Lula memeriksa ponselnya, tapi tak ada balasan dari Rey. Sudah hampir setengah jam sejak pria itu memintanya menunggu di kantor. Dia melirik jam di layar laptopnya. Hampir pukul tujuh malam, dan hari mulai gelap.
“Kenapa Pak Rey suruh nunggu kalau akhirnya tidak datang juga?” gumam Lula, mulai merasa jengkel. Rasa kesal mulai menguasai pikiran Lula. Dia sudah menyelesaikan pekerjaannya sejak beberapa jam yang lalu, tapi Rey belum juga kembali. Hanya ada satu pesan singkat yang pria itu kirim sebelum akhirnya menghilang tanpa kabar. Lula sudah beberapa kali mengirimkan balasan, tetapi hingga kini bosnya tak juga merespons. Akhirnya, dengan napas panjang, ia bangkit dari kursinya, meraih tasnya dari meja, dan berjalan keluar kantor. "Mending pulang saja," pikirnya. Koridor terasa lengang. Kantor sudah sepi, hanya beberapa lampu di ruangan kosong yang masih menyala. Lobi pun tampak lengang, hanya tersisa satu atau dua staf yang sedang bersiap untuk pulang. Setibanya di basement, Lula segera masuk ke mobilnya dan menyalakan mesin. "Harusnya dari tadi langsung pulang," gumamnya sambil menarik sabuk pengaman. Mobilnya melaju perlahan keluar dari parkiran. Namun, saat baru memasuki jalan raya, sebuah mobil hitam tiba-tiba melesat dari arah kiri dan menghantam bodi mobilnya dengan keras.Brak! Tubuh Lula terdorong ke depan, tetapi sabuk pengaman menahan benturan yang lebih parah. Jantungnya berdegup kencang. Dengan gerakan cepat, ia melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Matanya langsung tertuju pada bagian depan mobilnya yang penyok. Napasnya memburu, emosinya melonjak. Dengan langkah tegas, ia menghampiri mobil hitam yang menabraknya dan mengetuk kaca jendela dengan keras. "Keluar!" serunya, nada suaranya penuh amarah. "Keluar! Jangan sembunyi setelah menabrak. Keluar sekarang!" Beberapa detik kemudian, pintu mobil itu terbuka. Seorang wanita muda dengan rambut sebahu keluar dengan wajah penuh rasa bersalah. Ia tampak ragu sebelum akhirnya berbicara. "Maaf, maaf banget. Aku tidak sengaja. Tadi ponselku jatuh dan aku reflek mengambilnya. Aku kehilangan kendali, dan tidak sadar menabrak mobilmu," katanya cepat, suaranya terdengar gugup.Lula, yang masih merasa jengkel, melipat tangan di dadanya. "Maaf? Kamu bahkan nyaris membunuhku! Lihat, mobilku menjadi penyok karenamu.” Wanita itu mengangguk cepat. "Aku benar-benar minta maaf. Aku janji akan bertanggung jawab," katanya sambil meraih ponselnya dari saku. "Tunggu sebentar, aku akan menghubungi seseorang.” Dengan cepat, wanita itu menepi dan menelepon. "Dad, aku mengalami kecelakaan kecil. Bisa kirim mekanik untuk memperbaiki mobil yang aku tabrak? Segera,” katanya dengan nada cemas.“Baiklah. Daddy akan kirimkan mekanik kesana, kirim titik lokasinya.” “Ya, aku akan mengirimkannya sekarang. Terima kasih.” Setelah menutup telepon, wanita itu kembali mendekati Lula dengan senyum canggung. "Aku sudah berbicara dengan Daddy-ku. Mereka akan mengurus mobilmu.” Mendengarnya Lula sedikit lega. “Terimakasih, dan maaf untuk sebelumnya, sepertinya responku berlebihan. Aku sedang lelah, hari ini. Aku harap kamu mengerti." “Tentu, sepertinya wajar dalam situasi seperti ini. Tidak masalah. Tapi, bagaimana kalau aku traktir makan sebagai permintaan maaf? Aku benar-benar merasa bersalah. Mungkin kita bisa makan, sambil menunggu mobilmu selesai diperbaiki?” Lula terdiam sejenak, merasa sedikit terkejut dengan tawarannya. Dia tidak tahu harus merespons apa. Di satu sisi, dia masih kesal, tapi di sisi lain, wanita di depannya terlihat tulus. “Tidak perlu, aku cuma ingin mobilku diperbaiki,” jawab Lula akhirnya, meskipun nadanya sedikit melunak. “Tolong, aku sungguh ingin menebus kesalahanku,” pinta wanita itu, matanya terlihat berharap. "Hanya makan," lanjutnya. Lula menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan ikut." Wanita itu tampak lega dan tersenyum lebar. "Terima kasih! Mari naik ke mobilku, aku tau tempat yang enak disekitar sini." Lula mengikuti wanita itu kembali ke mobilnya dan duduk di kursi samping kemudi. Di sepanjang perjalanan, wanita itu terus berbicara, sementara Lula hanya menjawab sekenanya. "Aku sering menyetir sendirian, dan rasanya sepi sekali ketika mengemudi. Sekarang, aku merasa mempunya teman bicara seperti ini, rasanya menyenangkan,” katanya dengan antusias. Lula hanya tersenyum tipis, tak ingin membuat suasana canggung. Dia sedikit bingung harus merespons bagaimana. Wanita ini terlalu ramah, bahkan untuk seseorang yang baru saja menabrak mobilnya. Beberapa menit kemudian, ponsel wanita itu berdering. Dia langsung meraih earphone-nya. “Ada apa, Mom?" katanya setelah mengangkat panggilan. “Sekarang? Aku sedang dalam perjalanan buat makan malam dengan temanku.” Dia berhenti sejenak, mendengarkan suara di seberang, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, aku akan pulang. Tapi jangan ceramahi aku di telepon, Mom. Aku sedang menyetir!” Setelah menutup telepon, dia menoleh ke arah Lula. "Bagaimana kalau kita makan malam di rumahku saja? Mommy baru saja memaksaku pulang." Lula terkejut. "Ha?" "Ya, dia memintaku kembali, tapi aku tak ingin membatalkan janji denganmu. Jadi bagaimana kalau kita makan dirumahku saja? Tenang, dia adalah chef terbaik," ujarnya dengan tertawa kecil. Lula ragu sejenak. Rasanya aneh untuk menerima tawaran dari orang yang baru dikenalnya. "Aku tidak mau merepotkan," katanya dengan sopan. "Ah, jangan khawatir. Tidak ada yang direpotkan disini. Ayolah!" wanita itu mendesak. Lula menghela napas, merasa tidak punya pilihan lain. "Baiklah," jawabnya akhirnya. Mobil itu berbelok ke sebuah jalan kecil yang mengarah ke daerah perumahan elite. Setelah beberapa menit, mereka tiba di depan sebuah rumah besar dengan pagar tinggi yang megah, nyaris seperti istana. "Ini rumahmu?" tanya Lula, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Eve mengangguk sambil tersenyum. "Ayo, masuk." Lula mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. Begitu pintu terbuka, dia langsung disambut oleh interior yang begitu mewah—dinding marmer mengkilap, lampu gantung kristal yang berkilauan, dan perabotan antik yang tertata dengan elegan."Mom, I'm home!" seru Eve dengan suara ceria. Dari arah tangga, seorang wanita anggun dengan rambut pirang turun perlahan. Senyumnya hangat, namun tatapannya tajam saat memperhatikan mereka. "Ah, Eve, kamu sudah pulang," katanya dengan nada lembut, sebelum matanya beralih ke Lula. "Dan siapa tamumu?" Jadi, namanya Eve, pikir Lula. Setidaknya sekarang dia tahu siapa wanita yang menabrak mobilnya. Eve tersenyum, lalu menjelaskan, "Ini Lula. Aku menabrak mobilnya tadi, dan sebagai permintaan maaf, aku membawanya ke sini." Camelia—begitu wanita itu mengenalkan dirinya—tersenyum ramah, lalu mengulurkan tangan. "Maafkan anakku yang ceroboh. Namaku Camelia, senang bertemu denganmu." Lula membalas jabatan tangannya dengan sopan. "Senang bertemu juga, Tante." "Silakan duduk, kita akan makan sebentar lagi," ujar Camelia sambil mengarahkan mereka ke ruang makan. Ruang makan itu luas dan megah, dengan meja panjang yang dihiasi berbagai hidangan mewah. Lula duduk di salah satu kursi, masih merasa sedikit canggung di tengah kemewahan yang tidak biasa baginya. Camelia tersenyum lembut. "Jangan sungkan, Lula. Anggap saja seperti di rumah sendiri." Lula mengangguk pelan. "Terima kasih, Tante." Mereka mulai menikmati makan malam dengan tenang. Suasana terasa nyaman, meski Lula masih sedikit terintimidasi dengan kemewahan di sekelilingnya. Namun, tiba-tiba langkah kaki terdengar mendekat. Lula mendongak, menatap ke arah pintu ruang makan. Seseorang berjalan masuk. Mungkinkah itu anggota keluarga Eve yang lain? Matanya mengamati sosok pria yang semakin dekat. Ada sesuatu yang familiar dari caranya berjalan, dari sorot matanya. Tapi siapa? "Apa aku terlambat?" Suara pria itu terdengar jelas, menggema di ruangan. Lula membeku. Jantungnya berdegup semakin cepat. Suara itu... wajah itu... dia seperti mengenalinya. Matanya bertemu dengan mata pria itu, dan seketika, bayangan seseorang muncul di benaknya. "Dia?!" gumamnya pelan, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Jack berdiri diam beberapa saat, menatap balkon tempat sosok itu baru saja melambaikan tangan. Debur ombak di belakangnya seolah sirna, tergantikan oleh detak jantung yang menegang.Ia tidak menunggu lama.Langkah-langkahnya tegas, menyusuri jalur batu yang memisahkan villa mereka dengan unit lainnya.Begitu sampai di depan pintu kaca yang terbuka sebagian, Lula sudah berdiri di sana. Dia berdiri dengan santai. Dengan menggunakan gaun linen putih melekat pada tubuh rampingnya. Angin pantai meniup rambut panjangnya ke belakang, menjadikannya sosok yang terlalu mencolok untuk disebut sebagai ‘kebetulan’.“Bagaimana bisa kau di sini?” suara Jack rendah dan mengeras, mencoba menahan amarah yang mulai mendidih.Lula tersenyum, tenang dan seperti biasa, sedikit menggoda. Ia melangkah pelan ke arah Jack, jarinya menyentuh dada pria itu dengan ringan.“Memangnya kenapa?” katanya lembut. “Aku hanya sedang menghabiskan uangku unt
Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n
Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,
Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni
Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te
Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami