Share

Surat Perjanjian

1. Kita menikah hanya satu tahun saja. Di masa itu, pihak pertama maupun kedua, boleh mengajukan perceraian apabila dalam jangka waktu tersebut, salah satu diantara mereka merasa tidak nyaman dengan hubungan ini.

2. Setelah menikah, masing-masing pihak tidak boleh KEPO dan ikut campur dengan urusan pasangan.

3. Tidak ada yang namanya melayani dan dilayani.

4. Tidak ada hubungan suami istri.

5. Tidak melakukan hubungan suami istri.

6. Harus pisah kamar, biar tidak ada hubungan suami istri.

7. Tidak ada skinship, cuddle, dan apapun itu.

Gilang menaikkan gagang kacamata minusnya usai membaca surat perjanjian pranikah yang Arella berikan padanya beberapa saat lalu. "Point 4-6 kenapa isinya mirip?"

"Ya buat mempertegas kalau aku nggak mau kita sampai melakukan hubungan seks," pungkas Arella.

"Tapi kita kan udah nikah, harusnya itu normal."

"Itu kan menurut lo! Menurut gue enggak, Gilang! Deket ama lo aja gue malas apalagi sampai berhubungan badan. Yang bener aja?" Arella mengerutkan keningnya. Raut wajahnya sangat menunjukkan ketidaksukaannya pada Sang calon suami.

"Apa yang bikin kamu jijik?"

"Penampilan lo itu kampungan! Mana nafsu gue ngeliat lo!"

Gilang mengatupkan bibirnya. Arella kalau bicara memang suka tidak di filter sepertinya.

"Emang yang bikin kamu nafsu cowok yang kayak gimana?" tanya Gilang dengan wajah tak berdosa.

Sementara Arella agak syok ketika Gilang bertanya semacam itu kepadanya. "Yakin lo mau tau?"

Pemuda dengan rambut klimis itu mengangguk.

"Gue bakal kasih tau tipe cowok kesukaan gue, tapi—" Arella sengaja berhenti bicara untuk beberapa saat supaya Gilang penasaran. "Tanda tanganin dulu itu perjanjian. Baru gue kasih tau gimana tipe cowok yang gue mau."

Gilang menghela nafas panjang. Terlihat jelas jika Arella sedang ingin mempermainkan dirinya. Tapi ia hanya diam dan mengambil pulpen yang Arella sodorkan tanpa banyak bicara.

"Aku boleh tambahin beberapa point nggak?"

Arella menciptakan kedua kelopak matanya. "Buat apa?"

"Biar adil aja."

Gadis cantik dengan kulit putih itu terlihat berpikir keras. Menimbang-nimbang apakah ia harus menyetujui permintaan Gilang atau tidak.

"Ya udah. Buruan tulis!" titah Arella pada akhirnya.

Gilang kembali membenarkan posisi kacamatanya sebelum menuliskan sesuatu di kertas berwarna putih tersebut. Entah apa yang dia tulis di sana, namun Arella terlihat sabar menunggu Gilang menyelesaikan pekerjaannya. Walaupun dia merasa sedikit was-was.

"Eh— tunggu!" sela Arella begitu melihat Gilang ingin tanda tanga di atas materai. "Gue mau liat apa yang lo tulis."

Pemuda berkemeja kotak-kotak tersebut menyerahk kertas itu kembali ke pemiliknya. "Silahkan."

Tatapan Arella tampak awas. Dia membaca beberapa point tambahan dengan hati berdebar.

8. Selama di area rumah, Arella harus patuh pada setiap ucapan suaminya.

9. Jam 10 sudah harus sampai di rumah tidak peduli apapun alasannya.

10. Tidak boleh membawa teman lawan jenis.

"Nggak susah kan?"

Suara Gilang membuat fokus Arella sedikit buyar. "Point nomor 8 apa maksudnya? Emang lo mau nyuruh gue apa? Masak? Beres-beres? Gue nggak mau kalau harus ngelakuin itu semua. Gue kan bukan babu lo!"

"Enggak kok. Soal itu aku bisa kerjain sendiri pas pulang kerja. Aku cuma minta kamu nggak banyak ngebantah kalau semisal kamu salah."

"Kalau yang menurut lo salah, tapi di mata gue bener gimana? Kan nggak adil nakanya?"

"Adil-adil aja sih sebenernya. Toh aku juga nggak protes kan waktu kamu nulis point 4 sampai 7? Padahal itu tugas wajib istri," tukas Gilang tak mau kalah.

Arella menelan ludah. Dia pikir akan mudah untuk membodohi Gilang. Tapi rupanya dia salah.

"Oke. Deal."

Gilang melakukan kepalanya sebelum meminta kembali kertas yang tadi di pegang oleh Arella. Tanpa banyak bicara mereka berdua memutuskan untuk menandatangani surat perjanjian tersebut.

"Huuh, sekarang gue bisa lega," tutur Arella.

Gilang memperhatikan wanita itu dalam diam. Bahkan cara minum Arella pun tak luput dari penglihatannya. "Kamu nggak pesen makanan?"

"Enggak. Gue nggak laper," balas Arella. "Kalau lo mau pesen makanan, pesen aja sana! Tapi lo bayar sendiri."

"Aku juga nggak ada niatan buat minta traktir kok."

Arella berdecih. Matanya menatap nyalang ke arah Gilang yang baru saja memanggil waiters untuk memesan makanan.

"Kamu yakin nggak mau pesen?" Gilang menatap perempuan yang akan menjadi calon istrinya itu, untuk memastikan apakah Arella ingin memesan sesuatu. "Nggak usah khawatir, aku yang bayar kok."

Arella mendengkus. Ia merasa kesal dengan nada bicara Gilang yang terkesan sombong. Padahal, kalau makanan seperti itu ya juga bisa membelinya sendiri.

"Beneran kamu yang bayar?"

"Hm."

"Okey... Minta tolong buku menunya dong Mbak," pinta Arella pada Sang waiters.

Kedua manik indah Arella langsung menyusuri satu persatu menu yang ada di buku. Mencari makanan apa yang paling mahal di cafe tersebut.

"Aku pesan ini, ini, dan ini," ucap Arella sambil menunjuk gambar Steak Sandwich, Roasted baby chicken, dan Wakame tuna salad. Menu termahal di caffe tersebut.

Gilang memperhatikan Arella tanpa banyak bicara. Saya sedang mengikuti apapun itu yang dilakukan oleh calon istrinya.

"Minumannya Nona?"

"Lemon tea aja. Less ice ya."

"Baik Nona. Saya ulangi pesanannya ya..." Saat Sang waiters sibuk membacakan pesanan mereka, Arella dan Gilang justru saling melempar pandangan satu sama lain.

"Aku baru tau kalau makan kamu banyak juga," celetuk Gilang.

"Kenapa? Lo takut nggak bisa bayar?" sindir Arella. "Padahal itu baru makan siang, nanti kalau kita nikah, lo harus ngebiayai semua kebutuhan gue."

"Aku lebih mikir ke mubazir aja."

"Ya tinggal buang aja kan? Kayak orang susah aja."

"Diluar sana masih banyak yang kekurangan makanan."

"Bodoh amat." Arella memutar kedua bola matanya dan bersikap acuh. Mana peduli dia dengan ucapan Gilang.

"Silahkan Tuan, Nona, makanannya."

Tapi belum selesai pramusaji menata makanan itu di atas meja, Arella malah berdiri dan bersiap untuk pergi.

"Kamu mau ke mana?" tanya Gilang sambil memandang perempuan cantik itu.

"Aku mau pulang."

"Terus ini?"

"Lo aja yang makan," balas Arella sambil tersenyum jahil.

Gilang menghela nafas panjang. Sudah dia duga jika akan begini akhirnya. Dibalik kacamata minusnya Gilang menatap tajam ke arah Arella yang beranjak pergi dan semakin menjauh dari mejanya. Dia bukannya tidak punya uang untuk membayar, tapi diankirang suka dengan sikap Arella yang main-main dengan makanan.

Sementara Arella sendiri, bukannya langsung pergi dari sana tapi sibuk mengintip melalui jendela caffe hanya untuk melihat reaksi Gilang setelah kepergiannya. Wajah lesu pemuda itu membuat Arella merasa puas.

"Rasain lo, gue kerjain. Abis, sok-sok'an mau traktir. Dasar cowok cupu!" Arella tertawa puas. Iya puas— puas karena sudah berhasil mengerjai, Gilang si calon suaminya.

Harap-harap, setelah ini pemuda itu kapok, dan mundur untuk mendekatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status