"Luci, aku mohon, tolong jangan katakan apa-apa pada Ayah dan Ibu."
Luciana terdiam. Dia melirik Felix yang duduk di sebelahnya. Mereka saat ini ada di dalam mobil dan sedang dalam perjalanan menuju ke rumah orang tuanya. Semua itu bukan tanpa alasan, melainkan karena ibunya tiba-tiba mengajak mereka makan malam bersama. Saat dia berencana untuk mengepak semua pakaian yang akan dibawa pergi. Tentu saja, kepergiannya harus tertunda. Padahal dia ingin segera menenangkan hati dan pikirannya. Luciana bisa saja menolak undangan itu, tapi mungkin sang ibu tidak akan senang jika perintahnya tak dituruti. "Ya, tenang saja," jawabnya acuh tak acuh. Luciana memilih menatap jalanan malam di luar jendela yang terlihat ramai oleh mobil dan motor yang berlalu lalang. Jalanan yang seolah tidak pernah tidur dan menjadi saksi kesibukan orang-orang di ibu kota. Pemandangan itu membuat perasaannya lebih tenang dan hangat alih-alih suasana mobil yang terasa begitu dingin. Felix tidak lagi menarik baginya sekarang. Padahal biasanya, dia sulit sekali melepaskan pandangan dari wajah suaminya. Kini rasanya memuakkan. Wajah lembut dan teduh yang selalu diperlihatkan Felix, kini tidak lebih dari topeng untuk menutupi semua kebusukannya. "Aku dengar Ayah memenangkan tender besar." Felix mencoba memecah suasana canggung dan dingin di dalam mobil. Luciana menyadari itu, tapi dia tampak acuh tak acuh. Tidak tertarik untuk menanggapi. "Kerja kerasku juga diakui. Ayah memujiku karena aku berkontribusi banyak di bagian pemasaran. Sedikit lagi, mungkin aku akan jadi orang kepercayaannya." Luciana masih diam, tapi dia kini mendengarkan. Telinganya menangkap rasa senang dan bangga dalam suara suaminya. Dia mengerti itu, karena memang selama ini Felix selalu berusaha untuk mendapat pujian dari ayah tirinya. Suaminya ingin diakui dan sepertinya itu berhasil sekarang. Jika saja keadaannya tidak sekacau sekarang, dia sudah pasti ikut senang dan memberikan pujian tentang betapa hebatnya Felix. Sayangnya sekarang dia tidak bergairah untuk sekadar memberikan semangat atau memedulikan itu. Meski sepertinya Felix tidak mau menyerah. "Aku juga sempat mendengar, Victoria akan segera diangkat jadi Brand Manager." Luciana yang semula mengabaikannya, menoleh cepat saat Felix menyebut nama Victoria. Dia menatap suaminya yang masih fokus menyetir. "Victoria akan diangkat jadi Brand Manager?" "Ya, sepertinya karena itu Ibu mengajak kita makan malam bersama." Makan malam. Luciana mengernyit mendengar itu. Ibunya memang tidak memberitahu lebih jelas di telepon, hanya saja katanya mereka akan makan malam untuk merayakan sesuatu. Mungkinkah .... "Itu artinya, dia akan datang kan? Victoria akan ikut?" Ada rasa kesal bercampur kemarahan saat mengetahui kemungkinan Victoria juga akan makan malam bersama mereka. Dia masih belum bisa melupakan sikap menyebalkan Victoria saat terakhir kali mereka bertemu. Tidak mungkin dia sekarang bisa duduk dan makan dengan tenang bersama wanita itu. "Sepertinya iya." "Kita kembali," ucap Luciana tepat saat Felix mengiyakan dengan ragu-ragu. Dia tidak mau datang. Dia sudah benar-benar enggan bertatap muka dengan adik tirinya dan tidak mau melihat Victoria setelah apa yang wanita itu lakukan. "Huh? Kembali? Itu tidak mungkin, Luci." "Aku tidak mau tahu, Felix. Aku ingin kembali!" Luciana sedikit memaksa. "Tidak bisa, Luci. Kita sudah sampai." Luciana yang hendak membantah lagi, seketika terdiam ketika merasakan mobil yang ditumpanginya berhenti di depan gerbang rumah orang tuanya. Lalu seseorang membuka gerbang dan mempersilakan mobil mereka masuk. Pemandangan rumah besar dengan halaman yang luas menyita perhatiannya. Dia juga melihat beberapa mobil yang sudah terparkir rapi. Namun tidak ada tanda-tanda orang tuanya akan keluar. Luciana tanpa pikir panjang segera keluar dari mobil. Dia beralih ke sisi Felix. "Pindah, biar aku yang menyetir." "Apa? Luci, kita sudah di sini. Masa kamu mau kembali? Kita harus membuat alasan apa pada orang tuamu?" "Aku tidak peduli. Aku ingin pulang." Suara Luciana sedikit gemetar saat mengatakannya. Dia mengepalkan tangannya sambil menatap tajam suaminya. Memaksa Felix untuk bergeser dan memberinya tempat. Sampai sebuah suara memanggilnya. "Luciana?" Tubuhnya menegang kaku. Dia tersentak saat mendengar suara berat yang memanggilnya. Itu ayah tirinya sekaligus ayah kandung Victoria. Richard Laurent. Dia perlahan menoleh. Membalikkan tubuhnya dan menghadap ke arah ayah tirinya. Pria paruh baya yang masih tampak sehat di usianya yang akan menginjak enam puluh tahun. Dia bisa melihat ekspresi serius di wajah tua itu saat kemudian ayah tirinya mendekat. Luciana spontan bergeser dari pintu mobil. Memberikan ruang bagi Felix untuk keluar dan menyapa ayah tirinya. "Selamat malam, Ayah." Luciana melirik Felix yang mencium tangan ayah tirinya ketika pria tua itu berhenti di depan mereka. Sementara dirinya berusaha tersenyum, walau mungkin terlihat canggung. "Malam, Ayah." "Hmm, kenapa kalian diam di sini? Ayo masuk! Yang lain sudah menunggu." Luciana spontan menoleh ke arah suaminya. Dia masih ingin pergi dari sana, tapi Felix terlihat menggelengkan kepalanya dan justru merangkulnya tanpa diduga. "Iya, Ayah, kami juga akan masuk. Kami tadi bicara sebentar. Maaf sebelumnya karena kami terlambat. Ayo, Sayang! Kita masuk." "Kalian belum terlambat. Kalau begitu, ikuti Ayah." "Baik." Luciana mengernyit mendengar perkataan Felix dan melihat senyumnya. Dia hendak menyingkirkan lengan pria itu yang merangkul pinggangnya tanpa izin, tapi kemudian, Felix berbisik. "Aku mohon jangan menolak. Kita tidak mungkin kembali sekarang." Luciana menatap kesal suaminya, tapi akhirnya dia mengurungkan niat untuk pergi. Kakinya melangkah mengikuti ayah tirinya. Namun, dia tetap menolak dirangkul sang suami. Dia memilih berjalan sendiri. Suara tawa terdengar saat Luciana memasuki rumah besar yang sempat menjadi tempatnya bernaung, meski hanya beberapa bulan. Dia mengepalkan tangan. Mencoba mengabaikan suara yang mengganggu telinganya dan terdengar seperti sebuah ejekan. Sampai langkahnya terhenti ketika ayah tirinya membuka pintu ruangan. Memperlihatkan orang-orang yang duduk di meja makan. Itu Victoria, ibunya dan juga Matthias. Tawa itu berhenti saat mereka bertiga menyadari kehadirannya. Matanya bertatapan dengan Victoria. Luciana tegang. Dia melihat adik tirinya kaget, tapi kemudian dia melihat seringai menghiasi bibirnya. "Luci! Ya ampun, aku menunggumu dari tadi!" Luciana mengernyit jijik atas respons Victoria. Dia melihat adiknya mendekat dan hendak memeluknya, seolah ingin menyambut hangat kedatangannya. Tentu saja dia langsung menghindar. "Maaf aku terlambat, kalian pasti sudah lapar." Luciana berjalan menuju meja tanpa memedulikan Victoria sama sekali. Dia menarik salah satu kursi kosong yang tepat berhadapan dengan ibunya dan di sebelah kiri ayah tirinya. Sekilas, Luciana melihat ibunya menatap tajam atas tindakannya yang kurang ajar karena mengabaikan Victoria. Dia tampak seperti akan dimarahi, tapi sebelum itu terjadi, sebuah suara mendahuluinya. "Kau tidak terlambat. Aku juga baru datang." Luciana menoleh. Dia melihat Matthias yang menatapnya. Pria itu duduk di ujung meja. Berhadapan langsung dengan ayah tirinya yang kini mengambil posisi duduk. "Aku tidak menyangka kamu akan datang. Aku pikir kamu sibuk." Luciana menanggapi Matthias dengan senyum tipis. Satu-satunya orang yang membuatnya merasa lebih tenang. Di saat dia berpikir, meja makan itu akan menjadi medan perang. "Apa yang kamu bicarakan, Luci? Matthias selalu punya waktu untuk berkumpul dengan kita semua. Iya kan, Sayang?" Tatapan Luciana teralihkan saat Victoria menimpali pembicaraan. Dia melihat gelagat adik tirinya yang tersenyum lebar seraya merangkul mesra Matthias, sebelum duduk di sebelah pria itu. Berhadapan langsung dengan Felix yang kini duduk di sebelahnya. Sikap Victoria sangat santai dan alami. Tidak ada kecanggungan yang terlihat. Namun dia menyadari Matthias tidak menatap adiknya sedikit pun. Tatapan pria itu hanya tertuju padanya. Seolah hanya dialah yang pria itu lihat. "Itu karena Ayah dan Ibu mengundangku. Aku hanya menghargai itu." Luciana tertegun. Jawaban itu terdengar seperti sanjungan sederhana yang jelas ditujukan untuk orang tuanya, tapi kenapa dia malah berpikir, jika itu hanyalah sebuah alasan untuk menutupi maksud sebenarnya?"Pak, tunggu, tidak. Tolong jangan batalkan kerja sama kita. Saya bisa jelaskan kalau itu hanya fitnah. Saya akan bereskan semuanya segera," ucap Richard pada seseorang di telepon. Dia duduk tegang sambil memijat pangkal hidungnya yang berdenyut sakit karena dua hari ini, banyak investor yang menarik diri dan kerja sama yang diputus secara sepihak. Semua itu imbas dari skandalnya yang kini telah beredar luas. Ditambah lagi berita perselingkuhan putrinya yang mencuat. Semua memperparah keadaan. "Maaf, Pak Richard, kami tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama lagi. Ini sudah menjadi keputusan final. Kami harap Anda mengerti.""Pak, saya bisa jelas—"Perkataan Richard terputus saat panggilan itu diakhiri tanpa dia sempat bicara. Dia tidak dihargai sama sekali. "Sialan! Mereka pikir mereka itu siapa? Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini."Richard mengumpat kesal. Dia meremas ponselnya. Menahan diri untuk tidak melemparnya sampai hancur. Kacau. Semuanya berantakan dan sekaran
Victoria berharap, dia akan aman di rumah manajernya untuk sementara. Sembari memikirkan rencana yang akan dia lakukan untuk menghindari polisi atau pun wartawan. Tidak ada cara lain selain menghindar. Namun, saat akhirnya tiba di halaman rumah manajernya, Victoria mendapati pemandangan tak terduga. Mobil polisi sudah terparkir di sana. Tak hanya satu, tapi dua. Wajahnya langsung pucat saat itu. "Apa-apaan ini!"Kepanikan melanda. Victoria jelas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan dari posisinya saat ini, melalui jendela mobil dia melihat manajernya sedang dijaga ketat oleh pihak kepolisian. "Sialan! Kita pergi! Pergi dari sini, cepat!" teriak Victoria sambil mengguncang kursi sang sopir. Matanya melotot ketika beberapa polisi melangkah ke arah mobilnya, tapi bukannya pergi, mobil itu tetap diam dan membuat kepanikannya semakin menjadi. "HEI! KAU TULI! JALANKAN MOBILNYA!""Maaf, Nyonya, tidak bisa. Lebih baik Anda menyerahkan diri sekarang.""APA?!"Victoria kaget bukan m
Pagi itu, Victoria yang tak tahan lagi memilih untuk pergi menemui ayahnya di kediaman keluarga Laurent. Dia dikawal oleh pengawal Mattias, karena Victoria yakin para wartawan sudah menunggu di rumah ayahnya. Ayahnya jelas terjebak dan tidak ke mana-mana sejak skandal pelecehan itu mencuat ke publik. Victoria juga belum sempat menghubungi setelah menabrak Luciana kemarin. Di tengah perjalanan, ponsel Victoria tiba-tiba berdering. Manajernya menghubunginya. Dia berdecak melihat itu dan mengangkatnya sambil menggerutu. "Ada apa? Kau tidak tahu aku sibuk? Aku tidak punya waktu untuk ke tempat pemotretan sekarang.""Aku tahu, Victoria. Situasimu sedang gawat sekarang, tapi kita dalam masalah.""Masalah apa? Klien protes? Suruh mereka reschedule saja," jawabnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. "Tidak bisa, mereka membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi." "Apa?"Victoria yang sedang bersandar, spontan menegakkan tubuhnya dan memekik kaget. Katanya melotot. "Ba
"Tuan, Anda harus keluar sekarang."Matthias menoleh ke arah perawat yang telah selesai dengan tugasnya. Lalu kembali melirik Luciana. Ada perasaan enggan dalam hatinya saat waktunya berada di sana sudah habis. "Tuan?""Tolong sebentar lagi, Sus," ucap Matthias, setengah memohon. "Lima menit lagi."Perawat itu menatap wajah Matthias yang tampak putus asa dan penuh kesedihan. Menimbulkan rasa kasihan yang akhirnya membuat dia mengangguk. "Baiklah. Lima menit, setelah itu Anda harus keluar.""Terima kasih."Senyum semringah mulai terlihat di bibir Matthias. Perhatiannya kembali tertuju pada Luciana. Meski tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanita itu, tapi lima menit yang diberikan terasa lebih berharga dari apa pun. "Luci ... maaf, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal melindungimu, tapi tolong ... jangan hukum aku seperti ini. Tolong bangun ...."Suara Matthias sedikit tersendat saat dia mencoba bicara. Berharap Luciana membuka mata dan melihatnya. Hanya itu harapannya. D
Di rumah sakit. Alexander, Arabella dan Genevieve menunggu di luar ruang ICU. Mereka menanti kedatangan Matthias yang belum kembali. Sementara Luciana masih belum sadar meski kondisinya membaik. "Bu, apa Kak Luciana akan bangun? Apa keponakanku tidak akan kenapa-kenapa? Aku harus minta maaf." Arabella memilih jari-jarinya dengan gugup. Rasa bersalah terlihat jelas di matanya. Kegelisahan belum sepenuhnya lenyap meski dokter telah memberitahu kalau semua baik-naik saja. "Jangan khawatir, Luciana pasti akan segera bangun. Ibu juga ingin minta maaf." Genevieve mengelus lengan putrinya. Memberikan sedikit semangat, meski dia sendiri masih khawatir. Kakinya perlahan mendekat ke arah jendela. Dia menatap Luciana yang terbaring di ranjang dengan alat yang terpasang di tubuhnya. Dokter bilang keduanya bisa bertahan, meski dia tetap khawatir karena kondisi janin Luciana yang lemah."Ibu! Ayah!"Genevieve tersentak. Dia menjauh dari kaca jendela dan menoleh secara bersamaan dengan Arabella
Victoria terdiam mendengar semua perkataan Matthias. Setengah percaya, setengah tidak, tapi dia jelas baru pertama kali mendengar Matthias bicara panjang lebar seperti ini. Tidak ada yang lebih membuatnya terkejut selain pengakuan suaminya yang menyentak kesadarannya. "K-kau bohong. Kau pasti bohong, Matthias. Kau tidak pernah berniat membangun keluarga denganku." Victoria tergagap. Dia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal. Walau dia harus mengakui, jika dia memang enggan hamil. Dia yang menolak ide itu. "Terserah kau percaya atau tidak. Semua juga sudah terlambat sekarang. Aku tidak berniat mempertahankan semuanya.""Tidak! Apanya yang terlambat? Aku tidak mau bercerai denganmu!"Victoria kembali mencengkeram erat tangan Matthias. Dia menggelengkan kepala. Menatap serius suaminya. "Matthias, jangan lakukan itu! Aku tidak mau cerai darimu.""Aku tidak peduli. Inilah jalan yang kau pilih sejak awal," balas Matthias dengan tak acuh. Dia menarik tangannya dan mengeraskan hatiny