Home / Romansa / Hasrat Wanita Kedua / Bab 1 - Tak terlihat

Share

Bab 1 - Tak terlihat

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2022-04-05 19:33:28

“Jangan pernah menemuiku lagi.”

“Kenapa? Aku putrimu. Kenapa aku tidak boleh menemuimu lagi, Dad?”

Pria itu berbalik, tangannya masuk ke dalam saku celana kainnya. Helaan napas terdengar samar.

“Aku sudah memiliki keluarga lain. Kau harus mengerti, Lula.”

“Aku juga keluargamu. Aku juga putrimu. Apa aku salah menemuimu sebagai anak?”

“Salah! Istriku tidak menyukaimu. Dia tidak ingin aku berhubungan dengan masa lalu.”

Lula hanya bisa berdecak. “Tapi aku masih anakmu, Dad! Sampai kapan pun, aku akan tetap anakmu. Bukan masa lalu!”

“Ini pertemuan terakhir kalinya. Jangan pernah menemuiku lagi atau datang ke rumahku seperti kemarin.”

Setelah berkata demikian, pria tua itu pergi begitu saja. Lula tetap memandang punggungnya yang menjauh, matanya memanas, rahangnya mengeras, dan buku jarinya mengepal. “Aku membencimu.”

“Lula!”

Berikut versi yang lebih menarik dengan alur yang lebih mengalir, detail yang lebih rapi, dan feel yang lebih kuat:


Lula tersentak dari lamunannya. Pikirannya yang melayang jauh seketika kembali ke ruangan kantor yang penuh suara ketikan keyboard dan percakapan samar rekan-rekannya. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Emil—wanita berambut pirang dengan ekspresi penasaran yang sudah duduk di sana sejak tadi.

“La, kamu kenapa? Pak Rey memanggilmu dari tadi. Dia ingin kamu datang ke ruangannya setelah jam makan siang,” kata Emil, nada suaranya terdengar sedikit menuntut.

Lula mengerjapkan mata, masih berusaha memahami ucapan sahabatnya itu. “Pak Rey memanggilku? Kenapa?”

Emil mengangkat bahunya santai. “Entahlah.”

Lula terdiam, membiarkan pikirannya kembali terjerat dalam benang-benang yang tadi mengganggu.

Melihat ekspresi Lula yang tidak biasa, Emil menyipitkan mata. “La, kamu kenapa? Hari ini kamu suka sekali melamun. Ada masalah?”

Lula menggeleng pelan. “Tidak ada. Aku baik-baik saja.”

Emil menatapnya dengan penuh skeptis. “Lalu? Wajahmu seperti orang yang terlilit hutang.”

Lula mendengus pendek, tapi sebelum sempat membalas, Emil sudah merajuk. “Sudahlah, bagaimana kalau kita makan? Perutku sudah lapar sekali.”

Lula tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku juga lapar. Ayo kita cari makan.”

Emil langsung berseri. “Let’s go!”

Mereka keluar dari kantor dan menuju restoran tak jauh dari sana. Saat jam makan siang seperti ini, suasana restoran cukup ramai, tapi mereka berhasil menemukan meja di sudut ruangan, agak jauh dari keramaian.

Seorang pelayan datang, memberikan buku menu kepada mereka. Lula membolak-balik halaman sebentar, lalu menunjuk satu menu. “Saya pesan nasi goreng spesial, minumnya es teh saja.”

“Aku juga sama.” Emil lalu menoleh ke pelayan. “Nasi goreng spesial dua, satu pedas, satu tidak pedas. Minumnya, es jeruk satu dan es teh satu.”

“Baik, pesanannya akan segera datang.”

Sambil menunggu pesanan, Emil mulai bercerita tentang hal-hal random yang menarik perhatiannya. Lula hanya mendengarkan dengan diam, sesekali mengangguk. Tapi saat pandangannya tanpa sengaja tertuju ke televisi yang tergantung di ujung ruangan, napasnya tercekat.

“Edhi Pramono—pemilik bank swasta terkemuka, sangat antusias dengan pertunangan putri tunggalnya, Margaret Gladys Pramono, dengan Jackson Anderson. Keluarga Pramono sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara tersebut dengan penuh perhatian.”

Lula mengepalkan tangannya di atas meja, jemarinya mengeras. Amarah yang telah lama dikuburnya tiba-tiba bangkit, membakar dada. Sepuluh tahun berlalu, tetapi luka itu tetap segar. Kata-kata pria itu kembali menggema di pikirannya, menghantamnya tanpa ampun.

Emil yang menyadari perubahan ekspresi Lula ikut melirik ke televisi, lalu berkomentar dengan nada iri, “Beruntung sekali yang jadi anak Pak Edhi Pramono. Dia sangat menyayangi anaknya. Seorang ayah idaman, ya?”

Lula menarik napas dalam, berusaha menguasai emosinya. “Iya, idaman,” jawabnya datar.

Emil tidak menangkap nada dingin dalam suara Lula. Dia malah lanjut berceloteh, “La, kamu tidak mau jadi anak pengusaha kaya raya? Seperti Pak Edhi contohnya? Kalau aku sih, mau banget! Tidak perlu kerja, hanya tidur dan uang tetap mengalir.”

Lula berdecih. “Di dunia ini, kalau mau kaya, ya harus kerja, Mil. Jangan hanya berkhayal. Realita itu lebih penting.”

Emil menghela napas kecewa. “Ya makanya aku iri," dengusnya.

Lula tertawa kecil, tapi tawa itu kosong. Edhi Pramono memang ayah idaman—bagi semua orang. Kecuali untuknya, anak kandungnya sendiri.

----------

Setelah seharian bekerja, Lula akhirnya pulang ke apartemennya. Dia menjatuhkan tubuh di sofa, memijat pangkal hidungnya yang terasa berat. Rasa lelah merambat ke seluruh tubuhnya, tapi yang paling melelahkan adalah pikirannya sendiri.

Setelah duduk selama beberapa menit, dia menyeret tubuhnya ke kamar, mengganti pakaian, lalu keluar dari apartemen tanpa tujuan pasti. Dengan kaos oversized dan jeans panjang, dia berjalan menyusuri trotoar Jakarta yang mulai dipenuhi lampu-lampu malam.

Udara malam sedikit mengusir rasa sumpek di dadanya. Lula berjalan santai, matanya mengamati para pedagang kaki lima yang sibuk melayani pelanggan. Namun, saat sedang melihat-lihat, sebuah suara memanggilnya.

“Lula!”

Lula menoleh, matanya melebar saat melihat siapa yang berdiri di sana.

“Pak Rey?” gumamnya, masih tak percaya.

Pria itu, mengenakan kemeja formal yang tampak rapi meski sedikit kusut, dia melangkah mendekat. “Saya melihat kamu dari jauh dan memutuskan untuk memanggil.”

Lula masih mencoba mencerna situasi. “Pak Rey ngapain sampai disini? Ada urusan bisnis, atau—”

“Tidak ada urusan bisnis.” Rey menggeleng. “Saya memang sedang berada di daerah sini.”

Lula mengangguk, meski dia merasa sedikit canggung. Jarang sekali dia bertemu atasannya di luar jam kerja seperti ini.

“Kamu sendiri ngapain di sini?” tanya Rey.

“Saya tinggal di sekitar sini, Pak. Tuh, di Apartemen Dolus.”

Rey tampak sedikit terkejut. “Apartemen Dolus? Kebetulan, saya juga akan menempatinya. Saya sedang survei apakah tempatnya layak atau tidak.”

Lula semakin bingung. Kenapa pria itu tiba-tiba ingin tinggal di tempat yang sama dengannya? Aneh.

“La, kamu melamun?”

Lula tersentak. Dia tersenyum kikuk. “Ah, maaf, Pak.”

Rey tertawa kecil. “Tidak apa-apa. Oh iya, kamu sudah makan? Saya kebetulan sedang mencari tempat makan. Bagaimana kalau kita makan bersama?”

Lula ragu sejenak. Sebenarnya, dia ingin menolak, tapi bagaimana mungkin dia menolak atasannya?

“Boleh, Pak,” jawabnya akhirnya, meski ada keengganan dalam suaranya.

Mereka berjalan berdampingan dalam diam. Lula merasa canggung, sementara Rey tampak santai. Lalu mereka berjalan sebentar hingga sampai disebuah rumah makan padang sederhana.

“Saya tidak tahu selera makan Pak Rey seperti apa, tapi saya sering makan di rumah makan Padang ini. Harganya terjangkau, dan makanannya enak.”

“Kalau menurut kamu enak, saya juga pasti akan menyukainya.” Rey tersenyum. “Ayo masuk.”

Mereka duduk berhadapan, suasana hening sesaat. Lula tidak terbiasa makan bersama atasan di luar jam kantor. Apalagi, sesekali Rey tersenyum sambil menatapnya, membuatnya semakin salah tingkah.

“Kamu mau pesan apa?” Rey akhirnya bertanya. “Saya perhatikan kamu gelisah. Apa kamu tidak nyaman makan bersama saya?”

Lula menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Saya hanya memikirkan beberapa pekerjaan rumah yang belum saya selesaikan.”

Rey tersenyum tipis. “Kalau begitu, lebih baik segera pesan, lalu kamu bisa lanjutkan pekerjaan rumahmu yang tertunda.”

Lula mengangguk. “Baik, Pak.”

Rey menatapnya lama sebelum akhirnya terkekeh. “Jangan terlalu formal. Ini bukan jam kantor, La. Saya rasa saya tidak semenakutkan itu.”

Lula menunduk, tersenyum kecil. “Iya, Pak. Maaf.”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, suasana di antara mereka mulai mencair.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Haniubay
apa Rey itu ada hati dengan Lula yaaa...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 43 - Aku milikmu, Kamu milikku

    Jack berdiri diam beberapa saat, menatap balkon tempat sosok itu baru saja melambaikan tangan. Debur ombak di belakangnya seolah sirna, tergantikan oleh detak jantung yang menegang.Ia tidak menunggu lama.Langkah-langkahnya tegas, menyusuri jalur batu yang memisahkan villa mereka dengan unit lainnya.Begitu sampai di depan pintu kaca yang terbuka sebagian, Lula sudah berdiri di sana. Dia berdiri dengan santai. Dengan menggunakan gaun linen putih melekat pada tubuh rampingnya. Angin pantai meniup rambut panjangnya ke belakang, menjadikannya sosok yang terlalu mencolok untuk disebut sebagai ‘kebetulan’.“Bagaimana bisa kau di sini?” suara Jack rendah dan mengeras, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.Lula tersenyum, tenang dan seperti biasa, sedikit menggoda. Ia melangkah pelan ke arah Jack, jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan.“Memangnya kenapa?” katanya lembut. “Aku hanya sedang menghabiskan uangku unt

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 42 - Sebuah Kejutan

    Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 41 - Kau bisa mengakhirinya

    Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 40 - Pernikahan

    Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 39 - Kabar Burung

    Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 38 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 37 - Aku siap

    Lula menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, pandangannya sekilas menyapu ke arah restoran yang ramai. Suara alat makan beradu dengan piring bercampur percakapan pelanggan lain, menciptakan suasana makan siang yang tampak wajar. Namun, tidak baginya. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatnya sulit menikmati hidangan di hadapannya. Perlahan, ia meletakkan garpunya dan menatap pria di hadapannya. “Jack, aku rasa kita sedang diawasi,” bisiknya tanpa mengubah ekspresi. Jack tidak langsung merespons. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya dengan santai, menyesapnya seolah tak terjadi apa-apa. Tetapi, Lula tahu pria itu tengah mengamati pantulan kaca besar di belakangnya. Dari sana, dua sosok terlihat duduk tak jauh dari mereka—Eleanor dan Jennie. Jack menaruh cangkirnya, bibirnya melengkung samar. “Kamu benar, entah bagaimana mereka bisa datang disini.” “Aku curiga, mereka datang untuk mengawasi. Tidak ada kemungkinan kebetulan didunia ini.” “Aku pikir kamu benar. Jika b

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 36 - Selingkuh?

    Lula merasa hubungannya dengan Jack semakin membaik. Tidak ada lagi pertengkaran tak perlu atau tatapan penuh ketegangan di antara mereka. Setidaknya, Jack tidak lagi berusaha mencari masalah dengannya setiap saat, dan Lula pun mulai merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu.Hari ini, Jack tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar. Biasanya, Lula akan menolak atau mencari alasan untuk menghindar, tapi entah kenapa, kali ini ia mengiyakan tanpa banyak berpikir.Mereka memilih restoran dengan suasana tenang, duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalanan kota. Percakapan mereka mengalir ringan—tidak lagi dipenuhi sindiran atau debat kusir yang melelahkan.Namun, saat obrolan mereka mulai mereda, Jack tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lula mengernyit, merasa curiga.“Apa ini?”Jack hanya menyodorkan kotaknya. “Buka saja.”Dengan sedikit ragu, Lula membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung perak dengan liontin berbent

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 35 - Aku akan menemuimu

    Lula masih terengah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menenangkan diri setelah ciuman yang mencuri napasnya barusan. Jack tetap di tempatnya, menatapnya dengan intens, seolah menantang setiap emosi yang bergejolak di mata Lula. “Kau sudah selesai marah?” Jack bertanya, nada suaranya masih datar, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan api yang membakar di dalamnya. Lula mengatupkan rahangnya. “Kau tidak bisa seenaknya, Jack.” “Aku tidak sedang bermain-main,” balas Jack tanpa ragu. “Kalau aku mau bermain, aku bisa melakukan jauh lebih dari ini.” Lula menelan ludah, berusaha menepis panas yang merayap di kulitnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mencari celah untuk mengendalikan situasi. “Aku lelah,” katanya akhirnya, suaranya melemah. Jack tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap Lula dengan sorot mata yang dalam, penuh sesuatu yang sulit ditebak. Namun kemudian, ia bersandar ke kursinya, ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu.”

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status