Share

Bertemu dengannya

Sudah hampir setengah jam, namun Rey tak kunjung datang. Pesan singkat yang Lula kirimkan juga tak di balas oleh pria itu. Sebenarnya, dia ada di mana? Untuk apa menyuruhnya menunggu?

Wanita itu dengan lesu bangkit dari duduknya. Waktu sudah menunjukkan hampir petang. Dia sejak tadi berdiam diri di sudut ruangan, menunggu pria itu untuk datang, sesuai dengan janji.

"Mending balik, ngga ada gunanya nunggu Pak Rey."

Dia meraih tasnya dan pergi. Berjalan menyusuri lobi, dengan perasaan yang dongkol. Sudah pasti jika dia pulang dari tadi, dia sudah memanjakan diri di atas ranjang empuk sambil memejamkan mata.

Nasi sudah menjadi bubur, tidak perlu dia sesali. Karena yang pasti dia lebih baik pulang segera sampai apartemennya.

Basement kantor terlihat sepi. Tak heran, karena semua orang kantor sudah pulang sejak tadi. Ya, meski hanya satu dua orang yang Lula lihat belum pulang. Namun, tetap saja tak seramai saat jam kantor berlangsung.

Wanita itu menaiki mobilnya dan keluar dari parkiran. Memutar arah pulang, karena jarak kantor dan apartemennya berlawanan. Saat Lula akan keluar ke jalan raya, tiba - tiba sebuah mobil menabrak badan mobilnya.

Brag!

Lula terbelak. Tubuhnya goncang akibat badan mobilnya yang ditabrak. Untung saja dia mengenakan seat belt karena hantaman pada body mobilnya cukup keras.

"Astaga!"

Langsung saja Lula menanggalkan seat beltnya, dan keluar dari mobil. Terlihat body depan mobil sedikit penyok membuat wanita itu kesal. Dia langsung mendatangi mobil hitam yang menabraknya, dan mengetuk marah kaca jendelanya.

"Keluar! Keluar."

Lula terus menggedor kaca pengendara mobil, hingga pintu terbuka. Seorang wanita ke luar dari dalam.

Wanita itu menatap Lula dengan sorot mata bersalahnya, “Maaf, ponselku terjatuh dan aku tadi berusaha mengambilnya. Tapi ternyata aku hilang keseimbangan sehingga menabrak mobil Anda,” ujarnya dengan nada yang gelisah.

Melihat Lula yang terdiam, wanita itu meraih tangan Lula, dan menggenggamnya, "Aku akan bertanggung jawab. Aku tidak akan lari. Aku akan mencoba menghubungi seseorang. Tunggu!”

Wanita itu tampak panik dan menepi tak jauh dari Lula. Dia menghubungi seseorang yang entah itu siapa.

“Dad, aku menabrak mobil seseorang. Kamu bisa mengirimiku mekanik untuk membawa mobilnya? Cepat, sebelum aku dipukuli masal nantinya!”

“Ah baiklah, aku akan berbicara dengan wanita itu. Terima kasih.”

Wanita itu berdehem, dan kemudian tersenyum canggung mendekati Lula.

"Aku sudah berbicara dengan Ayahku, mengenai mobilmu. Oh iya, untuk menebus rasa bersalahku, bagaimana jika aku membawamu makan bersamaku? Jangan menolak, please?”

Lula menghela napasnya. Sebenarnya, dia juga merasa tidak enak karena kurang sopan menggedor kaca jendela wanita itu dengan kasar.

"Sebelumnya, saya juga meminta maaf dengan Anda karena terbawa emosi. Saya juga sudah tidak sopan menggedor kaca dengan keras. Tak seharusnya saya melakukannya. Untuk masalah mobil, tidak apa - apa. Ini akan membaik setelah nanti di-service sepertinya.”

“Astaga, jangan menolaknya. Aku tidak merasa keberatan hanya untuk makan bersama. Lagi pula, ini permintaan maaf untukmu.”

Melihat tatapan wanita itu, Lula tak bisa menolak. Dia menggigit bibir bawahnya sejenak, sebelum akhirnya dia menganggukan kepala menyetujuinya.

"Oke, saya akan ikut.”

"Thank God! Sekarang naik ke mobil, dan kita pergi untuk cari makan. Come on!"

Di dalam mobil, Lula sejak tadi hanya diam. Dia juga tak mengenal wanita asing ini. Namun, berbeda dengan dirinya. Wanita itu terus saja berbicara, meski Lula hanya menanggapinya dengan singkat. Seperti halnya ini.

"Aku selalu mengendarai mobil sendirian. Dan, you know, itu sangat menyebalkan. Baru kali ini aku mengendarai mobil bersama dengan seseorang. Aku merasa senang. Aku merasa memiliki seorang teman, dan itu sangat menyenangkan," ujarnya dengan senang.

Terkadang dia merasa aneh dengan wanita itu. Sejak tadi, wanita itu tak habis tenaga untuk mengoceh dan bahkan terus tersenyum. Terlalu ramah dan aneh.

Dret …

Ponsel wanita itu berdering. Dia menoleh pada Lula dan tersenyum tipis.

"Oh sorry, aku akan mengangkat panggilanku sebentar."

"Yes, Mom?"

Dia tampak terbelak, “Sekarang? Mom, jangan bercanda! Aku bahkan sedang menuju makan malam bersama dengan temanku.”

Dia nampak menghela napas. "Okey! Fine. Aku akan memutar arah. Jangan menceramahiku di telepon, aku sedang mengemudi!” kesalnya.

Wanita itu meletakan ponsel dan menoleh pada Lula.

"Bagaimana jika aku mentraktirmu ke rumahku saja?" tanyanya.

"Ha?" tanya Lula dengan bingung.

"Mommyku mengomel untuk dinner segera di rumah. Dia memaksaku untuk pulang segera. Aku tidak bisa membatalkan janji kita. Jadi, aku akan membawamu makan ke rumahku saja. Bagaimana?"

Lula menggelus tengkuknya canggung, "Jika kau sibuk, kau bisa menurunkan aku di tepi. Aku akan menghubungi taksi, maybe? Lain kali saja untuk makan malamnya."

"Tidak. Aku akan membawamu ke rumah saja. Jangan menolakku, please ..."

"Eng— baiklah."

Tak lama, hanya belasan menit dan akhirnya mobil milik wanita itu sampai di sebuah rumah yang sangat besar sekali. Bahkan, Lula yakin rumah wanita itu seluas seluruh blok apartemennya.

"Turun. Kita sudah sampai di rumahku."

Lula menganggukkan kepala dan melepas seat belt. Dia kemudian mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumahnya.

Benar saja dugaannya. Saat pintu di buka, terlihat isi rumah yang mewah layaknya berada di castil, yang dia tonton di tayangan televisi. Impressive!

"Dear, kamu sudah pulang?!”

Dari atas tangga, wanita cantik menyorot kearah keduanya, dengan senyum yang lebar. Lula, menatapnya tanpa berkedip.

"Yes, Mom. I'm home!"

Wanita itu turun perlahan dari tangga, dan memeluk wanita asing yang menabrak mobilnya tadi, yang entah namanya siapa, dia tak tahu.

"Dia siapa, Eve?" tanya wanita itu tiba - tiba, karena menyadari kehadiran Lula sepertinya.

Wanita yang di sapa Eve itu melepaskan pelukannya. Dia melirik ke arah Lula, lalu menjelaskan.

"Aku menabrak mobilnya tadi. Dan sebagai permintaan maafku, aku sebenarnya tadi ingin mentraktir dia makan sampai mobilnya selesai di servis di bengkel, Mom. Tapi, Mom malah menyuruhku pulang, untuk dinner di rumah."

Wanita yang di panggil 'Mom' itu mendekati Lula. "Benarkah? Ah, maafkan Eve yang tidak berhati - hati mengendarai mobil. Siapa namamu, sayang?"

Wanita itu mengulurkan tangannya dengan lembut. Lula, menjabat tangannya dan tersenyum, "Lula."

"Beautiful name."

"Eve, antar Lula ke meja makan," ujarnya pada Eve.

"Oke, Mom."

Eve pun membawa Lula masuk ke dalam, tepatnya di ruang makan yang sangat luas. Bahkan, Lula berkali takjub dengan isi rumah keluarga Eve. Wanita itu memiliki keluarga bangsawan Lula rasa.

Baru saja duduk di meja makan. Wanita berumur, dengan baju yang seragam datang dan membawa makanan yang cukup banyak. Apakah orang yang tinggal di sini sungguh banyak? Lula rasa makanan yang di sajikan cukup untuk lima belas orang lebih.

"Silakan dimakan. Jangan merasa sungkan, Lula," jelasnya.

"Terima kasih, Tante. Maaf merepotkan."

Wanita itu tertawa tipis, "Jangan memanggilku, Tante? Itu sedikit aneh. Panggil saja Camelia, atau Mom," jelas Camelia.

Lula tersenyum tipis mendengar ujar Camelia yang sangat lembut. Dia menjadi merindukan sosok Ibunya. Sudah lama dia tidak berinteraksi dengan wanita yang berperan sebagai Ibu.

"Sepertinya dia terlambat lagi, Mom. Tidak tepat waktu," kata Eve di sela makannya.

"Kata siapa? I'm here!"

Camila menoleh dan tersenyum, "Kalian datang?"

Lula pun refleks menoleh dan melihat siapa yang datang. Dia cukup terkejut dengan siapa yang berdiri di belakangnya saat ini.

"Dia?" gumamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status