Dua bulan berlalu begitu cepat. Tidak terasa hari pernikahan Arella dan Gilang tiba juga. Semua keluarga sudah berkumpul di aula untuk melakukan ijab kabul.
Gilang masih setia dengan kacamata minus berbingkai hitam miliknya sudah siap di depan penghulu serta calon mertuanya. Dia sudah dikelilingi saksi dari kedua belah pihak untuk mengucap akad nikah. Pria itu terlihat gagah dengan pakaian adat Jawa lengkap.Sementara mempelai wanita alias Arella, dia masih berada di dalam kamarnya dan baru boleh keluar setelah akad nikah selesai.Gadis itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya kutu baru warna putih dengan hiasan payet di sana sini serta kain jarik warna coklat sebagai bawahan membuat ia tampak anggun bak bangsawan kerajaan. Riasan makeup paes dan lipstik warna merah yang memberikan kesan dewasa. Dia begitu cantik dengan rambut disanggul dan hiasan bunga melati."Ini pengantinnya kenapa? Kok dari tadi cemberut terus?"Arella menoleh ke arah sang Mama yang sejak tadi berada di ruang sang pengantin. "Gimana nggak cemberut Ma, ini kan bukan pernikahan yang Arella pengen."Mendengar jawaban putrinya tentu saja Bu Wijaya, langsung merasa tertohok. Siapa sangka, putrinya masih berat menerima perjodohan ini."Nak, kan mama udah bilang ke kamu, kalau ini itu udah pilihan yang tepat buat kalian." Ia menepuk bahu putrinya dan mengusapnya lembut. "Kita ini lihat kamu move on dan ngelupain mantan pacar kamu yang udah meninggal itu."Arella berdecak kesal. Mood-nya semakin buruk ketika sang Mama membahas mantan kekasihnya. Hal yang selalu memberikan trauma dan sakit hati di dalam batinnya."Gimana bisa move on, Ma. Arella cinta banget ama dia. Meskipun udah dua tahun berlalu, tapi bayang-bayangnya masih bisa Arell ingat dengan baik.""Justru karena itu, kami menikahkan kamu ama Gilang. Supaya kamu bisa bangkit dari keterpurukan kamu dan memulai masa depan orang baru."Arella menepis tangan sang Mama yang ada di pundaknya. "Tapi nggak segampang itu Ma.""Arella... Mama—""Udahlah Ma, nggak usah diributin lagi! Toh pernikahan ini udah terjadi kan?" Arella berdiri dari duduknya dan memandangi sang Mama yang terlihat sedih karena ulahnya."Pokoknya sesuai perjanjian kita di awal, kami akan cerai setahun kemudian. Karena aku yakin, aku nggak bisa semudah itu ngelupain Sakti Ma. Nggak akan ada satu pria pun yang bisa buat aku jatuh cinta, terutama Gilang. Nggak akan ada."Bu Wijaya hanya bisa terpekur mendengar ucapan anaknya. Rasanya ia begitu sedih melihat putri semata wayangnya menutup hatinya dengan begitu rapat untuk orang lain. Tapi sebagai orang tua, Bu Wijaya akan terus berdoa supaya hal yang dikatakan oleh Arella tidak akan terjadi. Ia banyak berharap pada Gilang supaya bisa merubah hati putrinya."Ayo Ma! Kayaknya akad nikahnya udah selesai."Suara tenang Sang Putri menyadarkan Bu Wijaya dari lamunannya. Ia pun menggandeng tangan Arella dan mengajak putrinya itu untuk ke aula tempat ijab kabul diadakan.***Arella PoV"Wah, itu pengantin wanitanya ya? Cantik banget.""Iya ih. Cantik, anggun pula.""Wah, Arella... Nggak nyangka ya temen kita bakal nikah secepet ini.""Iya nih. Padahal baru kemarin kita masih main bareng.""Pengantin prianya tapi kok gitu ya?""Kenapa?""Kayaknya nggak cocok aja mereka. Masa yang cewek cantik gitu, tapi yang cowok biasa aja.""Hush! Nggak boleh gitu! Yang cowok juga manis kok.""Enggak ah, orang keliatan cupu gitu kok."Aku memejamkan mataku. Bisik-bisik mengenai Gilang membuat kupingku panas. Bukan karena aku kesal, tapi lebih ke malu. Yap, saat semua orang memperhatikan kami, saat itu juga semuanya sibuk menggunjing Gilang.Dan menurutku Gilang memang pantas mendapatkannya. Tampang bodohnya dibalik kacamata tebal itu membuatku sangat muak. Bahkan saat bertemu dengan orang lain dia hanya senyum-senyum tidak jelas seperti orang aneh. Dia sangat jauh dari kata berwibawa. Dia cuma membuatku malu di depan teman-teman yang datang ke acara resepsi. Menyebalkan."Hai, Rel... selamat ya buat pernikahannya. Kita doain pernikahan kalian langgeng sama kakek nenek."Aku hanya bisa meringis saat mendengar ucapan selamat dari tamu undangan yang datang menyalamiku satu persatu. Daripada mendoakan hubungan kami langgeng, aku malah ingin cepat-cepat berpisah dari Gilang.Tapi karena tidak enak pada kedua orang tua Gilang, jadi aku hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan mereka."Semua mendoakan kita yang baik-baik, Rel. Jadi kayaknya keinginan kamu untuk bisa denganku nggak bakalan terwujud."Aku menoleh sinis ke arah Gilang. "Kata siapa? Emangnya kamu Tuhan?""Biasanya, doa buruk akan kalah sama doa yang baik."Gilang tersenyum tanpa dosa di depan mata kepalaku sendiri, dan itu makin membuat emosiku serasa ingin membuncah. "Jangan ngada-ada. Buat gue pernikahan ini cuma formalitas buat nyenengin kedua orang tua gue aja. Jadi lo nggak usah berharap banyak."Aku memicingkan kedua kelopak mataku dengan tajam, memandang ke arahnya seperti sedang memberi peringatan."Lo harus tau, cinta dan hati gue, cuma buat satu orang aja. Dan itu adalah mantan pacar gue."Gilang menaikkan gagang kacamatanya. "Tapi ke depannya nggak ada yang tau kan?""Ya kalau pun gue harus jatuh cinta lagi, yang jelas orang itu bukan elo. Cupu!"Gilang benar-benar tahu cara membuat tensiku naik. Tidak tidak! Walaupun dia diam sekalipun, tapi tetap saja itu membuatku merasa sangat jengkel. Aku sendiri juga tidak paham, mengapa semua yang ada pada dirinya selalu membuatku menjadi sangat kesal.Seandainya saja aku tidak sedang berada di tengah-tengah resepsi pernikahan kami, mungkin aku sudah pergi jauh dari tempat ini.*Sekitar jam 11 malam, acara resepsi pun selesai di gelar. Satu persatu keluarga dan tamu, boleh meninggalkan rumah milikku. Termasuk Om dan tante Mahesa yang juga sudah pulang beberapa saat yang lalu."Alhamdulillah ya Rell, acara resepsinya berjalan dengan sangat lancar."Aku menoleh ke arah Papa, beliau adalah orang yang paling merasa bahagia setelah Mama karena pernikahan ini."Kamu pasti capek banget ya?" tanya Papa. Mungkin dia bertanya begitu karena melihat tampangku yang sudah sangat kusut."Iya nih Pa.""Ya udah! Sana istirahat! Papa juga mau mandi terus tidur. Kaki Papa rasanya juga sudah mau patah karena terlalu lama berdiri."Aku menganggukkan kepala. Mengikuti arahan Papa tanpa banyak bicara. Jujur yang dikatakan beliau memang benar, acara resepsi ini bukan hanya menghabiskan uang saja tapi juga energi.Dengan sedikit gontai, aku naik ke lantai dua. Menuju kamar pribadiku. Aku ingin sekali tidur di ranjang milikku dan bersantai. Tapi, baru juga membuka pintu kamar aku juga sudah di kejutkan oleh sesuatu yang sangat di luar dugaan."E- elo?""E-elo?! Elo ngapain di sini?"Arella kaget bukan main. Dan itu karena Gilang berada di kamarnya. Kamar pribadinya."Kenapa? Ini kan kamar pengantin?" Gilang sedang melepaskan baju pengantinnya, menatap Arella dengan wajah tanpa dosa."Yang bener aja lo!" Gadis berkebaya warna putih itu langsung menerjang masuk ke dalam dan mendorong dada Gilang. "Ini itu kamar gue! Seenaknya aja lo masuk ke sini!""Orang tua kamu yang nyuruh aku ke sini.""Keluar lo dari sini!" Bentak Arella. "Lo lupa isi perjanjian isi kita waktu itu?""Terus aku harus tidur di mana?" tanya pemuda berkaca mata minus itu. "Lagipula, Apa kamu nggak bingung, kalau seandainya orang tua kamu nanya kenapa kita pisah ranjang?"Pertanyaan Gilang barusan membuat Arella tertampar kenyataan."Tapi gue males kalau harus sekamar ama lo!""Ya mau gimana lagi, kan ini udah konsekuensi."Arella mendengkus. "Tapi lo tidur di lantai!"Gilang menghela nafas dan mengangguk. "Okey."Gadis yang masih dibalut pakaian pengantin itu akhirnya
Kalau bukan karena cahaya matahari yang masuk ke sela jendela kamarnya. Mungkin sekarang Arella masih tertidur nyenyak di balik selimut tebalnya. Tapi karena itu semua, dia terpaksa bangun dan mengecek kondisi sekitarnya.Yap— dia hampir lupa kalau semalam sudah melangsungkan pernikahan dan sekamar dengan Gilang. Tapi, ketika dia bangun pagi ini, cowok itu ternyata sudah tidak ada di kamarnya.Namun, yang lebih penting dari itu adalah—"Huuft, aman. Gue pikir dia ngapa-ngapain gue semalem," ucapnya diiringi helaan nafas lega, ketika melihat pakaiannya yang masih utuh.Arella menekuk kedua lututnya dan duduk bersila. Ia memandangi langit biru dari jendela kamarnya dan menghela nafas. "Padahal hari ini cerah banget, tapi kok hati gue ngerasa pedih ya? Kayak ada sesuatu yang bikin sedih, tapi nggak tau apa."Kedua manik gelapnya menyendu. Dia bingung kenapa mendadak jadi melow begini. Seperti akan ada sesuatu yang membuatnya merasa sedih."Kamu mau ajak Arella pindah ke apartemen sekaran
"Elo itu cowok paling nyebelin di dunia," tukas Arella sambil memegangi kepalanya. "Dan sialnya, gue orang jadi orang paling malang di dunia gara-gara nikah ama lo.""Tapi itu kan pemikiran kamu sendiri. Mungkin orang lain beranggapan sebaliknya?""Nggak mungkin. Teman-teman gue aja heran karena gue nikah ama cowok se-cupu elo."Gilang masih fokus menatap jalanan di depannya. Capek juga beradu argumen dengan Arella yang super keras kepala."Kapan sih kita sampai? Gue capek pengen istirahat?""Bentar lagi.""Bentar-bentar doang! Bosen tau!"Dengan tangan kanan yang masih memegang setir, Gilang mengeluarkan sesuatu dari kantung depan kemejanya. "Ini."Arella mengerutkan keningnya ketika Gilang menyodorkan sebuah lolipop rasa jeruk padanya. "Lo pikir gue bocil apa?""Nggak ada batasan umur kalau mau makan permen."Gadis itu menghela nafas panjang. Ia sahut lolipop itu dari tangan Gilang bukan untuk memakannya. Tapi melemparkannya ke luar jendela mobil dengan wajah murka. "Dari sini gue m
Tok Tok TokArella mendengkus keras. Baru juga ingin santai sendirian, tapi Gilang sudah mengedor pintunya berulang kali. "Apa sih?" sentak Arella saat baru membuka pintu."Kamu mau di pesenin makan malam?" tanya Gilang dengan nada yang cukup sabar."Enggak usah! Gue kalau laper bisa beli sendiri kok.""Sekalian aja nanti pesennya.""Ya suka-suka gue! Siapa yang lo yang bisa ngatur-ngatur."Gilang menghela nafas panjang karena bentakan sang istri. "Ya udah. Terserah kamu."Arella menyipitkan matanya sebelum berkata, "Udah ya! Awas kalau lo gangguin gue lagi. Gue bakal cabut dari rumah ini.""Dan satu lagi! Selama lo masih ada di rumah gue nggak bakalan pernah keluar dari kamar ini kecuali dalam hal yang mendesak!""Kenapa kayak gitu Rel?""Karena gue benci banget sama lo! PAHAM!!"Gilang baru saja buka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Arella lebih dahulu menutup pintu dengan cukup keras. Mengabaikan suaminya yang masih berdiri di sana.***Sekarang masih pukul 5 subuh. Gilang sudah
"Ini kan?"Arella cukup kaget saat melihat isi paket yang baru saja dia dapatkan. Di mana di dalamnya terdapat canvas, cat air, palet cat, dan beberapa benda untuk keperluan melukis."Kenapa Gilang beli ginian?" tanya Arella pada dirinya sendiri. "Apa ini buat gue?"Arella memang suka melukis. Biasanya gadis itu menghabiskan waktu luangnya untuk menggambar apa saja yang dia sukai.Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gilang tau kalau dia menyukai hobby yang satu ini?"Apa gue telfon aja si Gilang?" pikirnya lagi. "Gue penasaran banget ama alat-alat ini beneran buat gue atau enggak."Setuju dengan idenya, Arella pun mengambil handphone miliknya untuk menelfon sang suami. Tapi belum sempat ia melakukan itu, Gilang lebih dahulu menelponnya. Pria itu seperti sudah dapat feeling kalau dia sedang membutuhkan kejelasan dari Gilang.["Halo, Assalamu'alaikum."] Gilang menyapa dari line seberang."Gilang elo—"["Jawab dulu dong salamnya!"]Arella berdecih. Padahal dia mau langsung to the poin
Sekitar pukul 8 malam, Gilang kembali ke apartement miliknya. Suasana di tempat itu begitu sepi. Hanya terdengar suara dari Air Conditoner yang berada di tengah ruangan."Assalamu'alaikum, Rel. Aku udah pulang nih." Gilang berteriak memanggil istrinya. Sambil duduk di ruang tamu, ia mulai mencopot sepatu kerjanya dan menaruhnya ke rak dekat pintu masuk.Ia melihat sekeliling, tak ada penampakan istrinya di manapun. "Apa Arella udah tidur ya?" tanyanya pada diri sendiri.Pemuda itu menyingsingkan lengan kemejanya. Lalu berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air dingin. Ia melihat beberapa piring bekas makan Arella yang terletak di wastafel. Tidak hanya itu, ada juga panci bekas mie yang sepertinya baru selesai di gunakan.Pemuda berkacamata minus dengan bingkai hitam itu tidak marah sama sekali saat tau jika Arella tidak membereskan itu semua. Dia justru merasa lega karena istrinya sudah makan malam walaupun mereka tidak bisa makan berdua.Selesai mencuci piring, Gilang berniat untuk l
"Hari ini kamu ada rencana apa?"Arella menatap dingin ke arah suaminya. Dia muak sekali ditanya-tanya seperti bocah."Kalau emang mau pergi, usahakan bilang dulu ya! Biar aku nggak khawatir," sambung Gilang karena sang istri tidak kunjung memberikan jawaban.Arella meletakkan gelasnya dengan kasar, lalu mendekati Gilang. Ia tarik kerah kemeja pria itu sebelum berkata, "Dari awal gue udah bilang ke elo, buat berhenti buat ikut campur segala urusan gue. Jadi sekali lagi lo banyak aturan kayak tadi, gue nggak akan segan-segan pergi dari rumah ini," ucap wanita itu dengan tegas.Gilang hanya diam saja. Ia menatap balik wajah wajah perempuan itu dari balik lensa kacamatanya. Bukannya Gilang takut pada Arella, tapi pemuda itu terlalu malas untuk menanggapi kemarahan dengan kemarahan."Lo paham kan?!""Hm," balas Gilang menyerupai gumaman. "Ya udah, ayo makan sama-sama.""Aaarghhh!" Arella berteriak frustasi sambil mengacak-acak rambutnya. Tinggal bersama Gilang cuma memberikan dua efek pada
Setelah beberapa waktu berpikir, akhirnya Arella mengambil sebuah dress selutut warna hitam. High heels warna senada dan juga tas jinjing kecil. Masih banyak waktu sampai nanti malam. Jadi dia bisa istirahat sebentar dan bersiap setelah tidur siang.Sekitar jam 6 petang, gadis cantik itu pun pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Bahkan setelahnya Arella tidak lupa untuk menstiyling rambutnya agar kelihatan rapi. Ia sudah final untuk memakai gaun yang tadi.Dia tidak mau orang-orang beranggapan jika dia tidak bisa mengurus diri setelah menikah.Pukul 8 tepat. Arella sudah otw ke tempat janjian dengan taksi. Seperti yang sudah di tentukan mereka bertemu di club malam. Dia bersyukur Gilang belum sampai rumah hari ini. Jadi dia bisa kabur tanpa harus adu mulut dengan suaminya yang kurang pergaulan itu."Bagus deh si Gilang belom nyampek rumah. Bisa ngoceh dia kalau tau gue pergi," gumam Arella dalam hati.Tapi— entah Gilang memang panjang umur atau apa, tiba-tiba saja cowok itu mengir