"Kau mau pergi ke mana?" suara Emily bergetar ketika melihat Felix bersiap-siap untuk pergi. Matanya mencari kepastian di wajah lelaki itu, tetapi yang didapatinya hanyalah tatapan dingin.
Felix tidak menjawab, hanya menghentikan langkahnya sejenak sebelum berkata dengan suara rendah namun mengandung ancaman, "Tetap di rumah, dan jangan sekali pun kau berpikir untuk kabur dariku!"
Dada Emily terasa sesak. Seakan ada tangan tak kasat mata yang mencekiknya, membuatnya sulit bernapas.
Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, mencoba meredam gemetar yang mulai menjalari tubuhnya.
Ia hanya bisa menelan ludah dan mengangguk, meskipun hatinya dipenuhi ribuan tanya yang tak berani ia ucapkan.
"Apa kau tidak akan pulang hari ini?" suaranya lirih, hampir seperti bisikan ketakutan.
Namun, Felix hanya diam. Tanpa menoleh, ia melangkah keluar dan menutup pintu dengan kasar. Suara itu bergema di ruangan, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gejolak yang berkecamuk dalam dadanya.
"Dia tidak menjawab pertanyaanku... Itu artinya, dia mungkin tidak akan pulang," gumamnya, suaranya terdengar getir.
Pikiran buruk mulai merayapi benaknya. "Siapa yang dia temui? Apakah Marsha? Aku ingin bertanya, tapi Felix pasti tidak akan menjawabnya." Air matanya menggenang, tapi ia menahannya. Percuma. Felix tak akan peduli.
Lelah dengan pikirannya sendiri, Emily akhirnya memilih untuk berbaring. Menunggu Felix kembali—entah kapan, entah dalam keadaan seperti apa.
Sementara itu, di balik kemudi mobilnya, Felix menggenggam setir dengan erat. Matanya bersinar penuh kebencian, bibirnya melengkung dalam seringai penuh makna.
"Lihat saja, Harland... permainan segera dimulai."
Kakinya menekan pedal gas lebih dalam, mobil melaju membelah kegelapan malam dengan kecepatan tinggi. Ada yang harus ia selesaikan malam ini.
Dendam yang sudah terlalu lama membara dalam dirinya akhirnya akan menemukan titik akhir.
Setengah jam kemudian, ia tiba di sebuah gudang tua yang terletak jauh dari keramaian. Anak buahnya sudah menunggu, mengelilingi seorang pria yang terikat di kursi dengan wajah babak belur.
Felix melangkah masuk dengan tenang, tangannya menggenggam erat sebuah pistol. Tatapan matanya dingin, tanpa belas kasihan.
"Lepaskan aku, keparat! Apa maumu, huh?!" pekik pria itu, berusaha memberontak dari ikatannya.
Felix menyeringai. Langkahnya pelan namun penuh ancaman saat ia mendekat. "Mauku? Sangat sederhana." Ia merunduk, menatap pria itu tepat di matanya.
"Aku ingin menghancurkan semua orang yang telah menghalangi rencanaku."
Pria itu tertawa sinis, meskipun ada ketakutan samar di matanya. "Apa kau masih belum sadar, hah? Tidak ada yang menginginkan seorang penjahat sepertimu! Kau hanya psikopat, mafia kejam tanpa hati!"
Felix terkekeh pelan, kemudian tertawa—tawa yang menggema di sudut-sudut gudang kosong itu, terdengar begitu dingin dan tak berperasaan.
Dalam sekejap, ia mengangkat pistolnya dan menempelkannya di dagu pria itu—Jonathan. Pria yang telah berani membawa kabur Marsha di hari pernikahannya.
Felix menyeringai, matanya berkilat penuh kemenangan saat menatap pria yang terikat di depannya. "Aku sangat senang mendapat lawan sepertimu, Jonathan," katanya, suaranya bergetar dengan nada puas.
"Pantas saja Marsha berani kabur di hari pernikahannya denganmu. Ternyata, nyalimu cukup besar."
Ia melangkah mendekat, mengangkat dagu Jonathan dengan moncong pistolnya. "Sekarang, katakan padaku… di mana keparat gila itu?"
Jonathan meludah ke lantai, rahangnya mengeras menahan amarah. "Lebih baik aku mati di tanganmu daripada menyerahkan Marsha padamu!" suaranya meledak dengan kemarahan yang tak tertahan.
"Yang berutang banyak padamu itu ayahnya! Kenapa harus Marsha yang menjadi tumbalnya?!"
Felix tertawa. Bukan tawa biasa, melainkan tawa dingin yang terdengar begitu mengerikan di dalam gudang tua itu. Udara seakan menegang, penuh ancaman yang melayang di antara mereka.
"Itu hanya bagian dari permainan licik yang sudah Harland lakukan padaku, Jonathan," kata Felix, menatap pria di hadapannya dengan penuh penghinaan.
"Dan kau… benar-benar bersedia mati demi melindungi wanita gila itu, hm?"
Tatapan Jonathan semakin tajam, penuh kebencian yang mendidih dalam dirinya. Nafasnya memburu, berusaha menahan kemarahan yang siap meledak.
Felix menghela napas, seakan bosan dengan drama yang sedang berlangsung. "Sayangnya, aku pasti akan menemukan wanita itu. Tanpa bantuanmu. Tanpa harus mendesakmu untuk memberitahuku."
Jonathan mencibir, matanya membara dengan api perlawanan. "In your dream, Felix! Kau memang seseorang yang berpengaruh, tapi dunia ini tidak selalu berputar di sekelilingmu. Kau cuma seorang penjahat gila yang terlalu haus kuasa!"
Felix mendengus pelan, lalu menatap Jonathan dengan pandangan penuh ejekan. Ia mengangkat tangannya, mengusap alisnya sejenak sebelum berbicara.
"Entah apa yang sudah Marsha katakan padamu sampai kau melindunginya mati-matian." Suaranya terdengar santai, tetapi penuh dengan ancaman terselubung.
Lalu, senyumnya menghilang. Wajahnya berubah dingin. "Sayangnya, keluarga Harland tidak sebaik yang kau pikirkan, Jonathan. Kau tahu?
“Harland bahkan menumbalkan anak tirinya sendiri untuk menebus utangnya. Saat anak sulungnya kabur, ia mengorbankan Emily begitu saja."
Jonathan terkesiap, tetapi ia tetap menatap Felix dengan kebencian yang tak berkurang.
Felix mendekat lagi, kali ini pistolnya menyentuh kening Jonathan. Ia berbicara pelan, namun setiap kata yang keluar dari bibirnya menusuk seperti belati.
"Marsha… akan kutemukan. Dan aku akan menyiapkan peti mati untuknya. Sama seperti yang telah kusiapkan untukmu."
Seakan mengikuti isyaratnya, empat pria bertubuh kekar masuk ke dalam ruangan, membawa sesuatu yang membuat darah Jonathan berdesir kencang.
Sebuah peti mati.
Matanya membesar, tetapi ia tetap menggigit bibirnya, menahan rasa takut yang berusaha merayapi benaknya.
"Kau tidak akan menang, Felix." Suara Jonathan terdengar lebih rendah, lebih dalam, tetapi penuh keyakinan.
Felix menatapnya sejenak… lalu tersenyum.
Dor!
Suara tembakan menggema, bergema di seluruh ruangan. Darah berceceran, mengalir di lantai dingin yang berbau besi dan debu.
Tubuh Jonathan merosot lemas, kepalanya terkulai. Matanya yang tadi menyala penuh amarah kini kehilangan cahaya.
Felix menatap mayat itu tanpa ekspresi, lalu mendekat, membisikkan dua kata terakhir dengan nada puas. "Goodbye, Jonathan."
Ia berbalik, melangkah dengan tenang melewati tubuh tak bernyawa yang kini terkapar di kursi.
"Bakar jasadnya. Jangan tinggalkan jejak sedikit pun," perintahnya, sebelum keluar dari gudang, meninggalkan api kebencian yang baru saja dinyalakannya.
Cahaya senja membias di jendela kaca besar kantor pusat Felix Corporation.Di dalam ruangannya yang luas dan kini terasa jauh lebih tenang, Felix berdiri memandangi kota Meksiko yang tengah sibuk menjelang malam. Di tangan kirinya tergenggam selembar laporan penahanan atas nama Marsha Estrella Germain.Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan udara masuk perlahan ke dalam paru-parunya. Semua terasa nyata—dan berakhir. Setelah berbulan-bulan permainan kotor dan manipulasi, akhirnya satu per satu kepingan masalah itu runtuh.Di sisi lain kota, Marsha baru saja dibawa menuju ruang tahanan wanita dengan wajah kusut dan rambut berantakan.Tuduhan atas pemalsuan identitas, pencemaran nama baik, serta keterlibatannya dalam konspirasi pemalsuan hasil DNA, kini resmi menjatuhkan vonis yang akan lama membelenggunya.Saat pintu sel tertutup di belakang punggungnya, Marsha terduduk di lantai. Ia memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah jeruji besi yang dingin. Tak ada lagi senyum licik, tak ad
Pagi yang biasanya penuh ketenangan di rumah besar keluarga Felix berubah menjadi hiruk-pikuk.Berita di layar televisi menampilkan laporan mendesak tentang proyek konstruksi milik Felix yang tiba-tiba dihentikan oleh pihak berwenang karena tuduhan pemalsuan dokumen legal dan ketidaksesuaian struktur bangunan.Emily yang tengah menyusui bayi mereka, Oliver, langsung menoleh pada Felix dengan wajah penuh tanya.“Ada apa ini, Lex?” tanyanya, suaranya serak karena cemas.Felix berdiri di tengah ruang keluarga, wajahnya tegang, jemarinya menggenggam ponsel erat.“Ini ulah Harland,” gumamnya lirih, namun penuh keyakinan.Emily berdiri perlahan, menggendong bayi mereka. “Dia belum selesai juga, ya?”Felix mengangguk, matanya penuh bara. “Dia tahu dia kalah dalam permainan sebelumnya. Sekarang dia mengincar reputasiku di mata publik.”Tak berselang lama, Axl masuk tergesa-gesa membawa se
Pagi itu, udara Meksiko berhembus sejuk ke halaman depan rumah Felix dan Emily. Burung-burung bernyanyi di kejauhan, dan aroma kopi segar memenuhi ruang makan tempat Emily duduk santai sambil memandangi halaman dari jendela kaca.Baru saja ia akan menyeruput minuman hangatnya, suara ketukan keras terdengar dari arah depan. Tak seperti biasanya—suara itu terdengar menantang, kasar, dan tidak sabar.Salah satu pelayan berlari masuk dan berkata pelan, “Nyonya... ada tamu di gerbang depan. Seorang wanita... menyebut namanya Marsha.”Emily meletakkan cangkir dengan tenang. Matanya menajam.Ia bangkit dan berjalan ke arah pintu depan. Tak lama, pintu utama terbuka, dan sosok yang sudah sangat dikenalnya berdiri di sana dengan senyum mengejek di wajahnya.Marsha mengenakan gaun putih elegan yang terlalu mencolok untuk pagi hari. Di gendongannya, seorang anak laki-laki duduk tenang, tak tahu apa-apa tentang badai yang sedang bergulir di a
Hujan turun lembut membasahi atap kantor Felix malam itu. Di dalam ruang kerjanya yang gelap dan hening, Felix menatap jendela kaca besar dengan pandangan kosong.Sudah lima hari sejak hasil tes DNA pertama keluar—dan ia masih tidak bisa mempercayainya. Ada yang janggal. Ada yang tidak bisa ia terima begitu saja.Namun di balik semua itu, ada seseorang yang bekerja diam-diam: Noah.Tanpa sepengetahuan siapapun, bahkan Felix, Noah telah membawa sampel DNA yang sama ke laboratorium independen lain. Ia tahu, kakaknya tidak akan pernah bisa tenang bila tidak menemukan kebenaran sejati.Dan sore itu, hasilnya datang.Noah langsung menjemput berkasnya sendiri, mengamankannya seperti harta karun.Ia membuka amplop itu dengan tangan dingin, membaca isinya cepat namun teliti. Begitu selesai, ia menghela napas panjang—antara lega dan marah.Hasilnya negatif. Anak itu bukan darah daging Felix.Di tempat lain, di sebuah apartemen mewah yang disediakan Harland, Marsha duduk bersandar di sofa denga
Langit Meksiko tampak cerah pagi itu, tetapi hati Emily sebaliknya—gelap, suram, dan penuh keraguan. Ia duduk diam di ruang kerja rumah mereka, menatap amplop putih di atas meja. Di sana tertulis dengan huruf tebal:“Hasil Pemeriksaan DNA – Confidential.”Jantungnya berdetak keras. Tangan Emily gemetar saat membuka amplop itu, dan begitu matanya membaca isi laporan laboratorium, tubuhnya seketika kaku.“Kecocokan DNA antara subjek A (Felix Ricardo) dan subjek B (anak laki-laki bernama Mateo): 99,98%. Kemungkinan sebagai ayah biologis: Sangat Tinggi.”Emily menatap lembaran itu lama. Satu per satu kata seakan membakar matanya. Sangat tinggi. Kata-kata itu menghujam seperti paku ke dalam hatinya.Saat Felix pulang tak lama kemudian, ia langsung menghampiri Emily yang masih duduk terpaku.“Sudah datang?” tanyanya sambil menunjuk amplop yang digenggam Emily.Emily mengangguk pelan. “Kau ingin membacanya sendiri?” tanyanya tanpa intonasi.Felix mengambil lembaran itu, membacanya cepat, lal
Dunia bisnis tidak pernah tidur. Begitu pula dengan ancaman yang bersembunyi di balik senyuman formal dan jabat tangan hangat. Hari itu, ruang rapat Ricardo Corporation lebih sunyi dari biasanya.Felix duduk di ujung meja besar berlapis kaca hitam, matanya menatap dokumen pembatalan kerja sama dari dua perusahaan Eropa yang selama ini menjadi klien utama.Felix mengernyit, lalu meletakkan kertas itu di atas meja dengan suara pelan namun tegas. “Ini yang kedua minggu ini,” gumamnya pelan.Noah, yang duduk di sebelahnya, menatap Felix dengan wajah tegang. “Kita dapat kabar bahwa beberapa mitra merasa reputasimu mulai dipertanyakan, Lex. Rumor di luar... menyebar cepat.”Felix mengangkat wajahnya, rahangnya mengeras. “Mereka bilang apa?” tanyanya ingin tahu.Noah menunduk sesaat sebelum berkata, “Bahwa kau telah menelantarkan anakmu, darah dagingmu sendiri. Bahwa kau tidak bertanggung jawab dengan apa yang telah kau lakukan pada Marsha.”Brak!Felix menghantam meja itu dengan keras. Ia k