LOGINSeperti yang Felix bilang sebelumnya. Makan malam itu ternyata memang untuk merayakan keberhasilan Victoria dan ayah tirinya. Pembicaraan tentang bisnis yang tidak ada habisnya. Membosankan dan memuakkan.
Luciana tidak menanggapi sedikit pun atau terlibat dalam percakapan itu. Dia hanya fokus menyantap makan malamnya. Rasanya ini seperti ajang unjuk diri alih-alih makan malam keluarga. "Victoria memang memiliki banyak bakat. Tidak heran dia bisa mencapai semuanya. Agak disayangkan Luci berhenti begitu saja. Padahal kariernya sedang sangat bagus waktu itu." Luciana yang sedang makan, seketika mengangkat kepalanya dan menatap ibunya yang berdecak. Ibunya membandingkannya dengan Victoria lagi. Dia bisa merasakan kekesalan dalam suaranya karena keputusan yang telah diambilnya. "Jangan begitu, Bu, Luci kan hanya memilih apa yang terbaik untuknya. Dia ingin fokus pada keluarga kecilnya." Alis Luciana berkerut. Tangannya mencengkeram garpu dengan kesal saat telinganya menangkap suara Victoria yang turut campur. Adiknya seolah peduli, tapi saat dia menatapnya, dia menemukan seringai licik di sana. Itu kepura-puraan. Victoria tidak peduli padanya dan hanya ingin membuatnya terlihat bodoh. Hal yang dulu tidak pernah dia lihat. Luciana jelas tidak menyangka, jika Victoria ternyata adalah orang yang seperti ini. "Ibu tahu, tapi tetap saja, rasanya sangat disayangkan. Apalagi sampai sekarang, mereka belum punya anak." Luciana tersentak kaget mendengar keluhan ibunya. Dia spontan melirik suaminya yang kini tampak tegang dan wajahnya pucat. Tampak sekali tidak nyaman dengan pembicaraan soal anak yang tiba-tiba dibahas. "Ibu ingat, waktu itu kan kamu resign karena katanya mau fokus program kehamilan, kok sampai sekarang belum ada kabarnya? Luci, Felix, apa belum berhasil?" Luciana kini semakin tak nyaman. Dia menatap ibunya yang tampak penasaran. Dia benar-benar tidak suka dengan pembahasan mengenai anak. "Kami masih berusaha, Bu. Ibu jangan terlalu khawatir soal itu." "Ibu tidak terlalu khawatir juga. Ibu hanya penasaran. Apa kalian tidak sekalian periksa kesuburan kalian? Atau kalau memang belum ada niat punya anak, kenapa tidak lanjut karier saja, Luci? Kamu masih muda dan juga pintar." Telinga Luciana terasa panas mendengar komentar ibunya. Dia tahu perkataan itu tidak salah dan merupakan saran yang bagus, tapi tidak tepat juga dibahas di meja makan. Di depan Victoria yang kini tersenyum puas seolah mengejeknya. "Aku sudah berjanji untuk fokus mengurus rumah setelah aku menikah. Lagi pula, gaji Felix cukup untuk menghidupi kami." "Memang cukup sih. Ibu hanya kasih saran saja. Apa mungkin Felix minder karena dulu penghasilanmu jauh lebih besar darinya?" Mata Luciana terbelalak. Mulutnya terbuka untuk membantah tudingan tidak benar ibunya, tapi sesaat kemudian, dia mengurungkan niatnya kembali. Tidak alasan baginya membela Felix di depan orang tuanya sekarang. Luciana tidak mau melakukannya lagi seperti apa yang selalu dia lakukan dulu. Dia hanya melirik sekilas Felix yang wajahnya berubah merah. Pria itu seperti tertekan dengan pertanyaan ibunya yang agak lancang. Dulu, biasanya dialah yang akan pasang badan dan berdebat dengan ibunya sendiri, tapi sekarang, dia tidak tertarik melakukannya. "Sudahlah, Isabelle, tidak perlu memperpanjang masalah. Biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka mau, selagi tidak merugikan kita," ucap Richard yang akhirnya ikut bersuara atas percakapan itu. Luciana menyipitkan mata mendengar perkataan ayah tirinya. Dia sedikit meragukan sikap pria paruh baya itu yang memilih melerai setelah semuanya selesai, bukan menegur saat ibunya bertanya agak kurang ajar. Richard seperti sengaja diam untuk menyaksikan dirinya yang mungkin akan berdebat dengan ibunya sendiri. "Baiklah, Sayang. Maaf, aku hanya mengkhawatirkan anakku saja." Pertanyaan ibunya berhenti sampai sana. Suasana di meja makan pun kembali hening. Hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar, tapi di sisi lain, Luciana bisa melihat ekspresi tertekan Felix. Pria itu seperti menahan kesal. Felix selalu seperti ini setiap kali mereka bertemu keluarganya. Tentu saja semua itu karena ibunya kurang menyukai sang suami. Mengingat Felix bukan pengusaha atau anak dari keluarga kaya. Tidak seperti Matthias. "Aku harus ke belakang sebentar," ucap Luciana tiba-tiba sambil meletakkan garpu dan sendok. Dia tidak berselera melanjutkan makanannya dan mencari udara segar adalah pilihan terbaik. Tanpa menunggu respons dari semua orang di meja makan, Luciana bergegas berdiri dan keluar dari sana tanpa menghabiskan makanannya. Dia berjalan melewati dapur dan menuju halaman belakang. Udara dingin di malam hari langsung menerpanya. Membuat Luciana merasakan dingin yang menusuk kulit. Namun dia memilih tak menghiraukannya. Setidaknya di sana, hatinya bisa lebih tenang. Langkahnya santai dan pelan saat Luciana berdiri termenung menatap halaman rumah yang luas. Tempat di mana dia dulu sering bermain dengan Victoria. Rasanya seperti baru kemarin mereka masih remaja dan bermain brsama. Sekarang mereka sudah menikah, tapi Victoria telah berubah banyak. Bahkan menjadi orang yang telah merebut suaminya. Luciana tidak bisa lagi menganggap Victoria sebagai adik manisnya. Dia benci wanita itu. "Udara malam sedang dingin. Setidaknya gunakanlah sesuatu." Sesuatu yang hangat tiba-tiba menutupi bahunya. Luciana yang sedang melamun, tersentak dan menyadari jika seseorang memasangkan jas di tubuhnya. Membuat dia merasa lebih hangat. Kepalanya menoleh cepat dan mendapati Matthias berada di sebelahnya. Pria itu memakai kemeja abu-abu ketat yang menonjolkan otot-otot tubuhnya. Luciana berkedip dengan wajah memerah menyadari jas itu ternyata milik Matthias. Dia mengalihkan perhatiannya dari tubuh iparnya, berusaha tidak mengingat malam di mana Matthias menyentuhnya. "Terima kasih. Aku hanya mencari udara segar. Apa yang kamu lakukan di sini?" Luciana memegang jas Matthias yang memeluk tubuhnya di kedua sisi. Dia bisa mencium aroma woody milik iparnya, kini menempel dengannya. "Sama. Di dalam terasa sesak." Luciana menoleh. Dia menatap Matthias dengan alis berkerut. Tidak mengerti apa maksud pria itu. Padahal dia rasa, orang tuanya atau Victoria tidak pernah menyinggung Matthias. Pria ini selalu istimewa di mata keluarganya. Setidaknya karena Matthias adalah aset penting bagi keberlangsungan keluarga Laurent. "Ayo duduk!" Luciana belum sempat menolak saat tangannya tanpa diduga ditarik oleh Matthias ke arah bangku yang ada di sana. Dia mau tak mau mendudukkan bokongnya di samping pria itu. "Apa kamu merasa tidak nyaman dengan keluarga ini?" tanya Luciana penasaran. Selama ini, dia belum pernah bicara santai pada Matthias. Belum pernah menanyakan perasaan pria itu setelah menjadi keluarga mereka, meski memang, dia sendiri bukan benar-benar bagian dari keluarga Laurent. Hanya Victoria saja putri asli keluarga Laurent. Namun tak disangka, pertanyaannya itu dibalas dengkusan kasar Matthias. Dia sekilas melihat senyum samar di sana. "Tidak nyaman? Sejak awal, pernikahanku dan adikmu sudah diatur. Apakah pertanyaan seperti itu perlu ditanyakan?" Luciana terdiam. Dia berkedip. Tidak mengerti apa yang berusaha disampaikan Matthias. "Aku tahu pernikahanmu diatur, tapi kamu kan pasti punya perasaan. Apalagi, setelah apa yang terjadi. Aku melihat Victoria seperti tidak merasa bersalah." Luciana tertunduk. Dia meremas ujung jas Matthias. Hatinya seperti diremas mengingat tingkah adik tirinya. "Apa kamu akan berpisah dari Victoria?" "Kau tidak sedang berpikir pembalasan kita sudah berakhir?" Kepala Luciana refleks terangkat. Terlihat kerutan di alisnya saat pertanyaannya dibalas pertanyaan oleh Matthias. "Apa? Maksudmu?" Luciana masih berusaha mencerna maksud Matthias. Sampai tanpa diduga, pria itu memegang tangannya dan menariknya mendekat. Dagunya ditarik dan entah apa yang terjadi selanjutnya, tapi dia merasakan bibir Matthias memagut bibirnya yang terbuka. Kejadian itu terjadi sangat cepat, sampai tubuhnya hanya bisa membeku. Tak menolak dan tak juga menerima. Dia terdiam membiarkan lidah Matthias menjelajahi mulutnya. Membuat dia merasakan sensasi seperti kupu-kupu berterbangan di perutnya. Saat Luciana hampir terbuai dengan ciuman memabukkan Matthias yang mengejutkan, pria menarik diri dan menatapnya dengan mata gelap yang memikat. "Kau harus mengingat ucapanku dengan baik." Pikiran Luciana seketika blank. Dia tidak bisa berpikir. Hanya bisa menatap mata Matthias dan merasakan ibu jari pria itu yang mengusap bibirnya. Mengingat? Apa yang harus dia ingat? "Luciana ...." Deg. Luciana yang sedang fokus pada Matthias, seketika dibuat membeku saat mendengar namanya dipanggil. Dia menoleh cepat dan menemukan keberadaan seseorang berdiri di pintu belakang yang menatap marah dan kecewa padanya.Itu Felix.
Lima tahun kemudian. Di sebuah rumah besar nan mewah, tempat yang dulu dingin dan tidak ada tawa sama sekali, kini berubah menjadi lebih hangat. Celotehan kecil dan tawa renyah sebuah keluarga, mengisi rumah sejak lima tahun lalu. Kebahagian mereka menyebar di setiap sudut. Bahkan membuat para asisten rumah tangga ikut merasakan kebahagiaan. Hal-hal kecil terasa begitu bermakna dan hidup. Semua orang dihargai dan mendapat rasa hormat yang sama. Semua itu karena kehadiran nyonya baru mereka. Wanita yang memberi warna baru dan menciptakan kebahagiaan dalam hati setiap penghuni rumah. "Bi, bisa tolong potong sayurnya?" Suara lembut menyadarkan lamunan seorang wanita paruh baya, yang merupakan salah satu pembantu di sana. Kepalanya menoleh cepat. "Ah, baik, Nyonya!" jawabnya refleks, tapi sesaat kemudian dia bingung dan kembali melirik majikannya. "Eh, tadi Anda suruh apa, ya?" Sang majikan menoleh. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Kepalanya menggeleng pelan saat pembantu
Hari yang dinanti akhirnya tiba, pagi itu adalah hari yang menegangkan bagi Luciana dan Matthias. Ini jelas pernikahan kedua bagi mereka, tapi tetap berhasil membuat gugup."Ada apa?" tanya Isabelle saat menjadi tangan putrinya yang sedang digenggam gemetar. Sekilas, Luciana tampak tegang."Aku gugup."Luciana menoleh sebentar. Dia melihat ibunya yang tersenyum sambil memegang tangannya. Ayahnya sudah tiada, jadi ibunya yang akan menggiring dia menemui Matthias."Jangan khawatir, Ibu akan bersamamu," ucap Isabelle lembut. Sentuhan ringan mendarat di lengan Luciana dan perlahan wanita itu menjadi lebih rileks. "Ayo ...!"Dengan satu gerakan ringan, Luciana memeluk lengan ibunya dan mengangguk. Dia mulai melangkah masuk ke dalam ruangan.Sesaat, ballroom hotel menjadi senyap. Semua mata kini tertuju pada Luciana maupun Isabelle, yang melangkah di atas karpet merah panjang yang membentang dari pintu masuk, sampai ujung panggung, tempat Matthias berdiri.Musik instrumental modern—piano le
"Sepertinya tidak banyak perubahan terjadi pada tubuh Anda. Apa Anda merasa nyaman memakainya?"Luciana menatap cermin di depannya. Melihat pantulan dirinya yang berdiri dengan gaun pengantin putih tanpa lengan yang mengembang di bagian perut ke bawah. Ada bordiran halus dan detail kecil di ujung gaun. Sementara di sisi lain tampak polos. Gaun itu menutupi perutnya yang mulai membengkak. Luciana menyukainya. Tidak terasa sesak di bagian perut. "Ya, ini nyaman. Sedikit longgar, tapi jangan diperkecil lagi." Luciana mengelus perutnya sambil melirik desainer. Desainer yang berada di belakangnya tersenyum kecil, sembari mencatat sesuatu di buku catatannya. "Baik, saya tidak akan ubah. Justru bagus kalau sedikit longgar," ucapnya sambil menunduk dan merapikan lipatan gaun di lantai. "Anda akan jauh lebih nyaman saat bergerak."Luciana menatap pantulan dirinya sekali lagi. Cahaya dari lampu kristal di langit-langit jatuh lembut di atas kain satin putih itu, memantulkan kilaunya yang hal
Satu minggu kemudian.Semua orang menjadi sibuk sekarang. Matthias hampir tidak punya waktu di rumah. Pria itu nyaris tidak pernah pulang, tidak pula sempat menghubunginya. Tak hanya itu, Alexander juga ikut sibuk. Termasuk ibunya yang beberapa kali dipanggil sebagai saksi atas kematian istri pertama Richard. Mungkin satu-satunya yang menemani adalah Genevieve, karena Arabella sendiri kembali sibuk kuliah. Sayangnya hari ini, Genevieve harus keluar karena katanya ada pembukaan cabang salon baru. Wanita paruh baya itu akan pulang terlambat dan sepertinya, termasuk melewatkan jam makan malam. Jadi Luciana hanya bersama dengan pembantu di rumah. Menunggu ibunya atau Genevieve pulang. "Nyonya, ini susu untuk Anda."Luciana tersadar dan segera menoleh ke arah pembantu yang meletakkan segelas susu di meja. Dia tahu itu adalah susu ibu hamil. "Terima kasih, Bi.""Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi?""Tidak, Bi. Aku akan mengambilnya sendiri kalau ada sesuatu.""Baiklah, saya pamit ka
Setelah kejadian itu, rumor buruk tentang mereka akhirnya yang berhasil diatasi. Matthias dan Luciana tidak perlu berpisah sementara. Semua kembali normal. Meski memang, beberapa orang masih tidak menyukai apa yang terjadi. Sayangnya, sekeras mungkin mereka mencoba menggali lebih dalam, tidak ada bukti nyata perselingkuhan Matthias dan Luciana. Semua dianggap sebagai kesalahpahaman dan tentu saja, malah berita tentang Victoria yang dinyatakan valid. Keluarga Richard pun tidak yang menuntut, meski sebelumnya telah menuduh Matthias melakukan sesuatu. Mereka tidak punya bukti, tidak ada fakta jika Matthias yang berbuat jahat pada Richard atau pun Victoria. Sementara kejahatan jelas dilakukan keduanya. Hingga akhirnya, hari ini Matthias mengantar Luciana ke kuburan Victoria. Mereka tidak datang berdua. Ada Isabelle dan juga Genevieve yang ikut. Semua bukan tanpa alasan. Mereka menghindari gosip buruk yang dikhawatirkan terjadi jika hanya Matthias dan Luciana berduaan. Tentu saja, Matt
Di sisi lain, Luciana berjalan mencari keberadaan ibunya ke setiap ruangan. Namun rupanya, sang ibu berada di ruang tengah bersama Genevieve. Keduanya tampak serius menatap layar ponsel. Dia menjadi ragu sejenak, tapi segera suara Matthias terdengar memanggilnya. "Luci! Dengarkan dulu penjelasanku!"Luciana dengan mudah ditangkap. Matthias menggenggam tangannya dan berhasil menarik perhatian Genevieve mau pun Isabelle. "Lepas, Matthias! Aku tidak mau mendengarmu!" "Aku minta maaf. Aku tidak bermaksud meremehkanmu atau apa. Aku hanya khawatir, aku tidak mau kau kepikiran masalah ini.""Hei? Apa yang terjadi di sini? Kalian bertengkar?"Genevieve langsung berdiri, diikuti oleh Isabelle. Keduanya menatap heran Luciana dan Matthias, padahal beberapa menit lalu mereka tampak harmonis. "Matthias, ada apa ini? Kamu menyakiti Luciana?""Bukan, Bu. Dia hanya salah paham.""Matthias menyembunyikan sesuatu dariku! Dia tidak bilang kalau sekarang media sedang memberitakan tentang kami!" Lucia







