Pernikahan adalah sesuatu yang suci. Komitmen dalam sebuah hubungan jangka panjang yang harusnya dijaga, bukan hanya diucap di hadapan Tuhan, lalu dilupakan ketika menemukan seseorang yang lebih baik dari pasangan.
Sayangnya bagi Luciana, pernikahannya sudah hancur saat sang suami memilih mengkhianatinya. Kini ... dia juga melakukannya. Sepasang tangan meremas seprai putih yang kusut saat erangan lembut lolos dari bibirnya. Luciana terengah-terengah. Matanya menatap pria yang bergerak di atasnya. Entah siapa yang memulai, tapi saat ini, dia sudah ada di bawah tubuh besar Matthias. Tanpa busana dan bermandi peluh. "Matthias," rengek Luciana yang dibalas geraman pria itu. Bibir merahnya yang terbuka, dengan cepat dibungkam, meredam semua rintihan yang akan lolos dari bibirnya. Kedua kakinya melingkar di sekitar pinggang Matthias saat Luciana merasakan intensnya gerakan pria itu. Sebelum akhirnya tubuhnya mengejang. Tersentak beberapa kali dengan teriakan yang teredam. Perasaan lelah, puas, dan rasa bersalah langsung menyeruak dalam dadanya saat akhirnya tubuh besar Matthias jatuh di atasnya. Pria itu berhenti. Selesai. Tubuhnya sesekali masih bergidik. Merintih pelan saat tubuh Matthias berguling di sebelahnya. Bibirnya mendesis ketika pria itu menarik diri dan meninggalkan dirinya yang terasa kosong. Luciana menatapnya. Melihat mata gelap Matthias yang memancarkan kepuasan dan hasrat yang kemudian menghilang dalam sekejap. Reaksi dan ekspresi iparnya, membuat Luciana mengernyit heran. "Kamu puas?" "Bukan aku, tapi kita dan suamimu akan melihat ini." Luciana terdiam. Dia melihat tangan Matthias terulur dan menyentuh beberapa titik tubuhnya yang tanpa busana. Sentuhan lembut yang berhasil membuatnya merinding. Pria itu menelusuri jejak merah yang dibuat di leher, dada dan perut rampingnya. Tubuh Luciana menggigil. Sentuhan itu mengobarkan kembali api yang sempat padam beberapa menit sebelumnya. Namun sebelum perasaan mengambil alih akal sehatnya lagi, Luciana segera menggenggam tangan Matthias. "Cukup. Kita melakukan ini bukan untuk bersenang-senang." Sebelum semuanya menjadi rumit, Luciana mau tak mau memberi batasan para Matthias. Dia tidak mau ada perasaan yang terlibat. Jadi, tanpa menunggu waktu atau respons iparnya, Luciana memilih turun dari ranjang. Dipungutnya gaun miliknya. Dia memakainya dengan sedikit tergesa-gesa. Namun dia tidak menghapus atau merapikan penampilannya. Luciana membiarkan rambutnya agak kusut. Dia juga tidak mencoba menutupi tanda merah di lehernya atau menyamarkan aroma keringatnya yang bercampur dengan milik Matthias menggunakan parfume. "Tolong antarkan aku pulang," ucapnya sambil melirik ke arah Matthias yang masih begitu santai bersandar di ranjang. Pria itu bahkan tidak mau repot-repot menutupi tubuhnya dengan selimut atau memakai baju. Luciana terkejut. Pipinya sedikit memerah saat matanya tak sengaja tertuju pada sesuatu di antara kedua paha pria itu. Matthias tidak punya malu. "Kenapa tidak sekalian menginap di sini? Biarkan suamimu mencarimu." Luciana mencuri pandang. Matanya berusaha tetap fokus pada wajah Matthias yang akhirnya kini turun dari ranjang dan berganti baju, meski sebelumnya terlihat malas-malasan. Pria itu kemudian menghampirinya dengan langkah santai setelah berpakaian rapi. "Tidak perlu. Seperti ini sudah cukup." "Baiklah." Pinggangnya dirangkul. Luciana sedikit tersentak. Dia merasakan pelukan akrab yang diberikan Matthias saat pria itu menariknya menuju pintu keluar. Pergi dari tempat di mana dia telah menyerahkan dirinya pada iparnya untuk membalas pelajaran pada sang suami. Ini jelas salah, tapi rangkulan asing itu membuatnya nyaman. Luciana tidak menolak. Dia hanya diam sambil menyiapkan hati saat mereka masuk ke dalam lift. *** Mobil hitam milik Matthias tiba di halaman rumah Luciana. Tak jauh dari sana terlihat sebuah mobil putih, yang merupakan milik Felix juga sudah terparkir. Pria itu sudah pulang. Tangan Luciana mengepal. Kemarahan yang sempat lenyap, kini menyeruak kembali. Dia langsung keluar dari mobil tanpa pikir panjang dan menutupnya kasar. "Luci." Luciana berhenti melangkah. Dia memutar tubuhnya dan menghadap ke arah Matthias yang memanggilnya. Panggilan akrab yang terasa menggelitik di telinganya. Tidak biasanya iparnya memanggil begitu. "Apa?" Bukannya menjawab, pria itu malah menghampirinya dan menggenggam tangannya. "Kendalikan dirimu." Luciana diam. Dia termangu sesaat dengan perkataan Matthias yang seolah ingin membuatnya tenang. Seakan pria itu tahu jika dia bisa saja meledak saat bertatap muka dengan suaminya. Perhatian kecil yang menenangkan, berhasil meredam kemarahannya untuk sesaat. Luciana mengangguk kaku. Dia tahu, dia tidak boleh emosi. Dia harus tenang seperti Matthias. "Aku tahu. Terima kasih sudah mengingatkan." Suara derit pintu terdengar di sela-sela percakapan Luciana dan Matthias. Keduanya pun menoleh serentak dan melihat sosok pria yang beberapa menit sebelumnya mereka lihat di kamar hotel. Tubuh Luciana menegang seketika. Matanya melotot. Ada kemarahan yang berusaha dia tahan mati-matian. "Luciana? Apa yang kamu lakukan? Dari mana saja kamu?" Luciana menarik tangannya yang digenggam Matthias. Dia berbalik menghadap Felix yang kini mendekatinya dengan mata menyipit. Pria itu seolah menilainya dan Luciana juga melakukan hal yang sama. Setiap jengkal tubuh suaminya, tidak dia lewatkan. Matanya mengamati perubahan Felix. Pakaian yang rapi dan aroma parfume yang biasa dia cium. Penampilannya menunjukkan, seolah-olah tidak ada tanda perselingkuhan, tapi matanya menemukan rambut suaminya yang masih basah. "Kenapa tidak menjawab? Ada apa denganmu?" Rahang Luciana mengetat. Dia melirik jijik suaminya yang kini menggenggam tangannya. Tangan yang pasti sering menggerayangi tubuh adik tirinya. Tanpa basa-basi, Luciana langsung menepisnya. "Bukan urusanmu dan jangan menyentuhku! Aku mau pulang atau tidak, kamu tidak perlu tahu!" "Apa? Kamu melawan suamimu sendiri? Apa kamu mabuk atau gila? Jangan bilang, kamu pergi bersama pria ini?" Telunjuk Felix mengarah pada Matthias yang masih tenang dan mengamati di samping Luciana, tapi saat dirinya ditunjuk, pria itu langsung menepisnya. "Ya, istrimu bersamaku sejak tadi." "Aku tidak bicara denganmu." Felix mengalihkan pandangannya dan menatap bergantian antara Matthias dan istrinya, sebelum matanya kembali tertuju pada Luciana. Kekesalan terlihat jelas dalam sorot matanya. "Katakan, apa maksud semua ini? Kamu pergi dengan iparmu sendiri dan bukannya diam menungguku puang? Kamu ini istri macam apa? Keluyuran malam-malam." Luciana yang mendengar tuduhan Felix seketika menjadi semakin kesal. Tangannya mengepal sementara bibirnya tersenyum sinis. Felix menyudutkannya. Menuduh dia seolah istri yang tidak berbakti. "Menunggumu? Buat apa?" "Ini hari jadi pernikahan kita. Apa kamu tidak ingat kalau kita akan merayakannya?" "Merayakan? Apa kamu berharap aku mau merayakan hari pernikahan kita di tempat kamu meniduri adik tiriku sendiri! Kamu pikir aku mau?" Suara Luciana terdengar melengking. Dia tanpa sadar berteriak dan menunjuk Felix dengan berapi-api. Dadanya benar-benar sesak, tapi bukan karena dia kehilangan napas, melainkan kehilangan kesabaran menghadapi suaminya. "A-apa? Jadi yang tadi—" "Tega kamu, Felix. Tega kamu mengkhianati pernikahan kita setelah aku menerima semua kekuranganmu!" Dada Luciana naik turun. Suaranya sedikit bergetar saat dia mencoba menahan semua kesedihannya. Dia bisa melihat ekspresi syok dan pucat suaminya yang seolah tak percaya karena perbuatannya telah ketahuan. Sayangnya itu tidak membuat Luciana merasa iba atau meredam kemarahannya. Hatinya sakit dan kepalanya bahkan ikut pusing karena memikirkan kejadian yang baru menimpanya. Dia menerima Felix apa adanya. Saat pria itu bahkan tidak mampu memberikannya anak, tapi balasannya? "Aku benar-benar muak melihatmu!" Luciana tidak tahan. Dia langsung mendorong Felix dan hendak masuk ke dalam rumah. Dia tetap tidak bisa setenang Matthias saat harus berkonfrontasi langsung dengan suaminya. Rangkaian kalimat yang telah dia siapkan untuk Felix, seolah hilang sekarang. Namun, beberapa saat melangkah, tangannya tiba-tiba ditarik dan entah apa yang terjadi, Luciana harus dikagetkan dengan suara robekan kain yang membuat lengan baju bagian kanannya terbuka disertai beberapa kancing baju yang lepas. Sebelum dia menyadari situasi dan melihat pelaku yang membuat pakaiannya robek, dia merasakan cengkeraman di bahunya. Tubuhnya tertarik ke depan. Sampai akhirnya dia berhadapan dengan mata Felix yang terbelalak dan berkilat marah. "Apa ini? Tanda apa ini, Luci?"Taksi yang ditumpangi oleh Luciana berhenti di depan halaman rumahnya. Akhirnya dia tiba di sana. Pikirannya kini dipenuhi dengan kalimat yang coba dia susun saat nanti berhadapan kembali dengan Felix. Ketika Luciana turun dari taksi, matanya langsung disambut oleh keberadaan mobil milik suaminya yang sudah terparkir rapi. Felix benar-benar ada di rumah setelah semalaman entah berada di mana. Dia menelan ludah beberapa kali sambil menghela napas, lalu menguatkan dirinya ketika melangkah menuju ke arah pintu. Tidak dikunci. Tangannya memutar pelan kenop pintu, lalu masuk perlahan. Hening. Luciana tidak merasakan kehadiran suaminya. Dia juga melihat keadaan di rumah itu masih sama seperti saat ditinggalkan. Tubuhnya perlahan rileks. Dia melangkah semakin ke dalam, sampai sebuah suara menghentikannya. "Luci."Tubuhnya menegang. Dia tersentak sesaat, sebelum kemudian telinganya menangkap suara langkah kaki, lalu tanpa aba-aba, d
Luciana terdiam. Mulutnya menganga saat matanya menatap beberapa piring berisi makanan di depannya. Makanan yang menggugah selera hingga berhasil membuat perutnya keroncongan. Namun dia tidak mengambil bagian, tatapannya justru beralih pada pria di depannya. "Kenapa? Makanlah."Luciana menghembuskan napas kasar mendengar jawaban santai Matthias. Dia refleks melirik sekeliling ruangan. Tidak ada orang, jelas saja karena itu ruang makan privat. Hanya ada mereka di sana dan sialnya, dia sendiri tidak yakin bagaimana dirinya bisa berakhir di sana bersama dengan Matthias. "Matthias, kamu tahu? Kamu tidak perlu melakukan ini. Aku hanya ingin pulang.""Pulang? Dengan suara perutmu yang terus berbunyi?"Bola mata Luciana melebar. Bibirnya terbuka, sebelum kemudian terkatup kembali dan menunduk dengan kedua pipi memerah. Dia refleks memegangi perutnya. "Perut berbunyi bukan berarti lapar.""Tapi kau kelaparan.""Kata
Luciana sedang fokus. Dia mengerjakan semua berkas yang menumpuk di meja. Entah sudah berapa lama, dia tidak menghitungnya, tapi yang pasti, suara gelas yang diletakkan di sebelahnya, berhasil mengalihkan fokusnya. "Minumlah."Mata Luciana berkedip. Dia menatap Matthias yang meletakkan gelas berisi cairan berwarna merah, lalu duduk sambil menyilangkan salah satu kaki. Memandangnya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan. Luciana pun meletakkan berkas yang sedang dia kerjakan dan mengambil gelas itu. Namun dia tidak langsung menenggaknya. Hidungnya mengendus minuman itu, sebelum kemudian melirik iparnya lagi sembari meletakkan gelasnya di tempat semula. "Maaf, aku tidak minum alkohol.""Itu hanya wine.""Tetap saja, itu alkohol.""Baiklah, kau mau apa?"Luciana berkedip saat melihat Matthias berdiri dan mengambil gelas wine itu. "Tunggu, kamu mau mengambilkan minum untuku?""Ya, ada apa?"
"Kamu pantas mendapatkannya. Harusnya lebih dari itu.""Maksudmu apa? Kau mengajakku ribut?"Luciana menatap tajam Victoria. Rahangnya mengeras saat melihat adik tirinya yang marah dan seolah siap melawannya. Tangan wanita itu masih memegangi pipinya yang bengkak. "Aku hanya memberimu pelajaran.""Pelajaran apa? Sepertinya kau jadi gila sekarang.""Gila?" Luciana tertawa sumbang. Matanya masih tertuju pada Victoria yang kini terlihat ngeri melihatnya. Lalu tiba-tiba, dia mendorong dan menekannya ke dinding. Tangannya menarik kasar kerah baju Victoria hingga wanita itu terkejut. Tawanya berhenti dan yang terlihat hanyalah kemarahan. "Aku tidak mengerti," bisik Luciana sambil menahan amarahnya. Suaranya sedikit tercekat saat dia bicara. Dadanya sakit. Sangat. "Kamu ini punya segalanya. Kamu cantik, pintar, kaya dan kamu juga punya suami yang sempurna."Ada kesedihan dalam nada suara Luciana saat mengatakannya. Kekecewaan dan kemarahan yang membuatnya benar-benar ingin mengamuk, tapi
Langit begitu cerah hari itu. Sinar matahari menyorot langsung ke arah orang-orang yang sibuk bekerja atau sekadar berjalan-jalan. Namun lain halnya dengan Luciana. Akibat kejadian kemarin, dia sama sekali tidak merasa bergairah menjalani hari. Luciana terduduk tenang di kursi penumpang saat taksi yang dia pesan melaju di jalanan yang agak lengang. Raut wajahnya yang sedih dan muram masih menghiasi. Felix belum kembali dan dia tidak tahu ke mana. Luciana sendiri bingung dan tidak tahu harus bertindak apa. Cerai? Tidak. Itu adalah pilihan yang sulit. Bohong baginya jika Luciana mengatakan sudah tidak lagi mencintai suaminya setelah dikhianati. Kenyataannya, dia masih sangat mencintai Felix setelah semua terjadi. "Bu, apa kita akan pergi ke Sinclair Group?"Luciana yang sedang terbengong menatap jendela, seketika teralihkan oleh pertanyaan sopir taksi. "Iya, kita ke sana. Tolong lebih cepat.""Baik, Bu."Luciana menarik napas dalam-dalam dan kembali menatap jalanan lewat jendela ka
Luciana mengernyit. Matanya melirik ke arah yang ditunjuk suaminya dan seketika itu juga, dia sadar itu adalah tanda yang dibuat Matthias di tulang selangkanya. Luciana mendengkus. Dia langsung menyingkirkan tangan Felix dari bahunya. "Harusnya kamu sudah tahu. Tidak mungkin aku harus menjelaskannya kan?"Dagu Luciana terangkat. Dia mundur dan meraih lengan Matthias. Menantang Felix tanpa peduli apa pun lagi. Rasa sakit hati dan kekecewaan atas pengkhianatan suaminya telah membuatnya nekat memilih membalas rasa sakit hatinya. Jika suaminya bisa, kenapa dia tidak? "Apa maksudmu? Jangan katakan kamu tidur dengannya!"Mata Luciana memanas. Perih dan hampir saja cairan bening menetes, saat dia melihat kemarahan dan luka di mata suaminya. Namun bayangan ketika dia melihat suaminya di ranjang bersama adik tirinya, kembali berputar di kepala seakan sedang mengejeknya, dia menguatkan tekad. Mengepalkan tangannya kuat-kuat seolah sedang berusaha mengeraskan hatinya. "Ya, aku melakukannya.