"Hi, Felix!"
Felix hanya menatapnya dengan datar, tanpa sedikit pun ketertarikan menyambut keberadaan pria yang berdiri di hadapannya—Noah, sepupunya yang tampaknya datang tanpa diundang dan tanpa memahami batas. "Mau apa kau kemari? Tidak ada yang perlu kau periksa di sini, tidak ada yang sakit." Nada Felix datar, nyaris malas, seolah kedatangan Noah hanyalah gangguan kecil yang tak berarti. Noah menaikkan alisnya, menyandarkan tubuhnya pada pintu dengan santai. "Aku belum memberimu selamat untuk pernikahanmu dengan Marsha. Jadi—" Felix memotongnya sebelum kalimat itu sempat menggantung terlalu lama. "Aku tidak menikahinya." Ekspresi Noah berubah seketika. Sepupunya yang satu ini memang terkenal impulsif, tapi ini? Ini benar-benar tak terduga. "Why? Lalu, siapa wanita yang menggantikan Marsha? Dan kenapa kau tidak jadi menikahinya?" tanya Noah, matanya menyipit, mencoba membaca sesuatu di balik wajah tak terbaca Felix. Felix menyeringai tipis, tetapi senyum itu lebih menyerupai kilatan pisau dalam kegelapan—berbahaya, mengancam. "Aku menikahi adiknya yang jauh lebih lugu dan polos, yang bisa kukendalikan sesukaku." Noah menganga, keterkejutan tergambar jelas di wajahnya. Ia tahu Felix sering bertindak di luar nalar, tapi ini? Ini bahkan melampaui kegilaan yang pernah ia bayangkan. Tak lama kemudian, suara langkah ringan terdengar. Emily muncul dari balik pintu, kehadirannya seperti angin sepoi yang menembus badai yang berputar di antara dua pria itu. Tatapannya tenang, senyumnya tipis—tapi ada sesuatu dalam cara ia berdiri, seolah-olah ada belenggu tak terlihat yang mengikat pergelangan kakinya. "Halo," sapanya sopan. Noah menatapnya dengan takjub sejenak, kemudian terkekeh pelan. "Kau … istri pengganti, hm? Cantik juga. Tidak jauh beda dengan Marsha," ucapnya, nada suaranya ringan, tapi ada decakan kekaguman yang tidak bisa disembunyikan. Emily hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai ilusi daripada kebahagiaan yang nyata. Felix, di sisi lain, hanya meliriknya sekilas sebelum kembali menatap Noah dengan ekspresi bosan. "Tidak perlu bersikap baik padanya. Bahkan keluarganya pun tidak ada yang bersikap baik padanya." Noah mendesah, geleng-geleng kepala. "Oh, Felix. Kau harus bersikap baik pada istrimu. Sudah tahu keluarganya tidak baik, kau malah menambah beban padanya." Lalu, ia beralih ke Emily dengan senyum lebih ramah. "Siapa namamu, hm?" "Emily," jawabnya pelan, hampir seperti suara angin yang terseret dalam pusaran yang lebih besar darinya. Noah mengangguk, matanya menelaah wajahnya dengan pandangan yang sulit ditebak. "Nama yang indah," pujinya tulus. Felix hanya mendengus pelan, seakan merasa muak dengan percakapan ini. "Jangan memujinya. Kita tidak tahu bagaimana hatinya," ucapnya dingin. "Bisa saja dia juga akan mengkhianatiku seperti yang telah kakak tirinya lakukan padaku." Emily menoleh cepat ke arah Felix, tatapannya penuh dengan luka yang tak sempat disuarakan. "Aku bahkan tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Tiba-tiba saja aku dipaksa menggantikan kakakku." "Woah! Kau sangat beruntung mendapatkan seorang gadis suci yang tak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun. Pertahankan, Bung!" seru Noah, suaranya dipenuhi nada canda yang ringan, seolah ini hanya percakapan biasa di antara dua pria. Felix tak bereaksi. Matanya, yang sedari tadi mengunci sosok Emily, seakan tidak memiliki ruang untuk mendengar ocehan Noah. Emily merasakan tekanan itu. Matanya bertemu dengan milik Felix, dan di sana, ada sesuatu yang samar—keraguan? Kecurigaan? Atau sesuatu yang lebih gelap? "Kenapa? Kau tidak percaya jika aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun? Kau sudah membuktikannya di malam pertama itu," ucap Emily, suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas untuk membelah keheningan di antara mereka. Felix akhirnya berkedip, seolah baru saja tersadar dari lamunannya. "Ya, aku tahu," jawabnya singkat, namun ekspresinya tetap datar, nyaris dingin. Noah, yang masih berdiri di sana, terkekeh kecil. "Kenapa tidak kau pilih adiknya saja, Felix? Malah memilih Marsha yang telah mengkhianatimu, bahkan kabur di pesta pernikahan kalian," ucapnya, nadanya lebih ringan, tapi ada keheranan tersirat di balik kata-katanya. Felix mengembuskan napas panjang, lalu menoleh ke Noah dengan ekspresi yang penuh kejenuhan. "Sebaiknya kau pulang, Noah. Ada urusan yang harus aku selesaikan. Aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun." Noah mendengus pelan, jelas tidak terpengaruh oleh sikap dingin Felix. Dengan santai, ia memutar bola matanya sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduknya. "Baiklah. Sekali lagi, selamat atas pernikahanmu," ujarnya, lalu menjetikkan matanya ke arah Emily sebelum melangkah pergi. Keheningan menyelimuti ruangan begitu pintu tertutup di belakang Noah. Hanya ada mereka berdua sekarang. Felix masih menatap Emily. Dalam keheningan itu, ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata. Emily bisa merasakan intensitas tatapannya, bisa mendengar napasnya yang teratur, bisa merasakan kehadiran pria itu memenuhi ruang di sekelilingnya. Ada sesuatu yang ingin Felix tanyakan. Sesuatu yang menggantung di udara, namun belum juga terucapkan. Emily mengerutkan kening. "Ada apa?" tanyanya akhirnya. Felix menghela napas panjang, seakan bersiap untuk mengatakan sesuatu yang berat. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, suara nyaring dari ponselnya memecah keheningan. Nada dering itu menusuk atmosfer di antara mereka, mencabik ketegangan yang baru saja terbentuk. Felix merogoh sakunya dengan cepat, lalu menjawab panggilan itu dengan nada tegas dan tanpa basa-basi. "Kau sudah menemukannya?" Emily merasakan dadanya berdegup lebih cepat. Tangannya tiba-tiba terasa dingin. Siapa yang telah ditemukan oleh Felix? Apakah Marsha?Felix melangkah cepat memasuki gedung tinggi bertuliskan "Regina Corp" di pintu kaca depannya. Wajahnya tampak gelap, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam seperti bilah pisau.Tanpa memperdulikan sapaan resepsionis, ia langsung menuju lift dan menekan lantai tertinggi.Begitu sampai, ia berjalan lurus ke arah pintu besar bertuliskan "CEO Office" tanpa mengetuk. Dengan satu dorongan kuat, pintu terbuka, membentur dinding dan membuat suara keras bergema.Di dalam, Regina yang sedang duduk di balik meja kerjanya mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar begitu melihat siapa yang datang."Felix!" serunya riang, berdiri dari kursinya dan melangkah mendekat, seolah-olah Felix datang untuknya dengan niat baik.Namun, sambutan itu langsung dibalas dengan tatapan dingin membunuh dari Felix. Ia berdiri tegak di hadapan Regina, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan amarah yang hampir meluap."Beraninya kau," geram Felix, suaranya rendah dan bergetar menahan emosi, "mengganggu istrik
“Kekasih?” ulang Felix, suaranya terdengar serak, antara marah dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.Emily menganggukkan kepalanya pelan, matanya tidak pernah lepas dari wajah Felix. “Apa kau memiliki kekasih selama ini, Felix?” tanyanya lagi, suaranya bergetar, penuh dengan harap dan ketakutan.“Tidak!” jawab Felix tegas, menatap langsung ke dalam mata istrinya. Tatapan itu tajam, penuh keyakinan, seolah ingin menegaskan bahwa tak ada kebohongan dalam kata-katanya.Namun Emily tetap ragu. “Tapi... wanita itu bilang bahwa kau adalah kekasihnya. Dia bahkan berucap dengan sangat percaya diri,” katanya lirih, seolah-olah hatinya mulai condong mempercayai ucapan wanita asing itu.Melihat Emily yang seperti itu, Felix semakin geram. Rahangnya mengeras, dadanya naik-turun cepat menahan amarah.Tanpa berkata apa-apa, ia membalikkan badan dan melangkah menuju walk-in closet, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku di tempatnya.Emily, yang tidak ingin kehilangan jawaban, sege
Dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di atas nakas membuat Emily menggeliat kecil dalam tidurnya.Matanya mengerjap pelan, menyesuaikan diri dengan cahaya remang kamar, sebelum akhirnya memfokuskan pandangannya pada sumber suara.Dengan alis bertaut, ia mengulurkan tangan dan mengambil ponsel itu. Layar ponsel menunjukkan sebuah nomor tak dikenal yang sedang berusaha menghubungi.“Nomor siapa ini?” ucapnya dengan pelan. Nomornya asing, tanpa nama, tanpa identitas yang tersimpan.Emily mengerutkan kening. Ia menoleh ke kanan, lalu ke kiri, mencari sosok suaminya, Felix. “Ke mana Felix? Sudah pergi? Tapi, tidak mungkin dia meninggalkan ponselnya jika sudah pergi.”Namun, ranjang di sebelahnya kosong dan dingin. Ia mengangkat sedikit tubuhnya, mendengarkan lebih seksama.Suara gemericik air terdengar dari kamar mandi, menandakan Felix sedang mandi. Emily menghela napas lega sesaat, tapi tatapannya kembali tertarik pada ponsel di tangannya yang kembali bergetar, layar kembali menyal
Felix menatap Emily dengan tatapan panas, matanya tak beralih sedetik pun darinya. Dalam satu gerakan cepat dan mantap, ia membungkuk dan mengangkat tubuh mungil Emily dengan gaya bridal—membuat gadis itu terkesiap kecil.Lengan kekarnya terasa kuat dan hangat membungkus tubuh Emily, membuat jantungnya berdebar tak karuan.Dengan langkah mantap, Felix membawa Emily melewati lorong dan masuk ke kamar mereka.Tanpa meletakkannya, ia menutup pintu kamar dengan kakinya, menciptakan bunyi klik lembut yang membuat suasana di antara mereka mengental dengan ketegangan.Felix menundukkan wajahnya, membisik di telinga Emily dengan suara serak penuh gairah,"Jangan pura-pura tidak tahu, Emily... Kita sudah lama tidak bercinta."Emily menelan ludahnya dengan gugup, merasakan panas menyebar dari telinga hingga ke pipinya. Suara Felix begitu berat, dalam, dan sangat berbahaya bagi pertahanannya yang mulai runtuh.Dengan suara bergetar namun mencoba terdengar tenang, Emily mengangkat wajahnya dan be
“Aku membawakan makanan kesukaanmu.” Suara Felix terdengar lembut dan tenang saat ia melangkah masuk ke ruang tengah, membawa sebuah mini box mungil berwarna merah muda di tangannya.Cahaya sore yang masuk dari jendela memantul di permukaan kotak itu, membuatnya tampak seperti hadiah kecil yang istimewa.Emily sedang duduk santai di sofa, bersandar dengan nyaman sambil menonton acara televisi favoritnya.Suara TV terdengar samar di latar belakang, namun seketika perhatiannya teralih saat Felix meletakkan kotak tersebut di meja di hadapannya.“Kesukaanku? Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran, matanya membulat penuh rasa ingin tahu. Ia langsung meraih kotak itu dan membukanya perlahan.Begitu tutupnya terbuka, aroma manis langsung tercium. Warna-warni pastel dari deretan macaron yang tertata rapi membuat matanya berbinar. Emily menoleh cepat ke arah Felix, matanya membesar karena terkejut.“Macaron? Kau tahu aku sangat menyukai macaron?” ucapnya dengan nada yang penuh kejutan sekali
“Pa. Ada yang ingin aku tanyakan padamu.” Suara Marsha terdengar pelan namun serius saat ia melangkah pelan mendekati sang ayah yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.Di tangannya, Harland memegang majalah edisi terbaru, matanya sibuk mengikuti tiap baris kata di halaman yang terbuka.“Katakan saja. Aku akan mendengarnya,” jawab Harland datar, tanpa sedikit pun menoleh ke arah anak perempuannya. Nada suaranya tenang, nyaris seperti sedang membicarakan cuaca.Marsha berdiri sejenak, menatap wajah ayahnya yang tak bergeming, lalu menarik napas panjang sebelum duduk perlahan di sofa seberang.Matanya memandangi Harland lekat-lekat, mencoba mencari celah untuk memahami isi kepala pria paruh baya itu.“Kau serius ingin membuat Felix dan Emily berpisah? Dengan cara apa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi, menyimpan keheranan sekaligus kekhawatiran dalam nada suaranya.Mendengar pertanyaan itu, Harland akhirnya menghentikan aktivitas membacanya. Ia menutup majalah dengan satu geraka