Luciana mengernyit. Matanya melirik ke arah yang ditunjuk suaminya dan seketika itu juga, dia sadar itu adalah tanda yang dibuat Matthias di tulang selangkanya. Luciana mendengkus. Dia langsung menyingkirkan tangan Felix dari bahunya.
"Harusnya kamu sudah tahu. Tidak mungkin aku harus menjelaskannya kan?" Dagu Luciana terangkat. Dia mundur dan meraih lengan Matthias. Menantang Felix tanpa peduli apa pun lagi. Rasa sakit hati dan kekecewaan atas pengkhianatan suaminya telah membuatnya nekat memilih membalas rasa sakit hatinya. Jika suaminya bisa, kenapa dia tidak? "Apa maksudmu? Jangan katakan kamu tidur dengannya!" Mata Luciana memanas. Perih dan hampir saja cairan bening menetes, saat dia melihat kemarahan dan luka di mata suaminya. Namun bayangan ketika dia melihat suaminya di ranjang bersama adik tirinya, kembali berputar di kepala seakan sedang mengejeknya, dia menguatkan tekad. Mengepalkan tangannya kuat-kuat seolah sedang berusaha mengeraskan hatinya. "Ya, aku melakukannya. Kalau kamu bisa, kenapa aku tidak?" "Luciana, kamu!" Mata Luciana refleks terpejam saat tangan Felix terangkat dan mengarah padanya. Felix akan menamparnya. Luciana pikir begitu, tapi setelah beberapa saat, dia tidak merasakan apa pun. Perlahan, matanya kembali terbuka dan melihat tangan lain yang menahan tangan suaminya. "Memukul wanita adalah tindakan pengecut. Sangat mudah menyeretmu ke penjara." Jantung Luciana masih berdebar kencang karena kaget. Dia cukup syok, tapi saat melihat Matthias melindunginya hingga wajah Felix yang berubah merah padam, dia menyadari kalau ketegangan sedang terjadi antara Matthias dan Felix. "Beraninya kau ikut campur dalam rumah tanggaku! Kau pikir kau siapa?" "Adik iparmu. Suami dari istri yang kau tiduri sebelumnya." Felix terlihat kaget. Mungkin tidak menyangka jika Matthias juga mengetahui perselingkuhannya, tapi pria itu terlanjur kesal setelah mengetahui Matthias juga meniduri Luciana. Pukulan nyaris dilayangkan, tapi Matthias dengan cepat menghindar dan malah memberikan bogem mentah di perut Felix yang membuat pria itu jatuh tersungkur seketika. "Akhh! Matthias, cukup!" jerit Luciana saat dia melihat kejadian itu. Matanya terbelalak dan refleks dia memegang tangan iparnya. Menahan Matthias yang akan maju untuk kembali memukul suaminya. Napasnya sedikit memburu. Ada perasaan ngeri dan takut terpancar di matanya saat dia melihat kejadian itu. Luciana bisa melihat suaminya yang sepertinya kaget dan kesakitan. Sementara Matthias masih menunjukkan ekspresi dingin. Bukan ini yang dia mau. Perkelahian suami dan iparnya bisa memancing para tetangga. Masalahnya bisa semakin rumit jika keduanya berkelahi. "Kau bajingan, Matthias!" seru Felix sambil berusaha berdiri dan tetap memegangi perutnya. Seakan pukulan Matthias sangat keras hingga Felix masih kesakitan. Matthias melepas genggaman tangan Luciana. Tatapan tajamnya tertuju pada Felix saat dia perlahan melangkah mendekati pria itu. Luciana yang melihatnya, refleks menggenggam tangan Matthias lagi. Hingga pria itu menoleh dan dia yang syok hanya bisa menggelengkan kepala. Berharap Matthias mengerti untuk tidak membuat keributan dengan berkelahi. Namun pria itu tidak menjawab dan melepaskannya sembari menghampiri Felix. Luciana terdekat saat melihat Matthias menarik kerah kemeja Felix dan mengangkat tubuh suaminya dengan begitu mudah. Mulutnya terbuka untuk menghentikan iparnya, tapi terkatup kembali saat melihat pria itu tidak memukul suaminya. Luciana hanya bisa memerhatikan Matthias dengan alis berkerut saat iparnya itu berbisik di telinga Felix. Dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan iparnya, tapi dia bisa melihat wajah suaminya merah padam. Lalu tanpa perasaan, tubuh Felix dijatuhkan. "Kurang ajar kau! Aku akan melaporkan apa yang kalian lakukan! Aku akan mempermalukanmu!" "Silakan, dan kau akan melihat, siapa yang lebih dipercaya. Omong kosongmu atau bukti dariku." Luciana terdiam menyaksikan Felix dan Matthias yang bersitegang. Namun dia bisa melihat Matthias mengangkat ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Felix hingga wajah suaminya itu langsung pucat. "Ini belum berakhir. Aku akan bicara denganmu nanti, Luci!" Luciana hanya bergeming melihat Felix bangun dan berjalan menuju mobilnya dengan terburu-buru. Dia tidak bergerak sama sekali ketika suaminya berniat meninggalkan rumah. Luciana hanya diam saat mobil yang ditumpangi Felix pun menjauh dari pandangannya. Perutnya terasa seperti diaduk. Dadanya masih berdenyut sakit. Kekecewaan, kesedihan dan kebingungan melandanya. Luciana kini tidak tahu harus melakukan apa. Pikirannya blank. Tubuhnya yang mulai merasakan lelah, nyaris saja jatuh jika sebuah tangan tidak menahannya. "Kau tidak apa-apa?" Luciana menoleh. Bibirnya bergetar saat matanya bertatapan dengan Matthias. Pria yang selalu tenang dan memasang ekspresi dingin sejak tadi, tapi sekilas, dia menangkap sorot khawatir di matanya yang gelap dan selalu mengintimidasi. Harusnya Luciana bisa menjawab pertanyaan sederhana itu dengan cepat, tapi jangankan membuka mulut, menggeleng saja dia tidak sanggup. Justru dia malah spontan memeluk Matthias dan terisak pelan di sana. Tangis yang dia tahan sejak tadi, akhirnya pecah juga. Luciana tidak bisa memikirkan apa pun lagi. Dia membiarkan air matanya luruh membasahi jas mahal Matthias. Tampaknya iparnya juga tidak masalah. Meski dia merasakan tubuh Matthias sedikit menegang. Namun lambat laun, usapan lembut dirasakan olehnya di punggungnya. Tidak ada suara. Tidak ada kata-kata menghibur. Bukan pula keheningan yang canggung, hanya sentuhan lembut dan keheningan yang menenangkan. Butuh beberapa saat bagi Luciana untuk meluapkan semua emosinya. Sampai setelah dia puas, dia menarik diri. Mendongak dan menatap Matthias dengan hidung memerah dan air mata yang masih menetes. Pakaian mahal pria itu kusut, basah dan berantakan. Luciana sedikit terkejut saat melihatnya, sampai dia kemudian mundur, tapi pinggangnya ditahan. "Matthias ... maafkan aku. Aku, aku terbawa emosi ... bajumu jadi basah dan berantakan." "Tidak masalah. Kau sudah puas sekarang?" Luciana mengusap air matanya. Dia memperjelas pandangannya. Menatap mata Matthias dengan raut wajah bingung. "Aku tidak tahu. Aku tidak merasakan apa-apa." Kejadian yang mengejutkan hari ini, membuat Luciana kini mati rasa. Dia tidak mampu memproses semuanya dengan cepat. Dia lelah dan yang ada dalam kepalanya hanyalah beristirahat. "Kau butuh waktu. Istirahatlah. Telepon aku jika kau butuh bantuan." Luciana tersentak saat tiba-tiba dia merasakan usapan lembut di pipinya. Matanya mengikuti jemari Matthias yang mengusap air matanya, hingga dia dibuat kaget ketika pria itu malah menjilat air mata tersebut di jarinya. "Selamat malam." Luciana masih terbengong di tempat. Sapaan Matthias tidak dia balas sama sekali. Dia juga tidak bergerak sedikit pun saat pria itu masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkannya yang masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Dia baru tersadar saat mobil yang ditumpangi Matthias sudah keluar dari gerbang. Luciana spontan memeluk dirinya sendiri dan berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya, tapi kemudian, langkahnya terhenti. Dia yang baru hendak mengambil ponsel, mulai menyadari jika barang itu tidak ada. Bukan hanya ponsel, tapi juga tasnya. Luciana spontan melirik kembali ke gerbang rumah. Melihat mobil Matthias sudah menghilang. Dia lupa. Dia sepertinya telah meninggalkan ponsel dan semua barang dalam tasnya di suite room milik Matthias."Pak, tunggu, tidak. Tolong jangan batalkan kerja sama kita. Saya bisa jelaskan kalau itu hanya fitnah. Saya akan bereskan semuanya segera," ucap Richard pada seseorang di telepon. Dia duduk tegang sambil memijat pangkal hidungnya yang berdenyut sakit karena dua hari ini, banyak investor yang menarik diri dan kerja sama yang diputus secara sepihak. Semua itu imbas dari skandalnya yang kini telah beredar luas. Ditambah lagi berita perselingkuhan putrinya yang mencuat. Semua memperparah keadaan. "Maaf, Pak Richard, kami tetap tidak bisa melanjutkan kerja sama lagi. Ini sudah menjadi keputusan final. Kami harap Anda mengerti.""Pak, saya bisa jelas—"Perkataan Richard terputus saat panggilan itu diakhiri tanpa dia sempat bicara. Dia tidak dihargai sama sekali. "Sialan! Mereka pikir mereka itu siapa? Berani-beraninya memperlakukanku seperti ini."Richard mengumpat kesal. Dia meremas ponselnya. Menahan diri untuk tidak melemparnya sampai hancur. Kacau. Semuanya berantakan dan sekaran
Victoria berharap, dia akan aman di rumah manajernya untuk sementara. Sembari memikirkan rencana yang akan dia lakukan untuk menghindari polisi atau pun wartawan. Tidak ada cara lain selain menghindar. Namun, saat akhirnya tiba di halaman rumah manajernya, Victoria mendapati pemandangan tak terduga. Mobil polisi sudah terparkir di sana. Tak hanya satu, tapi dua. Wajahnya langsung pucat saat itu. "Apa-apaan ini!"Kepanikan melanda. Victoria jelas tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan dari posisinya saat ini, melalui jendela mobil dia melihat manajernya sedang dijaga ketat oleh pihak kepolisian. "Sialan! Kita pergi! Pergi dari sini, cepat!" teriak Victoria sambil mengguncang kursi sang sopir. Matanya melotot ketika beberapa polisi melangkah ke arah mobilnya, tapi bukannya pergi, mobil itu tetap diam dan membuat kepanikannya semakin menjadi. "HEI! KAU TULI! JALANKAN MOBILNYA!""Maaf, Nyonya, tidak bisa. Lebih baik Anda menyerahkan diri sekarang.""APA?!"Victoria kaget bukan m
Pagi itu, Victoria yang tak tahan lagi memilih untuk pergi menemui ayahnya di kediaman keluarga Laurent. Dia dikawal oleh pengawal Mattias, karena Victoria yakin para wartawan sudah menunggu di rumah ayahnya. Ayahnya jelas terjebak dan tidak ke mana-mana sejak skandal pelecehan itu mencuat ke publik. Victoria juga belum sempat menghubungi setelah menabrak Luciana kemarin. Di tengah perjalanan, ponsel Victoria tiba-tiba berdering. Manajernya menghubunginya. Dia berdecak melihat itu dan mengangkatnya sambil menggerutu. "Ada apa? Kau tidak tahu aku sibuk? Aku tidak punya waktu untuk ke tempat pemotretan sekarang.""Aku tahu, Victoria. Situasimu sedang gawat sekarang, tapi kita dalam masalah.""Masalah apa? Klien protes? Suruh mereka reschedule saja," jawabnya ketus dan terkesan acuh tak acuh. "Tidak bisa, mereka membatalkan kontrak dan menuntut ganti rugi atas apa yang terjadi." "Apa?"Victoria yang sedang bersandar, spontan menegakkan tubuhnya dan memekik kaget. Katanya melotot. "Ba
"Tuan, Anda harus keluar sekarang."Matthias menoleh ke arah perawat yang telah selesai dengan tugasnya. Lalu kembali melirik Luciana. Ada perasaan enggan dalam hatinya saat waktunya berada di sana sudah habis. "Tuan?""Tolong sebentar lagi, Sus," ucap Matthias, setengah memohon. "Lima menit lagi."Perawat itu menatap wajah Matthias yang tampak putus asa dan penuh kesedihan. Menimbulkan rasa kasihan yang akhirnya membuat dia mengangguk. "Baiklah. Lima menit, setelah itu Anda harus keluar.""Terima kasih."Senyum semringah mulai terlihat di bibir Matthias. Perhatiannya kembali tertuju pada Luciana. Meski tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap wanita itu, tapi lima menit yang diberikan terasa lebih berharga dari apa pun. "Luci ... maaf, aku tidak bisa menjagamu. Aku gagal melindungimu, tapi tolong ... jangan hukum aku seperti ini. Tolong bangun ...."Suara Matthias sedikit tersendat saat dia mencoba bicara. Berharap Luciana membuka mata dan melihatnya. Hanya itu harapannya. D
Di rumah sakit. Alexander, Arabella dan Genevieve menunggu di luar ruang ICU. Mereka menanti kedatangan Matthias yang belum kembali. Sementara Luciana masih belum sadar meski kondisinya membaik. "Bu, apa Kak Luciana akan bangun? Apa keponakanku tidak akan kenapa-kenapa? Aku harus minta maaf." Arabella memilih jari-jarinya dengan gugup. Rasa bersalah terlihat jelas di matanya. Kegelisahan belum sepenuhnya lenyap meski dokter telah memberitahu kalau semua baik-naik saja. "Jangan khawatir, Luciana pasti akan segera bangun. Ibu juga ingin minta maaf." Genevieve mengelus lengan putrinya. Memberikan sedikit semangat, meski dia sendiri masih khawatir. Kakinya perlahan mendekat ke arah jendela. Dia menatap Luciana yang terbaring di ranjang dengan alat yang terpasang di tubuhnya. Dokter bilang keduanya bisa bertahan, meski dia tetap khawatir karena kondisi janin Luciana yang lemah."Ibu! Ayah!"Genevieve tersentak. Dia menjauh dari kaca jendela dan menoleh secara bersamaan dengan Arabella
Victoria terdiam mendengar semua perkataan Matthias. Setengah percaya, setengah tidak, tapi dia jelas baru pertama kali mendengar Matthias bicara panjang lebar seperti ini. Tidak ada yang lebih membuatnya terkejut selain pengakuan suaminya yang menyentak kesadarannya. "K-kau bohong. Kau pasti bohong, Matthias. Kau tidak pernah berniat membangun keluarga denganku." Victoria tergagap. Dia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkal. Walau dia harus mengakui, jika dia memang enggan hamil. Dia yang menolak ide itu. "Terserah kau percaya atau tidak. Semua juga sudah terlambat sekarang. Aku tidak berniat mempertahankan semuanya.""Tidak! Apanya yang terlambat? Aku tidak mau bercerai denganmu!"Victoria kembali mencengkeram erat tangan Matthias. Dia menggelengkan kepala. Menatap serius suaminya. "Matthias, jangan lakukan itu! Aku tidak mau cerai darimu.""Aku tidak peduli. Inilah jalan yang kau pilih sejak awal," balas Matthias dengan tak acuh. Dia menarik tangannya dan mengeraskan hatiny