Keesokan harinya. Luciana dan Matthias duduk bersama di mobil. Mereka dalam perjalanan menuju kantor seperti biasa, tapi bukan mereka yang saat ini menyetir. Melainkan sopir suruhan Alexander yang datang menjemput. Sebenarnya, Luciana berencana berangkat sendiri ke kantor dan meninggalkan Matthias karena khawatir pria itu masih sakit, tapi Matthias tetap memaksa untuk masuk. Jadi tidak ada pilihan lain baginya. "Kenapa wajahmu lesu dan kusut begitu? Kau sakit?"Luciana terkesiap saat merasakan sebuah sentuhan ringan di pipi. Dia spontan melirik Matthias yang menatap penasaran, lalu menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak apa-apa.""Jangan berbohong. Kau jelas memiliki masalah."Luciana melirik sekilas ke arah sopir. Memastikan pria itu tidak mencuri dengar, sebelum dia melirik Matthias. "Ini soal semalam. Aku masih ragu dengan apa yang kamu katakan.""Kau ragu Richard berencana membunuh kita?""Matthias!" Luciana melotot panik dan hendak menegur karena pria itu bicara keras. Dia meliri
Dini hari itu, tepatnya jam dua pagi, mobil berwarna merah muda berhenti di halaman rumah mewah. Sang empunya mobil turun dan menutup pintu dengan sempoyongan. Pandangannya kabur, sehingga menyulitkannya memasukkan pasword kunci rumah. Untunglah setelah dua kali usaha, pintu rumah terbuka. Dia menutupnya dan melempar heelsnya sembarang. Kakinya melangkah sempoyongan, beberapa kali nyaris menabrak barang karena kondisi rumah yang gelap. Namun berkat perjuangan yang sulit, dia berhasil mencapai pintu menuju kamarnya. Dia naik perlahan ke ranjang dan dalam kondisi cahaya yang minim, matanya melihat siluet seseorang berbaring. Berpikir itu suaminya, dia langsung ikut berbaring dan memeluknya. "Matthias, kamu tidur di sini? Kamu merindukanku? Kamu mencintaiku?" gumamnya dengan mata setengah terpejam. Dia menyusupkan dagunya pada orang yang dikira suaminya. "Sudah kubilang, kita tidak usah cerai. Kita saling mencintai.""Victoria? Itu kau?"Sebuah suara menyahut. Tubuh yang dipeluk Vict
"Kukira tadi itu Victoria, ternyata kau."Luciana menatap pria yang merupakan teman Matthias. Mereka duduk berhadapan di meja makan dengan Matthias yang duduk di sampingnya. Ekspresi wajahnya tidak lagi menunjukkan kekesalan, tapi justru penasaran dan terhibur. Dia bisa merasakan sorot mata yang menilainya dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman. Dia hanya tersenyum kaku tanpa melakukan apa pun. Bahkan untuk memakan satu suap makanan, rasanya sulit. "Maaf, apa Anda mengenal saya?" tanya Luciana hati-hati pada pria itu. "Jangan terlalu formal. Panggil aku Mike. Aku mengenalmu karena Matthias sering bercerita," jawab Mike santai. Melirik Matthias yang begitu fokus melanjutkan makan. "Tapi aku tidak menyangka kalau Matthias benar-benar membawa wanitanya ke rumah ini. Sangat berani."Wanitanya. Luciana tersentak dan pipinya seketika memerah. Dia melirik Matthias dan teman pria itu bergantian. Bertanya-tanya dalam hati, apa saja yang Matthias ceritakan tentangnya pada Mike? "Kau tahu
'Kamu hamil.' Kata-kata itu kembali terngiang di kepala ketika Luciana duduk di tepi ranjang setelah selesai mandi. Dia termangu sesaat sambil mengusap perutnya yang rata. Empat minggu. Dokter memberitahu kalau kandungannya berusia empat minggu. Itu jelas anak Matthias, tapi sampai detik ini, dia belum memberitahu pria itu. Dia juga meminta Alexander untuk tidak mengatakannya. Luciana dilema. Dia sendiri tidak tahu bagaimana reaksi Matthias jika dia memberitahu perihal kehamilannya ini. Mengingat kehamilannya sama sekali tidak dia rencanakan. Luciana terlalu santai, karena belum pernah merasakan kehamilan selama tiga tahun pernikahannya dengan Felix. Dia nyaris lupa, kalau dia tidak mandul. Tapi .... Tidak peduli apa yang terjadi, dia akan menjaga anak dalam kandungannya. Kehamilan ini, bagaimana pun adalah hal yang paling dia idam-idamkan sejak tiga tahun lalu. Luciana akan merawatnya setelah semua masalahnya beres. "Mungkin nanti saja aku beritahu Matthias. K
Sore itu, Matthias sudah diizinkan pulang oleh dokter. Kondisinya yang tidak terlalu parah, membuatnya tidak perlu penanganan intensif sampai harus menginap. Namun, bukannya pulang ke apartemen, kali ini Matthias pulang ke rumahnya dan Victoria. Semua karena orang tuanya mengantar kepulangannya. "Kamu baik-baik saja kan kami tinggal? Atau kamu mau Ibu jaga kamu di sini?"Genevieve menatap putranya yang duduk di sofa dengan wajah yang sudah tidak lagi pucat. Tidak rela ketika harus meninggalkan putranya yang dia anggap belum pulih. "Jangan khawatir. Ada Victoria dan Luciana di sini. Ibu dan Ayah pergi saja. Bella juga harus kembali bersiap untuk fokus belajar." Matthias melirik adiknya yang tampak diam saja dengan wajah tak terbaca. Tidak ada raut wajah senang atau haru menghiasinya. Seolah ada sesuatu yang mengganggu, tapi dia segera menepis semua pikiran itu. "Tidak perlu khawatir, Sayang. Matthias itu laki-laki. Dia tidak terluka parah.""Aku tahu, tapi tetap saja! Aku khawatir
"Luciana ...." Gumaman lirih keluar dari mulut Matthias yang tertidur. Kedua alisnya mengernyit. Ada kegelisahan di wajahnya. Keringatnya menetes. "Matthias?"Kerutan alis Matthias semakin dalam. Dia menggelengkan kepala ketika mendengar suara itu. Tubuhnya diguncang pelan. Memaksanya untuk mau tak mau membuka mata dan menatap seorang wanita di sebelahnya. Namun pandangannya masih buram. "Luciana?""Aku bukan Luciana. Aku istrimu. Victoria!"Matthias tampal mengerutkan dahi, tapi perlahan dia mulai bisa melihat semuanya dengan jelas dan orang yang ada di sampingnya memang benar adalah Victoria. Ketidaksenangan langsung terlihat di matanya. Matthias menepis tangan Victoria yang memegang tangannya. Cukup sadar untuk mengingat apa yang terjadi. "Apa yang kau lakukan di sini?" "Kenapa kau bertanya begitu? Tentu saja aku di sini karena khawatir dengan suamiku sendiri. Kau tidak tahu betapa cemasnya aku mendengar kabar kau kecelakaan!" Hati Matthias tidak tersentuh sedikit pun oleh k