Sepasang sepatu hak tinggi terhenti di depan pintu kamar hotel. Jemari Luciana bergetar saat meraih kartu akses dalam tas yang nyaris lepas dari genggamannya. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh firasat buruk yang sudah sejak tadi menusuk-nusuk pikirannya, tapi berulang kali juga ditepisnya.
Hari ulang tahun pernikahan. Dia pikir, dia harus menyiapkan kejutan untuk Felix sebelum pria itu pulang. Bunyi klik terdengar. Pintu terbuka perlahan. Satu langkah masuk, dunia Luciana berhenti. Gaun tipis berwarna merah muda berserakan di lantai marmer, bersama dengan pakaian dalam dan kemeja yang sangat dia kenal. Di balik sekat kaca yang terbuka separuh, dua tubuh telanjang terjerat dalam selimut putih. Suara tawa kecil terdengar. Suara yang sangat Luciana kenal. Victoria. Adik tirinya. Luciana tak bisa bergerak. Jantungnya seolah diremas, darahnya mengalir dingin hingga ujung kaki saat matanya menangkap siluet dua orang tersebut. Pria yang bersama dengan Victoria. Tidak mungkin dia tidak mengenalnya. “Kakak iparku ternyata sedang bersama istriku.” Luciana menoleh cepat. Sosok itu adalah suami Victoria. Pria yang selama ini dikenal angkuh, pendiam, dan nyaris tidak pernah menatapnya lebih dari satu detik. Namun, belum sempat Luciana mencerna situasi yang semakin membuatnya gila. Matthias lebih dulu menarik tangan Luciana dari sana. Lalu Matthias menoleh ke arah Luciana. “Kita keluar dari sini.” Di lorong hotel, keheningan menyelimuti keduanya. Matthias tak bicara. Luciana pun tak bisa berkata apa-apa. Tangisnya sudah habis. Dia hanya bisa melangkah mengekori Matthias. Setelah beberapa langkah, pria itu berhenti. “Kau akan bercerai?” Luciana mendongak, menatapnya dengan mata merah. Dia terdiam sesaat, sebelum menelan ludah dan mengumpulkan suaranya yang hampir tercekik karena tangis yang tertahan. “Aku harus bagaimana? Dia tidur dengan adik tiriku di ranjang hotel yang dia sewa pakai kartu kredit kami.” Harusnya malam ini Luciana menghabiskan waktunya dengan Felix. Suaminya sudah berjanji untuk merayakan hari jadi pernikahan mereka yang ketiga tahun, tapi entah apa yang terjadi. Apakah suaminya melupakan janjinya hingga memilih berakhir di ranjang bersama adik tirinya sendiri? “Hm.” Matthias menarik napas panjang, lalu mengeluarkan ponselnya. Ia membuka aplikasi catatan, lalu menulis sesuatu dan menunjukkannya ke Luciana. ‘Bagaimana kalau kita balas mereka? Dengan cara mereka.’ Luciana membeku. Alisnya berkerut penuh kebingungan. “Apa maksudmu?” “Kau istri Felix. Aku suami Victoria. Mereka tidur bersama. Jadi, kenapa kita tidak tidur bersama juga?” Luciana menatapnya, tak percaya dengan apa yang baru ia dengar, tapi di balik keterkejutan itu, ada api yang membakar di dadanya. Luka, amarah, dan kehancuran. Itu gila. Matthias pasti sudah gila. Pria ini mengajaknya bermain api. Apakah Matthias pikir, dia sama seperti Felix? Dia tertawa kecil. Sinis. Pahit. “Dan kamu pikir itu solusi?” “Itu awal,” jawab Matthias, suaranya tenang. Tak terpengaruh sedikit pun dengan reaksi Luciana yang memandangnya ngeri. Seolah dia sudah tidak waras karena menyarankan untuk melakukan hal yang sama. “Atau kau lebih suka jadi istri setia yang diselingkuhi?” Luciana terdiam. Malam ini, hidupnya hancur, tapi entah kenapa, tatapan dingin Matthias justru terasa lebih menguatkan daripada semua pelukan palsu yang pernah ia terima dari Felix. Namun sesaat kemudian, Luciana menggeleng. Dia menarik tangannya dan melangkah mundur. Memberi jarak antara dirinya dengan Matthias. Matanya terpaku pada pria yang ada di depannya. Menelisik ekspresi tenang Matthias. Tidak ada tanda-tanda kemarahan atau sedih di sana setelah apa yang terjadi. Tidak seperti dirinya, Matthias sangat tenang. Seolah apa yang tadi dilihatnya tidak berarti apa-apa. Luciana menghela napas kasar seraya mengusap rambutnya. "Kamu mengejekku." "Tidak ada yang mengejekmu. Hanya menyampaikan fakta." Mata Luciana menusuk. Menyelami sorot mata tenang milik Matthias. Pria ini tidak terlihat seperti berbohong atau berusaha menghiburnya. "Tidak ada yang menginginkan itu, tapi tawaranmu sangat gila. Bagaimana bisa kamu sampai berpikir seperti itu? Kamu bahkan tidak terlihat seperti terganggu dan ... apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini?" Kedua sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Seolah ingin membentuk sebuah senyuman, tapi yang Luciana lihat tetap sama. Dia kesulitan menebak apa yang ada di pikiran Matthias saat ini. "Ikut aku!" Lagi-lagi, tangannya ditarik Matthias sebelum Luciana sempat mendapat jawaban atas pertanyaannya. Dia dibawa ke sebuah lift yang membawanya entah ke mana. Matanya berkedip melihat Matthias yang menekan tombol lantai. Keheningan terjadi. Luciana tidak bicara, begitu juga dengan Matthias. Tepatnya, dia sedang menebak, apa yang sedang dipikirkan iparnya? Suara pintu lift berdenting. Lift pun terbuka. Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, Luciana mengikuti langkah Matthias. Punggung lebar dan lengan kekar yang menarik tangannya, menjadi hal yang bisa dilihat Luciana dari sosok ipar yang selama ini tidak begitu dekat dengannya. Ketika kemudian Matthias berhenti dan membuka pintu, Luciana terdiam saat pria itu mengajaknya masuk ke salah satu suite room. Alisnya berkerut. Langkahnya ragu-ragu saat Matthias membawanya masuk. "Kenapa kamu membawaku ke sini? Aku bahkan belum mengatakan setuju." Genggaman tangan Matthias di lengannya terlepas. Luciana melihat pria itu menoleh, lalu berjalan menuju ruangan yang ternyata adalah dapur. Langkahnya santai hingga dia bisa menyeimbanginya. "Matthias—" "Aku sedang ada urusan di sini. Sampai aku melihatmu berkeliaran dan mendapat laporan, kalau istriku pergi ke sini. Bersama iparku. Lagi." Luciana tercekat. Pupil matanya melebar. Kedua tangannya refleks mengepal saat dia melihat Matthias menoleh dengan santai. "L-lagi? Jadi kamu sudah tahu?" "Hm." Luciana mendekat. Tangannya refleks mencengkeram kedua lengan baju iparnya. Tubuhnya gemetar dan rasanya, darahnya mendidih, tapi Luciana berusaha menahan diri untuk tidak melampiaskan semuanya sekarang. "Sejak kapan? Ini bukan pertama kalinya? Katakan Matthias!" Pria itu diam, tapi kedua tangannya disingkirkan. Luciana melihat Matthias dengan tenang menyeduh secangkir teh, lalu memberikan itu padanya. Reaksi tersebut, sontak membuat Luciana mengernyit aneh dan menatap tak percaya, tapi dia akhirnya tetap mengambil cangkir teh itu dan meminumnya sedikit. Aromanya wangi dan rasanya tidak pahit. Luciana merasa bahunya sedikit rileks. Cangkir itu diletakkan kasar olehnya, setelah dia mencicipinya. Fokusnya kembali tertuju pada Matthias. Kali ini lebih tenang. "Katakan." "Dua bulan terakhir. Mereka bertemu dan berkencan. Kau tidak menyadarinya?" Luciana terhenyak. Dia refleks menahan napas dan kehilangan kata-kata. Jantungnya seolah diremas begitu kuat. "Apa?" Tidak. Luciana menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah tahu. Suaminya selalu bersikap seperti biasa. Pergi bekerja saat pagi dan pulang sore. Itu adalah hal yang normal, setidaknya sampai dia teringat dengan beberapa kali pertengkaran mereka ketika Felix selalu lembur. Selain itu tidak ada. Tidak ada kecurigaan sama sekali karena dia tahu, Felix bekerja di kantor ayahnya. Walau dia sempat mendengar suaminya terlibat project iklan bersama dengan Victoria yang memang akan meneruskan bisnis milik ayahnya. "Jadi suamiku sudah mengkhianatiku selama ini?" tanyanya dengan nada lirih sekaligus tak percaya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap mata Matthias. Mencari jawaban yang jelas tidak ingin dia dengar. Pria itu mengangguk dan melangkah mendekat. Luciana yang melihat itu pun, secara alami mundur sampai tubuhnya tertahan oleh meja dapur dan terkurung dalam tubuh besar Matthias. Dia terdesak. "Matthias—" "Mereka berkhianat. Mencuri setiap momen dan menganggap kita bodoh," bisik Matthias tepat di telinganya. "Tapi aku yakin, kau bukan orang yang mau direndahkan seperti ini. Mari, beri mereka pelajaran." Luciana tersentak. Tubuhnya bergidik. Dia merasakan sentakan langsung dari telinga sampai ke bawah perutnya. Sensasi seperti aliran listrik telah menyetrumnya. Memacu adrenalinenya bekerja lebih cepat. Matanya berkedip. Menatap mata gelap yang pekat milik Matthias, yang seolah ingin menariknya masuk. Seolah jika dia menerima tawaran itu, dia akan tersesat dan tenggelam sepenuhnya, tapi entah mengapa dia merasakan perlindungan. Sebuah tempat aman yang Luciana kira ada pada suaminya. Dan untuk pertama kalinya sejak dia menikah, Luciana merasa hidupnya baru saja dimulai.Luciana mengerang gelisah dalam tidurnya. Dia merasakan sakit kepala dan sensasi mual yang teramat sangat, hingga matanya terbuka seketika. Dia belum sempat memikirkan apa pun ketika tubuhnya bergerak secara refleks mencari kamar mandi dan muntah di sana. Rasa pusing dan sakit kepala yang hebat, membuatnya benar-benar kesulitan. Suaranya yang tidak berhenti, berhasil mengganggu tidur Matthias. Dia membuka matanya dengan terpaksa dan mengernyit ketika mendengar suara seseorang yang muntah-muntah. Matthias mengumpulkan kesadarannya dan menoleh ke samping. Ketika akhirnya dia segera mengingat semuanya dan terkejut menyadari Luciana tidak ada di sampingnya. Pikirannya terkoneksi pada suara di kamar mandi. Masih agak linglung, dia bangun dari ranjang dengan hanya memakai boxer. Berjalan tergesa-gesa ke dalam kamar mandi dan mendapati Luciana memang di sana."Luci, apa yang terjadi?" Wanita itu mengangkat wajahnya yang pucat. Matthias bisa Luciana tidak baik-baik saja. Seketika dia sad
"Luci? Apa yang sedang kau lakukan di sana?" tanya Matthias, segera setelah rasa kagetnya reda. Dia mendekat dan menyentuh bahunya, sampai sosok yang duduk di kursi dapur dengan rambut menjuntai itu menoleh. Menatapnya dengan penampilan yang sedikit kacau. Rambutnya berantakan. Air mata membasahi wajah, hidung itu memerah dan kesedihan luar biasa terlukis di sana. Itu jelas Luciana, tapi wanita itu tampak sedikit berbeda. Matthias mengernyit dan mengalihkan perhatiannya ke arah lain, sampai dia menemukan sebotol wine dan gelas sloki di meja. Dia tersentak. Itu adalah miliknya. Pandangannya kembali beralih pada wanita itu dengan mata menyipit. "Kau mabuk?"Tangisan yang tadi sempat terhenti, kini kembali terdengar. Lirih. Luciana tampak menggelengkan kepala dengan mata yang menatap sayu. "Aku tidak mabuk. Hanya minum sedikit."Alis Matthias terangkat. Ragu. Dia mengambil botol wine dan menyadari betapa ringannya. Boto itu jelas kosong. Refleks dia meletakkan lagi sembari mengurut p
"Uhuk! Jadi kau membawa iparmu itu ke apartemenmu? Kau benar-benar serius dengannya?"Matthias menenggak minumannya sembari menatap Mike yang terdesak setelah mendengar ceritanya. Mereka kini ada di salah satu bar setelah sebelumnya, dia pergi mencari orang yang bisa membantu mengurus perceraian Luciana dan Felix. Itu memakan waktu cukup lama, sampai dia kemudian baru bertemu dengan Mike sore harinya. Di sini, saat ini. Banyak hal yang mereka bahas, sampai tak terasa, hari mulai gelap. "Ya, aku serius.""Itu mengejutkan, Matthias. Ini benar-benar gila. Aku tidak menyangka kisah rumah tanggamu begitu rumit, tapi baguslah kalau sudah ketahuan." Mike mengangguk lega, meski dia terkejut setelah mendengar kisah perselingkuhan Victoria dengan suami Luciana. Itu diperumit dengan perasaan Matthias yang ternyata menyukai Luciana. "Tapi ... apa tidak terlalu kejam kau menunjukkannya langsung pada Luciana? Dia pasti sangat syok setelah melihatnya."Matthias diam sesaat. Teringat dengan Lucia
Keheningan menyelimuti perjalanan mereka yang entah ke mana. Luciana kini bersandar dan menatap jendela dengan wajah murung. Ada luka dan kekecewaan yang luar biasa dia rasakan saat ini. Hatinya perih. Sakit dan dadanya sesak. Air mata menetes tanpa sadar setelah tadi dia coba menahannya. Ini terlalu mengejutkan. Dia hanya ingin rasa lelahnya dibayar dengan pelukan hangat dan senyum sang suami. Memperbaiki semua dan memulainya dari awal, tapi malah dia melihat sesuatu yang tak pernah dia duga. Luciana hanya bisa terisak sekarang. Menahan rasa kesal karena kebodohannya sendiri. Sampai sebuah tangan terulur dan menyodorkan sapu tangan ke arahnya. Dia menoleh dan melihat Matthias meliriknya. "Kau bisa menggunakannya. Menangislah sampai puas jika itu bisa membuatmu lega."Luciana meraih sapu tangan itu dan langsung menangis keras. Dia sesenggukan. "Aku benar-benar sangat bodoh. Aku memberinya kesempatan, tapi dia kembali mengkhianatiku. Aku menyesal percaya padanya."Luciana mengusap
Cincin emas sederhana yang pernah Felix sematkan di jarinya, kini menggelinding di lantai. Tepat di bawah kaki Felix yang terperangah. Wajah pria itu memucat. Menatap cincin dan wajah dingin Luciana bergantian. "L-luci, jangan bercanda. Aku tidak akan menceraikanmu, Sayang."Diambilnya cincin itu oleh Felix. Dia menatap nanar Luciana. "Aku masih sangat mencintaimu.""Cinta?" Luciana tertawa. Sinis. Dia melirik jijik pada Felix dan semua omong kosongnya. "Kau pikir aku akan percaya lagi dengan omong kosongmu? Mereka yang mencintai pasangannya, tidak akan pernah mengkhianatinya, dan kau ... kau sudah dua kali melakukannya!"Wajah Felix semakin ditekuk. Muram. "A-aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Luci. Aku tadi merasa mabuk. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Aku terbawa suasana begitu saja.""Aku tidak mau mendengar alasanmu lagi, Felix." Luciana mendengkus tak peduli. Dia berbalik menghadap Matthias yang masih di sana dan menggenggam tangannya. "Ayo! Aku muak di sini.""Ya."Lu
Keheningan terjadi. Luciana kali ini menangkap basah perbuatan mesum suami dan adik tirinya. Dia tidak lagi menghindar seperti sebelumnya. Namun sialnya, melihat langsung adegan menjijikkan itu, matanya tiba-tiba memanas. Perih. Kedua tangannya mengepal. Mencoba berdiri dengan wajah tegak tanpa air mata, tapi... dia tidak bisa menahannya. Dia melihatnya langsung. Tubuh suaminya menempel dengan adiknya sendiri. "L-luci, aku bisa jelaskan!"Luciana menarik napas tajam ketika melihat Felix menarik diri dari tubuh Victoria yang bersandar di meja. Wanita itu terkesiap dan cairan menjijikan keduanya menetes, mengotori lantai dapur. Luciana ingin menjerit. Dia benar-benar ingin mengamuk dan melempari keduanya dengan apa pun, tapi tiba-tiba, matanya menjadi gelap. Dia refleks menyentuhnya dan menyadari itu adalah sepasang tangan yang menutup matanya. "Kau tidak perlu melihat hal yang menjijikkan dan mengotori matamu.""Matthias?"Luciana merasakan tubuhnya yang tegang, rileks perlahan.