Malam itu, para polisi masih berjaga di depan ruang ICU di mana Victoria dirawat. Keadaannya yang tidak membaik dan terus terjadi pendarahan, membuat kondisinya jauh lebih parah dari Luciana. Richard jelas terpukul dan tak bisa melakukan apa pun selain menunggu kabar dokter. Sementara Matthias saat ini sedang duduk di sebuah restoran di sebelah rumah sakit bersama dengan temannya, Mike. "Aku sudah melihat keadannya. Situasinya benar-benar sangat kacau," ucap Mike sambil menarik napas dan mengaduk kopi di depannya. Matanya melirik temannya penuh kehati-hatian. "Aku tidak ingin ini terjadi, tapi mereka sudah keterlaluan. Akan sangat bahaya jika mereka tidak segera ditangkap.""Ya, kau melakukan hal yang benar, Matthias. Lebih baik seperti ini, meski semuanya benar-benar menjadi rumit." Mike menjeda kalimatnya dan memilih menikmati minumannya sesaat sebelum kemudian melanjutkan, "Aku turut sedih mendengar kabar Luciana, tapi dia baik-baik saja kan?"Matthias mengangguk tanpa minat saa
"Matthias! Katanya Victoria kecelakaan? Apa itu benar?"Matthias menoleh ke arah sang ibu yang menghampirinya bersama dengan Arabella. Keduanya datang bersama, kecuali sang ayah yang tidak terlihat. "Iya, dia di ICU. Dokter sedang menanganinya. Kondisinya kritis."Ruang ICU Victoria dan Luciana kebetulan bersebelahan. Matthias jadi tidak harus meninggalkan Luciana. Dia lebih tenang, apalagi dengan beberapa polisi yang berjaga tak jauh darinya. "Ya ampun! Kenapa bisa begitu?""Victoria melarikan diri saat mau ditangkap. Dia berencana pergi ke luar negeri, tapi dia malah mendapat karma. Dia tertabrak." Genevieve dan Arabella tercekat mendengar penjelasan Matthias. Keduanya langsung khawatir dan refleks menutup mulut. "Terus, Kak, orang tua Kak Victoria sudah tahu soal ini?"Perhatian Matthias beralih pada sang adik. "Tadi polisi datang untuk menjemput Richard. Sepertinya mereka sebentar lagi akan tiba.""Kasihan sekali Victoria, tapi dia juga sudah sangat jahat," gumam Genevieve samb
"Pak, tunggu, tidak. Tolong jangan batalkan kerja sama kita. Saya bisa jelaskan kalau itu hanya fitnah. Saya akan bereskan semuanya segera," ucap Richard pada seseorang di telepon. Dia duduk tegang sambil memijat pangkal hidungnya yang berdenyut sakit karena dua hari ini, banyak investor yang menarik diri dan kerja sama yang diputus secara sepihak. Semua itu imbas dari skandalnya yang kini telah beredar luas. Ditambah lagi berita perselingkuhan putrinya yang mencuat. Semua memperparah keadaan. "Maaf, Pak Richard, kami tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama lagi. Ini sudah menjadi keputusan final. Kami harap Anda mengerti.""Pak, saya bisa jelas—"Perkataan Richard terputus saat panggilan itu diakhiri tanpa dia sempat bicara. Dia tidak dihargai sama sekali. "Sialan! Mereka pikir mereka itu siapa? Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini."Richard mengumpat kesal. Dia meremas ponselnya. Menahan diri untuk tidak melemparnya sampai hancur. Kacau. Semuanya berantakan dan sekaran
Victoria berharap, dia akan aman di rumah manajernya untuk sementara. Sembari memikirkan rencana yang akan dia lakukan untuk menghindari polisi atau pun wartawan. Tidak ada cara lain selain menghindar. Namun, saat akhirnya tiba di halaman rumah manajernya, Victoria mendapati pemandangan tak terduga. Mobil polisi sudah terparkir di sana. Tak hanya satu, tapi dua. Wajahnya langsung pucat saat itu. "Apa-apaan ini!"Kepanikan melanda. Victoria jelas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan dari posisinya saat ini, melalui jendela mobil dia melihat manajernya sedang dijaga ketat oleh pihak kepolisian. "Sialan! Kita pergi! Pergi dari sini, cepat!" teriak Victoria sambil mengguncang kursi sang sopir. Matanya melotot ketika beberapa polisi melangkah ke arah mobilnya, tapi bukannya pergi, mobil itu tetap diam dan membuat kepanikannya semakin menjadi. "HEI! KAU TULI! JALANKAN MOBILNYA!""Maaf, Nyonya, tidak bisa. Lebih baik Anda menyerahkan diri sekarang.""APA?!"Victoria kaget bukan m
Pagi itu, Victoria yang tak tahan lagi memilih untuk pergi menemui ayahnya di kediaman keluarga Laurent. Dia dikawal oleh pengawal Mattias, karena Victoria yakin para wartawan sudah menunggu di rumah ayahnya. Ayahnya jelas terjebak dan tidak ke mana-mana sejak skandal pelecehan itu mencuat ke publik. Victoria juga belum sempat menghubungi setelah menabrak Luciana kemarin. Di tengah perjalanan, ponsel Victoria tiba-tiba berdering. Manajernya menghubunginya. Dia berdecak melihat itu dan mengangkatnya sambil menggerutu. "Ada apa? Kau tidak tahu aku sibuk? Aku tidak punya waktu untuk ke tempat pemotretan sekarang.""Aku tahu, Victoria. Situasimu sedang gawat sekarang, tapi kita dalam masalah.""Masalah apa? Klien protes? Suruh mereka reschedule saja," jawabnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. "Tidak bisa, mereka membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi." "Apa?"Victoria yang sedang bersandar, spontan menegakkan tubuhnya dan memekik kaget. Katanya melotot. "Ba
"Tuan, Anda harus keluar sekarang."Matthias menoleh ke arah perawat yang telah selesai dengan tugasnya. Lalu kembali melirik Luciana. Ada perasaan enggan dalam hatinya saat waktunya berada di sana sudah habis. "Tuan?""Tolong sebentar lagi, Sus," ucap Matthias, setengah memohon. "Lima menit lagi."Perawat itu menatap wajah Matthias yang tampak putus asa dan penuh kesedihan. Menimbulkan rasa kasihan yang akhirnya membuat dia mengangguk. "Baiklah. Lima menit, setelah itu Anda harus keluar.""Terima kasih."Senyum semringah mulai terlihat di bibir Matthias. Perhatiannya kembali tertuju pada Luciana. Meski tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanita itu, tapi lima menit yang diberikan terasa lebih berharga dari apa pun. "Luci ... maaf, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal melindungimu, tapi tolong ... jangan hukum aku seperti ini. Tolong bangun ...."Suara Matthias sedikit tersendat saat dia mencoba bicara. Berharap Luciana membuka mata dan melihatnya. Hanya itu harapannya. D