Home / Romansa / Hasrat Wanita Kedua / Bab 6 - Mencoba Menggoda?

Share

Bab 6 - Mencoba Menggoda?

Author: Gumi Gula
last update Last Updated: 2022-04-21 01:06:41

Mata Lula terpaku pada pria yang baru saja datang. Ada sesuatu yang terasa familiar darinya, meskipun bayangan itu masih samar di ingatannya. 

“Jack, mengapa kamu terlambat? Tadi, Mommy pikir kamu tidak akan datang karena sibuk dengan pekerjaanmu,” ujar Eve, suaranya terdengar lega.

Pria yang dipanggil Jack hanya tersenyum tipis, tampak sedikit canggung. “Aku hampir lupa, tapi Ben mengingatkan,” ujarnya, melirik pria di sampingnya.

“Tentu saja! Aku selalu jadi pengingatnya,” sahut Ben santai, menyenggol lengan Jack dengan sikap bersahabat. “Dia mulai tua, sepertinya.”

Jack mendengus, melirik Ben dengan tatapan tak suka. “Omong kosong.”

Eve tertawa kecil melihat interaksi mereka. Namun, perhatian Jack tiba-tiba teralihkan. Tatapannya jatuh pada Lula, yang masih duduk diam di meja makan. Matanya menyipit seolah mencoba mengingat sesuatu, namun ekspresinya tetap tertutup.

Eve, yang menyadari tatapan itu, mengerutkan kening. “Ah, dia Lula, dia temanku. Kenapa menatapnya seperti itu? Kamu mengenalnya?"

Jack mengalihkan pandangannya ke Eve, lalu menggeleng pelan. “Tidak.”

“Oh, bagus kalau begitu.” Eve tampak tidak terlalu memikirkan jawaban itu. "Tadi aku menabrak mobilnya, dan aku mengirim mekanik untuk memperbaiki mobilnya."

Jack terdiam sesaat sebelum bertanya, “Lalu, kenapa dia masih di sini?”

Nada suaranya terdengar datar, tapi Lula bisa menangkap ketidaksukaan tersirat di dalamnya.

Eve berdecak. “Karena aku mengundangnya, tentu saja. Sekarang dia temanku.”

"Kamu selalu berteman dengan orang aneh."

"Dia tidak aneh, kamu yang aneh!" teriak Eve kesal. 

Jack tidak menjawab lagi. Dia hanya menggumamkan sesuatu yang tak begitu jelas sebelum berbalik menuju lantai atas. Ben mengikuti di belakangnya, sementara Camelia menggeleng pelan melihat sikap putranya. Wanita itu lalu menoleh ke Lula yang masih memandang punggung Jack yang menjauh. “Lula, kenapa tidak makan? Apakah makanannya tidak enak, sayang?”

Berikut revisi dengan alur yang lebih natural, detail yang lebih rapi, dan feel yang lebih kuat:


Lula tersadar dari lamunannya ketika Camelia berbicara. “Tidak, Tante. Makanannya enak sekali,” katanya sambil tersenyum sopan.

“Tante? Jangan memanggilku begitu. Panggil aku ‘Mom’ saja, seperti Eve memanggilku.”

Lula terdiam sesaat, merasa panggilan itu sedikit aneh baginya. “Mom?” ulangnya pelan.

Camelia mengangkat alis dengan ekspresi menunggu, lalu tersenyum hangat. “Bagus. Aku lebih suka dipanggil begitu daripada Tante.”

Lula tersenyum kecil, sementara Eve tertawa ringan. “Mommyku memang selalu ingin dipanggil begitu oleh teman-temanku, jadi jangan heran.”

Camelia ikut tertawa kecil. “Itu karena aku masih muda, sayang.”

Percakapan ringan itu mencairkan suasana. Lula merasa sedikit lebih nyaman, meskipun pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Jack. Ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang samar, tapi tidak kunjung hilang.

Setelah makan malam selesai, Eve mengajaknya menonton film. Awalnya Lula ingin menolak, tapi Eve bersikeras. Akhirnya, mereka duduk bersama di ruang keluarga, menikmati film horor yang Eve pilih.

“Oh, sial! Banyak sekali jump scare di film ini,” gerutu Eve sambil menutup wajahnya dengan bantal.

Lula tetap tenang, nyaris tak bereaksi. Baginya, film ini tidak terlalu menakutkan.

Di tengah film, Eve meraih gelas minumnya, tetapi tanpa sengaja gelas itu tergelincir dari tangannya. Isinya tumpah, mengenai baju Lula.

“Astaga!” Lula tersentak kaget, langsung menatap noda yang membasahi pakaiannya.

Eve membelalakkan mata. “Maaf! Aku tidak sengaja!”

Lula buru-buru mengambil tisu, berusaha mengeringkan bajunya. “Tidak apa-apa, hanya sedikit noda.”

“Tidak, tidak! Aku akan ambilkan baju ganti untukmu. Tunggu sebentar,” sahut Eve cepat sebelum Lula sempat menolak.

Beberapa menit kemudian, Eve kembali dengan membawa kaus bersih. “Ini, kamu bisa ganti di kamar mandi dekat dapur.”

Lula menerima kaus itu dan tersenyum kecil. “Terima kasih.”

Saat berjalan menuju kamar mandi, langkahnya terhenti. Dia melihat seseorang berdiri di dekat dapur.

Jack.

Pria itu sedang minum air, tapi seketika menyadari tatapan Lula. Dia menurunkan gelasnya, menatapnya dengan ekspresi datar.

“Ada apa? Kenapa menatapku begitu?” tanyanya dingin.

Lula tergagap, tersadar dari lamunannya. “Aku tidak sengaja melihat. Aku cuma lewat, mau ke kamar mandi.”

Jack tidak berkata apa-apa lagi, hanya meletakkan gelasnya dan berjalan pergi.

Lula menatap punggungnya, perasaan tidak nyaman itu semakin kuat. Dia menggigit bibirnya ragu, tapi akhirnya membuka mulut.

“Tunggu.”

Jack berhenti, tetapi tidak menoleh.

Lula menarik napas dalam, lalu melangkah mendekat. “Mungkin ini terdengar aneh, tapi... aku cuma mau berterima kasih.” Suaranya terdengar ragu. “Aku tidak ingat banyak soal malam itu, tapi aku tahu seseorang menolongku. Kalau itu kamu... terima kasih.”

Jack akhirnya menoleh, matanya menatapnya tajam. “Jadi kau bahkan tidak ingat?”

Lula berkedip. “Aku... waktu itu aku mabuk,” jawabnya jujur.

Jack mendengus kecil dan kembali berjalan.

Lula ragu sejenak, tapi tanpa sadar malah mengikutinya. “Aku cuma mau memastikan,” katanya cepat. “Biar aku tahu siapa yang harus aku—”

Jack berhenti mendadak, membuat Lula hampir menabraknya. Dia berbalik dengan ekspresi tidak sabar.

“Kau mau berterima kasih atau menggoda?”

Lula terbelalak. “Menggoda? Aku... tunggu, apa?”

Jack mendesah pelan, nada suaranya datar tapi tajam. “Coba lihat caramu mendekati seseorang. Kau mungkin tidak sadar, tapi orang bisa salah paham.”

Lula mengerutkan kening, tidak tahu harus merasa tersinggung atau bingung. Tapi sebelum dia bisa mengatakan apa pun, Jack sudah berbalik dan pergi begitu saja, meninggalkannya dengan perasaan tak nyaman yang masih belum terjawab.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 42 - Sebuah Kejutan

    Uap hangat menyembur dari balik pintu kamar mandi yang terbuka perlahan. Jack keluar hanya dengan celana panjang hitam, tubuh bagian atasnya telanjang. Air masih menetes dari ujung rambutnya. Napasnya terdengar berat, seperti seseorang yang memikul sesuatu yang tak kasat mata. Dia berjalan mendekat, menaiki ranjang. Gladys berdiri membelakangi jendela, tubuhnya dibawah siluet cahaya temaram lampu gantung. Dia menatap Jack dengan tersenyum, malam ini adalah puncaknya. Gaun tidur yang tadi dia pakai, kini sudah dia lepas, dan tergantung rapi di kursi. Sekarang, hanya selembar renda putih tipis yang membalut tubuhnya, halus, nyaris menyatu dengan kulitnya.Saat Jack mendongak, pandangannya sempat berhenti sejenak. Hanya menatapnya sekejap, tapi cukup membuatnya gugup.“Jangan menatapku seolah aku akan menculikmu, Jack.”“Tidak ada yang mengatakan hal tersebut.”Gladys semakin mendekat. Bahkan bisa Jack rasakan hembusan n

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 41 - Kau bisa mengakhirinya

    Hotel Brington, Kamar 2905 Langit malam menggantung kelabu, mengintip lewat tirai tipis kamar hotel yang mewah dan remang. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu gantung kristal di sudut ruangan, memantulkan bayangan emas pucat ke lantai marmer. Jack Adderson berdiri di dekat minibar, menuang dua gelas wine merah ke dalam kristal bening. Tangannya gemetar halus, nyaris tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Wajahnya lelah, bukan karena hari yang panjang, tapi karena keputusan yang menggantung di kerongkongan. Pintu kamar diketuk satu kali. Lalu dua kali. Ia menoleh, menarik napas dalam, dan berjalan membuka pintu. Di sana berdiri Lula. Angin dari lorong luar mengibarkan sedikit ujung mantel panjangnya, memperlihatkan siluet dress hitam dengan belahan samar di sisi pahanya. Rambutnya tergerai sempurna, dan bibir merahnya terlihat mencolok di antara pencahayaan yang lembut. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Jack seolah seluruh dunia tidak ada di antara mereka,

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 40 - Pernikahan

    Lula duduk di ruang tamu apartemennya, televisi menyala tanpa suara. Pancaran cahaya dari layar memantul di permukaan meja kaca, menari di dinding putih yang tenang. Di layar itu, terpampang wajah-wajah bahagia, Gladys Pramono dan Jack Adderson, berdiri berdampingan di altar yang megah, dikelilingi taman bunga yang dibuat seperti negeri dongeng.Serangkaian gambar bergerak cepat. Senyum Jack yang khas, tangan Gladys yang digenggam erat, sorakan para tamu penting, dan kalimat penutup dari pembawa berita. "Hari ini, pernikahan antara pewaris Pramono Corporation, Gladys Pramono, dan miliarder muda Jack Adderson resmi digelar. Selamat kepada Tuan dan Nyonya Adderson atas pernikahan mereka."Lula menyandarkan tubuhnya ke sofa. Rambutnya sedikit berantakan, satu tangan menopang dagunya, sementara jemarinya yang lain mengetuk perlahan lengan kursi. Tak ada air mata. Tak ada teriakan. Yang ada hanya satu senyum kecil—halus, menghina, seperti duri manis di pinggir bibir.“Akhirnya mereka meni

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 39 - Kabar Burung

    Lula duduk sendirian di tepi ranjang, selimut tipis melingkari tubuhnya. Punggungnya tegak, tetapi matanya kosong menatap lampu gantung yang berayun perlahan di langit-langit kamar. Bayangan tubuh Jack masih terasa di kulitnya—sentuhannya, erangannya, bisikannya yang meresap sampai ke relung yang terdalam.Namun sekarang, hening. Dan hampa.Jack sudah pergi sejak satu jam lalu. Katanya ada rapat mendadak, tapi Lula tahu, itu hanya alasan yang mudah diucapkan oleh seorang pria yang terlalu pandai bersembunyi. Tidak ada ciuman perpisahan. Tidak ada pelukan. Hanya pintu yang tertutup pelan dan langkah yang menjauh.Pikirannya tidak berkutat di sana. Ia mengingat kembali bagaimana semuanya bermula—bukan dari tawaran pekerjaan sebagai sekretaris Jack, tapi jauh sebelum itu. Dari saat dunia seolah berhenti mengakuinya sebagai seorang anak.Ia anak dari Edhi Pramono. Anak kandungnya.Tapi setelah ibunya meninggal, pria itu menikah lagi, dan melupakannya. Dan sejak saat itu, Lula tak punya te

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 38 - Persiapan Pernikahan

    Pagi itu, Gladys sudah sibuk dengan berbagai persiapan. Ia tidak ingin membuang waktu. Jika ini harus terjadi, maka semuanya harus sempurna. Di sebuah butik eksklusif, ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gaun pengantin putih dengan desain klasik yang elegan. Sofia duduk di sofa, mengamati putrinya dengan kritis. “Gaun ini bagus, tapi aku rasa kita bisa mencari yang lebih istimewa,” katanya akhirnya. “Sesuatu yang lebih… berkelas.” Gladys hanya tersenyum kecil. Ia tidak terlalu peduli gaun seperti apa yang akan ia kenakan, karena pikirannya jauh dari sini. Jack. Ia memikirkan pria itu—reaksinya saat ia setuju untuk menikah lebih cepat. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia artikan. Keraguan? Atau rasa bersalah? Gladys mengalihkan pandangannya ke cermin. Tidak, ia tidak bisa membiarkan pikirannya dipenuhi oleh hal-hal yang tidak perlu. Ia percaya bahwa Jack mencintainya. Salah satu pegawai butik mendekat, membawa beberapa pilihan gaun lain. “Nona Gladys, kami

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 37 - Aku siap

    Lula menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, pandangannya sekilas menyapu ke arah restoran yang ramai. Suara alat makan beradu dengan piring bercampur percakapan pelanggan lain, menciptakan suasana makan siang yang tampak wajar. Namun, tidak baginya. Ada sesuatu yang mengganggu, sesuatu yang membuatnya sulit menikmati hidangan di hadapannya. Perlahan, ia meletakkan garpunya dan menatap pria di hadapannya. “Jack, aku rasa kita sedang diawasi,” bisiknya tanpa mengubah ekspresi. Jack tidak langsung merespons. Ia hanya mengangkat cangkir kopinya dengan santai, menyesapnya seolah tak terjadi apa-apa. Tetapi, Lula tahu pria itu tengah mengamati pantulan kaca besar di belakangnya. Dari sana, dua sosok terlihat duduk tak jauh dari mereka—Eleanor dan Jennie. Jack menaruh cangkirnya, bibirnya melengkung samar. “Kamu benar, entah bagaimana mereka bisa datang disini.” “Aku curiga, mereka datang untuk mengawasi. Tidak ada kemungkinan kebetulan didunia ini.” “Aku pikir kamu benar. Jika b

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 36 - Selingkuh?

    Lula merasa hubungannya dengan Jack semakin membaik. Tidak ada lagi pertengkaran tak perlu atau tatapan penuh ketegangan di antara mereka. Setidaknya, Jack tidak lagi berusaha mencari masalah dengannya setiap saat, dan Lula pun mulai merasa lebih nyaman berada di dekat pria itu.Hari ini, Jack tiba-tiba mengajaknya makan siang di luar. Biasanya, Lula akan menolak atau mencari alasan untuk menghindar, tapi entah kenapa, kali ini ia mengiyakan tanpa banyak berpikir.Mereka memilih restoran dengan suasana tenang, duduk di meja dekat jendela yang menghadap ke jalanan kota. Percakapan mereka mengalir ringan—tidak lagi dipenuhi sindiran atau debat kusir yang melelahkan.Namun, saat obrolan mereka mulai mereda, Jack tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. Lula mengernyit, merasa curiga.“Apa ini?”Jack hanya menyodorkan kotaknya. “Buka saja.”Dengan sedikit ragu, Lula membuka kotak itu dan mendapati sebuah kalung perak dengan liontin berbent

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 35 - Aku akan menemuimu

    Lula masih terengah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya mengepal di atas pangkuan, berusaha menenangkan diri setelah ciuman yang mencuri napasnya barusan. Jack tetap di tempatnya, menatapnya dengan intens, seolah menantang setiap emosi yang bergejolak di mata Lula. “Kau sudah selesai marah?” Jack bertanya, nada suaranya masih datar, tapi sorot matanya tidak bisa menyembunyikan api yang membakar di dalamnya. Lula mengatupkan rahangnya. “Kau tidak bisa seenaknya, Jack.” “Aku tidak sedang bermain-main,” balas Jack tanpa ragu. “Kalau aku mau bermain, aku bisa melakukan jauh lebih dari ini.” Lula menelan ludah, berusaha menepis panas yang merayap di kulitnya. Ia menggeleng pelan, mencoba mencari celah untuk mengendalikan situasi. “Aku lelah,” katanya akhirnya, suaranya melemah. Jack tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap Lula dengan sorot mata yang dalam, penuh sesuatu yang sulit ditebak. Namun kemudian, ia bersandar ke kursinya, ekspresinya sedikit melunak. “Aku tahu.”

  • Hasrat Wanita Kedua   Bab 34 - Kegilaan Jack

    Lula mengetik cepat di depan layar komputernya, jemarinya bergerak lincah di atas keyboard. Matanya terpaku pada data yang harus ia rapikan sebelum laporan diserahkan ke Jack. Ruangan kantor terasa sunyi, hanya suara ketikan dan sesekali bunyi kertas yang dibalik. Tiba-tiba, suara langkah terburu-buru mendekat, disusul suara Emil yang setengah terengah-engah. “Lula! Tolong banget, kali ini aja!” Lula mengangkat kepala dengan kening berkerut. “Kenapa lagi, Mil?” Emil menjatuhkan beberapa dokumen di meja Lula dengan ekspresi putus asa. “Aku butuh banget tanda tangan Pak Jack. Sejam lagi kalau ini nggak beres, bisa mampus aku, La. Aku beneran lupa.” Lula mendesah, menatap dokumen-dokumen yang berserakan. “Pak Jack baru saja keluar makan siang.” Emil hampir menangis. “Please, La. Tau sendiri kalau yang kejar Pak Jack aku, dia nggak bakal mau. Tapi kamu… kamu kan sekretarisnya. Kamu pasti bisa!” Lula memijat pelipisnya. “Jadi aku harus ngejar dia sekarang?” Emil mengangguk

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status