wanita di hadapannya sebelum ia melanjutkan perkataannya."Menikah denganku atau kembali pada ayahmu untuk dijual!"**"Oek ... oek ...." Satu bulan lebih sejak pernikahan Onad dan Yola akhirnya Sophia pun melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat gemuk dan tampan. Sungguh, prosesnya sama sekali tidak mudah karena Sophia mengalami sakit seharian sejak kemarin, sebelum hari ini akhirnya bayinya berhasil lahir dengan selamat juga. Sophia sendiri sudah lama memutuskan untuk melahirkan secara normal. Rafael yang tidak tega melihat istrinya kesakitan pun sudah berulang kali hampir menyerah dan meminta operasi saja, tapi Sophia bertahan dan ia masih yakin mampu menahan semua rasa sakit itu. Dan perjuangannya tidak sia-sia. Semua rasa sakitnya pun mendadak lenyap saat mendengar tangisan merdu dari bayi mereka. "Oh, Sophia, Sayang, bayi kita, Sayang. Bayi kita!" seru Rafael yang terus menciumi wajah Sophia yang masih berkeringat itu. Rafael terus menggenggam tangan Sophia saat Sophia mengejan dan setiap detik kesakitan Sophia membuat hati Rafael begitu pilu. Kalau bisa, Rafael saja yang sakit, janga
"Hmm, akhirnya kita satu kamar lagi, Rafael." "Dan selamanya kita akan satu kamar sekarang, Sayang!" Rafael dan Sophia saling bertatapan mesra di kamar mereka malam itu. Setelah pesta sederhana di pagi hari, mereka kembali menjamu beberapa tamu makan malam sebelum mereka bisa beristirahat di malam pengantin mereka itu. Keduanya saling bertatapan mesra dan mereka pun menyatukan bibir mereka dengan mesra juga. Kali ini pagutan bibir mereka begitu menghayati karena tidak ada penonton seperti wedding kiss tadi, hanya ada mereka berdua di kamar sampai tangan Rafael pun leluasa membelai punggung Sophia. Tangan Sophia sendiri juga sama membelai punggung Rafael sambil ia terus memagut bibir suaminya. Mereka baru saling melepaskan bibir mereka saat mereka mengambil napas, namun napas mereka sendiri sudah tersengal. Rafael pun menatap Sophia dengan penuh cinta. "Dokter bilang kita sudah boleh melakukannya kan, Sayang? Aku sudah menahan diriku begitu lama," bisik Rafael dengan suara parau
"Apa itu anak Jackson, Sophia?" Sophia langsung dibawa ke ruang keluarga begitu Jenni mengetahui Sophia hamil. Sungguh, perasaan Sophia tidak karuan saat ini. Sebenarnya bukan hal aneh Sophia hamil karena memang ia punya suami sebelumnya, tapi yang jadi masalah adalah suaminya sudah meninggal dan anak ini bukan anak suaminya. "Ayah senang sekali akan mempunyai cucu, tapi Ayah sedih karena cucu Ayah akan lahir tanpa Papanya," seru Lewis lagi. Namun, baik Jenni maupun Sophia tidak berkomentar apa pun. "Tunggu dulu, Lewis. Sophia, bukankah kau pernah bilang kalau kau belum pernah berhubungan dengan Jackson?" tanya Jenni tiba-tiba. Lewis mengernyit mendengarnya. Tentu saja bagi Lewis, suami istri itu sudah biasa berhubungan ranjang, malahan kalau belum pernah berhubungan itu baru tidak biasa. Dan Lewis tidak tahu kalau Sophia dan Jackson belum pernah berhubungan karena Sophia tidak terbuka pada ayahnya. Sophia hanya terbuka tentang hubungan ranjang pada ibunya. "Apa maksudmu, Jenni?
Beberapa hari berlalu sejak meninggalnya Gemma dan semua ritual untuk penghormatan terakhir pun sudah selesai keluarga Lewis lakukan. Semua prosesnya berjalan lancar dan kali ini, keluarga Rafael datang semua untuk mengucapkan belasungkawa. Kakek Robert dan orang tua Rafael datang sebagai teman dan Lewis pun menyambut mereka dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. "Kami turut berduka cita, Pak Lewis." "Terima kasih, Pak Robert. Terima kasih, Pak Thomas dan Bu Ivana. Terima kasih." "Turut prihatin dan berduka cita, Bu Jenni," ucap Ivana sambil memeluk wanita itu. "Terima kasih, Bu Ivana. Aku tidak akan melupakan bantuanmu menemaniku di rumah sakit waktu itu. Terima kasih." Jenni masih begitu melow dan berpelukan erat dengan Ivana dan Ivana pun seolah bisa merasakan kesedihan Jenni. Bagaimanapun, kehilangan anak adalah hal yang sangat menyakitkan. "Yang sabar ya, Bu. Gemma sudah tenang di sana." Jenni hanya mengangguk dengan air mata yang belum mau berhenti menetes. Sophia
Dua minggu berlalu dan kondisi Lewis terus berangsur membaik. Lewis sudah diijinkan keluar dari rumah sakit dan Rafael adalah orang yang selalu setia menemani di rumah sakit serta membantu semua untuk Lewis. Bahkan, Rafael membantu memapah Lewis ke mobil hari itu lalu mengantarnya pulang ke rumah. "Untung ada Rafael, terima kasih, Rafael," seru Jenni. "Mengapa harus merepotkan Rafael? Bukankah ada sopir?" seru Lewis yang masih kaku. Lewis sendiri sebenarnya sudah membuka hatinya. Bahkan, selama dua minggu ini, Lewis sudah tidak pernah protes melihat Rafael di kamarnya. Rafael membantu Lewis melakukan banyak hal dan menjaga Lewis saat semua orang tidak ada. Hanya saja, untuk mengatakan secara langsung masih berat bagi Lewis. Sophia yang mendengar ucapan Lewis hanya tertawa geli. "Rafael dan sopir tentu saja berbeda, Ayah. Bahkan, Rafael sampai sering meninggalkan pekerjaannya hanya demi menemani kita." "Ayah tidak pernah menyuruhnya. Tapi mana kakekmu yang tua itu? Mengapa dia t
"Kondisi pasien sangat kritis. Kami hanya bisa bilang kami akan berusaha semaksimal kami." Setelah menangis begitu lama melihat jasad Jackson, akhirnya keluarga Sophia kembali menunggu Gemma di depan ruang operasi. Operasi besar berjalan sangat lama karena luka yang serius di tubuh dan kepala Gemma. Dan setelah menunggu begitu lama sejak Gemma dioperasi dan dipindahkan ke ruangan lain, akhirnya dokter pun menemui Sophia dan Jenni untuk memberitahu kabar yang sama sekali tidak baik itu. "Apa maksudnya, Dokter? Apa maksudnya?" tanya Jenni lemas. Namun, Sophia terus memeluk dan menenangkan Jenni. "Tenanglah, Ibu. Dokter bilang akan berusaha semaksimal mungkin kan? Kita tunggu saja. Kita tunggu saja." Jenni hanya bisa menggeleng dan terus menangis di pelukan Sophia, sedangkan Rafael mencoba bicara dengan dokter tentang kondisi Gemma yang ternyata memang sangat kritis, tapi Gemma masih tetap bertahan. Ivana juga tetap ada di rumah sakit untuk memberikan Jenni semangat, sedangkan Yol