Share

Tak terlihat

“Jangan pernah menemuiku lagi."

"Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?"

Pria itu berbalik. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana kain yang dia pakai. Helaan napas mulai terdengar samar.

“Aku sudah memiliki keluarga lain. Seharusnya kau paham, Lula."

"Aku juga keluargamu. Aku putrimu! Apa aku salah menemuimu sebagai seorang anak?"

"Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu."

Lula yang malang dia hanya berdecih, "Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anak untukmu. Bukan masa lalu!"

"Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku, atau sampai datang ke rumahku seperti kemarin."

Setelah mengatakan omong kosong, pria baya itu pergi begitu saja. Mata Lula masih setia menatap punggungnya yang pergi menjauh. Matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal, "Aku membencimu."

"Lula!"

Wanita itu tersentak dalam lamunannya. Dia menoleh ke belakang, mendapati wanita pirang yang duduk di belakangnya, “Emil?"

"Kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu sejak tadi. Dia memintamu datang ke ruangannya setelah jam makan siang."

"Ah maaf, aku sedang tidak fokus. Pak Rey memanggilku? Kenapa?"

Emil menaikkan bahunya, "Entah."

Melihat Lula yang terdiam, Emil menjadi penasaran. Dia kembali bertanya, “Kamu kenapa? Sepertinya hari ini kamu suka sekali melamun. Apa kamu memiliki masalah?"

"Tidak ada. Aku tidak memiliki masalah."

"Lalu? Kamu terlihat seperti manusia yang terlilit hutang. Ah sudahlah, bagaimana kalau kita mengisi perut saja? Perutku sudah lapar sekali, ayo," rengek Emil.

Lula mengangguk, "Aku juga lapar. Ayo kita cari makan."

Emil tersenyum senang, “Let's go!"

Keduanya keluar dari Office, menuju ke restoran yang tak jauh dari kantor mereka. Keduanya mengambil duduk di ujung, agar tak merasa bising karena jam makan siang yang selalu ramai pengunjung.

"Pelayan!"

Pelayan pun datang, dan memberikan buku menu untuk Emil dan juga Lula. Keduanya melihat daftar menu untuk mereka pesan.

Emil menoleh pada Lula, untuk bertanya, "La, mau pesan apa?"

Lula yang melihat daftar menu, akhirnya menunjuk salah satu menu kepada Emil, "Nasi goreng spesial, minumnya es teh aja deh, Mil."

"Oke, aku juga sama. Mbak, nasi gorengnya dua yang spesial yang satu pedas satunya ngga pedas. Sama es jeruk satu, sama es teh."

"Baik, di tunggu pesanannya Kak."

Sambil menunggu pesanan, Emil terus saja berbicara tanpa henti. Lula, wanita itu memilih diam menjadi pendengar wanita itu yang masih berbicara. Namun, saat wanita itu tak sengaja menatap televisi di ujung, manik matanya terhenti.

"Edhi Pramono- pemilik bank swasta, begitu antusias untuk pertunangan putri tunggal mereka, Margaret Gladys Pramono, dengan Jackson Anderson. Berikut adalah sederet persiapan yang di lakukan keluarga Pramono untuk persiapan pertunangan Margaret, putri mereka."

Lula mengepalkan tangan. Dia tak bisa membohongi dirinya sendiri, bahwa rasa marah yang dia rasakan tak pernah padam. Meski sudah sepuluh tahun sejak pria itu memutuskan hubungan dengannya, dia tidak bisa lupa. Semua lontaran pria itu masih terngiang jelas di pikiran Lula.

Melihat Lula yang terdiam, Emil, memutar kepala ke arah televisi. Melihat berita yang tersiar saat itu, membuat wanita dua puluh tujuh tahun itu tersenyum iri.

"Beruntung banget yang jadi anak Pak Edhi Pramono. Dia sayang banget sama anaknya. Figur Ayah idaman banget."

"Iya, idaman," jawab Lula santai.

Emil tersenyum sambil membayangkan. Jika dia menjadi putri tunggal Edhi Pramono, jelas dia tak akan kesulitan dalam hal materi.

“La, emang kamu tidak mau jadi anaknya pengusaha kaya raya? Contohnya Pak Edhi. Kalau aku sih, mau banget! Ngga usah kerja, tidur saja menghasilkan uang."

Lula berdecih mendengarnya, "Di dunia ini, kalau mau kaya yaa kerja, Mil. Udah deh, ngga usah berkhayal. Realita aja."

Emil berdecih mendengar respon Lula, “Jadi iri ..."

Lula tertawa miris setelah mendengar apa yang Emil katakan. Dia memang sosok Ayah yang sempurna, tapi tidak untuk dia, yang merupakan anak kandungnya.

Selesai bekerja. Lula langsung pulang ke apartemennya. Duduk sejenak, mengistirahatkan diri. Sambil sesekali memijat pangkal hidung meringankan penat yang dia rasa. Makin lama di rasa, rasa pusingnya makin berat. Tak ada tempat mengadu keluh kesahnya. Dia hanya sendirian.

Setelah lima menit duduk di sofa, wanita itu bangkit menuju ke kamarnya. Dia membersihkan diri, untuk menyegarkan tubuhnya.

Waktu bergerak cepat. Kini menunjukkan pukul tujuh malam. Lula memutuskan untuk keluar dari apartemennya, dengan kaos over- size, celana jeans panjang.

Entah ke mana arah yang akan dia tuju, dia berjalan menyusuri malamnya kota Jakarta. Setidaknya penatnya akan hilang perlahan.

Wanita itu berjalan santai, sambil melihat beberapa orang yang tengah berjualan di pinggir jalan. Saat dia masih mengamati sekitar, tiba - tiba seseorang memanggilnya.

"Lula!"

Lula menoleh ke belakang, matanya terbalak melihat siapa yang dia lihat saat ini.

"Pak Rey?" gumamnya.

Pria dengan balutan kemeja, berbusana formal itu mendekatinya, "Saya melihat kamu dari jauh, dan memutuskan untuk memanggil," ujarnya.

"Pak Rey bagaimana bisa berada di sini? Ada urusan, atau-"

"Tidak ada urusan bisnis. Saya memang sedang berada di daerah sini."

Lula menganggukkan kepala. Bertemu dengan atasannya di luar jam kantor, jarang Lula temui. Kondisi ini membuat Lula merasa canggung.

"Kamu sendiri ngapain disini?" pria itu berbalik tanya kepada Lula.

"Saya tinggal di daerah sini, Pak. Apartemen Dolus."

"Apartemen Dolus? Saya juga akan menempatinya. Ini saya juga datang untuk survey apakah layak atau tidak untuk saya tempati."

Mendengar apa yang Rey katakan, Lula semakin bingung. Kenapa pria itu tiba - tiba ingin tinggal di apartemen yang sama dengannya? Aneh.

"La, kamu melamun?"

Lula tersadar. Dia tersenyum menyengir, "Ah, maaf, Pak."

"Tidak apa - apa. Oh iya, kamu sudah makan? Saya kebetulan sedang cari makan untuk mengisi perut. Bagaimana kalau kita bersama cari makannya. Lagian, saya juga engga paham daerah sini. Bagaimana, La?"

"Boleh, Pak," jawab Lula terpaksa. Bagaimana bisa dia menolak atasannya, meski sejujurnya dia ingin menolaknya.

Dengan terpaksa, Lula membawa Rey untuk pergi makan bersama dengannya. Sepanjang perjalanan, tak ada komunikasi yang Lula lakukan, karena dia tak merasa cukup dekat dengan Rey. Wanita itu memilih untuk diam saja sambil berjalan di sisi Rey.

"Saya tidak tahu selera makan Pak Rey seperti apa. Tapi, saya sering sekali makan di rumah makan padang ini. Selain harga yang miring, saya juga puas dengan rasa yang enak."

"Kalau kamu saja senang dengan tempat ini, saya juga pasti akan menyukainya. Ayo!"

Rey terlebih dahulu masuk ke dalam. Lula merasa aneh sekali. Benarkah yang sedang bersamanya adalah Rey atasannya?

Duduk saling berhadapan, di selimuti rasa canggung. Lula tak terbiasa dengan situasi yang seperti ini. Apa lagi, Rey terkadang aneh, tersenyum sambil menatapnya, membuat wanita itu menjadi salah tingkah sesekali.

"Kamu mau pesan apa? Saya perhatikan kamu gelisah. Apa kamu tidak nyaman makan bersama saya?"

Lula segera menggelengkan kepala, “Tidak Pak. Saya hanya memikirkan beberapa pekerjaan rumah yang belum saya selesaikan," alibinya.

"Segera kamu pesan, lalu kamu bisa lanjutkan pekerjaan rumah kamu yang tertunda."

Lula mengangguk, "Baik Pak."

Lagi - lagi pria itu tertawa tipis sambil menatapnya, "Jangan terlalu formal. Ini bukan jam kantor, La. Saya tidak semenakutkan itu, saya rasa."

"Iya, Pak. Maaf."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status