"Pa, Ma. Om dan Tante. Sebenarnya aku punya usul, supaya hari pernikahan kita dipercepat."
Semua mata seketika itu juga langsung tertuju ke arah Gilang. Tak terkecuali Arella yang langsung mendelik kaget ketika mendengar ucapan pria di sebelahnya.Semua yang ada di sana tentu saja merasa senang dengan ide yang Gilang katakan. Minus Arella tentunya yang merasa sangat keberatan."Wah, apa yang bikin kamu langsung berubah pikiran gitu, Gi?""Bener. Kita nggak nyangka kalau kamu bakal langsung setuju ama perjodohan ini.""Gimana nih Bu Mahesa. Kita harus cepet-cepet pilih tanggal baik nih.""Hahahaha. Iya, Bu... Biar kita cepet-cepet jadi besan."Gilang melirik ke arah perempuan di sebelahnya. Ia tau betul jika Arella sedang berusaha untuk memotong obrolan para orang tua. Tapi entah kenapa, dia malah bengong dengan mulut yang agak terbuka.*"Ini nggak bener, Pa! Ma! Aku nggak mau nikah sama Gilang!""Kok kamu baru bilang sekarang sih? Kan tadi sore kita semua udah sepakat.""Sepakat gimana? Daritadi Papa sama Mama nggak mau dengerin pendapatku!""Arella. Kenapa sih kamu nggak mau nikah sama Gilang? Dia keliatan baik dan dewasa lho. Ya— memang dia agak pendiam sih.""Mama masih nanya kenapa?" Arella membeo. "Mama nggak liat gimana penampilan dia? Gilang tuh kuno banget Ma. Udik, kampungan, keliatan culun!""Penampilan kan bisa diubah, Rel. Kalau cuma gitu aja yang kamu permasalahkan, Papa pikir itu hal yang sepeleh," sahut Papanya santai."Papa! Ini juga bukan soal penampilan aja, tapi— tapi Arel udah punya pacar Pa. Masa Arel harus putus cuma gara-gara perjodohan nggak penting ini?""Pacar? Siapa orangnya? Anak mana?" tukas sang Papa dengan entengnya. Dia tidak terlalu serius menanggapi ucapan Arella karena tau anaknya ini cuma alasan saja."Di— dia..."Melihat putrinya yang justru hanya diam saja, membuat kedua pasangan suami istri ini hanya bisa memutar kedua bola matanya."Udah deh, Arella. Terima aja perjodohan ini! Kami sebagai orang tua juga sangat yakin kalau ini yang terbaik buat kamu." Sang Mama mendekati Arella lalu menyentuh pundaknya dengan lembut."Itu kan menurut kalian. Gimana kalau enggak buatku?" cicit Arella. Dia masih bersikeras untuk membujuk kedua orang tuanya."Percaya deh sama kita," balas Sang Mama lembut."Apa jaminananya?"Terdengar helaan nafas panjang yang keluar dari bibir sang papa. "Kalau sampai Gilang nyakitin kamu atau bikin kamu nggak nyaman, biar bapak yang maju buat ngelindungin kamu."Arella masih dian saja. Meski bapaknya berkata seperti itu, tapi baginya hal tersebut belumlah cukup."Gimana kalau seandainya aku dan Gilang belum juga saling mencintai setelah menikah? Apa kita bisa cerai?"Pertanyaan Arella itu sukses membuat kedua orang tuanya saling melempar tatapan terkejut. Siapa sangka anaknya malah berpikir mengenai perceraian."Papa yakin itu nggak mungkin. Tapi— Kalau emang menurut kamu itu bisa bikin kamu menerima pernikahan ini, Papa sih nggak masalah. Ya kan, Ma?"Kedua bola mata Arella bergulir ke arah sang Mama. Penasaran dengan jawaban wanita paruh baya itu."Pendapat Mama sih, nggak jauh beda sama yang Papa kamu bilang. Tapi alangkah baiknya kamu membicarakan masalah ini dengan Gilang. Yah, biar sama-sama enak aja nantinya. Gimana?"Arella diam sejenak. Itu artinya ia hanya tinggal membujuk Gilang untuk melakukan pernikahan kontrak dengannya.'Kayaknya, itu bukan hal yang sulit. Apalagi cowok cupu kayak Gilang kan biasanya lebih banyak nurut,' gumam Arella dalam hati."Oke Ma. Aku setuju," ucap gadis berambut panjang itu sambil menjabat tangan sang Mama. "Aku bakal chat si Gilang, supaya kita bisa ketemu dan ngobrolin masalah ini."Sang Mama hanya menganggukkan kepalanya. Begitu pula dengan Papanya. Mereka berdua sepertinya sudah setuju dengan apa yang akan dilakukan oleh Arella.Yang penting bagi mereka berdua adalah, anaknya mau menerima pernikahan ini. Sebab mereka percaya jika Arella maupun Gilang akan bisa saling mencintai satu sama lain, seiring berjalannya waktu.***"Maaf, aku telat."Arella memicingk kelopak matanya saat melihat kehadiran Gilang di depan matanya. Baru melibatkan muka pemuda itu, Arella sudah dibuat ilfil oleh penampilan Gilang.Kacamata minus super tebal. Kemeja kotak-kotak lengan panjang yang norak. Dan celana jeans kedodoran.Ck— nih cowok beneran anak orang kaya nggak sih? Kenapa model bajunya gitu-gitu aja tiap ketemu?"Kamu udah lama nunggunya?" tanya Gilang sambil meletakkan tas selempangnya ke atas meja. Ia menatap Arella dari balik lensa kacamata dengan raut sedikit sungkan."Enggak. Gue baru nyampek kok," balas Arella ketus."Jadi, apa yang mau kamu omongin, Rel? Kok kayaknya penting banget."Arella meneganggakan punggungnya. Ia melipat kedua tangannya di meja sebelum berkata, "Gue mau nikah sama lo."Ucapan gadis berambut hitam sepunggung itu tentu saja membuat Gilang terperangah. Gadis yang beberapa hari yang lalu mati-matian menolak perjodohan tersebut, kini mendadak berubah pikiran."Kenapa kamu cepet banget berubah pikiran?""Ya mau gimana lagi, gue nggak bisa nolak kemauan nyokap ama bokap gue," jawab Arella lagi.Gilang mengulum senyum. Meskipun gadis itu menerima perjodohan ini dengan terpaksa, tapi dia merasa puas dan sekaligus lega. Karena akhirnya, gadis cantik di hadapannya ini, akan menjadi istrinya."Ngapain lo cengengesan?" tanya Arella. Ia semakin ilfil melihat si cupu senyam-senyum sendiri."Enggak kok," balas Gilang sambil menggelengkan kepalanya. Ia sempat beberapa kali melemoar pandangan ke arah lain, ketika Arella melihat ke arahnya."Lo pasti seneng banget karena bisa nikah sama cewek secantik gue.""Lo juga bakalan bangga kok punya suami sepertiku.""Gila aja lo! Apa yang harus gue banggain punya pasangan cupu macem lo."Gilang kembali membenarkan letak kacamatanya. Cowok berambut klimis itu kemudian berkata, "Ya itu kan sekarang? Siapa tau nanti lo bakal berubah pikiran."Arella menggebrak meja di depannya. "Sampai kapanpun, lo jangan pernah mimpi bisa dapetin cinta gue. Gue nggak bakalan cinta sama lo.""Iya-iya. Aku paham kok. Tapi saran aja, kamu jangan terlalu percaya diri. Soalnya, masih ada Tuhan yang bisa membolak-balikkan hati manusia." Gilang menatap gadis di depannya dengan ekpresi santai yang menyebalkan. "Ya emang sekarang kamh nggak suka ama aku, tapi nggak ada yang tau kan lima menit lagi bakal gimana?""Sssssh... Diem lo bawel! Omongan lo nggak mutu tau nggak! Kebanyakan halunya!" balas Arella sambil menggaruk kepalanya. Muak sekali mendengar celotehan Gilang yang semakin mengada-ada."Daripada lo ngomong terus, mending lo baca ini aja!"Gilang memperhatikan Arella yang sedang mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya."Ini apa?" tanya Gilang sambil menerima kertas warna putih yang dilipat sedemikian rupa."Itu surat perjanjian pranikah kita," jawab Arella to the point.1. Kita menikah hanya satu tahun saja. Di masa itu, pihak pertama maupun kedua, boleh mengajukan perceraian apabila dalam jangka waktu tersebut, salah satu diantara mereka merasa tidak nyaman dengan hubungan ini.2. Setelah menikah, masing-masing pihak tidak boleh KEPO dan ikut campur dengan urusan pasangan.3. Tidak ada yang namanya melayani dan dilayani.4. Tidak ada hubungan suami istri.5. Tidak melakukan hubungan suami istri.6. Harus pisah kamar, biar tidak ada hubungan suami istri.7. Tidak ada skinship, cuddle, dan apapun itu.Gilang menaikkan gagang kacamata minusnya usai membaca surat perjanjian pranikah yang Arella berikan padanya beberapa saat lalu. "Point 4-6 kenapa isinya mirip?""Ya buat mempertegas kalau aku nggak mau kita sampai melakukan hubungan seks," pungkas Arella."Tapi kita kan udah nikah, harusnya itu normal.""Itu kan menurut lo! Menurut gue enggak, Gilang! Deket ama lo aja gue malas apalagi sampai berhubungan badan. Yang bener aja?" Arella mengerutkan keningn
Dua bulan berlalu begitu cepat. Tidak terasa hari pernikahan Arella dan Gilang tiba juga. Semua keluarga sudah berkumpul di aula untuk melakukan ijab kabul.Gilang masih setia dengan kacamata minus berbingkai hitam miliknya sudah siap di depan penghulu serta calon mertuanya. Dia sudah dikelilingi saksi dari kedua belah pihak untuk mengucap akad nikah. Pria itu terlihat gagah dengan pakaian adat Jawa lengkap.Sementara mempelai wanita alias Arella, dia masih berada di dalam kamarnya dan baru boleh keluar setelah akad nikah selesai.Gadis itu menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kebaya kutu baru warna putih dengan hiasan payet di sana sini serta kain jarik warna coklat sebagai bawahan membuat ia tampak anggun bak bangsawan kerajaan. Riasan makeup paes dan lipstik warna merah yang memberikan kesan dewasa. Dia begitu cantik dengan rambut disanggul dan hiasan bunga melati."Ini pengantinnya kenapa? Kok dari tadi cemberut terus?"Arella menoleh ke arah sang Mama yang sejak tadi berada d
"E-elo?! Elo ngapain di sini?"Arella kaget bukan main. Dan itu karena Gilang berada di kamarnya. Kamar pribadinya."Kenapa? Ini kan kamar pengantin?" Gilang sedang melepaskan baju pengantinnya, menatap Arella dengan wajah tanpa dosa."Yang bener aja lo!" Gadis berkebaya warna putih itu langsung menerjang masuk ke dalam dan mendorong dada Gilang. "Ini itu kamar gue! Seenaknya aja lo masuk ke sini!""Orang tua kamu yang nyuruh aku ke sini.""Keluar lo dari sini!" Bentak Arella. "Lo lupa isi perjanjian isi kita waktu itu?""Terus aku harus tidur di mana?" tanya pemuda berkaca mata minus itu. "Lagipula, Apa kamu nggak bingung, kalau seandainya orang tua kamu nanya kenapa kita pisah ranjang?"Pertanyaan Gilang barusan membuat Arella tertampar kenyataan."Tapi gue males kalau harus sekamar ama lo!""Ya mau gimana lagi, kan ini udah konsekuensi."Arella mendengkus. "Tapi lo tidur di lantai!"Gilang menghela nafas dan mengangguk. "Okey."Gadis yang masih dibalut pakaian pengantin itu akhirnya
Kalau bukan karena cahaya matahari yang masuk ke sela jendela kamarnya. Mungkin sekarang Arella masih tertidur nyenyak di balik selimut tebalnya. Tapi karena itu semua, dia terpaksa bangun dan mengecek kondisi sekitarnya.Yap— dia hampir lupa kalau semalam sudah melangsungkan pernikahan dan sekamar dengan Gilang. Tapi, ketika dia bangun pagi ini, cowok itu ternyata sudah tidak ada di kamarnya.Namun, yang lebih penting dari itu adalah—"Huuft, aman. Gue pikir dia ngapa-ngapain gue semalem," ucapnya diiringi helaan nafas lega, ketika melihat pakaiannya yang masih utuh.Arella menekuk kedua lututnya dan duduk bersila. Ia memandangi langit biru dari jendela kamarnya dan menghela nafas. "Padahal hari ini cerah banget, tapi kok hati gue ngerasa pedih ya? Kayak ada sesuatu yang bikin sedih, tapi nggak tau apa."Kedua manik gelapnya menyendu. Dia bingung kenapa mendadak jadi melow begini. Seperti akan ada sesuatu yang membuatnya merasa sedih."Kamu mau ajak Arella pindah ke apartemen sekaran
"Elo itu cowok paling nyebelin di dunia," tukas Arella sambil memegangi kepalanya. "Dan sialnya, gue orang jadi orang paling malang di dunia gara-gara nikah ama lo.""Tapi itu kan pemikiran kamu sendiri. Mungkin orang lain beranggapan sebaliknya?""Nggak mungkin. Teman-teman gue aja heran karena gue nikah ama cowok se-cupu elo."Gilang masih fokus menatap jalanan di depannya. Capek juga beradu argumen dengan Arella yang super keras kepala."Kapan sih kita sampai? Gue capek pengen istirahat?""Bentar lagi.""Bentar-bentar doang! Bosen tau!"Dengan tangan kanan yang masih memegang setir, Gilang mengeluarkan sesuatu dari kantung depan kemejanya. "Ini."Arella mengerutkan keningnya ketika Gilang menyodorkan sebuah lolipop rasa jeruk padanya. "Lo pikir gue bocil apa?""Nggak ada batasan umur kalau mau makan permen."Gadis itu menghela nafas panjang. Ia sahut lolipop itu dari tangan Gilang bukan untuk memakannya. Tapi melemparkannya ke luar jendela mobil dengan wajah murka. "Dari sini gue m
Tok Tok TokArella mendengkus keras. Baru juga ingin santai sendirian, tapi Gilang sudah mengedor pintunya berulang kali. "Apa sih?" sentak Arella saat baru membuka pintu."Kamu mau di pesenin makan malam?" tanya Gilang dengan nada yang cukup sabar."Enggak usah! Gue kalau laper bisa beli sendiri kok.""Sekalian aja nanti pesennya.""Ya suka-suka gue! Siapa yang lo yang bisa ngatur-ngatur."Gilang menghela nafas panjang karena bentakan sang istri. "Ya udah. Terserah kamu."Arella menyipitkan matanya sebelum berkata, "Udah ya! Awas kalau lo gangguin gue lagi. Gue bakal cabut dari rumah ini.""Dan satu lagi! Selama lo masih ada di rumah gue nggak bakalan pernah keluar dari kamar ini kecuali dalam hal yang mendesak!""Kenapa kayak gitu Rel?""Karena gue benci banget sama lo! PAHAM!!"Gilang baru saja buka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Arella lebih dahulu menutup pintu dengan cukup keras. Mengabaikan suaminya yang masih berdiri di sana.***Sekarang masih pukul 5 subuh. Gilang sudah
"Ini kan?"Arella cukup kaget saat melihat isi paket yang baru saja dia dapatkan. Di mana di dalamnya terdapat canvas, cat air, palet cat, dan beberapa benda untuk keperluan melukis."Kenapa Gilang beli ginian?" tanya Arella pada dirinya sendiri. "Apa ini buat gue?"Arella memang suka melukis. Biasanya gadis itu menghabiskan waktu luangnya untuk menggambar apa saja yang dia sukai.Tapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana Gilang tau kalau dia menyukai hobby yang satu ini?"Apa gue telfon aja si Gilang?" pikirnya lagi. "Gue penasaran banget ama alat-alat ini beneran buat gue atau enggak."Setuju dengan idenya, Arella pun mengambil handphone miliknya untuk menelfon sang suami. Tapi belum sempat ia melakukan itu, Gilang lebih dahulu menelponnya. Pria itu seperti sudah dapat feeling kalau dia sedang membutuhkan kejelasan dari Gilang.["Halo, Assalamu'alaikum."] Gilang menyapa dari line seberang."Gilang elo—"["Jawab dulu dong salamnya!"]Arella berdecih. Padahal dia mau langsung to the poin
Sekitar pukul 8 malam, Gilang kembali ke apartement miliknya. Suasana di tempat itu begitu sepi. Hanya terdengar suara dari Air Conditoner yang berada di tengah ruangan."Assalamu'alaikum, Rel. Aku udah pulang nih." Gilang berteriak memanggil istrinya. Sambil duduk di ruang tamu, ia mulai mencopot sepatu kerjanya dan menaruhnya ke rak dekat pintu masuk.Ia melihat sekeliling, tak ada penampakan istrinya di manapun. "Apa Arella udah tidur ya?" tanyanya pada diri sendiri.Pemuda itu menyingsingkan lengan kemejanya. Lalu berjalan ke arah kulkas untuk mengambil air dingin. Ia melihat beberapa piring bekas makan Arella yang terletak di wastafel. Tidak hanya itu, ada juga panci bekas mie yang sepertinya baru selesai di gunakan.Pemuda berkacamata minus dengan bingkai hitam itu tidak marah sama sekali saat tau jika Arella tidak membereskan itu semua. Dia justru merasa lega karena istrinya sudah makan malam walaupun mereka tidak bisa makan berdua.Selesai mencuci piring, Gilang berniat untuk l